Kerawanan Ekonomi Neoliberal

 
0
80
Kerawanan Ekonomi Neoliberal
Sayidiman Suryohadiprojo | TokohIndonesia.com | DokPri

[OPINI] – Oleh Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo | Reformasi bukan mengurangi kesenjangan, malah sebaliknya. Selama kepemimpinan Presiden Yudhoyono, ekonomi Indonesia lebih diarahkan ke sistem ekonomi neoliberal sehingga kurang perhatian kepada perbaikan distribusi penghasilan. Kesenjangan lebar tak hanya berakibat pada ekonomi, tetapi juga pada kondisi psikologi bangsa. Maka, boleh dikatakan, kesenjangan adalah kerawanan besar.

Pada tutup tahun 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, pemerintahnya akan membangun ekonomi Indonesia sehingga dalam 4-5 tahun mendatang produk domestik bruto mencapai 1 triliun dollar AS atau sekitar Rp 9.000 triliun. Bandingkan dengan PDB sekarang, Rp 7.000 triliun. Kemajuan itu akan dicapai melalui penggunaan sistem ekonomi terbuka yang diuraikan sebagai sistem ekonomi yang mengutamakan peran pasar meski peran pemerintah tetap besar.

Pernyataan Presiden ditambah Menko Perekonomian Hatta Rajasa yang mengatakan bahwa pada 2025 PDB Indonesia akan mencapai 3,7 triliun dollar AS-4,7 triliun dollar AS dengan penghasilan per kapita 12.000 dollar AS-16.000 dollar AS. Pada 2013, pertumbuhan ekonomi mencapai 7-8 persen dan PDB menjadi 1 triliun dollar AS-1,2 triliun dollar AS pada 2014.

Hubungan Aneh

Semua pernyataan para pemimpin negara ini sangat menyenangkan dan menambah harapan terhadap masa depan bangsa. Namun, agak aneh bahwa tak dijelaskan hubungan ekonomi terbuka dengan sistem ekonomi yang ditetapkan dalam Pasal 33 UUD 1945.

Sudah terbukti dalam sejarah umat manusia, kemajuan bangsa—termasuk ekonomi—bergantung kepada kepemimpinan bangsa itu, khususnya tekad, kecakapan mengembangkan wawasan, keberanian menghadapi berbagai rintangan, serta keuletan, sehingga tercapai kemajuan.

Selain itu, sesuai dengan pengalaman kita di Indonesia, semua pernyataan itu masih harus dibuktikan dengan perbuatan nyata sebab kita sudah terbiasa dengan banyak pernyataan pemimpin yang hanya wacana belaka. Daya implementasi masih merupakan salah satu kelemahan berat di kalangan politikus yang memimpin negara.

Sudah terbukti dalam sejarah umat manusia, kemajuan bangsa—termasuk ekonomi—bergantung kepada kepemimpinan bangsa itu, khususnya tekad, kecakapan mengembangkan wawasan, keberanian menghadapi berbagai rintangan, serta keuletan, sehingga tercapai kemajuan.

Ada hal lain yang perlu menjadi perhatian kita. Dalam pernyataan Presiden dan Menko Perekonomian sama sekali tak disinggung bagaimana pertumbuhan itu memengaruhi distribusi kekayaan dalam masyarakat. Kita tahu bahwa sekarang masih sekitar 31 juta orang atau 13 persen jumlah penduduk hidup di bawah garis miskin, sesuai dengan informasi Badan Pusat Statistik. Selain itu, menurut informasi Puslit Ekonomi LIPI, 2 persen penduduk terkaya menguasai 46 persen aset nasional, sedangkan 98 persen penduduk menguasai 54 persen aset nasional. Itu berarti, kesenjangan kaya-miskin cukup lebar.

Menurut data dari berbagai pihak, reformasi bukan mengurangi kesenjangan itu, malah sebaliknya. Selama kepemimpinan Presiden Yudhoyono, ekonomi Indonesia lebih diarahkan ke sistem ekonomi neoliberal sehingga kurang perhatian kepada perbaikan distribusi penghasilan.

Bukan Jaminan

Pertumbuhan ekonomi yang kuat menuju 2013 dan kemudian 2025 dengan sistem ekonomi terbuka sama sekali bukan jaminan bahwa kesenjangan kaya-miskin di Indonesia akan berkurang banyak. AS saja, sebagai negara dengan ekonomi terbesar di dunia, mengalami problem dalam kesenjangan kaya-miskin itu. Di harian The New York Times edisi 2 Januari 2011 ada tulisan Nicholas D Kristof, “Equality, a True Soul Food”. Tulisan itu berhubungan dengan kondisi masyarakat AS dewasa ini yang, menurut Economic Policy Institute di Washington DC, sekarang mengalami pembagian kekayaan yang sangat tak wajar.

Menurut lembaga itu, 1 persen penduduk AS terkaya menguasai 34 persen aset nasional, sedangkan 90 persen penduduk termiskin menguasai 29 persen. Itu berarti, antara sekitar 2 juta orang terkaya dan 180 juta termiskin ada senjang amat lebar.

Advertisement

Hal itu dihubungkan dengan buku dua orang Inggris, Richard Wilkinson dan Kate Pickett, The Spirit Level: Why Greater Equality Makes Societies Stronger. Mereka mengatakan bahwa kesenjangan lebar mengakibatkan berbagai kelemahan masyarakat, seperti kriminalitas tinggi, penggunaan narkotika meningkat, bahkan tingkat tinggi dalam penyakit jantung dan kanker.

Kesenjangan lebar tak hanya berakibat pada ekonomi, tetapi juga amat besar dampaknya terhadap kondisi psikologi bangsa. Maka, boleh dikatakan bahwa “kesenjangan adalah kerawanan yang besar”. Hal ini juga berlaku bagi bangsa Indonesia.

Berhubungan dengan itu, kalau Presiden Yudhoyono serta para pembantunya memang serius hendak membuat bangsa dan negara Indonesia kuat dan sejahtera, hendaknya jangan hanya memerhatikan besarnya pertumbuhan, bagaimanapun spektakuler tampaknya dalam angka. Mayoritas rakyat Indonesia tetap menginginkan terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila di NKRI yang merdeka dan berdaulat.

Semoga para pemimpin bangsa benar-benar mengusahakan terwujudnya kesejahteraan yang adil dan makmur bagi seluruh bangsa serta masih setia kepada NKRI dan Pancasila. Apabila begitu, kondisi Indonesia pada 2025 benar-benar membawa sejahtera lahir batin bagi seluruh rakyat. Opini TokohIndonesia.com | rbh

© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA

Penulis: Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo, Mantan Gubernur Lemhannas. Pernah diterbitkan di Harian Kompas, Sabtu, 8 Januari 2011, berjudul Kesenjangan adalah Kerawanan.

Tokoh Terkait: Sayidiman Suryohadiprojo, Susilo Bambang Yudhoyono, | Kategori: Opini | Tags: Jenderal, Lemhannas, Neolib

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here