Membuat Gambang yang Fleksibel

Ade Suarsa
 
0
290
Ade Suarsa
Ade Suarsa | Tokoh.ID

[WIKI-TOKOH] Ade Suarsa bisa dikatakan masih menjadi satu-satunya dalang di Kota Bogor, Jawa Barat, yang punya latar belakang pendidikan formal. Dia tak hanya menjadikan pendidikan formalnya sebagai bekal untuk mengajar bidang seni musik Sunda. Lewat pengetahuan dan pengalamannya selama ini, ia juga membuat inovasi dengan menciptakan gambang katung. 

Meskipun Ade Suarsa adalah anak kandung dalang Sutisna, salah seorang dalang wayang golek terkenal di Kota Bogor yang meninggal tahun 1998, pengetahuan mendalang tak hanya diperolehnya dari sang ayah. Selama ini, biasanya seorang dalang wayang golek di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor berguru kepada dalang senior atau belajar secara otodidak.

Ade memilih mendalami seni mendalang lewat pendidikan formal. Dia lulus dari Sekolah Menengah Kerawitan Indonesia (SMKI) Jurusan Pedalangan. Ia meraih gelar sarjana bidang kerawitan pada Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Bandung, Jabar, tahun 1998.

Awal tahun ini Ade juga melakukan inovasi, dengan membuat gambang katung atau karawitan awi tutung (dalam bahasa Sunda berarti bambu hangus). Gambang buatannya berbahan baku bambu yang berwarna coklat tua kehitam-hitaman, seperti hangus terbakar.

“Dari segi penampilan, gambang katung jelas berbeda dari gambang biasa. Selain itu, gambang katung bisa ditempatkan di mana saja, selain juga bisa dimainkan di atas panggung maupun lesehan. Gambang katung juga relatif mudah dipasang dan dibongkar. Ini penting untuk mengatasi kesulitan manakala kita hendak menggarap sebuah aransemen musik yang personelnya terbatas,” tuturnya.

Gambang katung bisa dikatakan sebagai karya baru alat musik yang terbuat dari bambu. Selama ini orang mengenal angklung dan calung sebagai alat musik berbahan baku bambu. Inovasi yang dilakukan Ade, selain pada penampilan alat musik itu, juga pada teknik menabuhnya.

“Kalau angklung yang digantung itu kelemahannya, kan, tidak bisa cepat untuk memainkan melodi. Tetapi, dengan adanya kencrong-kecrek yang terdiri dari angklung, kecrek, kosrek, dan kentungan—semua itu dalam satu kesatuan unit gambang katung—kita bisa memainkan melodi dengan cepat,” katanya.

Di samping itu, tambah Ade, akurasi kecepatan nada untuk membuat melodi dan ritmis apa pun bisa terkejar. “Kalau pada alat musik angklung konvensional, hal ini tidak bisa dilakukan,” ujarnya.

Selain sudah dipentaskan dalam berbagai kesempatan di Kota Bogor, gambang katung buatan Ade juga dibawa rombongan Pemerintah Kota Bogor pada acara malam kesenian Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Kota Se-Indonesia (Apeksi), akhir Juni lalu, di Pekanbaru, Riau. Beberapa sekolah di Bogor, seperti SMA Budi Mulia dan SD Polisi 1, pun telah memesan gambang katung yang berharga Rp 7 juta ini.

Tanah kelahiran

Advertisement

Selepas belajar di STSI Bandung, Ade memilih kembali ke tanah kelahirannya di Desa Sindangsari, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor, meskipun, menurut dia, peluang untuk menjadi dosen, guru kesenian, dan pegawai negeri sipil di Bandung relatif cukup besar dan menjanjikan.

“Saya merasa punya beban moral. Bogor itu tempat kelahiran saya. Di sini juga ada keluarga yang pasti merana ketika ranah kesenian itu tidak kita garap dengan sentuhan ilmiah, sementara kita punya kemampuan untuk itu,” kata Ade, yang saudara-saudaranya pun aktif di bidang kesenian.

Ade bercerita, ketika kembali ke Bogor, dia harus beradaptasi lebih dulu dengan para seniman setempat. Dia ingin menunjukkan bahwa seniman otodidak dan seniman berpendidikan formal itu sebenarnya bisa menyatu. Bahkan, kombinasi antara pengetahuan formal yang diperolehnya di bangku sekolah dan dari seniman lokal itu justru memberi kekuatan pada dirinya.

“Saya sendiri merasakan, hasil dari kerja sama dan penyatuan itu sangat luar biasa. Saya seperti mendapat kekuatan yang tangguh,” kata Ade, anak keenam dari tujuh bersaudara yang melanjutkan profesi ayahnya sebagai dalang itu.

“Ini karena saya belajar pedalangan di sekolah maupun di rumah. Saya jadi mengetahui karakter wayang secara utuh. Kemudian saya implementasikan sehingga bisa berjalan seiring dengan para dalang senior,” ujar Ade yang mempersunting Diyani, temannya saat belajar di SMKI, dan kini menjadi pesinden.

Menjadi guru

Selain beradaptasi di lapangan sebagai dalang wayang golek profesional, Ade juga mengajar sebagai guru honorer di berbagai sekolah di Bogor. Namun, sejak tahun 2000, dia memilih menjadi guru tetap bidang seni musik Sunda di SMA Budi Mulia, Bogor. “Di sini pelajaran seni musik Sunda itu dimasukkan dalam pelajaran sekolah. Sepanjang pengetahuan saya, di Jawa Barat hanya SMA Budi Mulia yang melakukannya.

Keberadaan Ade sebagai guru Seni Musik Sunda di sekolah itu membuahkan hasil. Sekolah Budi Mulia dari tingkat SD sampai SMA menjadi juara rampak sekar dan degung klasik pada Pekan Seni Pelajar Se-Kota Bogor tahun 2004.

Tak hanya mengajar di sekolah formal, Ade juga menyempatkan diri menjadi pendidik sekaligus pengasuh di Sanggar Seni Etnika Daya Sora. Dia juga mendirikan Bengkel Produksi, yang khusus membuat gambang katung.

“Bengkel Produksi kami buka (tahun 2008) sebagai kegiatan pemberdayaan masyarakat dan konservasi kesenian,” katanya.

Anggota yang aktif di Sanggar Seni Etnika Daya Sora sekitar 20 orang, sedangkan di Bengkel Produksi terlibat sekitar 15 orang yang rata-rata berusia muda. Ade menyadari, sebagian masyarakat justru menilai kesenian tradisional itu “jadul”. Oleh karena itulah, dia ingin mengembalikan rasa keindahan pada kesenian tradisional.

Setiap mendalang, setidaknya sekali dalam sebulan, Ade dibantu timnya yang beranggotakan 20 orang, termasuk pesinden dan penabuh gamelan. Tarifnya Rp 7 juta hingga Rp 9 juta, kadang pertunjukannya dilengkapi tarian Lodong Bogoran.

Adapun pertunjukan gambang katung, tambahnya, masih dalam tahap sosialisasi. Dengan sekitar 10 personel, tarifnya Rp 4 juta hingga Rp 5 juta.

“Obsesi saya adalah mengubah paradigma sebagian masyarakat yang menganggap kesenian tradisional itu adalah masa lalu. Inilah tugas kita untuk mengemas seni tradisional agar disukai generasi muda, para remaja,” kata Ade, yang berharap bisa membesarkan sanggar, setidaknya seperti Saung Angklung Mang Udjo di Bandung. e-ti

Sumber: Kompas, Selasa, 18 Agustus 2009 denga judul “Ade, Membuat Gambang yang Fleksibel” | FX Puniman

Data Singkat
Ade Suarsa, Dalang, penata musik, pendidik / Membuat Gambang yang Fleksibel | Wiki-tokoh | pendidik, dalang, penata musik

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini