
[WAWANCARA] – “Kita sangat heterogen, baik dari aspek ras, agama maupun budaya. Zaman Rasul juga begitu. Kita ada sepakatan dalam Pancasila. Orang Islam setuju, dan diulas jalan tengah. Lalu semuanya menerima itu. Karena sudah menjadi komitmen bersama, kita berkewajiban memenuhinya,” kata Prof Dr Roem Rowi dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia.
Dia menegaskan, bahwa Allah memang membuat segala sesuatu plural, semuanya majemuk. Dia juga mengutip ayat al-Qur’an yang mengatakan, semuanya dibuat berjodoh-jodohan, berpasang-pasangan. Bukan saja manusia, tetapi juga binatang dan mahluk-mahluk lainnya. “Yang tunggal itu hanya Allah, yang esa hanya Allah. Oleh karena itu kita tidak boleh memaksa. Kalau ada keinginan membentuk negara Islam di Indonesia, ini perlu kita pelajari. Secara konstitusional bisakah kita mengajak rakyat?” ujarnya.
MTI: Kita di Indonesia termasuk bangsa yang relegius. Tetapi yang dipraktikan tidak sesuai dengan apa yang diimaninya. Apa sebabnya?
MRR: Menurut saya ajaran agama baru dipakai sebagai ilmu, bukan perilaku. Padahal mustinya, ajaran agama itu menyatu dengan ilmu, sehingga perilaku kita dikendalikan oleh ajaran agama. Seperti orang Barat yang ahli tentang ke-Islaman, tetapi dia tidak beragama Islam. Di sini orang mengaku orang Islam, tahu ajarannya, tahu hukumnya, tapi tujuannya tidak diwujudkan.
Saya istilahkan, hasil orang yang sholat mustinya, harus selalu ingat Allah. Kalau selalu ingat Allah, maka dia tidak berani lagi melakukan perbuatan yang tidak baik, sehingga hasil dari sholatnya itu membuat dia menjadi orang baik.
Kebanyakan orang mengajarkan tentang shalat dikaitkan dengan urusan surga dan neraka, jadi sifatnya masih dogmatis. Semestinya manfaat shalat membentuk kepribadian yang luhur. Sehingga orang yang sholat tetapi jahat itu seperti orang yang tahu hukum tetapi melanggar hukum, hukumannya mesti lebih berat.
Dalam Al-Quran ada ayat yang menyatakan: “Celakalah orang yang sholat”, artinya, celakalah orang yang shalat tetapi tidak tahu makna dan manfaatnya. Menunaikan shalat tidak berarti hanya sekadar menunaikan kewajiban. Dalam Al-Qur’an tidak ada perintah: shalatlah, tetapi tegakkan shalat. Kenapa? Karena dalam shalat, pikiran dan hati kita harus ditegakkan menuju satu titik. Dan karena selalu ingat Allah, maka kita tidak boleh berbuat jahat. Jadi, kalau hanya melakukan shalat, tetapi tidak menegakkan shalat maka hasilnya seperti itu.
Dan dari sholat kita membentuk kepribadian yang luhur. Bila tidak, ibarat penegak hukum yang tahu hukum tetapi melanggar hukum, maka dia harus dihukum lebih berat. Jadi shalat bukan sekadar membebaskan diri dari kewajiban.
Pada zaman Rasul, tahap yang dibangun pertama adalah keimanan kepada Allah. Kedua, masalah moralitas. Dua hal ini dibangun selama 13 tahun, belum ada kewajiban shalat. Shalat itu baru diwajibkan pada tahun ke 12. Setelah keimanan dan moralnya mantap, baru ada kewajiban shalat.
Islam di Indonesia terbalik, hari ini masuk Islam hari ini sholat, hari ini sunat. Sholat dianggap sebagai kewajiban pertama, kalau tidak, dosa. Mestinya sholat itu dilakukan karena kesadaran untuk menjadi orang baik, bukan karena takut dosa.
MTI: Keadaan di Indonesia sekarang, bagaimana dari sudut pandang Anda?
MRR: Kita sangat heterogen, baik dari aspek ras, agama maupun budaya. Zaman Rasul juga begitu. Kita telah mengambil kesepakatan antara kita dengan Pancasila. Orang Islam setuju, sepakat negara Islam tidak mungkin. Akhirnya diambil jalan tengah. Lalu semuanya menerima itu. Karena sudah menjadi komitmen bersama, kita berkewajiban memenuhinya.
Jadi selama rakyat belum menghendaki bentuk lain, maka janji kita terhadap komitmen itu harus kita penuhi. Suatu saat misalnya ada perubahan, ternyata mereka menginginkan negara Islam, ya tidak masalah, itu sudah kehendak rakyat. Demokrasi ya seperti itu. Orang Islam tidak boleh memaksa non-muslim masuk agama Islam. Jangankan orang lain, anak sendiri pun tidak boleh dipaksa.
Sewaktu zaman Rasul, kejadiannya di Madinah. Sang bapak memaksa kedua anaknya masuk Islam. Tetapi turun firman Allah: Tidak ada paksaan di dalam beragama. Walau anak saja tidak boleh dipaksa. Mengapa? Karena agama tujuannya memberi ketentraman, kebahagiaan, terutama bathin, kepada manusia. Sedangkan sesuatu yang dipaksakan tidak akan pernah menghasilkan ketentraman bathin. Bahkan yang terjadi kemunafikan, secara pisik bisa dipaksakan, tetapi hati tidak bisa dipaksa.
Karena adanya pemaksaan maka muncul kemunafikan. Tujuan tidak tercapai, sementara kemunafikan merajalela. Inilah yang yang paling dibenci oleh Islam. Memang agama tidak bisa dipaksa, tetapi pilihan, maka harus tanggung sendiri. Jadi silakan pilih. Kalau memilih pilihan Allah, risikonya pada Allah. Jadi yang namanya kebebasan seperti itu. Di Indonesia harus seperti itu.
MTI: Mengenai moral, apakah krisis moral terjadi karena tidak memegang nilai-nilai agama dan adat, atau dianggap semuanya yang dulu itu kuno?
MRR: Memang cara pandang bisa berbeda. Tetapi menurut saya, ada kesalahan dalam proses pendidikan. Jadi kita belum mendidik anak bangsa. Secara benar pendidikan moral agama seringkali kita remehkan.
MTI: Selain sebagai dosen, apa lagi kegiatan Anda?
MRR: Selain dosen, kerja saya di Yayasan Pendidikan Islam Al-Hikmah, sebagi Ketua Yayasan. Sekarang dengan struktur yang baru, menjadi pembina. Jadi saya masuk dalam pembinanya karena pembina diperlukan sekali. Seperti Yayasannya Pak Harto, pembina bisa membubarkan dan memecat pengurus. Sehingga posisi saya selain pembina sekaligus pembinasa. Ha..ha..! (Tertawa, dia suka bercanda).
Yayasan memiliki Taman Kanak-Kanak (TK) Islam, ada SD Islam yang full day school, mulai pagi sampai sore. Kita berangkatnya dari apa? Kalau di kota itu banyak orang tua karir, (suami istri) mulai pagi sampai sore harus bekerja, anak diasuh pembantu, diasuh oleh lingkungan. Padahal dalam penelitian diidentifikasi, bahwa kenakalan remaja itu akibat kurangnya perhatian orang tua. Karena itu, daripada diasuh oleh pembantu atau lingkungan, anak-anak itu lebih baik diasuh oleh sekolah. Ketika pulang kerja, orang tua sekaligus menjemput anak mereka. Anak itu sesampai di rumah sudah capek, sehingga pengaruh negatif TV akan berkurang.
Maka kami dirikan sekolah Al-Hikmah dari TK sampai SLTA. Ternyata sambutan masyarakat sangat besar. Untuk SD-nya itu, kami menarik uang Jariyah Rp 10 juta, dan SPP sebulan Rp 625.000. Kalau dijumlah memang lebih mahal dari Al-Zaytun. Tapikan di Al-Zaytun bayar sekaligus, jadi untuk ukuran sekolah Islam termahal.
Meskipun termasuk mahal, kami kebanjiran murid, terpaksa dilakukan seleksi, kami membatasi. Kami hanya menerima enam kelas, maksimal satu kelas 30 murid. Februari, kami lakukan tes masuk, meskipun anaknya belum terima ijazah. Kami sedikit mengikuti metode Al-Zaytun, dengan hafalan Juz amma. Sekarang jumlah murid, dari TK sampai SLTA, 1.500 orang.
Karena full day school maka perlu kita siapkan AC. Setiap kelas full AC, sehingga Infaq SPP-nya mahal. Mekipun mahal, terutama untuk SD, orang tua berebut mendaftarkan anak mereka. Kami buka pendaftarannya hanya seminggu, yang terdaftar selalu melebihi kapasitas. Dan prestasinya, sekolah kami tergolong sekolah swasta tertinggi rankingnya di Jawa Timur.
MTI: Tidak ada rencana mendirikan perguruan tinggi?
MRR: Rencananya begitu, tapi itu masih lama dan perlu persiapan yang benar-benar matang.
MTI: Apa saja yang Anda tidak suka atau paling menarik ketika berdiri di depan kelas sebagai guru dan dosen
MRR: Ketika saya mengajar, yang paling tidak saya sukai, saya sudah masuk, masih ada siswa atau mahasiswa yang baru datang. Mereka saya kenali satu-persatu. Kami buat kesepakatan, siswa yang terlambat, begitu masuk dihukum dengan mengelilingi kelas.
Saat mengajar di S-2, tatap muka mengajar dua jam. S-1 hanya sembilan puluh menit. Majasiswa S-2 paling kritis, apalagi sekarang ada Jaringan Islam Liberal (JIL).
Mengajar majasiswa S-2 itu harus siap. Saya pernah mengajar program master di IAIN Sunan Kalijaga dan Universitas Muhammadiyah Yogya (UMY). Saya sekali sebulan terbang ke sana. Saya mengajar juga pengembangan program sumber daya manusia di Universitas Airlangga Surabaya. Ketika ketemu Pak Haryono Suyono sebagai Ketua Prodi, saya katakan pada beliau, saya tidak setuju dengan istilah Sumber Daya Manusia.
Kenapa? Tanya Pak Haryono. Sumber Daya Manusia (SDM), kesannya kita menyombongkan diri. Padahal dalam Islam, kita selalu katakan, laa haula wala kuata illa billah, “kita tidak punya daya dan kekuatan kecuali dari Allah.” Jadi sumber daya itu Allah. Jadi, menurut saya, manusia itu hanya punya potensi. Cukup indah kalau kita sebut Potensi Daya Insani. Cuma singkatannya PDI (partai politik), he..heh!. Jadi, pengembagan potensi daya insani, jangan SDM lagi.
MTI: Anda juga aktif di Dewan Syariah sebagai apa?
Di Dewan Syariah lembaga infaq di Jawa Timur, saya duduk sebagai Ketua Dewan Syariah dan juga di dua BPR Syariah. Kami menghimpun dana dari para donatur untuk disebarkan ke mana-mana. Misalnya, untuk korban banjir di Malang dan juga bantuan ke Aceh.
MTI: Di Majelis Ulama Indonesia?
MRR: Di Majelis Ulama saya pernah menjadi, semacam pejabat ketua MUI Jawa Timur sampai tahun 2000, karena ketua yang lama meninggal. Mulai 2005, saya dilibatkan di MUI pusat, anggota pleno MUI pusat.
MTI: Bicara soal tafsir Al-Qur’an yang terlalu leterlek, bagaimana?
MRR: Saya orang yang tidak setuju dengan itu. Cuma dari Departemen Agama seperti itu. Misalnya, “jangan kamu jadikan tanganmu terbelenggu ke lehermu”, padahal itu kata kiasaan. Itu tidak perlu diterjemahkan secara leterlek. Saya banyak mengkritik, buku-buku bahasa Arab yang banyak diterjemahkan seperti itu.
MTI: Firman itu langsung dari Allah, walaupun lewat Malaikat Jibril. Bagaimana tentang hal seperti itu?
MRR: Memang ada kata-kata Aku dan Kami. Itu bisa dibedakan. Aku itu memang khusus Allah, jadi Akulah Allah. Jadi tak mungkin diganti dengan Kamilah Allah, itu tak mungkin. Kalau Allah melibatkan pihak lain, maka akan memakai kata Kami. Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan menjaganya. Dan kalau waktu menurunkan melibatkan Jibril, waktu menjaga melibatkan umatnya.
Misalnya, Surat Al Fatihah, pertama menggunakan orang yang ketiga, segala puji milik Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang. Begitu ayat berikutnya; hanya kepada-Mu, tidak hanya kepada-Nya. Itu punya tujuan tertentu, sebab jika menggunakan kata, hanya kepada-Nya, terkesan tidak langsung, tapi kalau hanya kepada-Mu, itu langsung. Ini membuat kita berhadapan muka, dan dekat.
MTI: Mungkin pemikiran-pemikiran baru sedang berkembang di kalangan Islam?
MRR: Pemikiran-pemikiran seperti JIL, saya termasuk orang yang tidak simpati, dan pemikiran-pemikiran itu termasuk lancang terhadap Allah. Dalam satu ayat dikatakan: “Janganlah kamu lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya dan takutlah kepada Allah” (QS. 49:1).
Misalnya pemikiran Muhammadiyah mau kembali pada pemikiran Islam yang dulu, di mana konsepnya sudah usang, konsep tradisional zaman Rasulullah. Artinya, sama saja mengatakan zaman Rasul itu zaman goblok. Karena itu saya kurang setuju. Sebenarnya pemikiran seperti itu, bukan dari dia sendiri, tetapi mereproduksi pikiran orang. Non-Muslim pun macam-macam, ada non-muslim yang damai dengan kita, ada yang memusuhi Islam. Sehingga saya tidak sependapat dengan pemikiran liberalis seperti itu.
MTI: Bagaimana tentang Ahmadiyah?
MRR: Ahmadiyah secara teologis sudah menyimpang dari Islam. Tetapi untuk hidup di negeri ini jangankan umat Islam, umat beragama lain pun, Kristen, Hindu dan Budha harus punya hak hidup yang sama. Jangan orangnya yang diusir dari sini, tapi pikirannya yang sesat tentang Islam. Karena itu kita harus mengajak mereka kembali. Jangan langsung rumahnya dibakar, orangnya dikejar-kejar. Islam itu rahmatan lil alamin, jangankan manusia, binatang pun harus dilindungi dan disayangi.
Ada seorang wanita di zaman Rasul. Rasul bersabda: “Dia masuk neraka karena menghukum kucing yang mengambil makanan. Kucing itu dia kurung, setelah itu dibiarkan mati dalam kurungan.” Artinya, dengan menganiaya kucing sekali pun, seseorang bisa masuk neraka.
Silakan saja dia beriman seperti itu, nanti dipertanggung jawabkan masing-masing. Saya punya anggapan begitu. Kewajiban kita mengajak kembali pada jalan yang benar. Kalau ajakan kita ternyata ditolak, ya sudah! Silakan. Tetapi kewajiban itu saya sudah tunaikan, jadi jangan dikekang, jangan dibunuh, jangan dipaksa.
MTI: Apa pandangan Anda tentang ajaran Ahmadiyah yang difatwakan MUI itu sesat?
MRR: Ajaran itu sebetulnya sudah lama difatwa sesat oleh Majelis Islam di dunia. Tetapi di sini diterjemahkan salah dengan mengusir mereka. Mestinya kita ajak mereka pada jalan yang benar.
MTI: Sebagai salah seorang warga bangsa yang sudah meraih pendidikan tertinggi, Indonesia seperti apa yang Anda impikan?
MRR: Indonesia yang saya inginkan, selaku seorang muslim, tentu gambarannya seperti yang digambarkan Al-Quran, katakanlah dalan istilah kita adil dan makmur, tetapi harus ditambah satu lagi: di bawah ridho ilahi. Artinya, segala aktivitas kita juga harus dipertanggung-jawabkan ke sana. Sebenarnya, negeri kita ini subur, tetapi karena kezaliman kita, makmurnya tidak merata, malah banyak yang hancur lebur. Jadi masalahnya karena tidak merata.
Rezeki Allah untuk semua orang sebenarnya lebih dari cukup, Indonesia kekayaannya lebih dari cukup. Tetapi karena ada yang menimbun terlalu banyak, maka yang lain tidak kebagian. Kita lupa sila Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga apa yang kita ambil harus dipertanggung-jawabkan kepada Allah. Adil makmur terutama dalam pendidikan, sandang, pangan, papan dan kesehatan. Maka yang paling mendasar tersebut harus menjadi prioritas kita. Karena kalau pendidikan diutamakan, maka akan menghasilkan manusia Indonesia yang berakhlak. Ke depannya harus seperti itu.
MTI: Generasi tahun 2000-an akan jadi apa mereka nanti?
MRR: Kaitannya sekarang kan dengan moral. Kita mau bergengsi dengan hal-hal yang tidak benar. Yang namanya perguruan tinggi, terbanyak di Indonesia, tetapi seadanya. Karena ada kebutuhan, banyak perguran tinggi menjual gelar, menawarkan titel dan sebagainya. Kemarin di televisi ditayangkan, gelar ditawarkan hanya Rp 600.000. Di Jawa Timur, tidak sedikit desa memiliki perguruan tinggi, dan itu terdaftar, bahkan diakui juga.
Dalam hal ini, saya melihat Mesir, sama-sama negara berkembang, tetapi masalah pendidikan jauh lebih baik. Kualitasnya, di sana lebih dijaga. Di Mesir perguruan tinggi negeri bisa dihitung dengan jari, di Kairo hanya ada tiga, termasuk Al Azhar. Walaupun hanya tiga, daya tampungnya hampir sama dengan semua perguruan tinggi di Indonesia, sampai 100.000 mahasiswa.
Sekarang, di Indonesia banyak yang menyelenggarakan program S-2 menempel di kantor, bahkan sekarang ijazah doktor diperjual-belikan. Sekarang banyak yang menyandang gelar Doctor Honoris Causa (doktor kehormatan), lama kelamaan hilang HC-nya.
Soal itu kita kembali lagi pada moralitas. Kalau dulu oli dipalsukan, sekarang ijazah dipalsukan, bahkan obat dipalsukan, bahan berbahaya dicampur dengan makanan (formalin), banyak orang tidak peduli. Kalau ia punya moral yang tinggi dan kepekaan agama, hal seperti itu tidak akan terjadi. Mengurung kucing sampai mati saja masuk neraka, bagaimana dengan mencelakakan manusia.
MTI: Tentu keluarga juga ikut berpengaruh, misalnya anak-anak atau istri?
MRR: Soal keluarga, terutama ayah saya, masalah pendidikan, sekolah, itu ketat sekali. Kalau di rumah tidak membantu tidak masalah, tapi kalau masalah sekolah sangat ketat. Menurut doktrin dan pengalaman nenek saya, yang harus diutamakan dan harus tuntas itu anak pertama. Sebab kalau anak pertama berhasil, maka yang lainnya akan menyusul. Tetapi kalau anak pertamanya gagal, semuanya akan gagal. Maka, menangani anak pertama itu harus hati-hati. Itu menjadi pelajaran bapak saya, dan saya sendiri juga seperti itu.
Anak saya yang pertama juga alumni pondok, tapi bukan Gontor, tetapi pondok alumni Gontor. Rencana akan saya wariskan buku saya, saya kirim ke Timur Tengah, ternyata tidak mau, dia malah mengambil psikologi di Malang. Pendidikan anak, terutama agama dan moralitas tidak boleh tidak, tentang keilmuan lain, itu masalah berikutnya.
Selama masih bisa membiayai, saya minta anak-anak untuk terus melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Yang nomor dua S-1-nya sudah selesai. Kemarin ada tawaran kerja di Batam, saya bilang sekolah dulu. Dia sudah ambil S-2 di ITS Surabaya. Dan yang nomor satu, saya minta dia ikut S-2 juga.
Selama agamanya baik, masuk ke ilmu apa pun, silakan. Ilmu, agama dan moralitas harus dipadukan sebisa mungkin.
Alhamdulilah, sekarang semua adik saya juga sudah sarjana. Ada yang di Jakarta, wiraswasta dan bisnis kecil-kecilan. Hanya dia yang tak sempat jadi sarjana. Tapi Alhamdulillah bisa mandiri.
MTI: Bisakah dijelaskan tentang obsesi atau keinginan Anda?
MRR: Saya sederhana saja, yang penting selagi masih ada umur, saya usahakan bermanfaat bagi orang lain. Ibarat, gajah mati meninggalkan gading. Kemudian saya menanamkan kepada keluarga saya agar selalu berinfak dan berdekah. Saya mengajak seluruh jamaah masjid, dapat rezeki sekecil apa pun, 10 persen harus disisihkan. Mengapa sepuluh persen?
Karena saya melihat terutama, kadar zakat dalam Islam macam-macam, ada 20 persen, 10 persen, ada yang 5 persen dan 2,5 persen. Kalau ditotal ada 37,5 persen, jadi kita ambil rata-rata 9,9 persen, dibulatkan menjadi 10 persen.
Yang kedua, infak dan sedekah itu banyak manfaatnya. Kembalinya pada kita juga, bukan pada yang menerima. Infaq itu investasi yang kekal dan paling menguntungkan. Dia itu juga menjauhkan kita dari bencana, penyakit dan menjaga keharmonisan masyarakat. Sedekah itu saya wajibkan pada diri saya. Allah selalu menjanjikan berkah bagi orang yang bersedekah.
MTI: Bagaimana Anda melihat kehidupan ekonomi masyarakat saat ini?
MRR: Yang paling penting, perhatikan kesejahteraan masyarakat, termasuk subsidi untuk rakyat, tapi bukan dengan memberi kompensasi BBM seperti saat ini. Jangan pedulikan IMF dan Bank Dunia. Kesulitan saat ini luar biasa. Memang yang paling gampang mengubah harga BBM. Tetapi begitu harga BBM dinaikkan, semuanya ikut berubah. Dalam satu tahun dua kali menaikkan harga BBM, luar bisa. Langsung naik rata-rata 120%. Kemudian penggunaan fasilitas negara. Mungkin fasilitas yang digunakan jauh lebih besar dari gaji yang diperoleh.
Kalau pajak dimotivasi seperti infak agaknya, rakyat pun tidak masalah dengan pajak tersebut asalkan diwujudkan dalam hal-hal yang bermanfaat. Jangan dikorup. Misalnya, wakil rakyat di DPRD yang kualitasnya kita tahu, tunjangan perumahan saja per bulan 10 juta rupiah. Padahal, seorang dosen yang paling senior, atau seorang profesor yang sudah puluhan tahun, tidak mendapat fasilitas seperti itu. Pegawai negeri sampai pensiun, tunjangan perumahannya hanya Rp 1.800.000, itu pun masih dipotong dari gajinya bukan pemberian. Di situ letak ketidakadilannya.mti/crs/sh