Kisah Pembuat Teh
Suwarni Widjaja
[WIKI-TOKOH] Nama aslinya adalah Tjen Soen Tjau, namun orang lebih mengenalnya dengan nama Suwarni (49). Bagi master “chado” yang sudah 15 tahun membuka kedai teh Siang Ming Tea di Jakarta ini, teh bukan sekadar minuman pelepas dahaga.
Dari teh ia bisa memahami filosofi hidup. Teh mengajarkan kedisiplinan dan pengendalian diri,” tutur perempuan cantik ini.
Untuk menggambarkan bagaimana sebuah minuman bisa mengajarkan kedisiplinan dan pengendalian diri, Suwarni mengajak kami berkunjung ke kantornya, One Tea House, induk perusahaan kedai teh Siang Ming Tea yang berada di kawasan Gunung Sahari, Jakarta.
Di rumah toko (ruko) itulah Suwarni mengawinkan budaya minum teh Jepang dan China. Di lantai 3, Suwarni membuka ruangan khusus bagi siapa saja yang ingin belajar chado, yaitu upacara minum teh Jepang yang sudah berusia ribuan tahun. Sedangkan di lantai satu, perempuan kelahiran Banda Aceh ini mengajarkan ilmu tentang teh China lengkap dengan kungfu cha, yaitu cara menyeduh teh China.
“Jepang mengenal teh dari China. Namun, berbeda dengan China, budaya minum teh di Jepang dikembangkan menjadi lebih formal dan sakral,” kata Suwarni. Sebelum belajar chado, Suwarni sudah lebih dulu menekuni seluk-beluk teh China.
Teh, ia percaya memiliki khasiat kesehatan. Karena itu, ketika tidak bisa melanjutkan kuliah di kedokteran karena ayahnya meninggal dunia saat ia berumur sekitar 18 tahun, Suwarni banting setir menekuni teh. “Saya dulu ingin jadi dokter ahli bedah,” ungkapnya.
Budaya minum teh cara Timur, menurut Suwarni, mulai bergeliat lagi setelah sekian lama tergerus oleh minuman anggur dan kopi yang dikembangkan dunia Barat. Agar budaya minum teh tetap dikenal anak muda, tahun 1995 Suwarni membuka kedai teh Siang Ming Tea yang kini memiliki beberapa outlet di Jakarta.
Kesabaran
Siang itu (24/5/2010), Suwarni menyambut kami dengan baju kimono. Ia ingin menunjukkan bagaimana mempersiapkan upacara perjamuan minum teh Jepang. Kimono yang ia pakai adalah kimono musim dingin berwarna peach yang umurnya sudah 61 tahun, lebih tua dari usianya.
Kain obi sepanjang empat meter melilit pinggangnya yang ramping. Rambut panjangnya yang biasa tergerai kali ini digelung ke atas, memperlihatkan bulu-bulu halus di tengkuknya yang putih. Ia sudah siap memperagakan chado.
Suwarni naik ke atas lantai “panggung”, berjalan dengan langkah kecil lalu berlutut sebelum duduk bersimpuh di depan ketel panas. Sambil tetap menjaga posisi tubuhnya selalu tegak, ia mulai melipat sapu tangan, mengelap mangkuk teh, cawan kecil tempat bubuk teh disimpan.
Pada saat “ber-chado” itulah Suwarni memperlihatkan bentuk pengendalian diri yang kuat. Setiap gerakannya ia perhitungkan dengan matang.
Ketika memegang cawan, misalnya, posisi jari kelingking tidak boleh terbuka. Pada saat membungkuk untuk menghormat kepada tamu, posisi leher harus lurus dengan badan dan masih banyak lagi.
“Gerakan-gerakan semacam ini membutuhkan latihan dengan kedisiplinan tinggi dan pengendalian diri yang kuat,” tutur Suwarni yang kini menjadi Sekretaris Urasenke Tankokai Indonesia Association (UTIA). Urasenke adalah salah satu aliran upacara minum teh yang cukup terkenal di Jepang. Suwarni belajar chado dari Kuniko Pohan, orang Jepang yang tinggal di Jakarta, pada tahun 1988.
Selain mengajarkan teh Jepang dan China, Suwarni juga memberikan pengetahuan tentang teh Indonesia. Ia, misalnya, beberapa kali bersama muridnya mengunjungi perkebunan teh di beberapa daerah di Jawa Barat. “Kualitas teh Indonesia bagus tetapi kurang dalam kemasannya,” kata ibu tiga anak ini.
Selain mengajar tentang chado di beberapa perguruan tinggi, privat, hotel berbintang, dan instansi perkantoran, Suwarni juga bolak balik terbang ke China dan Jepang. Di China dia memilih sendiri daun teh yang akan disajikan di kedai tehnya, sedangkan di Jepang dia menjadi duta yang menyebarkan pengetahuan tehnya pada komunitas teh di Jepang.
Lutut memar
“Untuk menjadi seorang ahli dibutuhkan pengorbanan,” kata Suwarni tentang kecintaannya pada teh. Kedua lututnya yang memar membuktikan pengorbanannya itu.
“Ini karena keseringan duduk di tatami,” ujar Suwarni sambil menunjuk kedua lututnya yang memar. Upacara minum teh biasanya memakan waktu hingga empat jam dan seorang teishu diharuskan duduk bertimpuh sampai upacara selesai.
Untuk memahami karakter berbagai jenis teh, sejak kecil Suwarni sudah minum bermacam-macam teh, mulai dari teh China, teh Jepang, teh dari Sri Lanka, hingga teh campuran yang dikembangkan orang Eropa.
Sambil terus mengobrol, Suwarni menyajikan teh asli Indonesia atau dikenal dengan teh merah yang dicampur dengan tiga helai daun pepermin. Sebelum teh diseduh, Suwarni beberapa kali memegang ketel tempat merebus air yang masih berada di atas tungku. Dengan tangan “telanjang”, ia memastikan suhu di dalam ketel sudah pas untuk menyeduh teh merah.
Pada lain kesempatan, Suwarni juga memegang “perut” ketel dengan tangan untuk memastikan suhu air sudah pas untuk menyeduh teh oolong atau phu erl. “Suhu air untuk menyeduh teh berbeda-beda, tergantung jenis tehnya. Teh oolong atau phu erl hanya bagus diseduh dengan suhu sekitar 80 derajat celsius,” kata Suwarni.
Untuk mengecek suhu air, Suwarni hanya mengandalkan perasaan. Dan baginya, alat ukur yang paling akurat adalah telapak tangan. Ketika kami berpamit pulang dan berjabat tangan, terasa guratan-guratan kasar di telapak tangan Suwarni. Mungkin guratan itu disebabkan ia terlalu sering memegang ketel panas. Namun, Suwarni tetap menawan….
***
Menginap di Kebun Teh
Lahir sebagai anak pertama dari orangtua yang berprofesi sebagai pengusaha, sejak kecil Suwarni sudah dididik untuk hidup mandiri dengan merantau ke negeri orang. Bersama adiknya, Suwarni yang ketika itu masih berumur sepuluh tahun bersekolah di Malaysia, sementara orangtua mereka tinggal di Medan.
“Di Malaysia saya hanya tinggal dengan pengasuh,” kata Suwarni.
Dari pengasuhnya inilah Suwarni berkenalan dengan teh. Dulu setiap kali pulang sekolah, Allan, pengasuh Suwarni yang beretnis China, sudah menunggu di rumah untuk mengajak Suwarni minum teh. “Dia mengajak saya minum teh untuk menghilangkan lelah,” kenang Suwarni.
Pengasuh ini selalu menyeduh teh dalam poci kecil. Poci itu ukurannya hanya berdiamater sekitar lima sentimeter. “Saya senang lihat pocinya yang imut (mungil). Sejak itu saya menjadi ingin tahu seluk-beluk teh,” ucap Suwarni.
Rasa ingin tahu membuat Suwarni kecil memilih tinggal di kebun teh setiap kali ia dan keluarganya berlibur ke Taiwan. Padahal, ia sangat takut dengan cacing dan ulat. “Sampai sekarang saya bisa loncat kalau melihat cacing atau ulat ha-ha-ha,” katanya. Selain di Taiwan, ia juga belajar tentang teh ke China.
Untuk menekuni teh, Suwarni tinggal di rumah para petani yang menginap di areal perkebunan. Sejak matahari terbit, ia sudah harus bangun untuk ikut menanam teh, memetik daun teh, mengukur intensitas cahaya matahari yang akan memengaruhi kualitas daun teh, dan lain-lain.
Malam harinya, ia pergi ke tempat pemrosesan daun teh yang lokasinya berbeda dengan areal penanaman. Di situ Suwarni ikut bekerja memproses daun-daun teh. “Saya harus bangun tengah malam untuk menggoreng daun-daun teh sampai pagi hari,” tuturnya.
Sampai kini Suwarni masih terus bepergian ke kebun-kebun teh di pelosok China dan Taiwan. Selain belajar tentang varietas teh yang baru dikembangkan, ia juga memilih sendiri daun teh berkualitas yang akan dijual di kedainya, Siang Ming Tea.
Setiap kali terjun ke kebun, Suwarni sudah siap dengan sepatu boot dan alat penjepit untuk menyingkirkan cacing atau ulat. Namun, tetap saja, ia tidak berani menyingkirkan dua makhluk yang suka menggeliat itu. Katanya, baru mendekat saja sudah gemetaran. Hiiiii…. e-ti
Sumber: Kompas, Minggu, 30 Mei 2010 | Lusiana Indriasari