Saatnya Kebenaran Jadi Acuan

 
0
93
Saatnya Kebenaran Jadi Acuan
Benny Susetyo | TokohIndonesia.com | Rpr

[OPINI] – Oleh Benny Susetyo | Pernyataan tokoh agama lahir dari nurani yang jernih untuk membaca kondisi masyarakat mengalami penderitaan yang amat berat. Beban hidup yang begitu berat menciptakan kefrustrasian sosial. Hidup hanya sekedar menahan lapar.

Kesenjangan ekonomi yang begitu tajam menciptakan angka kemiskinan luar biasa. Beban hidup inilah membuat tokoh agama mencoba merumuskan isi hatinya. Mereka adalah orang selama ini tidak pernah terjebak pada kekuasaan. Mereka lama mencoba menahan jeritan umatnya, sampai saatnya mereka bersama membaca situasi dan kondisi yang terjadi. Mereka melihat akar masalahnya adalah tiada kejujuran antara kata dan perbuatan.

Inilah yang membuat bangsa ini terpuruk pada jurang kehancuran yang sempurna. Untuk mengatasinya dibutuhkan sebuah revolusi mental. Sudah saatnya kebenaran dijadikan pijakan hidup bersama bagi pemerintah, elite politik, serta tokoh agama. Kebenaran telah lama tidak dijadikan acuan dalam kebijakan publik.Inilah yang membuat bangsa ini mengalami kehancuran keadaban publik karena fungsi silang negara, pasar, dan warga negara tidak berjalan.

Ada kesan penguasa “berselingkuh” dengan kekuatan kapital hitam yang membuat pemerintah tersandera oleh kepentingan politik yang sempit. Cita-cita bersama untuk menata keadaban publik nyaris tak pernah menjadi kemauan dari penguasa dan elite politik serta partai politik.Politik berkembang hanya sekedar memenuhi hasrat kekuasaan. Kondisi tersebut membuat bangsa ini tak mampu menciptakan sebuah peradaban.Ada kesan penguasa “berselingkuh” dengan kekuatan kapital hitam yang membuat pemerintah tersandera oleh kepentingan politik yang sempit. Cita-cita bersama untuk menata keadaban publik nyaris tak pernah menjadi kemauan dari penguasa dan elite politik serta partai politik.Politik berkembang hanya sekedar memenuhi hasrat kekuasaan. Kondisi tersebut membuat bangsa ini tak mampu menciptakan sebuah peradaban.

Cermin Kejujuran

Inilah saat becermin untuk menatap masa depan dengan dialog jujur tanpa perlu lagi beretorika. Karena realitanya masyarakat saat ini mengalami kemiskinan, kehilangan harapan,serta mulai muncul bentuk intoleransi. Hal inilah yang tampak dalam desakan tokoh agama yang merumuskannya sebagai pengingkaran terhadap UUD 1945. Kita harus mendesak pemerintah untuk segera mengakhiri pengingkaran itu.

Jika pemerintah menolak atau mengabaikan desakan tersebut, pemerintah melakukan kebohongan publik. Desakan ini lahir dari sebuah pengamatan dan fakta yang dihimpun dari realitas lapangan yang dirumuskan dalam sebuah seruan. Sebagai negara kepulauan terbesar di muka bumi dengan keragaman etnis,budaya,dan agama yang tinggi, sungguh layak kita bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Adil karena masih bisa bertahan utuh dalam sebuah negara bangsa.

Selama 66 tahun sudah bangsa menyatakan kemerdekaannya, namun belum semua warganya menikmati kemerdekaan yang utuh. Dalam pembukaan dan batang tubuh UUD, cita-cita para pendiri bangsa telah sangat jelas tersurat, kemerdekaan sejati yang mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi segenap anak bangsa.Namun, hingga kini kantong-kantong kemiskinan masih mudah kita temukan di banyak tempat di Tanah Air. Maraknya perusakan lingkungan dan pelanggaran HAM menyebabkan penderitaan masyarakat kian terasa.

Kebijakan ekonomi pemerintah memang menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,8% dan meningkatkan pendapatan per kapita menjadi USD3.000 pada 2011,tetapi gagal dalam pemerataan kesejahteraan. Masih banyak warga Indonesia yang menderita gizi buruk, tidak mendapat pelayanan kesehatan seperti seharusnya sehingga meninggal dunia dan harus putus sekolah.Jutaan petani masih belum mempunyai tanah yang memenuhi syarat minimum sebagai alat produksi.

Kami menggarisbawahi pendapat banyak ahli ekonomi yang menyatakan bahwa kebijakan ekonomi Indonesia saat ini bertentangan dengan amanat Pembukaan dan batang tubuh UUD.Sumber daya alam belum dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.Amandemen UUD yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) tidak sesuai kenyataan. Hukum ternyata bukanlah kekuasaan tertinggi, masih kalah oleh kekuasaan dan uang.

Janji pemerintah memerangi korupsi hanya akan ada dalam kenyataan kalau prinsip pembuktian terbalik diterapkan secara penuh. Pemerintah tidak memberi perhatian memadai terhadap korban pelanggaran HAM yang berat.Pemerintah tidak mampu dan tidak menunjukkan niat untuk membela begitu banyak buruh migran yang mendapat perlakuan buruk di berbagai negara. Berarti pemerintah tidak melindungi segenap bangsa Indonesia, sesuai amanat Pembukaan UUD.

Advertisement

Jujur Memperbaiki Kondisi

Saatnya pemerintah mulai bekerja bukan lagi dengan membela diri yang berlebihan, melainkan mencoba untuk jujur dan berusaha memperbaiki kondisi dengan bekerja keras dan mengurangi diri dengan iklan yang tiada gunanya, tetapi tanpa ada hasil. Pemerintah hanya mempermainkan kata dengan pembelaan diri yang berlebihan seperti dikatakan Juergen Habermas pernah menyatakan die Normativitaet des Faktischen. Dalam kehidupan sehari-hari, para politisi sering melahirkan kecenderungan untuk membolakbalik fakta dan norma.

Terdapat kecenderungan agar suatu kenyataan faktual bisa membenarkan dirinya secara normatif,dan bukannya benar dalam pengertian normanorma yang berlaku.Tidak peduli bahwa itu dirasakan sebagai kebohongan. Di tengah suasana serba materialistis, pertimbangan pengambilan keputusan dalam berbagai areal kehidupan hanya diwarnai dengan pertimbangan untung-rugi, bukan pertimbangan benar-salah.

Suatu tindakan bisa jadi ‘menguntungkan’ walaupun secara moral ‘salah’,demikian pula sebaliknya. Karena itu sulit bagi kita untuk menemukan mana yang dusta dan mana yang jujur. Kriteria politisi jujur dan politisi penuh dusta sulit diberikan karena pertimbangan yang sering digunakan adalah pertimbangan untung-rugi. Akibatnya, orang yang sedang berdusta bahkan sering dianggap sebagai orang jujur yang sedang berkhotbah. Batasannya makin kabur dan sumir.

Antara dusta dan kejujuran hanya dipisahkan oleh sehelai rasa yang sering kita sebut sebagai hati nurani. Karena itulah, banyak politisi berdusta di dalam khotbah-khotbah yang tampak di depan mata sebagai ‘jujur’.Budaya ini berkembang luas di kalangan politisi dan yakinlah, ini masalah serius yang dihadapi bangsa ini. Sesuatu hal baru dianggap melanggar etika dan hukum justru bila sudah diketahui dan dikritik oleh publik.Korupsi dianggap hal yang sah-sah saja dilakukan jika tidak diketahui publik.

Menaikkan gaji di tengah penderitaan adalah cermin dari pengkhianatan dan merupakan bagian dari korupsi moral yang sangat serius.Para elite politisi bangsa selama ini gagal menumbuhkan budaya malu dalam dirinya sendiri bahwa korupsi diketahui atau tidak adalah tindakan melanggar aturan. Menghabiskan dan memboroskan uang rakyat untuk berfoya-foya adalah pelanggaran etika berbangsa.

Ini disebut pelanggaran baru bila publik menolaknya. Budaya malu terhadap diri sendiri tidak tumbuh dalam diri politisi karena begitu hancurnya etika politik dewasa ini.Inilah yang membuat kita semua tak mampu keluar dari lingkaran kegelapan yang menyelimuti negeri.Semoga seruan mampu memberi cahaya terang di kegelapan. Opini TokohIndonesia.com | rbh

© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA

Penulis: Benny Susetyo, Sekretaris Eksekutif Komisi HAK Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Pernah diterbitkan di Harian Seputar Indonesia, 19 January 2011

Tokoh Terkait: Benny Susetyo, | Kategori: Opini | Tags: Tokoh Agama, Setara, Kebenaran

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini