Bermusik tanpa Netra

Muhammad Ade Irawan
 
0
220
Muhammad Ade Irawan
Muhammad Ade Irawan | Tokoh.ID

[WIKI-TOKOH] Melalui huruf braille, pianis muda Indonesia itu menerjemahkan kata-kata dengan jemarinya.

Senyum kecil tersungging di wajah Muhammad Ade Irawan saat ia memasuki ruangan pertunjukan di Gedung Kesenian Jakarta, Senin (13/12/2010) sore.

Dengan tuntunan bunda. Endang Dewi Mardeyani, remaja tunanetra itu mulai meraih sebuah tempat duduk berwarna keabu-abuan. “Mama rwina-nin yali. Bentar lagi mau main,” ujar Ade terpatah-patah, seraya diiakan sang bunda.

Fisik yang tidak sempurna tidak membuat ia minder atau merasa merendah. Sebaliknya, ia menunjukkan kepiawaian dalan memainkan piano secara spektakuler.

Semua jenis musik mampu ia bawakan secara cermat. Mulai jenis jazz, fusion, blues, stving, smooth jazz, nao orleans, bebop, latin, hingga dangdut.

Pada acara bertajuk Shop in Chopin itu, ia meracik beberapa instrumen. Ia memadukan musik jazz dan klasik. Salah satu adalah karya milik Fryderyk Franciszek Chopin (1810-1849) berjudul Der Reit-ersmann von der Schlacht.

Dengan panduan pianis kawakan Jaya Suprana, remaja kelahiran Colchester, Inggris, 15 Januari 1994 itu tampil gesit. Saat Jaya memintanya untuk memainkan sebuah instrumen blues, Ade pun langsung memainkan jemari-jemarinya secara sontak.

Begitu pula saat diminta memainkan beberapa jenis instrumen lainnya. Ia menampakkan kepercayaan diri yang begitu tinggi. Sejenak, ia mengingatkan Medio Indonesia pada sesosok penulis tunanetra. Helen Adams Keller (1880-1968).

Tak ayal, saat instrumen tengah ia mainkan, beberapa penonton pun menikmati. Mereka terkagum-kagum sambil menutup mata sejenak.

“Ini adalah kejeniusan Ade. Ia memainkan sebuah instrumen dengan jemari yang tidak teratur di atas tuts. Namun, sangat pas di telinga,” puji Jaya, seraya menepuk pundak Ade.

Advertisement

Terang

Semua berawal saat Endang dan suaminya. Irawan Subagyo, menetap di Negeri Ratu Elizabeth. Sebuah keajaiban pun datang.

Endang yang pada saat itu tengah bekerja sebagai salah satu staf di Kedutaan Besar Indonesia di Inggris tidak menyangka. Anak pertamanya harus terlahir secara tidaknormal.

Kebutaan yang dialami Ade sempat membuat mereka sedikit terguncang.

Saat usia 0-9 bulan. Ade bayi mendapatkan perawatan secara khusus. Ia juga sempat mendapatkan perawatan dari ahli mata di Kota London. Sayangnya, kondisi fisiknya tidak sebagaimana bayi yang terlahir normal.

Pada 1995, kedua orang tuanya memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Ade bayi pun dipertemukan dengan pihak keluarga. Beberapa keluarga sempat menanyakan kondisinya. Untunglah, Endang dan suaminya sangat kuat menerima realitas.

Di penghujung 1995, mereka hijrah ke New York, Amerika Serikat. Kebetulan saat itu. En-dang mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan masternya di salah satu universitas ternama.

Keberadaan di Negara Paman Sam itu berlangsung hingga 1999. Saat itu, Ade kecil mulai aktif dalam meraba-raba alat musik, terutama alat pukul, seperti gendang.

Setelah melihat anak mereka superaktif, Endang dan Irawan mulai berkonsultasi ke beberapa psikolog dan dokter setempat. Mereka pun semakin dapat menerima kondisi Ade.

Setelah memutuskan balik ke Tanah Air di pertengahan 1999, Ade mulai tertarik dengan semua alat musik. Namun, ia baru mengenal piano saat ayahnya membawa ia berjalan-jalan ke sebuah pusat perbelanjaandi Jakarta.

“Saat itu, Ade menekan tuts piano dan berbunyi. Spontan, ia meminta saya untuk membeli,” ujar Irawan, menirukan gaya anaknya.

Tanpa sayap

Sebagai kota terkenal di AS, Chicago merupakan salah satu tempat berkumpul pam musikus jazz dan blues dunia. Beberapa musikus pernah memulai karier di kota tersebut. Di antaranya. Robert lrving 111, Coco Elysses-Hevia, Ramsey Lewis, Peter Saxe, Dick Hyman, Ryan Cohen, John Faddis, serta Ernie Adams.

Tak mengherankan jika Ade memiliki cita-cita untuk bisa menembus kancah internasional seperti para pendahulu jazz ataupun blues tersebut.

Tak dapat dimungkiri, bakat Ade kecil kian terasah saat Endang bertugas kembali selama empat tahun di Chicago, sejak 2004.

Di kota itu. Endang sering membawa anaknya itu bermain di kafe-kafe. Tujuannya hanya mencari teman-teman musikus. Saat itu, usia Ade mulai menginjak 12. Namun, permainan pianonya sungguh luar biasa.

Selama berada di Chicago, Ade kecil sempat mempelajari huruf braille di Farnsworth Elementary School. Hal itu semakin mendorong ia .)(;.ir kelak dapat kembali ke tanah kelahirannya.

“Saya ingin terkenal. Cita-dta mau menjadi pianis dunia,” ucap Ade tersendat-sendat seraya dituntun sang ayah untuk meluruskan kalimat yang ia maksudkan.

Kerja keras dan ketekunan untuk merajut karier telah dimulai. Peraih anugerah Certificate of Honor Recital Master Class itu bertekad kembali ke tanah kelahirannya sebagai sesosok putra Indonesia.

Melalui keterbatasan, Ade yang dijuluki Ade Wonder Irawan itu telah membuka tabir dunia.

Kebutaan bukanlah penghalang untuk bisa menjadi pianis ternama. Ia mampu berbicara banyak dengan jemari tanpa sayap. (M-2) e-ti

Sumber: Media Indonesia, 15 Desember 2010 | Penulis: Iwan Kurniawan

Data Singkat
Muhammad Ade Irawan, Musikus, pianis solis remaja / Bermusik tanpa Netra | Wiki-tokoh | pianis, musikus, tunanetra

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini