Skenario Indonesia 2014-2050

 
0
133
Skenario Indonesia 2014-2050
Ikrar Nusa Bhakti | Ensikonesia.com | rpr

[OPINI] – Oleh Ikrar Nusa Bhakti | Di kala orang sudah bicara mengenai pertarungan politik, ekonomi, dan pertahanan internasional kurun 2014-2050, Indonesia masih berkutat pada persoalan korupsi, transisi demokrasi, otonomi daerah, dan desentralisasi yang belum tuntas sampai ke soal bagaimana masa depan otonomi khusus di tanah Papua.

Di kala orang sudah bicara mengenai keamanan energi dan adanya kompetisi menguasai energi dunia antara India, China, dan Jepang di Asia Pasifik ditambah dengan negara-negara Eropa dan Amerika Serikat di tingkat dunia, kita malah menjual cadangan minyak bumi, gas, dan batubara tanpa berpikir ihwal keamanan energi negara kita sendiri kini dan masa depan.

Indonesia sudah lama mengimpor minyak untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri dan hal yang tak masuk akal adalah sebagai pemilik dan pengekspor gas bumi yang besar di dunia, pemerintah malah membiarkan Perusahaan Listrik Negara mengimpor gas guna memenuhi kebutuhannya.

Di kala orang sudah bicara mengenai pertarungan menjadi kekuatan dominan antara China dan AS pada 2050, kita masih disibukkan dengan kecurangan pada Pemilu 2009, pertarungan yang tak wajar meraih kekuasaan di antara elite politik pada tingkat nasional dan daerah, serta korupsi oleh kader partai yang berada di pemerintahan, baik yang terkait dengan energi, hutan, maupun pembangunan sarana dan prasarana daerah.

Skenario terburuk: jika kita tak berhasil mengonsolidasikan demokrasi kita pada 2014, Indonesia bukan saja akan menjadi negara gagal pada 2024, melainkan bisa saja menjadi negara yang roboh dan hancur berkeping-keping pada 2050.

Di kala berbagai negara berupaya memperkuat kapasitas ekonomi domestik dan internasionalnya, ekonomi Indonesia malah masih dikuasai asing. Kita masih belum tahu apakah buaian negara-negara besar seperti AS, Inggris, China, dan negara-negara ASEAN bahwa Indonesia akan jadi negara amat penting dan sejajar atau bahkan lebih kuat secara ekonomi dari negara-negara seperti Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS) pada 2050 hanyalah semata-mata khayalan atau akan menjadi kenyataan.

Terlepas dari pendekatan ekonomi yang akan kita ambil, sistem kapitalisme negara ala China atau neoliberalisme gaya Barat, tak ada yang menyangsikan bahwa pembangunan ekonomi kita ke masa depan sangat bergantung pada bagaimana kita membangun demokrasi dan menata sistem pemerintahan kita.

Dua Skenario

Dalam berbagai kesempatan, penulis dengan yakin selalu menekankan bahwa masa depan politik, ekonomi, dan keamanan kita akan ditentukan dalam tiga kali pemilihan umum ke depan dihitung sejak Pemilu 2014.

Skenario terburuk: jika kita tak berhasil mengonsolidasikan demokrasi kita pada 2014, Indonesia bukan saja akan menjadi negara gagal pada 2024, melainkan bisa saja menjadi negara yang roboh dan hancur berkeping-keping pada 2050.

Pemalsuan surat Mahkamah Konstitusi terkait perselisihan Pemilu (Legislatif) 2009, terbukanya tabir korupsi di partai pemenang Pemilu 2009 yang slogan kampanyenya secara meyakinkan berbunyi “Katakan ‘Tidak’ pada Korupsi”, dugaan korupsi dari partai yang menterinya menguasai pemberian izin pengelolaan hutan di Indonesia, dugaan korupsi di Badan Anggaran DPR, semua itu merupakan contoh betapa bobrok elite politik kita. Belum lagi soal korupsi di lembaga-lembaga yang seharusnya berwenang menegakkan hukum di negeri ini. Sungguh menyedihkan!

Skenario terbaik, meminjam analisis perang pada 2050 yang dibuat rekan Andi Widjajanto, kita akan menjadi negara kuat dan bahkan dapat menantang China pada 2050 jika mampu mengonsolidasikan demokrasi pada 2014 dan menjadi negara yang demokrasinya sudah matang pada 2024.

Advertisement

Prasyaratnya, Pemilu (Legislatif) 2014 benar-benar dilaksanakan secara jujur dan adil, pendekatan sistem penilaian jasa menihilkan sistem dinasti yang masih marak di kalangan elite politik kita.

Pada Pemilu (Presiden/Wakil Presiden) 2014 dan selanjutnya, para pemilih juga jangan terkecoh dengan koalisi di antara partai-partai besar yang calon presiden dan calon wakil presidennya adalah anak atau cucu dari tokoh-tokoh terkenal di republik ini.

Kita harus memilih pasangan yang benar-benar memiliki ketahanan politik, tapak kinerjanya jelas, memiliki kapasitas kepemimpinan, mampu mengarahkan ke mana Indonesia harus melangkah, dan tentu memiliki kapabilitas berkomunikasi, baik pada tingkat domestik maupun internasional. Kita tak butuh pemimpin yang suka menerapkan politik pencitraan, padahal kepemimpinannya amat rapuh.

Meminjam ajaran mengenai seni berpolitik dan berdiplomasi, kita butuh presiden yang memberi kepemimpinan, kepemimpinannya itu diikuti oleh para bawahannya dan rakyat secara keseluruhan, dan presiden sepatutnya selalu meletakkan negara di atas partai. Dalam bahasa kerennya, “The President should provide leadership, leadership is impossible without followership, and the President should always put country above party!”

Jika pada tingkat partai saja arahan seorang pemimpin tak diikuti anggota partainya, bagaimana ia bisa berwibawa di mata rakyatnya. Sejak kini pun kita sudah dapat menganalisis apakah seorang pemimpin negara meletakkan kepentingan negara di atas kepentingan partainya atau sebaliknya.

Seorang Presiden RI juga jangan sampai menjadi komprador asing yang merugikan negara, bangsa, dan rakyatnya. Ia bukan saja harus mengamalkan Pancasila, tetapi benar-benar memahami, meyakini benar, dan menjalankan ajaran Trisakti Bung Karno yang intinya menjaga kedaulatan politik Indonesia, mengusahakan kemandirian ekonomi Indonesia, dan mengembangkan kebudayaan nasional kita.

Perpaduan kematangan berdemokrasi, kapasitas kepemimpinan presiden mengembalikan kekuatan negara, memperkuat kapasitas ekonomi Indonesia, dan mengupayakan kemandirian energi nasional pada 2024 akan menjadikan Indonesia negara kuat kurun 2024-2049 dan menjadi great power yang siap berkompetisi dengan China pada 2050.

Capaian dua skenario terbaik dan terburuk itu bukan saja ditentukan para elite politik, melainkan pada kita semua sebagai pemilik bangsa ini. Kini bergantung kepada kita semua memilih: apakah kita menginginkan Indonesia hancur berkeping-keping atau menjadi negara besar yang berjaya pada 2050. Seorang nasionalis sejati pasti menginginkan yang disebut terakhir. Opini TokohIndonesia.com | rbh

Penulis: Ikrar Nusa Bhakti, Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs-LIPI. Pernah juga diterbitkan Harian Kompas, Rabu, 06 Juli 2011, di bawah judul: Skenario Indonesia 2050: Hancur atau Berjaya?

Tokoh Terkait: Ikrar Nusa Bhakti, | Kategori: Opini | Tags: politik, LIPI, Profesor Riset

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini