Bunda bagi Kaum Miskin

Mardiana Maya Satriani
 
0
188
Mardiana Maya Satrini
Mardiana Maya Satrini | Tokoh.ID

[WIKI-TOKOH] Butuh perjuangan untuk mempertahankan idealisme menjadi teman untuk mereka yang termarjinalkan. Apalagi selalu ada sindikat yang memosisikan kalangan termarjinalkan itu untuk menjadi korban.

Sejak membuat identitas, tenaga kerja Indonesia yang akan bekerja di luar negeri menjadi pembantu rumah tangga (PRT) sudah menjadi korban. Di tangan majikannya, para pembantu itu tak memiliki kekuatan lagi. Identitas mereka dipalsukan sindikat,” kata Mardiana Maya Satrini, yang sering dipanggil Bunda Maya.

Pemalsuan identitas calon PRT, kata Maya, sudah jamak terjadi karena oknum yang merekrut hanya menginginkan imbalan dari agen yang membutuhkan pekerja Indonesia. Ketika identitas sudah dipalsukan, tenaga kerja Indonesia (TKI) sulit dilacak sehingga rentan menjadi korban kekerasan. Hal itu sering menimpa TKI yang menjadi PRT di luar negeri.

Maya, perempuan asal Singkawang, Kalimantan Barat, sudah 28 tahun mendampingi TKI yang mendapat perlakuan tak manusiawi. Jadi, hampir setiap celah potensi kekerasan terhadap TKI sudah diketahuinya.

“Awalnya saya hanya mendengar. Namun, setelah bertemu langsung seorang TKI yang menjadi korban kekerasan, saya terpanggil mendampinginya. Di Malaysia dan Taiwan banyak PRT yang dioper dari satu majikan ke majikan lain seperti barang untuk menghindari razia polisi setempat,” katanya.

Maya semakin yakin TKI adalah salah satu sasaran kekerasan sejak masih di Indonesia hingga bekerja di luar negeri. Boleh dibilang, semangat pelayanan Maya itu “bawaan lahir”. Saat teman sebayanya di kelas I SMA asyik bersenang-senang, dia justru menyambangi panti asuhan dan panti jompo di Singkawang.

“Seandainya jadi mereka, pasti saya sedih. Maka saya datang dan belajar merawat mereka,” katanya.

Akan tetapi, dia tak bertindak ekstrem dan menghindari pergaulan. “Kalau ada acara wisata atau pergi satu kelas ke tempat rekreasi, saya ikut. Tetapi, saya selalu ingin segera pulang karena merasa mereka yang di panti asuhan dan jompo menunggu,” tuturnya.

Sejak bersinggungan langsung dengan aktivitas pelayanan sosial di panti asuhan dan jompo itu, Maya menyadari banyak orang yang tak beruntung dan memerlukan pendampingan.

Sejak bersinggungan langsung dengan aktivitas pelayanan sosial di panti asuhan dan jompo itu, Maya menyadari banyak orang yang tak beruntung dan memerlukan pendampingan.

Di waktu senggang sekolah, ia suka ke kampung asal para TKI dan bertemu orangtua mereka. Ia mencari tahu pokok persoalan hingga banyak orang menjadi TKI.

Advertisement

Persoalan dasarnya adalah kemiskinan. Setelah lulus sekolah, Maya mulai intens bertemu para keluarga TKI di Singkawang dan Sambas. Ia mengajak mereka membuat pelatihan kecil pembuatan kue dan kerajinan tangan.

“Tak semua keluarga yang saya dampingi bersedia karena hasilnya kecil dan perlu waktu lama. Pola pikir mereka ingin mendapat uang banyak dalam waktu singkat dan menjadi TKI adalah solusinya,” katanya.

Sayang, pengetahuan masyarakat tentang prosedur bekerja di luar negeri amat minim. Maka, banyak calon PRT, misalnya, tak sadar sedang dipersiapkan menjadi pekerja seks di luar negeri.

“Butuh waktu dan ketekunan untuk meyakinkan mereka bahwa menjadi TKI tanpa bekal pengetahuan itu penuh risiko,” katanya.

Mengalir

Maya tak hanya dikenal sebagai pendamping TKI korban kekerasan, tapi juga perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). “Semuanya mengalir begitu saja. Setiap kali datang ke suatu tempat, terutama ketika bertemu dengan mereka yang termarjinalkan, saya merasa harus melakukan sesuatu,” tuturnya.

Selain itu, ia juga aktif menjadi relawan untuk mendampingi para pekerja seks komersial di Singkawang. Ini dalam upaya mengantisipasi penularan HIV/AIDS. Pendampingannya terhadap para pekerja seks itu menguras tenaga dan emosi.

“Saya diisukan menjadi germo, bahkan PSK (pekerja seks komersial). Saya juga dituduh mencari keuntungan di balik kegiatan pendampingan. Banyak sekali tekanan, tapi saya tidak tanggapi semua tuduhan itu. Lebih penting berusaha agar mereka tidak ada di sana lagi dan bisa hidup mandiri,” katanya.

Maya juga mendampingi anak-anak jalanan. “Putri bungsu saya ketika berumur lima tahun pernah protes. Katanya, apa dia perlu menjadi anak jalanan agar dapat perhatian saya. Saya sempat sedih, tapi anak saya kemudian memahami aktivitas ibunya mengajarkan kebaikan,” cerita Maya, yang sering meninggalkan anaknya ketika harus melakukan pendampingan.

Maya dan sesama pekerja sosial di Singkawang yang bergabung dalam Forum Komunikasi Pekerja Sosial melakukan pendampingan aktif terhadap TKI, korban KDRT, PSK, anak jalanan, penderita kanker, orang lanjut usia (lansia), dan sederet kegiatan lain yang berbau karitatif.

Setiap hari Maya rata-rata mendampingi 10 korban dari berbagai kasus, baik yang rutin maupun temuan baru. “Hari ini ada 18 kasus yang saya dampingi, ada yang rutin maupun baru,” katanya pada suatu hari.

Mitra polisi

Belakangan Maya juga memelopori kegiatan pelatihan pekerja sosial agar siap bertugas kapan pun dibutuhkan. “Selama tiga tahun terakhir ini kami juga menjadi mitra polisi untuk mengurus jenazah tanpa identitas, baik masih baru maupun yang sudah membusuk. Kami mengerjakan semuanya, mulai memandikan hingga mempersiapkan penguburan,” tuturnya.

Kendati hampir setiap hari melakukan kegiatan sosial di Kalimantan dan beberapa daerah lain di Indonesia, Maya mengaku tak mendapat imbalan sedikit pun. Bahkan, dari sebagian gaji suaminya yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil itulah dia membiayai kegiatannya.

“Saya juga mendapat dukungan dari banyak pihak yang tertarik dengan kegiatan ini. Ketika saya membutuhkan biaya, misalnya untuk operasi kanker, ada saja teman yang mau membantu,” katanya.

Maya mengaku prihatin sekaligus gemas dengan birokrasi yang berbelit-belit, terutama ketika menyangkut masyarakat kecil. “Masyarakat tidak bisa menunggu dengan model seperti itu. Saya memilih berjalan dengan cara saya,” katanya menegaskan.

Dalam setiap upayanya, Maya meyakinkan dirinya sendiri bahwa kebahagiaan itu hanya bisa datang ketika kita mendapatkan kepuasan batin.

“Dan, kepuasan batin saya hanya bisa terpenuhi ketika melihat orang-orang yang tidak beruntung itu mampu keluar dari persoalan mereka,” katanya. e-ti

Sumber: Kompas, Senin, 12 Juli 2010 | Penulis: Agustinus Handoko

Data Singkat
Mardiana Maya Satrini, Pelatih Inti Relawan HIV/AIDS Singkawang / Bunda bagi Kaum Miskin | Wiki-tokoh | aktivis, Pelatih, Relawan, HIV/AIDS

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini