Cegah Krisis Rezim

 
0
95
Cegah Krisis Rezim
Azyumardi Azra | TokohIndonesia.com | WES

[OPINI] – Oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra | Ambang krisis yang dihadapi rezim Yudhoyono bisa meningkat menjadi krisis sepenuhnya jika masyarakat tetap tak melihat adanya tanda-tanda meyakinkan bagi perbaikan keadaan. Guna mencegah krisis sepenuhnya, presiden seyogianya mengambil kebijakan dan langkah drastis. Kepemimpinan nasional memerlukan keberanian dan ketegasan.

Tidak (lagi) mengagetkan. Isi berita utama Kompas (8/7/11) tentang “Instruksi Presiden Tak Jalan” sudah lama menjadi pengetahuan publik belaka. Telah lama masyarakat tahu sembari ngedumel, sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjalankan masa bakti kedua, pemerintahan tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Pernyataan Presiden Yudhoyono, kurang dari 50 persen instruksinya tidak dijalankan para menterinya, bahkan agaknya masih kurang. Dalam pandangan banyak warga, hampir di semua lini dan sektor pemerintahan Yudhoyono gagal menjalankan tugasnya dengan baik.

Memang birokrasi tetap berjalan—paling tidak dalam rutinitas sehari-hari—tetapi birokrasi tak identik dengan pemerintah. Birokrasi bisa berjalan tanpa pemerintah sekalipun, seperti terlihat dalam kasus Belgia yang gagal membentuk pemerintahan lebih dari setahun terakhir.

Indonesia memang tidak segawat Belgia; pemerintah masih ada, tetapi tidak mampu menjalankan pemerintahan secara efektif untuk kemajuan bangsa. Padahal, Indonesia menghadapi banyak masalah yang bertambah rumit sejak dari kemandekan akselerasi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, ketelantaran pembangunan infrastruktur, kegagalan pengurangan kemiskinan dan pengangguran yang kian merajalela, makin mewabahnya korupsi, peningkatan kelatenan konflik sosial, dan sebagainya.

Indonesia memang tidak segawat Belgia; pemerintah masih ada, tetapi tidak mampu menjalankan pemerintahan secara efektif untuk kemajuan bangsa. Padahal, Indonesia menghadapi banyak masalah yang bertambah rumit sejak dari kemandekan akselerasi pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, ketelantaran pembangunan infrastruktur, kegagalan pengurangan kemiskinan dan pengangguran yang kian merajalela, makin mewabahnya korupsi, peningkatan kelatenan konflik sosial, dan sebagainya.

Krisis Luar Dalam

Konfirmasi Presiden bahwa pemerintahnya tidak menjalankan banyak instruksinya memperkuat skeptisisme dan pesimisme publik umumnya terhadap pemerintah. Apalagi yang bisa diharapkan dari rezim ini, jika hampir setengah perjalanan periode pemerintahannya hampir tidak ada kemajuan signifikan dalam pembangunan dan kehidupan bangsa.

Padahal waktu efektif yang tersisa bagi rezim Yudhoyono kurang dari dua tahun karena pada 2013 kabinet, yang umumnya mewakili partai politik, bakal sibuk dengan persiapan dan pertarungan Pemilu 2014. Jadi, rezim Yudhoyono berpacu dengan waktu jika Presiden serius membuat “warisan” yang bakal dikenang warga bangsa sepanjang sejarah.

Jelas untuk meninggalkan warisan, Presiden Yudhoyono menghadapi tantangan sangat berat ke luar dan ke dalam. Bisa dikatakan, rezim ini dalam ambang krisis luar dalam. Ambang krisis keluar berkenaan dengan pemerintahnya yang hampir tak efektif sama sekali. Adapun krisis ke dalam, menyangkut krisis Partai Demokrat akibat “skandal Nazaruddin”, mantan bendahara umum partai, di mana Yudhoyono menjadi Ketua Dewan Pembina yang—semua orang tahu—pada dasarnya bisa “menghitamputihkan” Partai Demokrat secara keseluruhan.

Tetapi, lagi-lagi, Yudhoyono sejauh ini belum dapat menyelesaikan kasus Nazaruddin yang justru jadi buronan sambil terus mengungkap “keterlibatan” figur-figur Partai Demokrat tertentu dan lain-lain dalam skandalnya.

Sejauh ini belum terlihat tanda-tanda meyakinkan tentang bagaimana Yudhoyono akan menyelesaikan ambang krisis yang dihadapinya, baik ke luar maupun ke dalam tersebut. Jika ada “kebijakan” dan “langkah” ke arah mengatasi ambang krisis itu, pendekatannya hampir sepenuhnya normatif. Misalnya, ia “ingin penjelasan bagian mana dari instruksi-instruksi itu yang tak berjalan dan mana yang harus ditindaklanjuti. Jika tidak mencapai sasaran, meleset di mana dan mengapa. Saya khawatir sebagian dari kita (kabinet atau pemerintah) tak ingat ada instruksi”.

Advertisement

Jelas dari kalimat yang dimuat Kompas ini tak tersirat, apalagi tersurat, langkah terobosan dan tindakan drastis, misalnya mengganti mereka yang lupa dan mengabaikan instruksi itu. Hal sama terlihat jelas dalam respons dan kebijakannya dalam menghadapi skandal Nazaruddin yang sangat potensial menggandakan krisis internal Partai Demokrat, selain kasus Andi Nurpati, mantan anggota KPU yang kini menjadi salah satu ketua partai.

Secara normatif, Yudhoyono berulang kali menegaskan, tak ada tebang pilih dalam pemberantasan korupsi, termasuk Nazaruddin; dan sudah ada KPK yang bertugas memberantas korupsi; serta bahwa Polri harus mengejar dan menangkap Nazaruddin. Kelihatan pula di sini tak ada terobosan, misalnya, meminta KPK serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan membekukan aset-aset Nazaruddin dan sekaligus mengungkapkan berbagai aliran dana yang terduga haram.

Mencegah Krisis

Memimpin dan memerintah di tingkat apa pun—apalagi tingkat nasional negara-bangsa—tidak cukup dengan intelektualitas, kebaikan, dan prasangka baik (husn al-dzan). Juga tak cukup dengan instruksi-instruksi yang kemudian menjadi sekadar macan kertas belaka. Juga tidak memadai dengan membentuk berbagai badan, lembaga, satgas, utusan khusus dan semacamnya, yang justru kemudian justru menimbulkan kerancuan, tumpang tindih, dan bahkan kontestasi wewenang dengan kementerian dan lembaga yang lebih konstitusional.

Kepemimpinan nasional— apalagi di ambang krisis—memerlukan keberanian dan ketegasan untuk mengganti “sekrup” pemerintah yang gagal menunjukkan kinerjanya, apalagi dengan “melupakan” instruksi bosnya. Jika tidak, sang pemimpin puncak menciptakan kesan di mata publik bahwa kegagalan pemerintahnya bukan karena dia sendiri, melainkan karena anak buah yang tak menjalankan instruksi dan perintahnya. Apabila ini benar, sang pemimpin tengah berusaha mengalihkan tanggung jawab yang semestinya ia pikul ke pihak lain, yang ironisnya bawahannya.

Dengan kepemimpinan seperti itu, pemerintah Yudhoyono— yang meski berada di ambang krisis—mungkin saja bisa tetap tenang. Apalagi sejauh ini tidak terlihat gejolak dan keresahan sosial secara signifikan di permukaan kehidupan sosial-politik bangsa. Namun, dengan tidak terlihatnya kebijakan dan terobosan yang meyakinkan, gejolak itu tampaknya tinggal menunggu waktu. Ini terlihat dari terus meningkatnya suara kritis terhadap pemerintah Yudhoyono dari figur dan kelompok tokoh-tokoh masyarakat; dan juga dengan mulai bangkitnya kembali aktivisme mahasiswa, intra ataupun ekstrauniversiter.

Ambang krisis yang dihadapi rezim Yudhoyono bisa meningkat menjadi krisis sepenuhnya jika masyarakat tetap tak melihat adanya tanda-tanda meyakinkan bagi perbaikan keadaan. Sebelum semuanya menjadi “terlalu sedikit” dan “terlalu terlambat”, Presiden seyogianya mengambil kebijakan dan langkah drastis yang kemudian tidak hanya mungkin dapat menyelamatkan keadaan, tetapi boleh jadi juga menjadi semacam “warisan” bagi masa depan Indonesia yang lebih baik. Opini TokohIndonesia.com | rbh

© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA

Penulis Prof. Dr. Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah; mantan Rektor UIN Jakarta, Anggota Council on Faith, World Economic Forum, Davos. Pernah diterbitkan di Harian Kompas, Sabtu, 09 Juli 2011 di bawah judul: Ambang Krisis Rezim

Tokoh Terkait: Azyumardi Azra, Susilo Bambang Yudhoyono, | Kategori: Opini | Tags: Presiden, Kepemimpinan, Cendekiawan, UIN

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini