Profesional IT Praktisi Pendidikan
Claudia Ingkiriwang
[WIKI-TOKOH] Ia adalah seorang profesional IT (Information Teknologi) yang mencintai pendidikan. Di tengah kesibukannya sebagai Direktur Operasional Trans Studio Indonesia Transcorp salah satu anak usaha Grup Para, wanita enerjik dan kreatif kelahiran Surabaya, Jawa Timur, 6 Agustus 1970 ini juga mememiliki kepedulian terhadap dunia pendidikan, khususnya anak-anak.
Berburu untuk belajar ke luar negeri bagi siapa saja di negeri ini adalah sebuah impian. Berharap dengan mengantongi ijazah dari luar negeri akan memuluskan perjalanan kelak untuk meniti karir di dunia kerja yang lebih baik. Namun hal itu tidak berlaku bagi Claudia Ingkriwang, mengenyam pendidikan di Indonesia bukanlah sesuatu yang buruk untuk dijalani. Sebagai sarjana teknologi informatika lulusan dalam negeri, ia berhasil menempati beberapa posisi sebagai pemimpin dalam perusahaan di Tanah Air.
Ia sendiri mengawali karir sebagai programmer dan karirnya terus menanjak. Ia pernah menjadi eksekutif PT Asuransi Jiwa Mega Life, Direktur Operasional & Teknologi Mega Life di perusahaan milik Grup Para dan Grup Sinar Mas. Di perusahaan Grup Para ini karirnya terus berlanjut hingga dipercaya sebagai Direktur Operasional Trans Studio Indonesia pada Transcorp, sebuah stasiun televisi yang memiliki obsesi membangun Trans Studio sebagai Theme Indoor Park terbesar di dunia, sebanyak 19 cabang di berbagai wilayah di Indonesia.
Kendati memiliki segudang kesibukan namun perhatian Claudia terhadap terhadap dunia pendidikan tidak lekang. Kecintaannya terhadap dunia pendidikan telah menghantarkan Claudia turut berperan menjadi pendidik. Apalagi sejak lama ia memang memiliki keinginan untuk membangun sekolah bagi anak-anak.
Menurut Ibu dari Myron dan Myrna ini, Indonesia banyak memiliki orang-orang yang pintar. Namun kepintaran tersebut belumlah cukup jika pengetahuan tersebut tidak mampu di tranformasikan menjadi sebuah kebijaksanaan. Menurutnya, seseorang tidak hanya perlu sekedar menguasai pengetahuan, tapi tahu mengaplikasikan pengetahuan yang dikuasai.
Pada akhirnya mimpin mantan Direktur PT Mega Life ini akhirnya menjadi kenyataan. Keinginannya untuk mendirikan sekolah berawal pengalamannya sewaktu mendaftarkan anaknya ke sekolah yang harus menunggu lama, selain itu juga tidak menemukan sekolah yang sesuai untuk buah hatinya. Pada saat itu terbersit dalam pikirannya menjadi pelaku dalam dunia pendidikan. Akhirnya mimpi untuk mendirikan sekolah itu terwujud. Pada tahun 1998 bersama dua orang temannya ia membuka sekolah play group Gracia di Lippo Karawaci Tangerang. Lambat laun, play group Gracia mulai menuai kesuksesan terus berkembang ke tingkat yang lebih tinggi lagi yakni sekolah dasar.
Setelah mendirikan sekolah tersebut ia memiliki cita-cita, menciptakan anak-anak didiknya sebagai anak yang tidak saja menguasai ilmu pengetahuan, namun juga mampu menerapkan ilmu yang didapatkan agar menjadi ‘wisdom’. Wisdom sendiri merupakan metode pengajaran berupa transformational learning. Apalagi menurut Ibu dari Myron dan Myrna ini, Indonesia banyak memiliki orang-orang yang pintar. Namun kepintaran tersebut belumlah cukup jika pengetahuan tersebut tidak mampu di tranformasikan menjadi sebuah kebijaksanaan. Menurutnya, seseorang tidak hanya sekadar perlu menguasai pengetahuan, tapi tahu mengaplikasikan pengetahuan yang dikuasai.
Keberhasilannya membangun play group Gracia, tidak membuat wanita berkulit putih ini berhenti begitu saja dari dunia pendidikan anak. Claudia justru semakin bersemangat untuk membangun sekolah lagi. Pada tahun 2002, Claudia kembali mendirikan play group yang bernama Step One dan taman kanak-kanak yang dinamakannya One, Two, Three (123) yang ternyata banyak diminati para orangtua. Bahkan beberapa cabang lagi dibuka di Jakarta dan Tangerang.
Kemudian setelah itu pada 2005, sarjana IT jebolan Universitas Bina Nusantara Jakarta FakultasTeknik Informatika ini mendirikan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama Surya Bangsa. Sekolah yang dirintisnya ini terus berkembang dan berada di beberapa lokasi seperti Karawaci dan Ciledug, Tangerang, Banten. Begitu juga dengan play group Step One telah diwaralabakan ke pihak lain yang berada di Cengkareng, Bekasi, dan Bandung.
Pada dasarnya, sekolah-sekolah yang didirikan oleh Claudia itu adalah murni sekolah lokal, tidak ada campur tangan dari pihak internasional. Meskipun lokal, tetapi kurikulum yang dipergunakan sangat bersaing dengan kurikulum sekolah internasional dengan mengusung konsep membangun jiwa kepemimpinan anak sejak dini. Demikian pula dengan bahasa pengantar sehari-hari yang digunakan adalah bahasa inggris dan bahasa asing sebagai tambahannya. Sekolah-sekolah yang Claudia miliki ini memakai metode active learning dengan kelas kecil yang didalamnya hanya terdapat 15 hingga 20 siswa.
Claudia sangat bangga dengan sekolah-sekolah yang ia dirikan hingga saat ini. Ia mengakui bahwa ia sangat mencintai pendidikan lokal karena sejak pertama kali ia sekolah hingga mengenyam pendidikan di bangku kuliah semua dijalaninya di Indonesia. Claudia sempat menyesali ketika mendengar banyak orang yang merasa malu bersekolah di negeri sendiri, sementara lulusan luar negeri bisa lebih percaya diri dan diandalkan. Hal ini menjadikan orang Indonesia berbondong-bondong pergi ke luar negeri untuk bersekolah. Padahal dari segi technical skill lulusan dari luar negeri sama saja dengan lulusan dalam negeri. Peristiwa itulah yang akhirnya membawa Claudia pada satu pemikiran untuk membangun sekolah lokal namun bisa bersaing dengan sekolah internasional.
Sebagai keseriusannya mendalami bidang pendidikan anak ini, pada awalnya Claudia tidak ingin tanggung-tanggung. Claudia mengajak tiga penasehat pakar pendidikan. Dua di antaranya adalah rektor dari perguruan tinggi terkenal untuk membantu menyusun kurikulum sekolah. Ia juga selektif dalam memilih kepala sekolah dan guru-guru yang berasal dari Fakultas Ilmu Pendidikan, Sastra Inggris, dan Psikologi.
Agar dapat memantau kegiatan para guru dan kepala sekolah, Claudia memberikan jadwal khusus di hari Sabtu dengan maksud bisa mengetahui berbagai hal mulai dari metode pengajaran, hingga permasalahan yang dialami oleh semua murid. Bahkan, tanpa segan Claudia turun langsung memberikan pelajaran tambahan gratis bagi mereka yang membutuhkan tambahan waktu belajar untuk anak didik dengan kebutuhan khusus, seperti anak didik yang menderita autis atau anak yang hiperaktif.
Untuk bisa masuk di sekolah Surya Bangsa, sekolah ini tidak memberikan syarat nilai tes tertentu agar bisa diterima. Adanya sekolah yang menyediakan tes bagi anak-anak yang hendak masuk ke jenjang sekolah dengan meloloskan anak yang mendapatkan nilai akademis yang tinggi, bukanlah suatu hal yang mutlak bagi Claudia.
Menurutnya, kalau ada murid yang sudah pandai dari awalnya, maka tidak akan susah untuk mengajarinya. Yang menjadi permasalahannya justru datang dari guru itu sendiri. Setiap guru ditantang agar mampu mendidik anak-anak dengan berbagai macam bakat dan kemampuan sehingga bisa mendapat hasil sesuai dengan standar kelulusan yang diinginkan.
Sejauh ini, meski Claudia menjabat sebagai Profesional di salah satu Theme park di Indonesia Transcorp dan sering bepergian ke luar daerah, ia masih sempat membagi perhatian ke sekolah yang dirintis Claudia yang juga pernah berbisnis properti ini.Hal ini ia lakukan agar orang lain bisa belajar dari ketekunannya yang berhasil membuatnya berada dipuncak pimpinan perusahaan saat mengenyam usia muda.
Sejak kecil daya kreativitas, ketekunan, keuletan Claudia memang sudah terasah. Di saat kondisi ekonomi keluarga sedang tidak baik. Untuk membantu keluarga, Claudia yang saat itu masih duduk di sekolah dasar ikut membantu menjual es lilin dan kue buatan sendiri bersama dua kakak perempuannya. Mereka menitipkan es lilin dan kue ke setiap warung-warung yang ada.
Meskipun demikian, Claudia tidak menelantarkan pendidikannya. Apalagi orangtunya juga sangat mencintai pendidikan sehingga selalu ada untuk mendorongnya untuk mengutamakan pendidikannya. Karena bagi orangtua Claudia, pendidikan harus lebih diutamakan. Demi mengutamakan pendidikan anak-anaknya, kedua orangtuanya sangat jarang memberikan anak-anak mereka baju. Claudia bisa mendapatkan baju baru dalam waktu dua tahun karena orangtuanya lebih suka memilih membelikan buku-buku bekas yang dipergunakan Claudia untuk sekolah.
Ketika menginjak sekolah menengah pertama, Claudia tidak lagi berjualan es lilin. Tapi ia memilih memberikan les tambahan bagi anak-anak sekolah dasar. Hingga suatu hari, ada seorang ibu yang menitipkan anaknya yang hiperaktif pada Claudia untuk diajari membaca. Disaat menjadi guru les anak Claudia dan kakaknya justru bisa mengendalikan si anak agar mau belajar dan akhirnya bisa lulus dengan nilai baik di sekolahnya.
Dari sana, nama Claudia dan dua saudara perempuannya mulai dikenal warga Cipinang Jakarta Timur tempat mereka tinggal. Orangtua semakin banyak yang mendatanginya untuk menitipkan anak-anak mereka, terutama anak-anak yang membutuhkan perhatian khusus agar mau belajar. Kegiatan tersebut terus dilakukannya hingga tamat sekolah menengah atas. Itulah awal Claudia jatuh cinta pada dunia pendidikan. Meski mencintai pendidikan saat kuliah ia tidak mengambil spesialisasi pendidikan karena ingin cepat mendapat pekerjaan. Hotsan | Bio TokohIndonesia.com