Miskin Fungsi Etis Narasi Asing Tentang Batak

Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy (7)

0
19
Miskin Fungsi Etis Narasi Asing Tentang Batak. Ilustrasi The Batak Institute - Meta AI
Lama Membaca: 4 menit

Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy (7)

Standar fungsi etis studi ilmiah, atau paling tidak, fungsi etis narasi, sangat miskin sebagai landasan narasi asing tentang orang Batak, sengaja atau tidak, sehingga terjadi pembunuhan karakter Batak. Dari 700-an buku asing tua dan kontemporer yang berisi tulisan tentang Batak, yang kita telusuri, hampir seluruhnya sengaja atau tidak sengaja, tendensius menyajikan atau menyisipkan narasi pembunuhan karakter Batak. Setelah membaca dan mengupas beberapa lapisannya, terlihat cerita dan narasi yang bau busuk yang merupakan disinformasi, misleading content dan kebohongan, yang sangat kejam tanpa keraguan moral. Tentu, terlalu panjang bila satu persatu dikemukakan dalam pendahuluan ini; Tapi kita menyajikan dalam rangkaian seluruh isi buku ini sesuai konteksnya.

Termasuk, orang Batak dipandang tidak tahu siapa dirinya; Penamaan Batak pun disebut pemberian orang asing, juga penamaan Tao Toba dan Tapanuli pun bukan oleh orang Batak tapi oleh orang asing. Suku bangsa Batak pun digambarkan seolah-olah satu-satunya suku bangsa yang tidak tahu kepastian asal-usul leluhurnya; Padahal secara ilmiah tidak ada satu suku bangsa pun di dunia yang mengetahui secara pasti asal-usul leluhurnya. Secara ilmiah, banyak teori tentang hal ini, di antaranya teori evolusi Charles Darwin. Secara teologis (wahyu, genesis), atau teogoni (mitos, mitologi) juga muncul berbagai versi. Bahkan ada suku bangsa, tak terkecuali Eropa, yang tidak hanya tidak memiliki kepastian sejarah asal-usul leluhur tetapi juga tidak memiliki mitos penciptaan (mitologi) selengkap leluhur Batak.

Kebanyakan penulis tentang Batak, bukan bersumber dari asli Batak (Batak otentik), tetapi dari pinggiran, Batak Dalle  (Batak tersesat dan pengkhianat, tidak berintegritas Batak) dan tetangga bukan Batak (Aceh, Minangkabau dan Melayu),  para pembenci Batak dan pelancong asing serta kolonialis rasis dan narsis dan bahkan misionaris fundamentalis. Tetapi mereka menganggap hal itu kebenaran mutlak; Kebenaran narsis, di mana mereka sesungguhnya sedang menganggap kebenarannya itu dengan sangat berlebihan, yang juga memperlihatkan pemerkosaan kebenaran dalam dirinya sendiri. Sama busuknya dengan jaringan cendekiawan korup rahasia, Freemasonry korup.

Namun, dalam menelaah (kontempelasi) setiap tulisan tentang Batak, kita selalu lebih mengutamakan sisi positif yang diusung tulisan itu, baik yang disengaja maupun tidak disengaja penulisnya. Untuk itu, kita, Hita Batak, harus berterimakasih sebesar-besarnya kepada semua penulis tentang Batak. Sebab seburuk apa pun niat jahat setiap tulisan itu, pasti mempunyai nilai sejarah positif yang tidak ternilai harganya. Seperti, ketika Herodotus sejarawan Yunani (+ 484-425 sM), menyebut penduduk padaioi (pemakan manusia); Dilanjutkan pada tahun 150-160 M oleh Claudio Ptolomaeus, ilmuwan Mesir menyebut Barussie Anthropophagi (Barussie yang Kanibal) di Taprobana, yang keduanya dirujuk menggambarkan Batak; Justru sangat lebih bernilai sejarah positif tentang keberadaan suku bangsa Batak, sebagai penduduk pertama di Sumatera Utara, yang keberadaannya sudah ‘tercatat’ sejak 450 sM.

Namun, penelaahan kritis (kontemplasi) juga harus dilakukan, terutama dalam hal-hal negatif, dengan menggunakan pisau analisis nilai-nilai luhur kebatakan, untuk menempatkannya secara proporsional sesuai tata nilai kebatakan. Penelaahan kritis, bukan berarti berpikir negatif, melainkan berpikir positif, dengan hati sebagai pusat berpikir, untuk melihat dan meluruskan hal-hal negatif, baik secara obyektif maupun subjektif, atau kata lain, secara subjektif berkualitas; Sebab, tidak ada penulisan sejarah yang obyektif atau nihil subjektivitas. Dalam pandangan kita, objektivitas penulisan sejarah terletak pada kualitas subjektifnya.

Sebagai contoh, ketika sejarawan (penulis) asing menyebut Si Singamangaraja dan Pasukan Rakyat Batak militan sebagai gerombolan biadab ketika menentang penjajahan Belanda; Pastilah penulisan seperti ini sangat picisan, subjektivitas picisan. Alasan historis apa Belanda merasa berhak menyebut Si Singamangaraja dan para pejuang Batak sebagai gerombolan atau pemberontak di negeri leluhurnya sendiri? Hal seperti itu, sudah pasti ahistoris (berlawanan dengan sejarah), dan tidak bermoral cendekia, atau justru paling tidak beradab (subjektivitas picisan). Secara historis yang paling pantas disebut gerombolan biadab justru semestinya pihak penjajah (kolonialis).

Dunia binatang yang sama sekali tidak pernah berpikir tentang sejarah pun, (tetapi) tahu batas-batas wilayah habitatnya. Tentu, mestinya, binatang tidak lebih beradab (tahu batas wilayah habitatnya) daripada manusia. Di mata manusia (makhluk paling beradab), binatang itu tidak beradab, tidak tahu sejarah. Makanya, kalau ada manusia tidak beradab, diibaratkan binatang: Singa, harimau, buaya, anjing, monyet, babi dan sebagainya. Sehingga manusia perlu melakukan introspeksi dengan, antara lain, belajar dari ‘peradaban’ binatang, di antaranya tentang ‘tahu sejarah’ batas-batas habitatnya. Dalam konteks Batak, apakah Belanda ‘tahu sejarah batas-batas habitatnya?’ Tidak! Sama sekali tidak!

Bahkan sangat biadab apabila penyesatan informasi itu dilakukan secara sengaja dan terencana, seperti yang dilakukan oleh komunis Soviet untuk membunuh karakter Paus Pius XII dan gereja Katolik, yang berada di titik nadir kampanye kotor Soviet, dimulai di bawah Stalin dan Khrushchev. Sebagaimana diungkapkan Letnan Jenderal Ion Mihai Pacepa, mantan Kepala Intelijen Rumania dan Profesor Rychlak dalam Disinformation, serangan terhadap Paus Pius diluncurkan dengan siaran Radio Moskow 1945 yang pertama kali menggemakan label yang sangat tidak adil “Paus Hitler”. Soviet memahami bahwa Paus Pius XII adalah ancaman mematikan bagi ideologi mereka, membenci komunisme seperti halnya dia terhadap Nazisme. Dengan demikian mereka memulai perang salib yang tidak suci untuk menghancurkan Paus dan reputasinya, untuk membuat skandal umatnya, dan untuk menimbulkan perpecahan di antara agama-agama.[1]

Narasi disinformasi, narasi penyesatan dan kebohongan tanpa beban moral. Disinformasi adalah informasi palsu yang sengaja disebarkan untuk menipu. Kata bahasa Inggris disinformation dari kata bahasa Rusia dezinformatsiya, berasal dari nama sebuah departemen propaganda hitam KGB. Joseph Stalin menciptakan istilah itu, memberinya nama yang terdengar seperti bahasa Prancis untuk mengklaim itu berasal dari Barat. Penggunaan istilah ini oleh Rusia dimulai dengan “kantor disinformasi khusus” pada tahun 1923. Disinformasi didefinisikan dalam Great Soviet Encyclopedia – Ensiklopedia Soviet Besar (1952) sebagai “informasi palsu dengan maksud untuk menipu opini publik.”[2]

Narasi disinformasi juga dialami oleh Raja Imam Si Singamangaraja sebagai personifikasi nilai-nilai luhur Batak, sebagai personifikasi orang Batak, seperti dialami Paus Pius XII tersebut sebagai personifikasi gereja dan jemaat Katolik. Si Singamangaraja, disebut oleh penjajah dan misionaris, keturunan Minangkabau yang dinobatkan Sultan Aceh menjadi Raja Batak, seorang Muslim yang menjadi kafir Sipelebegu, pemakan daging manusia, melarikan istri orang, yang memusuhi misi Kristen dan ingin mengislamkan orang Batak.[3] Narasi sangat brutal dari mutual-simbiosis “Kolonisieren ist Missionieren” umkehren in “Missionieren ist Kolonisieren” (Kolonisasi adalah Misi” sebaliknya “Misi adalah Kolonisasi”.[4]

Advertisement

 

Sebelumnya || Bersambung

Penulis Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy

 

Footnotes:

[1] Pacepa, Ion Mihai, Lt. Gen. & Rychlak, Ronald J. Prof., 2013: Disinformation: Former Spy Chief Reveals Secret Strategies for Undermining Freedom, Attacking Religion, and Promoting Terrorism; Washington: WND Books, p. Foreword.

[2] Disinformation, 12/9/2020: https://en.wikipedia.org/wiki/Disinformation.

[3] Freudenberg, R., 1904: Onder de Bataks op West-Sumatra, Lichtstralen op den Akker der Wereld, II-III, Rotterdam: M. Bredée, b.48; Tobing, Tiurma L. Dra, 2008: Si Singamangaraja XII, Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Direktorat Nilai Sejarah, Jakarta: Razika Almira, h. 61 dan BRMG 1878, s. 116-115-118.

[4] Paczensky, Gert von, 1991 (2000): Verbrechen im Namen Christi Mission und Kolonialismus, München: Orbis Verlag. s.224.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments