Keterbukaan Jorga Ibrahim
Jorga Ibrahim
[WIKI-TOKOH] Ia adalah satu dari hitungan jari tangan ilmuwan Indonesia yang berani bertungkus lumus di dunia yang riuh rendah oleh pergulatan pemikiran, sekaligus sunyi karena harus ditapaki sendiri. Itulah wilayah yang hanya dapat dimasuki mereka dengan intelegensi sangat tinggi, imajinasi tanpa batas, refleksi dan kontemplasi yang menukik jauh ke dalam, keterbukaan pikiran dan kemerdekaan jiwa.
“Mari, mari…,” sambut Jorga Ibrahim (73) di depan lift Prodi Informatika Institut Teknologi Bandung. Ia menggamit kami memasuki ruang kerjanya yang berukuran sekitar 15 meter persegi.
Sosok yang namanya tercantum dalam daftar pendek ilmuwan kelas dunia yang mengombinasikan matematika murni tingkat tinggi, fisika teoretis fundamental, dan kosmologi modern untuk menguakkan misteri Semesta Raya itu masih tampak gesit, jauh dari kesan rapuh.
Sampai hari ini atau delapan tahun setelah masa pensiunnya, ia masih menjadi Komite Dewan Penasihat Sekolah Tinggi Elektro dan Informatika (STEI) ITB dan ditugasi membina Komputasi Kuantum. Ia menjadi ko-promotor seorang peserta Program S-3 STEI-ITB khusus mengenai Algoritma Kuantum.
Jorga yang tidak pernah mengurus gelar profesornya itu masih terus menekuni bidang khusus matematika murni, yaitu Deformation Quantization, untuk keperluan seminar di Swiss tahun 2010, guna menghormati mantan pembimbingnya, ahli matematika terkemuka dunia yang mengembangkan Deformation Quantization, André Lichnerowics, dan muridnya, ilmuwan termasyhur, Moshe Flato. Keduanya meninggal pada tahun 1998.
Lompatan teknologi
Meski dikenal keempuannya dalam geometri diferensial, suatu spesialisasi matematika murni paling rumit dan sulit, yang sangat penting untuk menelusuri struktur alam semesta dan pilar dalam kajian kosmologi modern, Jorga tidak berminat berbicara tentang hal-hal yang terkait dengan ramalan tentang peristiwa alam, apalagi metafisika.
Ia bukan jenis ilmuwan yang berada di wilayah “perbatasan”, yang mau berbicara tentang apa saja. Ia sangat mengukuhi kejujuran ilmu pengetahuan. “Kalau ilmuwan sudah tidak jujur, ya bagaimana?” ujarnya.
Jorga senantiasa mengingatkan pada sejarah dan akar karena seluruh perkembangan senantiasa bergerak dari ‘yang sudah’; dari masa lalu. Keterbukaannya membuat diskusi tentang kebudayaan dan perkembangan bidang-bidang terkait dengan wilayah keilmuwanannya menjadi sangat mengasyikkan.
Misalnya, tentang primordialisme alam semesta, tentang ylem, si atom primitif yang membentuk elemen dan partikel sebelum terjadi Big Bang, tentang perdebatan asal-usul alam semesta, termasuk yang lebih filosofis; mengenai siapa pencipta alam semesta dan bagaimana Ia menciptakannya.
Atau perdebatan yang masih berlangsung antara teori relativitas dan teori kuantum; antara Einstein dan Bohr; perdebatan antara kelompok Heisenberg dan Schrödinger dalam peristiwa kuantum, ‘quantum entanglement’, dan lain-lain.
Jorga mengingatkan, dalam ilmu pengetahuan selalu ada ketidakpastian yang tidak bisa diartikan sebagai kemandekan, sebaliknya, selalu ada peningkatan. Terus maju.
Jorga menjelaskan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat. Ilmu yang paling murni terus dikembangkan lembaga penelitian universitas, negara mau pun korporasi, karena dari situ akan lahir kemungkinan-kemungkinan dan temuan-temuan terbaru teknologi, atau bahkan terobosan yang akan mengubah dunia.
Teknologi kuantum, misalnya, sedang diteliti intensif di Kanada, AS, Eropa, dan Jepang. Massachussetts Institute of Technology (MIT), NEC, California Institute of Technology, juga IBM sedang terus meneliti bagaimana membuat pintu-pintu kuantum. Semuanya menggunakan matematika murni. Mereka tak segan menumpahkan uang untuk penelitian walaupun hasilnya masih remang-remang.
“Tetapi sekali berhasil, tidak main-main,” sergah Jorga, “Kalau algoritma kuantum dan kuantum komputasi bisa berhasil, teknologi akan berubah sama sekali. Mereka memperkirakan tahun 2012 akan dibuat karena penelitiannya sudah panjang.”
Menurut dia, tahun 2020 komputer yang sekarang tak lagi digunakan. “Komputer ini materialnya sudah kuantum, sifat-sifat kuantum dipakai, tetapi proses komputasinya belum kuantum,” lanjut Jorga.
Teknologi komputasi mampu, antara lain, memecahkan rahasia yang selama ini hampir tak mungkin dilakukan. Seperti dijelaskan Jorga, “Dengan teknologi komputasi, uang koruptor akan terdeteksi dalam bilangan detik. Kalau pakai komputasi klasik dengan sistem rahasia yang pakai kode, 200 tahun juga tak ketahuan. Kalau algoritma kuantum bisa digunakan dalam teknologi, koruptor-koruptor itu tak sulit ditangkap.”
Senja kala
Mendengarkan Jorga menjelaskan perkembangan sains dan pendidikan ilmu-ilmu murni di Indonesia, tidak sulit menangkap keprihatinannya tentang senja kala yang melingkupi perkembangan ilmu-ilmu murni di Indonesia.
“Di ITB dulu, keilmuwanan itu terpancar dari Pak Baiquni dan Pak Barmawi. Mereka yang memberikan gambaran bagaimana penemuan di bidang sains sehingga orang terpancing mengambil ilmu itu,” ujar Jorga.
Beberapa tokoh di bidang sains di ITB dibimbing langsung oleh para ilmuwan berkualitas penerima Nobel. Almarhum Prof Achmad Baiquni, misalnya, dibimbing langsung pada awal tahun 1960-an oleh Yoichiro Nambu, peraih Nobel Fisika tahun 2008. Pun Prof M Barmawi.
Ilmuwan fisika Pantur Silaban dibimbing langsung oleh dua murid Albert Einstein, Joshua Goldberg dari Syracuse University dan Peter G Bergmann dari Princeton University, yang buku karyanya tentang relativitas menjadi satu-satunya buku yang kata pengantarnya ditulis Einstein.
Kemudian ilmuwan fisika, (alm) Hans J Waspakrik, murid Jorga, yang ia kagumi karena kecerdasannya yang mencengangkan, selama dua tahun meneliti di Belanda dan AS di bawah bimbingan Martinus JG Vetlman, fisikawan peraih Nobel tahun 1999.
Jorga juga pernah menjadi peneliti senior pada College de France, lembaga yang hanya boleh dimasuki anggota Academie des Sciences, Paris, 1976-1979. Di situ ia menghasilkan sejumlah karya penting dalam matematika murni.
“Dulu, idenya, kita punya beberapa tokoh, ada satu kelompok yang kuat, baru bisa membentuk semacam Institute for Advanced Study di Princeton, tetapi setelah 50 tahun ini tampaknya semakin jauh dari situ. Tak ada gambaran jelas,” gumam Jorga.
Kita semakin tertinggal ya?
Ketertinggalan itu makin cepat, membuat semakin jauh jaraknya. Di sana, orang seperti Bill Gates kalau kasih uang miliaran dolar, tidak ditanya untuk apa. Dia cuma butuh laporannya. Tapi uangnya dipakai dengan benar, sekolahnya jadi hebat, tidak jadi rumah, mobil, atau apa.
Atau kita tak punya akar dalam sains?
Di sini sulit maju karena ilmu pengetahuan tak pernah tertanam dalam kebudayaan. Sebenarnya itu akan muncul pada zaman Bung Karno. Waktu itu kita punya ilmuwan hebat-hebat dan penuh komitmen. Bung Karno sendiri kalau berpidato menjelaskan tentang Weltanchauung, luar biasa.
Di Indonesia, penelitian yang berkembang hanya yang segera memberi hasil. Bidang ilmu-ilmu murni tak mendapat tempat…
Dalam masyarakat yang penuh kesulitan hidup, prinsip ekonomi untuk mendapat keuntungan secepat mungkin sering dipaksakan ke bidang-bidang lain. Padahal, bidang-bidang itu membutuhkan ketekunan, butuh puluhan atau bahkan ratusan tahun, dan belum tentu ada hasilnya. Terus terang saya tidak mengerti bagaimana ilmu pengetahuan bisa dipecah-pecah seperti dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pengabdian masyarakat tak selalu harus ke desa, tak bisa ditentukan harus begini, harus begitu.
Apa pengaruh ilmu yang terus Anda gulati terhadap diri Anda?
Ada suatu kebahagiaan, keterbukaan berpikir, suatu satisfactory dalam hidup, tak setengah-setengah walaupun dalam keadaan sangat kepepet. Ilmu pengetahuan membuat kita berpikir dalam kesunyian. Tetapi, bukannya kita memang akan tinggal dalam kesunyian setelah meninggalkan alam ini?
***
Kekuatan Pikiran
Apa yang membuat Jorga begitu terpesona pada matematika?
“Waktu kecil, ayah mengarahkan kami bahwa orang hidup itu harus berpikir, harus menjawab ‘why’ karena di dalam ‘why ‘ ada reason. Reason itu nomor satu, bukan hasilnya,” ujar Jorga, “Jalan ilmu pengetahuan adalah reason karena itu analisa.”
Sebenarnya orangtuanya tidak terlalu setuju ia memasuki bidang itu. “Ia lebih suka saya jadi dokter atau insinyur,” kenang anak pertama dari empat bersaudara itu. “Tetapi, sejujurnya saya juga tidak tahu mengapa saya tertarik matematika. Sampai SMP kelas II Hukum Pytagoras tak pernah diajarkan, tetapi kita disuruh membuktikan. Lama-lama saya tertarik.”
Jadilah Jorga kecil sosok yang suka berpikir. “Berpikir bagaimana membayangkan. Seperti Ilmu Ukur Ruang, bagaimana melihat ruang tetapi di dalam bidang. Main proyeksi semuanya. Imajinasi seperti itu. Tidak ada mistik, tetapi seperti mistik. Kreasinya benar-benar pure reason.”
Ia semakin meyakini kekuatan pikiran setelah mempelajari Ruang Riemann dalam geometri. “Seperti bermain catur tanpa papan, kita bisa berpikir 10, 20, 30 langkah ke depan. Ada suatu kekuatan pikiran kita melihat itu. Melihat bukan seperti clairvoyance, karena sebenarnya riil. Tidak tampak, tetapi memang tidak perlu tampak. Seperti saya sekarang membayangkan istri saya di balai kesehatan. Saya tahu apa yang ia kerjakan sekarang tanpa saya harus melihatnya.”
Sunyi yang indah
Pergulatan dengan kesunyian di bidang ilmu pengetahuan tidak selalu identik kesepian. Jorga selalu mempunyai waktu untuk menikmati hobinya mendengarkan musik klasik. Dulu, waktu belajar di AS, ia bahkan ikut main flute dalam kelompok mahasiswa musik. Ia juga suka opera.
Di Indonesia, nama Jorga tergulung riuh rendahnya suara ilmuwan yang mengabdi pada kepentingan politik, apalagi, pekerjaannya memang sulit dikaitkan secara langsung dengan ‘pembangunan’ yang menjadi panglima sampai saat ini. Jorga semakin tenggelam dalam pergulatan pemikiran demi pertemuan dengan pemikiran para ilmuwan dunia di bidangnya; sesuatu yang tak banyak dipahami para perencana pembangunan di negeri ini.
Namanya menjadi berita ketika tahun lalu ia terpilih sebagai penerima Penghargaan Ahmad Bakri. Jorga menerima penghargaan itu karena “Ahmad Bakri adalah pengusaha zaman kolonial Belanda yang sangat sukses. Sebagian keuntungannya dipakai untuk kemajuan ilmu sosial dan kultural, termasuk sains di dalamnya.”
Setelah kedua anaknya bermukim di Eropa, Jorga melewati hari-harinya bersama sang istri, dr Sri Setiasih, yang hidup bersamanya sejak 12 Januari 1969, melalui masa pertunangan selama enam tahun.
“Saya membantu istri memasak dan mencuci. Kami hanya berdua di rumah,” ujarnya. e-ti
Sumber: Kompas, Minggu, 5 April 2009 | Penulis: Maria Hartiningsih-Frans Sartono