Tenunan Pendahulu Telah Dirobek-robek

Syaykh Al-Zaytun Panji Gumilang

AS Panji Gumilang
 
0
1220
Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang

Oleh Syaykh Al-Zaytun Dr. Abdussalam Panji Gumilang

Negara yang sudah tersusun rapi dengan dasar ne­gara yang bagus, dengan Undang-Undang Dasar 45 yang bagus, kini telah dirobek-robek, ditarik-tarik sehingga tidak menjadi tenunan yang bisa dibaca: Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa Indonesia. Tenunan yang telah ditenun oleh pendahulu, dirombak sekian rupa. Maka, Syaykh Al-Zaytun Dr. Abdussalam Panji Gumilang mengajak mari kita berusaha untuk kembali kepada apa yang digariskan pendahulu yang nilai-nilainya sesungguhnya penuh toleransi dan perdamaian. Kembali kepada nilai-nilai dasar dan UUD 1945.

Syaykh Panji Gumilang mengatakan kini mungkin bangsa Indonesia telah menjujut, karena sekarang bangunannya, konstruksi tenunnya semua dipreteli, lupa akan nilai dasarnya. Lalu masuk pada demokrasi yang bukan ala Indonesia. Demokrasi yang berjalan hari ini bukan demokrasi Indonesia. Demokrasi Indonesia adalah memilih wakil rakyat; Mungkin dalam memilih wakil rakyat ini perlu penataan, sehingga tidak terjadi pemilihan wakil rakyat yang kurang senonoh. Wakil-wakil rakyat inilah yang bermufakat, yang akan menentukan arah negara ini berjalan seperti apa, garis besar apa yang harus dijalankan oleh pemerintah. Maka karena seperti itu, wakil-wakil rakyat memilih Presiden. Tentunya, memilih Presiden ada calon, yang mencalon­kan adalah rakyat dan dititipkan pada wakil, itulah partai yang mencalonkan. Tapi ini tidak berjalan karena memang dirombak semuanya, sudah tidak lagi memakai dasar-dasar negara yang 5 itu.

Di samping itu, menurut Syaykh Al-Zaytun, keberagamaan bangsa Indonesia sampai hari ini belum bisa persa­tuan Indonesia itu tampil, masih banyak persatuan-persatuan berdasar agama. Kaum cendekia kala awal-awal kemerdekaan dan menjelang kemerdekaan bersatu atas nama Indonesia. Hari ini di sana-sini ada cendekia yang dipi­gura, ada cendekiawan A, B, dan ada cendekiawan muslim, dan lain-lain, terkotak-kotak. Inikah cendekiawan persatuan Indonesia? Tidak mungkin. Siapa yang mengajukan agama sebagai tameng ia akan terkena akibatnya, yakni Indonesia tidak bersatu.

Dalam hal bernegara, Syaykh Panji Gumilang berharap kiranya moncong senjata jangan diarahkan kepada rakyat. “Tentara nasional harus mencintai rakyatnya, Polisi Republik Indonesia harus mencintai rakyatnya. Apapun yang dilakukan rakyat, tidak harus ditembak, apapun yang dilakukan rakyat musti dihadapkan ke hukum, itulah negara hukum. Mestinya moncong senjata itu diarahkan kepada, kalau dahulu Belanda, NICA dan KNIL, sekarang mestinya diarahkan pada pesisir-pesisir laut, di tengah laut sana yang banyak musuh-musuh Indonesia menyelundup. Itulah mestinya senjata diarahkan dan dilengkapi dan disempurnakan dan ditingkatkan kualitas modernisasinya. Selama bangsa Indonesia ini rakyat dianggap musuh kemudian ditembak, susah untuk menjadi bangsa yang maju, lupa kepada hakikat berbangsa dan bernegara. Itulah yang diperingatkan oleh Tuhan Yang Maha Esa melalui Nabi Muhammad,” kata Syaykh Al-Zaytun dalam Khutbah Idulfitri 1440 H, awal Juni 2019 lalu. Berikut petikannya:

Sejarah Tenunan Nilai Dasar

Idul Fitri 1440 H jatuh pada bulan Juni awal dimana bangsa Indonesia memperingati hari yang dianggap baik sehingga diliburkan menjadi libur nasional. Hari lahir dari pada dasar-dasar negara Republik Indonesia yang diberi nama oleh sebagian orang Pancasila.

Yang diperingati adalah nilai-nilai dasar, bukan pendiri, bukan pencetus, karena pencetus nilai-nilai dasar ini banyak ragam yang pernah dicatat di dalam sejarah. Ada yang disampaikan oleh Mr. Muhammad Yamin pada tanggal 29 Mei 1945, yang isinya adalah pertama peri kebangsaan, kedua peri kemanusiaan, ketiga peri ketuhanan, keempat peri kerakyatan, dan yang kelima kesejahteraan rakyat. Baru kemudian di bulan selanjutnya, Bung Karno menyampaikan hal yang sama yang isinya tidak terlalu berbeda namun susunannya berbeda. Bung Karno menyampaikan pada 1 Juni 1945, sila pertama adalah kebangsaan Indonesia; kedua Internasionalisme atau perikemanusiaan; ketiga mufakat atau demokrasi, keempat kesejahteraan sosial, dan kelima Ketuhanan yang Maha Esa.

Kemudian di dalam perjalanan sejarah pada tanggal 22 Juli 1945, badan persiapan untuk kemerdekaan membentuk panitia kecil untuk merumuskan dasar-dasar negara yang oleh Muhammad Yamin dinamakan Piagam Jakarta, yang menyimpulkan daripada dasar-dasar negara menjadi lima dasar yang sekarang ini yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan, dan Mewujudkan satu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lalu baru diundangkan pada 18 Agustus 1945 setelah proklamasi kemerdekaan, ini termaktub dalam pembukaan atau preambule UUD negara Indonesia. Itulah yang diperingati, bukan 22 Juni dan bukan 18 Agustus yang Pancasila yang berbunyi seperti hari ini tetap yang diperingati adalah Pancasila yang disampaikan Bung Karno tanggal 1 Juni yang susunannya jauh dari pada yang sekarang berjalan. Mungkin itu memperingati nama Pancasila bukan isi.

Tema daripada khutbah Idul Fitri kali ini adalah jangan pernah merusak tenun yang sudah kita tata sebagaimana diamanatkan ayat berikut: Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sum­pah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu. (QS. An-Nahl ayat 92)

Advertisement

Tenun yang disusun oleh bangsa Indonesia diawali dari sejak 1905. Snouck Hurgronje pernah menyampaikan pada pemerintah negeri Belanda yang kemudian Negeri Hindia Belanda Timur yang berpusat di Batavia, bahwa kelemahan bumiputera adalah bukan karena tidak toleran bukan karena tidak cinta damai, tapi kelemahannya adalah kurang pendidikan modern. Titik inilah yang Syaykh ambil sebagai tema “Mahad Al-Zaytun Pusat Pendidikan Pengembangan Budaya Toleransi dan Perdamaian”. Me­ngapa budaya toleransi dan perdamaian itu kita tampilkan, itulah sikap dasar bangsa Indonesia pada dasarnya. Me­ngapa pendidikan, karena itulah yang akan memelihara sikap bangsa yang toleran dan damai. Pendidikan yang terarah, pendidikan yang tersistem, pendidikan yang memiliki cita-cita luhur, pendidikan yang menanamkan moralitas, menanamkan budi pekerti dan sopan santun. Pendidikan modern adalah nilai-nilai yang terus berkembang, ilmu pengetahuan yang terus berkembang maka antara modern dan prinsip-prinsip dasar bangsa Indonesia dipadukan itulah yang kemudian berbunyi “Pesantren spirit but modern system” yang kita rajut di Mahad Al-Zaytun.

Tadi dikatakan sejak 1905 atas nasihat dari pada Snouck Hurgronje dan kehadiran generasi muda Belanda, menginginkan satu pendidikan untuk Bumiputera sekalipun terbatas. Snouck Hurgronje pernah mengatakan, “Andainya bangsa Indonesia atau pribumi ini dididik dengan baik, ke depan andainya punya nasib berbeda dengan keinginan Belanda, mereka akan mampu bekerja sama dengan negeri Belanda kemudian hari”.

Pendidikan modern telah dilaksanakan dan apa yang diucapkan oleh Snouck Hurgronje ada hasil, bangsa Indonesia yang terkotak-kotak yang belum memiliki kepribadian sebagai bangsa yang zahir, yang eksis, yang yuridis, yang juga formal, terkotak-kotak kebangsaan suku-suku, agama dan sebagainya. Tapi itu semua mewujudkan satu action satu efek daripada pendidikan modern sehingga bangsa Indonesia mampu menyampaikan, mampu mengungkapkan, yang awalnya berbisik-bisik, yang awalnya sembunyi-sembunyi; Dengan pendidikan mereka mampu menyampaikan di mimbar-mimbar, di rapat-rapat raksasa dan berhadapan dengan para penguasa, akibat pendidikan modern yang diawali de­ngan sembunyi-sembunyi, senyap senyap, bisik-bisik, tidak mampu mengungkapkan isi hati yang terkandung, padahal isi hatinya penuh toleransi dan damai.

Pendidikan mengangkat itu, maka terciptalah satu sikap bahwa Indonesia tidak akan menjadi Indonesia kalau dikotak-kotak dengan agama, dikotak-kotak dengan suku bangsa, dikotak-kotak dengan ras, dikotak-kotak dengan berbagai kotak yang tidak punya arti. Maka tampillah satu sikap yang gentlemen, pemuda menyampaikan sikap untuk Indonesia. Buatlah Sumpah Pemuda, inilah cikal bakal rajutan Indonesia, inilah cikal bakal daripada tenun Indonesia, berwarna-warna pelangi dan bukan hanya pelangi, seperti tatanan berlian dan lain sebagainya yang tersebar di seluruh Indonesia raya ini. Indah maka terjadi­lah semua itu, Satu Nusa Satu Bangsa Satu Bahasa. Tenunan yang belum diberi jahitan, tenunan yang belum diberi samping, tenunan yang belum diikat, maka diperjuangkan, diperjuangkan, diperjuangkan, perang dunia terjadi dan perang dunia telah selesai, berjuta-juta makhluk manusia terbunuh oleh sesama manusia dengan sengaja maupun tidak sengaja. Bangsa Indonesia yang telah ada melalui proklamasi daripada Satu Nusa Satu Bangsa dan Satu Bahasa, pada tahun 1942 ditinggalkan oleh Belanda yang menjajah tanpa basa-basi, tanpa babibu, tanpa goodbye dan sebagainya, licik.  Ditinggalkan tanpa ada isyarat apapun, Belanda menyerah dan ditandatanganilah penyerahan itu di tempat yang dekat dengan kampus kita yakni Subang (Kalijati).

Belanda meninggalkan Indonesia, meninggalkan rakyat, diserahkan kepada raksasa baru. Belanda hanya sekepal, diserahkan lagi kepada dua kepal yaitu Jepang. Tidak lebih halus, lebih sengsara, keluar dari mulut buaya masuk ke mulut kadal, betapa susahnya bangsa yang besar begini dilalap oleh kadal.

Itulah tidak bertanggungjawabnya daripada Belanda terhadap rakyat dan bangsa Indonesia. Dengan kekerasan, kekejaman, bangsa Indonesia memiliki kesabaran tapi bukan diam, menyusun-menyusun, menyusun-menyusun, menuntut janji, menuntut janji- janji, toleransi dan damai. Maka dijanjikanlah suatu kemerdekaan: Kamu akan merdeka. Ternyata benar, sebelum tahun 1945, tepatnya Agustus 1945 Jepang sudah mengajak rakyat Indonesia untuk mempersiapkan persiapan-persiapan kemerdekaan. Diketuai oleh Profesor Radjiman, dalam setiap pergerakan semua disusun pakai rencana. Itulah sistem modern yang telah ditempuh oleh bangsa Indonesia. Itulah susunan dari pada tenun yang telah dibuat oleh bangsa Indonesia dengan seksama, bukan mengambil dengan kekerasan; Mengambil kemerdekaan dengan hukum yang sah defacto dan dejure. Disusunlah sebuah tim untuk persiapan kemerdekaan, disusunlah sebuah undang-undang. Persiapan Kemerdekaan disusun pada 10 Juli. Bayangkan betapa cepat bangsa Indonesia, disuruh mempersiapkan kemerdekaan 10 Juli 1945, bangsa ini telah berbuat dan berbuat. Kemudian tidak lama daripada itu semua, dirumuskan apa yang dinamakan dasar-dasar negara. Pada 22 Juli semua sudah terselesaikan, rancangan undang-undang dasar telah persiapkan, kemudian telah disahkan pada 10 Juli sudah punya undang-undang dasar rancangan.

Pada 31 Agustus, setelah merdeka, pemerintah mengadakan maklumat. Maklumat mengibarkan bendera seterusnya tanpa diturunkan. Alhamdulillah telah kita laksanakan di sini. Kemudian salam diubah “Merdeka”, itu diputuskan 31 Agustus, disusunlah jahitan-jahitan warna-warni sampai kepada ucapan salam pun di Indonesiakan. Merdeka ini satu sikap modern, ini hasil dari pada pendidikan.

Datanglah Kemerdekaan 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia menyampaikan kegembiraannya melalui pemimpin Dwi Tunggal Bung Karno dan Bung Hatta. Dibuatlah semacam pekikan-pekikan semangat itu tadi, salam nasional ‘Merdeka’ dan mengibarkan bendera tidak turun-turun, yang mung­kin dilupakan itu padahal belum pernah dicabut. 

Bangsa yang terdidik mampu memerintah dengan baik dengan seksama baru seumur jagung, 17 Agustus Merdeka, 15 September tentara sekutu sudah turun mendarat di Pelabuhan Tanjung Priok. Bayangkan, pemerintah yang baru berdiri dihadapkan dengan musuh sekali lagi. Bung Karno menyampaikan musuh kita bukan sekutu, musuh kita adalah NICA Belanda, KNIL. Maka bangsa Indonesia bisa memilah-milah, siapa musuh dan siapa bukan musuh. Tugas sekutu adalah memisahkan agar Belanda tidak menjadi pemerintah ketika itu. Namun, apa yang nyata, realita, tidak seperti halnya janji-janji. Maka bangsa Indonesia belahan Timur di Surabaya mengadakan gerakan-gerakan, yang pertama adalah menyobek daripada “biru” yang tertera di “merah putih biru”, di situlah mulai ada gejolak. Kemudian tentara sekutu turun ke Surabaya, penembakan terjadi da­ripada gencatan senjata, menurut sekutu, rakyat Indonesia memulai tembakan dengan gugurnya Jenderal Mallaby.

Rakyat Indonesia, memang kalau itu dikatakan salah karena keluar daripada perjanjian gencatan senjata, tapi ada sebabnya; Sebabnya adalah bangsa Indonesia jeli, melihat siapa NICA dan siapa tentara Inggris. Sekalipun kita bangsa yang kulit seperti ini tapi mampu melihat siapa Vanderplas, siapa Van Mook, siapa tentara Inggris, siapa tentara Gurkha. Maka rakyat Indonesia di Jawa Timur ini bersikap akal-akalan, maka diseranglah dan dibalas 10 November, di situlah  kejadian yang luar biasa, tidak  terhitung manusia yang meninggal, tidak terhitung rumah yang dibakar. Ini semua mengakibatkan pemerintah Indonesia memerlukan kerja keras. Namun diplomasi bangsa Indonesia tetap pada jalur. Jangan pernah dirusak Indonesia yang sudah diproklamirkan ini, Indonesia yang sudah eksis ini, musuh kita adalah NICA Belanda, musuh kita bukan rakyat, musuh Tentara Indonesia bukan rakyat, musuh tentara Indonesia adalah NICA dan KNIL.

Betapa hebatnya bangsa Indonesia ketika itu, mampu memisahkan siapa lawan siapa kawan, karena mereka memiliki Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dan mewujudkan suatu Keadilan sosial.  Diplomasi demi diplomasi dijalankan, akhirnya becik ketitik olo ketoro, Belanda nyingkir, musuh-musuh Indonesia menyingkir. Betapa toleransi dan damainya bangsa Indonesia; Semua di­biayai oleh rakyat Indonesia, nying­kirlah kamu, pulang dibiayai. Itu­lah makanya bangsa Indonesia begitu merdeka, 5 tahun sudah memiliki hutan. Hutan yang besar, mengapa membayar orang-orang yang menjajah pulang, dipulangkan, betapa hebatnya bangsa ini perikemanusiaannya, bagaimana kemanusiaan yang adil dan beradab­nya. Mungkinkah kita menuntut, tidak perlu, nampakkan bahwa toleransi dan perdamaian dijalankan oleh bangsa Indonesia.

Penyimpangan Jalan Sejarah

Namun, perjalanan sejarah sekalipun di sana-sini terjadi bermacam-macam dan sejarah itu sebelum menjadi seja­rah menimpa manusia, dalam satu hari tidak bisa dijumlahkan, jutaan kejadian, namun yang bisa dicatat hanya sebagian. Terkadang juga tidak benar, terkadang juga tidak tepat, terkadang juga tidak realistis, itulah sejarah. Maka jangan pernah mempercayai sejarah dengan mata sebelah, rangkumkan semua.  Bagaimana penulisnya, subjektivitas sejarah tetap ada walaupun objektivitasnya juga dijunjung tinggi.

Sejarah berjalan, negara kita Indonesia sudah lepas daripada UUD 45 dan Pancasila pada 5 tahun perjalanan, kemudian ditambah 4 tahun lagi setelah kemerdekaan, setelah penyerahan kedaulatan kembali pada UUD 45 dan Pancasila tentunya. Dalam hal ini bangsa Indonesia merangkak, Bung Karno terus menjalankan cita-citanya, Bung Karno di dalam kehidupan kepemudaannya adalah pemikir, mempunyai cita-cita menyatukan marxis, nasionalis dan agama di dalam rumah Indonesia raya ini. Sampai kepada Dekrit Presiden, Bung Karno melaksanakan Nasakom, di situlah ada politik  dan sebagainya. Ternyata kalau dilihat kembali pada UUD 45 dan kepada dasar negara maka sesungguhnya tenunan sudah mulai ditarik benang-benang yang indahnya, maka terjadilah sebuah peristiwa besar, sejarah mencatat itulah Gerakan 30 September. Berbagai versi keluar, memang begitu wujud sejarah, tidak ada satu versi. Sama dengan Islam, tidak ada yang paling benar, yang paling benar adalah pemilik Islam Sayyiduna As Sohibul Islam. Apalagi membaca sejarah nasional, membaca Islam, tidak ada seorang pun yang berhak mengaku paling benar di dalam Islam, yang paling benar adalah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang menghantarkan itu Islam. Maka Rasulullah dikatakan Sohihul Islam, yang paling benar Islamnya. Kita-kita mengikuti Islam, ribuan tahun setelah ditinggal Rasulullah Muhammad. Tidak mungkin menjadi orang yang paling sholeh. Untuk berjalan menuju sholeh itu adalah usaha. 

Tampillah setelah pemerintahan Bung Karno, Pak Karno menyerahkan kedaulatan negara ini kepada penggantinya. Sekalipun ketika itu sesungguhnya Bung Karno di-impeach tapi sebelumnya beliau telah menye­rahkan kepada Jenderal Soeharto. Jenderal Soeharto menerima, menanggung utang-utang dan membuat hutang-hutang negara. Dalam perjalanan mempunyai tema melaksanakan undang-undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.  Pak Harto, presiden kedua menyusun bagaimana melaksanakan Panca­sila, disusunlah ada Penataran, ada macam-macam, kemudian ditinjau dan dibaca oleh banyak hal, banyak pembaca, itu tidak benar. Kemudian diadakanlah reformasi, reformasi yang lepas semua, Undang-Undang Dasar 45 lepas dipreteli, tidak ada lagi Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga tertinggi, habis. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45 tatkala dikeluarkan menyampaikan bahwa untuk mewujudkan nilai dasar yang ke-4 dibentuklah Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi yang punya hak untuk mengangkat presiden dan lain sebagainya.

Dari sini mungkin bangsa Indonesia telah menjujut, kalau Bung Karno pernak-perniknya, sekarang bangunannya, bangunan tenun, konstruksi tenun semua dipreteli, lupa akan nilai dasarnya. Masuklah pada demokrasi yang bukan ala Indonesia. Demokrasi yang berjalan hari ini bukan demokrasi Indonesia. Demokrasi Indonesia adalah memilih wakil rakyat, wakil rakyat dipilih, mungkin dalam memilih wakil rakyat ini perlu pembenaran atau perlu penataan-penataan, sehingga tidak terjadi pemilihan wakil rakyat yang kurang senonoh dalam pelaksanaannya. Wakil-wakil rakyat inilah yang bermufakat, wakil-wakil rakyat inilah yang akan menentukan apa negara ini berjalan se­perti apa, garis besar apa yang harus dijalankan oleh pemerintah. Maka karena seperti itu, wakil-wakil rakyat memilih Presiden. Tentunya, memilih Presiden ada calon, tentunya yang mencalon­kan adalah rakyat. Rakyat dicalonkan, dititipkan pada wakil, itulah partai yang mencalonkan. Ini tidak berjalan karena memang dirombak semuanya, sudah tidak lagi memakai dasar-dasar negara yang 5 itu. Satu, politik menjadi seperti itu; Dua, keberagamaan, sampai hari ini bangsa Indonesia belum bisa persatuan Indonesia itu tampil, masih banyak persatuan-persatuan berdasar agama.

Kaum cendekia kala awal-awal kemer­dekaan dan menjelang kemerdekaan ber­satu atas nama Indonesia, hari ini di sana-sini ada cendekia yang dipigu­ra, ada cendekiawan A, ada cendekiawan B, dan ada cendekiawan muslim, dan lain-lain, terkotak-kotak. Inikah cen­de­kiawan persatuan Indonesia, tidak mungkin. Siapa yang mengajukan agama sebagai tameng ia akan terkena akibatnya, yakni  Indonesia tidak bersatu.

Ekonomi kerakyatan, ekonomi kope­rasi, belum berjalan. Inilah apa sebabnya telah mengurai dari pada tenunan yang telah ditenun oleh pendahulu, dirombak sekian rupa. Maka, mari kita berusaha untuk kembali kepada apa yang digariskan yang nilainya sesungguhnya penuh toleransi dan penuh perdamaian. Moncong senjata tidak diarahkan kepada rakyat. Tentara nasional harus mencintai rakyatnya, Polisi Republik Indonesia harus mencintai rakyatnya. Apapun yang dilakukan rakyat, tidak harus ditembak, apapun yang dilakukan rakyat musti dihadapkan ke hukum, itulah negara hukum.

Mestinya moncong senjata itu diarahkan kepada, kalau dahulu Belanda, NICA dan KNIL, sekarang mestinya diarahkan pada pesisir-pesisir laut, di tengah laut sana yang banyak musuh-musuh Indonesia menyelundup. Itulah mestinya senjata diarahkan dan dilengkapi dan disempurnakan dan ditingkatkan kualitas modernisasinya. Selama bangsa Indonesia ini rakyat dianggap musuh kemudian ditembak, susah untuk menjadi bangsa yang maju, lupa kepada hakikat berbangsa dan bernegara. Itulah yang diperingatkan oleh Tuhan Yang Maha Esa melalui Nabi Muhammad tadi. Negara yang sudah tersusun rapi dengan dasar negara yang bagus, dengan Undang-Undang Dasar 45 yang bagus, dirobek-robek, dita­rik-tarik sehingga tidak menjadi tenunan yang bisa dibaca: Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa Indonesia.

Oleh sebab itu, dari mimbar ini, kita menyampaikan pada seluruh kita bangsa Indonesia, mari kita tingkatkan nilai pendidikan kita, pendidikanlah yang bisa merawat jiwa toleransi dan perdamaian. Tanpa pendidikan tidak mampu kita merawat toleransi dan perdamaian. Gapailah pendidikan setinggi-tingginya, sebaik-baiknya, sebanyak-banyaknya. Pendidikan tidak pernah selesai, walaupun pengajaran mung­kin bisa selesai.

Inilah pesan-pesan, maka pesan selanjutnya wa’tasimu bihablillahi jami’an berpegang teguhlah pada nilai dasar negaramu, Syaykh menafsirkan seperti itu bukan menerjemahkan, jangan kamu robek-robek dasar negaramu, undang-undang dasar negaramu wakunu ibadallahi ikhwana, jadilah persa­tuan Indonesia, mengedepan, persatuan Indonesia, mengedepan rakyat yang bersatu. Dan ingatlah kamu pernah di ujung mulut neraka, itulah tahun 45, kita berhadapan hampir-hampir NICA menguasai, tapi kita diselamatkan karena kita memiliki Ketuhanan Yang Maha Esa dan nilai-nilai dasar. Selamat. Kemudian datang lagi peristiwa-peristiwa, kita masih sadar, namun apakah kesadaran itu sekadar nama, mestinya kaki kita tatkala melangkah ingat dasar kita adalah Tuhan Yang Maha Esa, ingat langkah kita adalah Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, ingat ciptakan Persatuan dalam langkah, ingat semuanya ini adalah Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan, ingat langkah kita mewujudkan suatu Keadilan Sosial. Mengatur agama juga seperti itu, mengatur ekonomi seperti itu, mengatur negara seperti itu, dan sebagainya dan sebagainya.  Ingatlah, wakunu ibadallahi ikhwana, jadilah bangsa Indonesia yang bersatu.

Maka pesan dari Tuhan Yang Maha Esa Ya ayyatuhan nafsul Muthmainnah wahai bangsa yang berpendidikan dan punya jiwa toleransi dan perdamaian. Jangan lupa kepada negara dan dasar negara dan undang-undang negaramu, dengan sukarela, jangan terpaksa, kalau terpaksa kalian dipaksa oleh sejarah nanti. Jadilah hamba Allah, jadilah bangsa Indonesia yang bersatu tadi fadkhuli jannati masuklah pada negara yang Toto Titi Tentrem Kerto Raharjo ini, Indonesia raya ini. Allah Allahu Akbar Allahu Akbar La ilaha illallah wallahu akbar Allahu Akbar Walillah Ilham.

Diterbitkan di Majalah Berita Indonesia Edisi 100 hlm. 8-15

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini