TNI AU Perlu Staf Pelobi

 
0
721
TNI AU Perlu Staf Pelobi
e-ti | angkasa

[WAWANCARA] – Lama tak terdengar kabarnya, mantan orang nomor satu TNI AU pada dasawarsa 70-80an ini tiba-tiba muncul kembali dalam sebuah acara meriah pada Kamis, 17 Januari lalu di Gedung Puri Ardhya Garini, Halim Perdanakusuma, Jakarta. Tak main-main, Ashadi Tjahjadi adalah “tuan rumahnya”.

Hari itu ia luncurkan biografi sejawat sekaligus seniornya, Wiweko Soepono karya Dudi Sudibyo dan JMV Soeparno berjudul “Dari Blitar ke Kelas Dunia: Wiweko Soepono Membangun Penerbangan Indonesia”. Presiden Megawati Soekarno-putri dan sejumlah pejabat tinggi berkenan hadir sehingga sukseslah acara ini.

Buku ini saya anggap penting, karena Wiweko Soepono adalah The Founder of the First Indonesian Aircraft,” ujarnya kepada Angkasa.

Berkemeja batik dengan jalan yang sudah agak tertatih, wajahnya masih memancarkan kegagahan laiknya pilot kawakan. Sekadar mengenang, mantan test pilot lulusan India Test Pilot Course (1959) ini tercatat sebagai KSAU yang mampu mempersembahkan banyak pesawat bagi korps-nya. Walau saat ia memimpin, Indonesia tengah mengalami masa-masa sulit. Diantaranya saja, Ashadi berhasil mendatangkan puluhan Hercules dari versi C-130H/HS/130MP, 15 F-5E Tiger II, 20 jet latih Hawk Mk-53, sejumlah jet L-29, satu skadron pengintai Boeing B737-2×9, lebih dari 32 A-4 Skyhawk, 40 pesawat latih AS-202 Bravo, 14 unit heli AS-330 Puma, dan beberapa radar EWS/GCI Thomson.

Kriteria keberhasilan seorang KSAU memang bukan hanya dari banyaknya pesawat yang dibelinya, namun dengan segala kiprah dan pengalamannya tak ada yang menyangkal jika Ashadi patut disebut sebagai perwira yang begitu menjunjung tinggi angkatannya. Pensiun pada 1983 bukan berarti ikatan batinnya juga pupus. Buktinya, medio Januari lalu pejabat KSAU enam tahun yang diangkat 20 Juni 1977 ini masih mau menyodorkan masukan bagi penerusnya. Penyandang hampir 40 tanda kehormatan ini juga titip resep jitu sehingga ia bisa meninggalkan banyak pesawat meski tengah dililit kesulitan. Berikut petikan wawancaranya dengan Didik Yusuf, Rasantika Merat Seta, dan A. Darmawan:

T : Setiap masa mestinya memiliki masalahnya sendiri. Kesulitan yang kini dialami TNI AU mestinya berbeda warnanya dengan kesulitan masa lalu. Bagaimana cara Anda mendatangkan pesawat-pesawat itu, padahal semua tahu negara tengah dililit kesulitan?

J : Kurang tepat jika disebut saya mendatangkan pesawat-pesawat itu di tengah masa sulit. Keberhasilan itu sebenarnya datang pada paruh kedua dari masa jabatan saya. Pada paruh pertama, atau tiga tahun pertama, saya benar-benar menjalani masa sulit. Material dan peralatan amat minim, duit pun nggak punya. AURI tak bisa yang namanya mengikuti perkembangan teknologi. Nelangsa sekali, sampai-sampai saya ingin sekali cepat diganti, tetapi Menhankan/Pangab tak kunjung mengabulkannya.

Pada paruh kedua itu setidaknya ada dua “kebetulan” yang saya manfaatkan. Pertama, pada 1978-79 harga minyak tiba-tiba melambung dari 6 dollar/barrel ke 30 dollar/barrel. Di mata saya Indonesia tiba-tiba kaya. Kedua, beberapa saat menjadi KSAU saya tiba-tiba bisa dekat kembali dengan seorang jenderal yang pernah dekat dengan saya. Beliau adalah Jenderal M. Jusuf, pejabat baru Menteri Perindustrian. Semasa saya masih penerbang Skadron 3 untuk P-51 Mustang, kami pernah saling mendukung dalam Operasi Penumpasan Gerombolan Kahar Muzakar di Ujung Pandang. Pak Jusuf waktu itu adalah pangdam di wilayah setempat.

T : Lebih jelas tentang “dua kebetulan” itu?

J : Dengan melambungnya pendapatan dari hasil minyak berarti AURI punya kesempatan untuk minta persenjataan baru. Tetapi untuk itu kami tentunya harus pandai-pandai melobi pejabat terkait. Nah, disinilah untungnya pernah kenal dekat dengan Pak Jusuf. Lewat beliaulah saya kemudian kenal banyak pejabat di Jakarta yang dekat dengan “sumber-sumber keuangan”. Misalnya Pak Widjojo Nitisastro, Ketua Bapennas, yang tugasnya adalah bagi-bagi duit untuk proyek-proyek negara. Juga Pak Emil Salim, yang waktu itu termasuk sangat menentukan pada departemen keuangan.

Advertisement

Courtessy call (kunjungan kehormatan) saya ke kantor Pak Jusuf disambut baik, meski tampaknya beliau bertanya-tanya juga tentang keinginan AURI untuk bekerjasama dengan Departemen Perindustrian. Saya bilang saja, “Pak, AURI itu ‘kan technical heavy. Logis kalau saya mencari peluang kerjasama.” Sampai beliau menuntaskan jabatannya, keinginan untuk membeli pesawat belum juga gol. Akan tetapi dengan jabatan berikutnya, untungnya saya bisa lebih menggantungkan harapan. Pak Jusuf ternyata diangkat menjadi Menhankam/Pangab.

T : Tetapi ‘kan Pak Jusuf tak bisa menentukan sendiri?

J : Benar. Untuk itu dia kemudian menyarankan sebaiknya dibicarakan dulu dengan Pak Widjojo dan Pak Emil Salim. Pak Widjojo is a very good listenner. Bicara saya tak diputus sedikit juga. Intinya saya bilang, amat sulit menjalankan angkatan udara tanpa uang. “Jadi you mau apa sebenarnya?” tanya Widjojo. Nah, saya ungkapkan saja bahwa Hercules AURI usianya sudah tua-tua, sudah saatnya diperbaiki. Untung saja dia mau mengerti, karena katanya dia pernah mengalami sendiri bagaimana repotnya menumpang Hercules yang mogok.

Ketika diminta memaparkan kebutuhan AURI, saya pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mengungkap kebutuhan lainnya. Semua itu dengan alasan-alasan yang logis. Diantaranya saja, AURI butuh radar karena wilayah Natuna kerap disusupi pesawat mata-mata Rusia, dan sejumlah pemburu karena perairan Timtim yang baru saja berintegrasi kerap disusupi kapal asing. Sangat tak mungkin memecahkan masalah ini dengan kekuatan yang ada pada AURI dan ALRI pada masa itu. Pak Widjojo kemudian bilang,”Ya sudah cari saja sana.”

T : Memangnya saat itu seperti apa kondisi alut-sista TNI AU?

J : Kita memiliki OV-10 Bronco yang praktis masih baik, juga F-86 Sabre bantuan dari Australia, dan T-33A-10T Bird bantuan AS untuk latih transisi/lanjutan. Akan tetapi bagi saya, terutama T-Bird, kemampuannya sangat terbatas karena faktor usia. G-force-nya di bawah 4. Ini artinya dia sudah nggak bisa pull-up. Senjatanya pun sudah dipreteli AS. Kami sebenarnya pernah memperkuat struktur pesawat-pesawat ini dan mempersenjatainya sekenanya, namun setelah satu T-Bird jatuh di Lanud Iswahjudi, keinginan saya untuk minta yang baru makin kuat.

T : Setelah Pak Widjojo menyatakan persetujuannya, lalu?

J : Saya segera berangkat mencari pemburu jenis F-5 ke Amerika. Saya tertarik dengan pesawat ini karena murah. Saya berangkat ke sana bersama pejabat AU Thailand dan Malaysia. Waktu itu AS sebenarnya sudah punya F-16, tetapi untuk Indonesia, Malaysia, dan Thailand mereka hanya mau melepas jenis interseption. Bagi saya ini tak memuaskan karena daya jangkaunya amat pendek. F-16 jenis ini hanya mampu mengejar lalu turun kembali. AS hanya melepas F-16 multi-role-nya kepada Mesir. Namun demikian toh beberapa tahun kemudian Indonesia diperbolehkan juga membeli F-16 jenis ini dengan syarat Singapura lebih dulu mengoperasikannya.

Kami akhirnya bisa juga membeli F-5, berikut radar ­ baik yang fix maupun yang mobile. Masalah Timtim terpecahkan, dan penyusupan AU Rusia ke Natuna pun bisa dipantau. AURI juga diperkenankan membeli pesawat-pesawat lainnya. Waktu itu kami menggunakan fasilitas Kredit Ekspor (KE).

T : Apakah waktu itu sudah ada praktik mark-up atau KKN?

J : Mungkin ada, tetapi saya merasakan nggak ada tuh. Yang jelas saya menjalannya secara prosedural, yakni mengajak pihak Bapennas dan Departemen Keuangan dalam pembahasannya. Mereka juga menerima alasan-alasan yang saya kemukakan. Untungnya waktu itu saya berhadapan dengan pejabat-pejabat yang enak diajak bertukar pikiran.

Alut-sista yang dibeli semasa kepemimpinan Ashadi Tjahjadi masih ada yang operasional hingga sekarang. Jet latih Hawk Mk.53 yang kini memperkuat Skadron 15 di Madiun, AS-202 Bravo di Sekbang TNI AU, Yogyakarta, F-5E di Skadron 14 di Madiun; heli Puma di Skadron 8 di Bogor; sementara A-4 Skyhawk di Skadron 12, Makassar.

Melihat banyaknya AS-202 yang dibeli AURI waktu itu (mencapai 40 unit), Menhankam/Pangab M. Jusuf sampai-sampai geleng kepala. Ia seakan tak percaya bahwa izin yang diberikannya “berbuah” banyak. “You beli banyak sekali, buat apa?” tanyanya.

Mantan Dubes RI untuk Jerman Barat (1983) ini pun menjelaskan, keputusan itu harus dipilih mengingat kondisi keuangan negara yang tengah membaik tak boleh disia-siakan. Masalahnya, jika kemudian kondisi ini menyurut, AURI mestinya harus menunggu kesempatan lain yang tak jelas kapan datangnya. “AURI pernah minim pesawat latih, sampai-sampai harus menunggu bantuan dari Australia. Nah, kalau kita punya banyak, khususnya pesawat latih, ini ‘kan bisa dijadikan alternatif bagi para penerbang untuk memelihara jam terbang jika kesiapan jet-jet tempurnya melorot,” begitu tutur ayah dari tiga anak dan enam cucu ini menimpali.

Kelahiran Gombong-Jawa Tengah, 5 Mei 1928 ini mengawali dinas ketentaraannya cukup unik. Ia sempat menjadi anggota TKR Siliwangi di Bandung, sebelum akhirnya memutuskan keluar lalu melanjutkan sekolah (setingkat SMA) di Yogyakarta. Padahal pangkatnya waktu itu sudah Letnan Muda. Di kota ini, menutupi biaya sekolah, ia bekerja paruh waktu di Dinas Penerangan AURI. Pimpinan saya waktu itu adalah Pak Salatun (RJ Salatun, Marsda TNI Purnawirawan). Di bawah pengaruh Salatun, juga kemudian Wiweko Soepono, dan Nurtanio, jiwa keudaraannya pun tumbuh. Di kota gudeg ini pula Ashadi sempat mendaftar jadi penerbang tapi kemudian membatalkan diri karena, pertama, terlalu kurus, dan, kedua, pangkatnya harus diturunkan satu tingkat.

Ia kemudian hijrah ke Bandung berusaha memantapkan diri jadi pegawai di ITB, sampai suatu ketika KSAU Suryadarma memintanya secara khusus menjadi Liaison Officer di Lanud Andir, Bandung (1950). Di lanud ini pulalah ia kemudian kembali bertemu Wiweko Soepono yang baru saja menyelesaikan misi negara di Burma. Pendaftaran kedua ke Sekbang Andir terpenuhi karena selain dekat Wiweko, berat badannya juga sudah memenuhi syarat. “Bagaimana berat badan nggak naik, sebagai liaison officer, yang menjembatani penyerahan pesawat dari Belanda ke Indonesia, saya kan kerap kebagian keju dan makanan londo (Belanda, Red) itu,” kenangnya sambil tersenyum.

Karena memang sudah menjadi bakatnya, karier penerbang dijalani dengan mulus. Diantara jabatan yang pernah dipegangnya adalah Danlanud Hussein Sastranegara (1964), Dirjen Perhubungan Udara (1966), Pangkowilu V Jakarta (1970), KSAU (1973), Penasihat Menristek/Ketua BPPT (1986). Di tengah kesenjaan usianya kini, Ashadi masih aktif jadi Penasehat Rolls Royce, pabrik mesin pesawat yang berkedudukan di Inggris. Untuk itu namanya tercantun dalam keanggotaan South East Asia Rolls Royce Advisory Group. Disamping itu ia juga masih memantau perusahaan penerbangan SMAC dan DAS yang ia dirikan bersama rekan-rekannya.

T : Bagaimana komentar Anda tentang krisis menurunnya kesiapan pesawat di TNI AU saat ini?

J : Sistem dan prosedur pembinaan personelnya sebenarnya sudah baik. Masalahnya, ya itu, TNI AU kini nggak punya duit saja. Zaman saya, katakan dengan sejumlah dollar bisa untuk membeli lima komponen, kini untuk membeli sebuah komponen saja mungkin tak bisa.

T : Apakah dengan minimnya anggaran, TNI AU harus menyerah begitu saja?

J : Ini pertanyaan yang baik sekali. Jadi, kalau boleh saya menilai, TNI AU itu sekarang kurang pelobi (lobby). Pada masa saya, peran mereka ini begitu penting terutama jika ke luar Pemerintah bilang tak punya duit. Mereka inilah yang kemudian kasak-kusuk mendekati pejabat-pejabat negara yang kira-kira dekat dengan sumber keuangan. Penting juga untuk diperhatikan para pelobi untuk urusan luar negeri, karena siapa tahu ada pihak di luar negeri yang sebenarnya ingin membantu tetapi tak mau tampil secara eksplisit. Yah namanya juga lobi, tak gol pun tak apa.

Saya tak tahu persis, kurangnya pelobi ini apakah karena memang tak dimungkinkan atas pertimbangan intelijen atau karena memang ada peraturan yang melarang dari atas. Kalau memang sudah disiapkan orang-orang khusus untuk mendekati kedutaan besar negara asing, saya merasakannya saat ini kurang ya. Untuk itu cari kemungkinan untuk menyebar perwira-perwira pilihan yang kira-kira bisa ngomong dan melobi. Karena kalau pun menjadi tugas Kepala Staf, pasti nggak ada waktulah. Kirim mereka ke teman-teman yang dekat dengan sumber-sumber keuangan dan para penentu kebijakan. Ke Departemen Keuangan atau Bapennas atau kemana kek. Ajak ngobrol pejabat setingkat dirjen, sekjen, atau apalah. Bicarakan apa yang bisa dikerjakan bersama.

T : Bagaimana dengan tugas atase pertahanan?

J : Melobi negara sahabat juga menjadi tugas mereka. Tetapi sejauh ini saya melihat sama saja. Ada yang rajin, ada yang nggak. Banyak sekali yang baru mau maju setelah ada perintah. Susah memang kalau sudah menghadapi penyakit SDM seperti ini.

T : Semasa Anda memimpin TNI AU sudah adakah peraturan semacam itu?

J : Untungnya nggak ada. Di lain pihak, struktur kepemimpinan ABRI pada masa saya juga tak bikin rumit urusan. Persisnya, dengan jabatan menhankam-pangab yang hanya dipegang satu orang, saringan untuk rencana proyek menjadi praktis. Paling mereka hanya bilang, “Saya setuju, tetapi mengenai jalannya proyek serta perkembangannya harap dilaporkan ke menhankam/pangab.” Saya waktu itu hanya diminta mengajukan keperluannya apa, dan sama sekali nggak perlu tergantung izin pangab seperti sekarang. Sekarang ‘kan apa-apa dirapatkan dulu, saringannya banyak sekali. Sudah begitu iya kalau panglimanya tertarik?

T : Jadi Anda tak sependapat dengan struktur kepemimpinan TNI yang sekarang?

J : Bukannya tidak setuju, tetapi alangkah baiknya jika ditinjau kembali. Kalau memang hanya bikin sulit buat apa diteruskan. Toh yang namanya panglima itu ‘kan cocoknya jika ada perang. Dan, kalau pun ada perang, kewenangannya tak perlu se-Indonesia. Cukup hanya di sekitar medan laganya saja. Untuk saat seperti sekarang yang pas justru kepala staf gabungan. Ini artinya, para kepala staf akan menjadi panglima-panglima kecil yang punya otoritas sendiri terhadap angkatannya. Setahu saya, masalah ini sudah mulai diperbincangkan.

T : Pada masa kepemimpinan Anda agaknya embargo hampir tak ada, ya?

J : Dari dulu sampai sekarang pangkal embargo sebenarnya masih sama, yakni pelanggaran hak azasi manusia. Hanya kini masalahnya, mengapa sorotan yang diarahkan ke Indonesia amat tajam. Apakah karena memang sudah terjadi pelanggaran HAM, atau hanya akibat ulah kelompok-kelompok oposisi. Tak hanya yang ada di Indonesia, kelompok oposisi penentang Indonesia di Kongres AS juga ada lho. Tak kurang hebatnya adalah pengaruh dari LSM-LSM. Di Amerika, LSM itu begitu banyak dan banyak pula yang sering mempengaruhi anggota Kongres. Di antara mereka pun banyak yang tidak memperjuangkan HAM secara murni. Asal tahu saja, orang Amerika itu juga sering salah menilai lho. Dinas Intelijen AS, CIA, sekali pun bahkan kerap salah menilai, karena yang namanya menilai memang sulit. Sering subyektif.

T : Mungkin juga karena kita lemah dalam meng-counter isu pelanggaran HAM itu?

J : Bisa saja. Karena kalau kita melihat upaya penumpasan teroris di luar negeri, kok institusi HAM internasional diam saja. Jadi mungkin yang terjadi adalah, disamping informasi yang merugikan menyerbu, humas untuk meng-counter semua isu pelanggaran HAM memang tak ada. Kalau pun ada mungkin tak berjalan baik. Lewat wadah Barnas (Barisan Nasional, yang didirikannya bersama Kharis Suhud, Solichin GP, Ali Sadikin, Kemal Idris, Saleh Basarah, dan rekan-rekannya yang lain), kami juga memberi masukan ke Pemerintah perihal HAM ini. Akan tetapi, apakah sudah sangat terlambat atau bagaimana, serangan LSM-LSM itu memang kelewat gencar.

T :Anda dekat dengan Dubes Inggris. Pernahkah Anda bicarakan masalah ini?

J :Yang saya dengar dari pihak Rolls Royce, Inggris tak melancarkan embargo terhadap Indonesia. Yang diembargo dari Inggris hanyalah komponen buatan Amerika yang melengkapi pesawat buatan Inggris. AS tak ingin menjual komponen buatannya ini kepada end-user yang kena embargo. Saya sendiri masih sering melobi Dubes Inggris untuk Indonesia. Saya pernah bilang kepadanya, Anda kalau mau membantu jangan begitu dong caranya. Mengapa tidak mereka saja yang impor lalu biarkan dulu di Inggris untuk jangka waktu yang lama, setelah itu baru dikirim ke sini. Ujung-ujungnya dia menyebut-nyebut masalah uang. (Angkasa No.5 Februari 2002 Tahun XII). ti

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Tokoh Terkait: Ashadi Tjahjadi, | Kategori: Wawancara | Tags: tni u, halim perdanakusuma

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini