Mengobati si Bongkok dengan Hati

Sidrotun Naim
 
0
175
Sidrotun Naim
Sidrotun Naim | Tokoh.ID

[WIKI-TOKOH] Lucu memang, sebagai negara penghasil udang terbesar keempat di dunia, Indonesia hingga saat ini belum punya satu pun ahli diagnosis penyakit udang. Petani udang hanya bisa pasrah siap-siap panen dini saat udangudang sakit.

Itulah yang tebersit dalam pikiran Sidrotun Naim ketika perjalanan hidup membawanya ke Aceh, tinggal dekat dengan petani udang. Hatinya meronta saat melihat langsung kerugian dan penderitaan petani udang akibat udang-udang yang sakit.

“Saya lihat sendiri bagaimana ini merupakan mata pencaharian yang penting untuk mereka. Pascabencana tsunami, petani udang di pesisir pantai Aceh sempat berhasil panen tahun 2007. Tapi saat 2008 panen udang mereka gagal, katanya gara-gara penyakit, tapi tak ada yang bisa buktikan. Dari sinilah saya tertarik belajar penyakit udang,” ucap perempuan 31 tahun yang akrab dipanggil Naim, saat ditemui di Pusat Riset Perikanan Budi Daya, Jakarta, Senin (9/8/2010).

Sarjana biologi Institut Teknologi Bandung itu menilai hingga sekarang petani udang seperti mengadu untung saja ketika menambak udang. Kalau bernasib baik, mereka bisa mempertahankan umur udang hingga 4 bulan. Jika tidak, petani paling mentok hanya bisa menambak hingga umur 2 bulan saja. “Makanya saya ingin sekali menjadi ahli histologi yang bisa mendeteksi penyakit udang. Jadi bisa tahu tingkat keparahan penyakit udang bagaimana, ekornya merah atau tidak, ototnya bagaimana, rusak atau tidak. Saya hanya ingin para petani udang untung,” tegas ibu satu anak ini.

Pencegahan

Dengan menjadi ahli histologi, Naim mengatakan banyak hal yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan keuntungan bagi petani. Salah satunya mencegah penyebaran penyakit pada udang. “Salah satu keuntungan menjadi ahli histologi adalah kita bisa mengetahui apakah udang tersebut sehat atau mulai sakit, serta apa yang menyebabkannya. Kalau sakitnya belum parah, bahkan bisa disembuhkan. Selain itu kita juga bisa mengatur tempat penambakan melalui berbagai riset mengenai penyakit ini, jadi sifatnya lebih kepada pencegahan,” papar Naim.

Di Indonesia, proses pencegahan sakitnya udang tertinggal jauh jika dibandingkan dengan di luar negeri. Pusat penelitian di Amerika Serikat, misalnya, secara rutin akan meriset tempat penambakan udang secara acak untuk memastikan tambak itu layak dihuni udang.

“Mereka pastikan betul, airnya, suhunya, pakannya, semua sehat untuk udang. Dengan begini, panen tambak udang mereka bisa dipastikan berhasil terus, risiko gagalnya lebih kecil,” sahut Naim. Bahkan, penelitian lanjutan di Hawai telah dapat menghasilkan udang yang kebal terhadap penyakit-penyakit yang paling sering menyerang udang. Udang jenis Litopenaeus vannamel inilah yang saat ini justru paling banyak dikonsumsi di Indonesia.

Sebenarnya kita itu punya udang yang asli Indonesia, namanya windu. Tapi udang ini sudah jarang dibudidayakan karena rentan terhadap penyakit. Kalau lama-lama dibiarkan, bisa-bisa kita kehilangan satu spesies dalam biodiversitas laut,” tutur Naim.

Padahal, lanjut Naim, secara ekonomis, nilai udang windu jauh lebih tinggi ketimbang udang Litopenaeus vannamel. “Nilai jualnya lebih tinggi dan biaya pakannya juga murah. Tapi sayang, udang windu sering sakit,” sesalnya.

Advertisement

Banting setir

Besar dalam keluarga sederhana di Solo, Jawa Tengah, yang jauh dari laut, lidah Naim hampir tak pernah menyentuh udang. Kata Naim, ayahnya cuma guru. Udang menjadi makanan mewah bagi keluarga mereka. “Saya baru makan udang pertama kali saat umur 22 tahun, ketika kerja di PT Freeport. Di sana semua hidangan laut melimpah, jadi mau makan ikan apa, tinggal ambil. Bagi saya dan 11 saudara saya, yang namanya udang adalah hidangan laut yang mewah,” ungkap Naim sambil tersipu-sipu.

Di Papua juga Naim memutuskan banting setir dari sarjana yang mengutak-atik tanaman menjadi peneliti yang bergelut dengan hal-hal kelautan. Saat menjalankan pekerjaan pertamanya di Papua, Naim seperti mendapat pencerahan. Saat itulah untuk pertama kali dalam hidupnya ia melihat laut yang begitu luas. “Selama waktu kecil di nyanyian atau buku-buku saja. Saya benar-benar takjub,” ucapnya. Meski memulai sebagai awam, Naim merasa beruntung memiliki mentor dan teman yang selalu memberinya semangat dan inspirasi.

“Saat saya hampir putus asa di semester pertama kuliah tentang kehidupan laut dalam di Australia, misalnya, saya pun banyak diskusi dan kemudian memutuskan untuk mengambil bagian tentang penelitian laut pesisir, terutama kepiting,” kenang Naim. Kalau ia merasa sedang di titik rendah, Naim mengaku selalu ingat perkataan dosen pembimbingnya saat masih kuliah di ITB dulu. Naim bilang, ketika masih di Bandung, ia sempat bingung dengan tingkah salah satu pembimbingnya, Erly Marwani, yang setiap hari mengecek tanaman yang sedang dikembangkan dalam sistem kultur jaringan.

“Saya tanya ke beliau, kenapa harus setiap hari, kan perubahannya tidak setiap hari. Beliau menjawab, sebagai seorang peneliti kamu harus peka dengan segala perubahan yang ada, sekecil apa pun dan bisa menemukan pola perubahannya. Wah itu tak pernah saya lupa,” kenangnya terharu.

Begitu pun saat di Australia, teman yang memberinya tumpangan tinggal sering membuatnya tercengang dengan semangat belajar yang seperti tak pernah padam. “Saat tengah malam, saya tahu dia masih saja belajar. Sampai sudah menikah pun, tengah malam, dia masih suka bangun menyelesaikan pekerjaannya,” ucapnya.

Kini, fokus Naim pada penelitian mengenai penyakit udang tak lain agar petani udang mempunyai rujukan yang tepat dan dapat dipercaya untuk mengatasi permasalahan tambaknya. Mimpi Naim, Indonesia bisa mempunyai fasilitas riset udang yang memadai untuk memajukan kehidupan petani udang.

“Penyakit peneliti itu kan suka menggantiganti fokus keahliannya. Saya sudah. Saya mau fokus saja di penyakit. Saya mau bangun laboratorium yang memadai biar generasi mendatang bisa tertarik meneliti udang,” tandas Naim yang tengah mengambil program doktoral di Universitas Arizona, Amerika Serikat. Kata-katanya tegas, menguatkan niat. (M-4) e-ti

Sumber: Media Indonesia, Rabu, 11 Agustus 2010 | Penulis: Vini Mariyane Rosya

Data Singkat
Sidrotun Naim, Asisten Akademik Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) Institut Teknologi Ban… / Mengobati si Bongkok dengan Hati | Wiki-tokoh | peneliti, biologi, Udang

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini