Kisah Islam Masuk Tanah Batak
Sisingamangaraja XIIKisah Islam Masuk Tanah Batak (4)
Teori Melayu
Teori Melayu penyebaran agama Islam kepada orang Batak terutama di pantai Timur Sumatera bagian Utara (Sumatera Timur), khususnya di kawasan dataran rendah (dusun) Tanah Karo dan Simalungun, terjadi melalui interaksi masyarakat Batak dengan masyarakat Melayu di daerah Langkat, Deli, Serdang dan Asahan yang sudah mulai menganut agama Islam sejak abad 13.
Orang Melayu telah melakukan kontak dengan dunia luar sejak lama, akibatnya, menurut S. Coolsma (1901) mereka terus-menerus berada di bawah pengaruh orang asing dan memiliki tingkat peradaban dan pembangunan tertentu. Sementara, tulis Coolsma, orang Batak, di sisi lain, lebih suka tinggal di pedalaman pegunungan, tidak mempertaruhkan nilai-nilai signifikan tradisinya dengan orang lain, dan memiliki kecenderungan untuk menutup diri dari dunia luar.
Karena itu, menurut Coolsma, orang Batak jauh kurang terpengaruh oleh pengaruh asing daripada orang-orang Melayu, meskipun mereka tidak dapat sepenuhnya menjaga diri dari pengaruh itu. Selama berabad-abad, orang-orang Islam Melayu dan orang-orang Batak hidup berdampingan. Walaupun orang Melayau melakukan berapa banyak upaya untuk memaksa orang Batak masuk Islam. Di kawasan ini suku bangsa Melayu dominanan beragama Islam, sehingga sering pula disebut masuk Melayu berarti masuk Islam dan masuk Islam berarti masuk Melayu.
Sementara, menurut tulisan dari beberapa pengamat sejarah Simalungun, Islam sudah masuk ke beberapa kerajaan Simalungun sejak abad ke-15, terutama melalui dukungan sultan Malaka, Sultan Mansyur Sjah sejak sekitar 1450 dan ekspansi kesultanan Aceh ke Simalungun sejak 1539 dalam rangka penyebaran Islam. Tetapi penyebaran yang lebih intensif baru sejak akhir abad 19 awal abad 20, ketika Raja Siantar masuk Islam tahun 1901.
Pada mulanya daratan pantai Timur Sumatera bagian Utara (Sumatera Timur) dihuni dan dikuasai suku bangsa Batak, hal ini terkonfirmasi saat kejayaan kerajaan-kerajaan Batak di kawasan itu (1300-1600-an) yakni Kerajaan Nakur (Groeneveldt 1870), Kerajaan Aru (Tome Pires 1512-1515 dan Duarte Barbosa 1518) dan Kerajaan Tamiang (Tomé Pires 1512 dan Fernão Mendes Pinto 1569), jauh sebelum kesultanan Deli, Serdang dan Langkat berdiri (1632).
Namun ketiga kerajaan Batak tersebut juga menggambarkan bahwa orang Melayu (Islam) dan bahasa Melayu sudah dominan di tempat tersebut. Sebagaimana diceritakan Mendes Pinto tentang Raja Batak yang juga digelari Raja Timur Raya (Tamiang) saat mengirim surat kepada Pero de Faria sebagai kapten benteng Portugis di Malaka dalam bahasa Melayu, untuk menghadapi kesultanan Aceh yang memintanya masuk Islam, tapi Raja Batak tersebut menolak sehingga terjadi pertikaian atau perang.
Demikian pula kerajaan Nakur (Nagur, 1300-an) sebagaimana dideskripsikan Groeneveldt walau hanyalah sebuah kawasan kecil di pantai Timur berpenduduk 1000 jiwa, tapi mampu mengalahkan raja kerajaan besar yang menunjukkan bahwa Kerajaan Nakur adalah wujud maju dari Batak, sebuah suku yang sangat penting yang menghuni daratan pedalaman membentang sampai ke laut di pesisir Barat serta memelihara ternak babi, (Groeneveldt, W.P. 1870: h. 96-97) menunjukkan kerajaan Nakur tidak beragama Islam di tengah-tengah suku Melayu yang telah beragama Islam.
Namun Kerajaan Aru atau Haru (Batak Kingdom), apakah berpusat di wilayah Deli (Winstedt), atau di muara Sungai Panai atau di dekat Belawan (Gilles), atau di muara Sungai Wampu, maupun sungai Barumun (Groeneveldt), baik dipimpin raja Batak dari Angkola-Mandailing maupun raja Batak dari Tanah Karo, digambarkan pernah dipimpin seorang raja Batak yang muslim.
Selain itu, salah satu ikon bagaimana eksistensi suku bangsa Batak di Medan (Sumatera Tiumur) adalah Guru Patimpus Sembiring Meliala/Sinambela yang diyakini dan ditetapkan sebagai pendiri kota Medan pada 1 Juli 1590.
John Anderson dalam bukunya (1826) menyebut penghuni utama tempat ini (Kampung Sunggal) adalah Battas (Batak), mereka tidak memiliki agama sama sekali dan sangat sedikit yang mau masuk Islam. Juga dikutip Daniel Perret (1995) dengan menyebut sebagai contoh, Kampung Sunggal yang oleh Anderson digolongkan sebagai kampung ‘Batak’, namun sudah menjadi kampung ‘Melayu’ lima puluh tahun kemudian. [Mr 542/1872; lihat juga Brau de Saint Pol Lias, 1884, h.358]. (Groeneveldt, W.P. 1870: h. 94-95)
Kemudian Sumatera Timur sempat dikuasai Kerajaan Aceh dan Kesultanan Siak. Lalu penjajah Belanda mengubah peta kekuasaan di wilayah itu. Pada 1 Februari 1858, Sultan Siak Tengku Ismail mengakui kekuasaan kolonial Belanda. Kemudian (1860), kekuasaan Tengku Ismail melebar kembali sampai kesultanan Langkat, Deli dan Serdang yang sejak 1854 telah dikuasai Aceh. Saat itu kesultanan Langkat mendekati Siak dengan harapan akan memperoleh dukungan Belanda untuk melepaskan diri dari kekuasaan Aceh.
Lalu Kesultanan Deli, Serdang dan Langkat pun mengakui kekuasaan Belanda. Setelah itu, pada tahun 1861, Kesultanan Deli secara resmi ditetapkan Belanda merdeka dari Siak maupun Aceh, agar Sultan Deli bebas untuk memberikan hak-hak penguasaan lahan kepada Belanda maupun perusahaan-perusahaan asing. Kolaborasi dengan perusahaan Barat dan pemerintahan kolonial Hindia Belanda mengangkat pengaruh Kesultanan Deli. Saat itu pusat Kesultanan Deli dipindahkan dari Labuhan Deli ke kota Medan dimana Istana Maimun dan Masjid Al-Mashun (yang kemudian dikenal sebagai Masjid Raya Medan), mulai dibangun 26 Agustus 1888 dan selesai 18 Mei 1891.
Sementara di dataran tinggi Tanah Batak, Si Singamangaraja memilih menyatakan perang dengan Belanda (1878-1907) dan menolak tunduk sebagai Sultan Batak. Dalam rangka politik devide et impera Belanda pun memosisikan orang Batak sebagai kanibal, kasar dan tak beradab. Tanah pemukiman Batak pun dipecah tiga (sejak tahun 1837) yakni: 1) Wilayah Tanah Karo dan Simalungun dipisah menjadi masuk wilayah Gouvernement van Sumatra’s Oostkust (Gubernur Sumatera bagian Timur) berpusat di Medan; 2) Daerah yang direbut Belanda dari Kaum Padri dan Kaum Adat di Tapanuli Selatan (Angkola dan Mandailing) dan pesisir Sibolga, Barus dan Singkil, menjadi Residentie Tapanoeli en Onderhoorigheden, berkedudukan di Sibolga, di bawah pemerintahan Gubernur Sumatra Bagian Barat (Gouvernement van Sumatra’s Westkust) yang berkedudukan di Padang; 3) Daerah Tapanuli lainnya, Silindung, Humbang, Toba, Samosir dan Pakpak-Dairi (Pusat Tanah Batak) yang masih merdeka dan disebut Belanda sebagai De Onafhankelijke Batak-landen (Tanah Batak merdeka), yang oleh Junghuhn dideskripsikan sebagai wilayah yang dihuni oleh orang Batak tulen (door echte Bataks bewoond).
Begitu pula di daerah Asahan dan Labuhan Batu. Contoh paling menonjol adalah proses Islamisasi (Melayunisasi) orang Batak Toba yang bermukim di Asahan, pada masa Kesultanan Melayu Asahan yang berpusat di Tanjungbalai. Sebagaimana diuraikan Mailin mengutip petikan wawancaranya dengan Raja Chairil Anwar (Raja Atan, Ketua Forum Komunikasi Keluarga Besar Kesultanan Tanjungbalai Asahan), 6 April 2015, bahwa pada masa kesultanan itu, setiap orang yang ingin tinggal menetap dan memiliki tempat tinggal (tanah dan rumah) di kota Tanjungbalai harus masuk Melayu dan bermakna pula menjadi Muslim. Akhirnya mereka (orang Batak) harus meninggalkan adat budaya asalnya, kemudian memakai adat budaya Melayu dan masuk Islam. Mailin pun memperkuatnya dengan mengutip pendapat Judith Nagata tentang Melayu dan Islam, yakni “It is almost imposible to think of Malay without reference to Islam”. Hal mana suku bangsa Melayu mempunyai falsafah hidup bahwa Melayu itu Islam. Sehingga sering disebut memeluk agama Islam sama dengan masuk Melayu dan sebaliknya.
Gottfried Simon dalam The Progress and Arrest of Islam in Sumatra (1912) juga menyebut orang Batak masuk Islam berarti mereka meninggalkan kebangsaan mereka. Bahwa orang Batak Muslim tidak lagi menyebut diri mereka orang Batak tetapi orang Melayu dianggap sebagai hasil pertobatan yang menyedihkan tetapi tidak terhindarkan. Maka di tengah masyarakat Melayu-Batak terkenal sebuah pantun: Bukan kampak sembarang kampak/ Tapi kampak pembelah kayu/ Bukan batak sembarang batak/ Tapi batak sudah jadi melayu. Pantun tersebut dibalas dengan: Tidak masalah kampak membelah kayu/ Jadi masalah kalau kampak membelah rotan/ Tidak masalah batak menjadi melayu/ Jadi masalah kalau batak lupa daratan.