
[WIKI-TOKOH] Tentang prostitusi, apakah yang sebenarnya kita ketahui? Adapun kata itu telanjur menyatu lama dengan kawasan agraris Kecamatan Patokbeusi, wilayah pantai utara, yang memiliki empat lokasi prostitusi liar. Dua di antaranya Cikijing dan Royek.
Di terik matahari Sabtu (17/4/2010), kendaraan kami berbelok dari jalan utama ke Simpang Kondang, Kabupaten Subang. Melindas jalan berbatu- batu sepanjang pinggiran Sungai Tarum Timur yang dihiasi jamban terapung.
Sementara itu, memanjang sampai ratusan meter sepanjang bantaran ialah gubuk-gubuk kumuh yang terasnya ditata dengan sofa butut dan plang wisma.
Yang tidak punya sofa hanya memasang keterangan dengan cat pada pintu dan jendela mereka, bunyinya: ‘keluarga’. Itulah Cikijing, kawasan prostitusi dengan deretan gubuk sepanjang 1 kilometer, ratusan meter berikut adalah deretan gubuk-gubuk di kawasan prostitusi Royek.
Rahayu Dewi Mende, dosen Universitas Negeri Surabaya yang akrab dipanggil Dewi, tujuh tahun lalu sampai ke tengah kawasan tersebut- di sela-sela saat dia mengajar penggunaan alat pengering terowongan dan tungku biomassa kepada nelayan muda Desa Blanakan, Kabupaten Subang.
Di situ, ‘penjelajah penasaran’ tersebut bersentuhan dengan sebuah tempat hidup yang jauh dari rasionalitasnya. “Orang bilang penyebab prostitusi itu klasik, kemiskinan. Tapi di Cikijing-Royek, kok saya melihat yang utama bukan uang,” ujar Dewi saat ditemui di kawasan Cikijing- Royek.
Dia menunjuk hamparan sawah luas yang baru tanam, juga truk besar bermuatan berat yang melintas di jalan utama. Ia pun meninggikan intonasinya, “Orang-orang di sini tidak punya akses dan modus prostitusi mereka yaitu anggapan yang keliru bahwa menjadi PSK ialah bentuk peningkatan karier.”
Kultur kawin-cerai
Di Cikijing-Royek, Dewi menggarisbawahi bahwa setiap ‘hijau royo-royo’ alias musim panen banyak pemilik lahan kalap. Mereka membeli segalanya, termasuk menikah lagi. Manakala paceklik, saat itulah petani mengencangkan ikat pinggang.
“Istri ke-2, ke-3, ke-4, mereka ceraikan. Yang cerai ini, karena tidak punya kepandaian dan pendidikan cuma ala kadarnya, akhirnya ber akhir di Cikijing-Royek. Itu modusnya, itu awalnya.”
Singkat cerita, Dewi membeli sebuah rumah bordil 14 kamar yang persis berada di batas Cikijing dan Royek. Ia menyulapnya jadi Lembaga Pendidikan Sekar Pantura, Yayasan Sekar Ardwanariswari. Tiga tahun pertama rumah bordil tersebut dirombak dan dijadikan rumah belajar bagi warga Cikijing-Royek. Mulai belajar keterampilan sulam, jahit, hingga rias pengantin, juga bagi yang sudah ingin ikut ujian kesetaraan Kemendiknas.
Sampai pada 2006, Dewi mulai gelisah lagi. Jika pemberdayaan hanya PSK dewasa, agak capek menunggu kesadaran mereka. Upaya Dewi untuk menghadirkan pendidikan ke tengah kawasan justru mendapat perlakuan, istilahnya, sama dengan pelanggan. “Jadi kalau ngundang mereka, mesti bayar. Rumah belajar kami disatroni dan diminta harus ngasih sumbangan. Saya pikir, wah ini sudah tidak sehat.”
Dia pun mengasah segmen garapannya supaya pemberdayaan di Cikijing-Royek bisa tepat sasaran. “Jadilah kami lari ke anak-anak. Jangan diartikan PSK anak, ya, sebab mereka enggak mungkin mengaku kalau dilacurkan,” kata dia.
Sebelum 2007, jumlah anak-anak di kawasan tersebut mencapai 200. Namun, sejak krisis separuh PSK pindah ke Blanakan dan yang tersisa kini tak sampai 100 anak.
Dewi enggan memilah-milah, mana yang anak PSK, mana anak germo, atau mana anak dari keluarga yang kebetulan huniannya sekitar Cikijing-Royek. Kata dia, yang jelas semua anak yang diasuh dalam atau dekat pusat bisnis seks tersebut berpotensi terjerumus.
Berbeda juga dengan perlakuan terhadap orang dewasa, khusus anakanak Dewi mulai mengondisikan pendidikan. Khususnya bagi yang terlambat sekolah. Ujung-ujungnya anak-anak ini harus masuk ke pelajaran sekolah formal sebab lembaga bentukan Dewi memang menginduk pada sekolah formal terdekat. Sebut saja SDN Tirtawinaya, SMPN 4 Patokbuesi (kelas jauh), dan SMKN 1 Patok beusi (kelas jauh).
Mahir komputer
Kalau awalnya sekadar baca-tulishitung (calistung), tahun ini ruang belajar di Cikijing-Royek juga melek komputer. Saat berkunjung ke sana, di bekas rumah bordil yang kini tampak resik tersebut ada 40 siswa berseragam SMP tengah berkutat di depan belasan komputer layar datar. Umumnya mereka membuka program presentasi PowerPoint. “Baru habis UAS, sekarang ngejar praktik saja,” kata Nani, 15, siswi SMPN 4 Patokbuesi.
Dia dan lima siswi dalam kelompok komputernya memang rutin datang ke ruang belajar Dewi sebab tempat itu kini jadi laboratorium komputer. Kata Dewi, sekolah induk memang menjadikan tempat itu jadi laboratorium komputer sementara sehingga sepanjang bulan selalu penuh dengan praktik komputer. Sedikit lagi, pengajar juga akan mengenalkan dunia web 2.0, supaya mereka benar-benar berdaya secara teknologi.
Tidak takut mereka terjerumus dalam penyalahgunaan situs jejaring sosial? ”Ah, tidak. Kami pun sudah menciptakan solusinya, yaitu mencari software untuk keamanan mereka.” Dewi menegaskan pendidikan seharusnya jadi benteng kuat untuk menyadarkan anak-anak dan orang tua mereka.
“Supaya mereka sadar sesadarsadarnya, tidak hanya sadar bersekolah, tetapi juga sadar untuk kelanjutan pendidikan. Kalau sudah punya pendidikan, mereka bisa berpikir bahwa menjadi PSK bukan suatu pekerjaan,” kata perempuan yang juga terjun ke warga eks pengungsi Timor Timur untuk meng upayakan pendidikan bagi anak-anak.
Tahun ini, Dewi juga terlibat dalam pengembangan model bahan ajar pendidikan kesetaraan untuk PSK yang bersedia direhabilitasi. Model tersebut segera diujicobakan ke lima lokasi, termasuk Cikijing-Royek.
Pendidikan personal
Sebagai pelaku bidang Pendidikan, Dewi berharap Indonesia bisa memulai pendidikan yang bersifat personal. Sesuai dengan kebutuhan karakteristik peserta didik. Tidak harus serbaterpusat dan seragam.
“Jika diperlukan penilaian, harusnya disesuaikan dengan proses pembelajaran dan kompetensi peserta didik,” katanya.
Cikijing-Royek adalah permulaan buat Dewi. Sekarang, dia mengaku bak hidup di tiga kota, Subang, Jabar, Surabaya, Jatim, dan Sabu, NTT.
Di Subang, kawasan yang relatif dekat dengan tempat tinggalnya di Kalimalang, Bekasi, dia dibantu adiknya menggerakkan pendidikan bagi anak di lokalisasi Cikijing- Royek.
Di Surabaya ia mengajar mahasiswa sambil mengawasi ruang belajar di lokalisasi Dolly. Lantas, apa kesibukannya di Sabu, kabupaten baru di NTT?
“Awalnya me reka meminta saya datang dan di situ saya lihat banyak anak harus putus sekolah karena kondisi geografis. Lain lagi dengan Cikijing-Royek yang karena budaya,” katanya.
Pelan-pelan ia mendata keunggulan kawasan tersebut dan memastikan kemampuan membuat tenun adalah modal. Selain menggulirkan pendidikan berbasis internet, dia pun melancarkan sebanyak mungkin praktik tenun dalam kurikulum ruang belajar di sana.
Semua dilakukan Dewi demi mengikis kegelisahannya atas kenyataan bahwa banyak anak negeri ini tak mampu sekolah tinggi karena alasan kemiskinan, lingkungan, dan kondisi geografis. Ruang belajar ia buka, di tengah lokalisasi atau di pengungsian, buat meredam pikiran pendek di orang-orang ce roboh yang membesarkan anak bangsa. (M-6) e-ti
Sumber: Media Indonesia, Rabu, 21 April 2010 | Clara Rondonuwu