Denny Kailimang: Kuncinya, Manusia Berhati Nurani

Wawancara Denny Kailimang

Denny Kailimang Ingin Menjadikan Advokat Profesi Terhormat
 
0
178
Denny Kailimang (Tokoh.ID)
Denny Kailimang (Tokoh.ID)

Denny Kailimang, advokat senior kondang dengan segudang prestasi dan pengalaman di bidang hukum, tetap menaruh harapan besar pada tegaknya supremasi hukum di republik ini. Di tengah degradasi SDM penegak hukum yang makin materialistis, dia menilai bahwa kunci penegakan hukum ada pada manusia yang berhati nurani, “Makanya mari para jaksa, hakim, polisi, penegak hukum pakai hati nurani dalam menangani kasus-kasus.”

Sampai sekarang, proses penegakan hukum di Indonesia masih banyak nilai merahnya. Sejumlah perbaikan sudah dilakukan namun masih jauh dari ideal. Makelar kasus masih marak, oknum polisi/jaksa/hakim/advokat makin lihai memutarbalikkan fakta dan mencari celah hukum untuk kepentingan materialistis. Kasus Sambo misalnya. Seorang Kadiv Propam Polri (2020) yang seharusnya menjaga kehormatan Polri justru mengobrak-abrik penegakan hukum dengan memutarbalikkan/mengaburkan fakta dan merusak bukti-bukti yang terkait dengan pembunuhan Brigadir Joshua Hutabarat. Sebagai dalang utama pembunuhan Brigadir Joshua, dia juga menyeret puluhan polisi untuk merusak tatanan hukum dan keadlian, merusak citra dan integritas Polri yang sedang dibangun.

Ada pula kasus mahasiswa UI yang tewas ditabrak pensiunan Polri. Kasus ini sempat berlarut-larut hingga akhirnya ramai di media sosial. Ironisnya, sang mahasiwa yang tewas itu malah dijadikan tersangka oleh polisi. Nalar publik pun akhirnya meronta-ronta. Polda Metro Jaya kemudian turun tangan dan melakukan rekonstruksi ulang atas kasus kecelakaan tersebut. Hasilnya, ada ketidaksesuaian prosedur dalam penetapan tersangka. Walapun status tersangka mahasiswa UI akhirnya dicabut dan nama baiknya dipulihkan, publik sudah keburu mafhum bahwa kasus ini menjadi bukti bahwa hukum bisa dikondisikan sedemikian rupa oleh oknum-oknum yang terlibat dalam penegakan hukum itu sendiri.

Yang paling parah dan menyedihkan, dua hakim agung ditangkap dan ditahan KPK dalam kasus dugaan suap kasus pailit Intidana. Hakim agung sebagai penjaga benteng terakhir justru malah makin mencoreng wajah peradilan di Indonesia dan menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Sebelumnya, KPK sudah menangkap Sekretaris MA Nurhadi karena terlibat aktivitas pengaturan perkara di MA dan disebut memperoleh keuntungan Rp 83 miliar. Nurhadi divonis enam tahun penjara pada Maret 2021 lalu.

Denny Kailimang yang sudah menekuni profesi advokat sejak tahun 1978, mengakui bahwa sampai sekarang masih banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, baik yang dari pribadi profesional yang bersangkutan, maupun penyimpangan yang terpengaruh oleh kekuasaan tertentu. “Misalnya kalau kita lihat dan masuk di penyidikan, ada timbul masalah, dipersulit, diperlambat, tidak transparan, sehingga di sini terlihat kecenderungan ada hal-hal yang tidak berkenan, baik sebagai pelapor maupun sebagai terlapor. Menimbulkan pertanyaan ada apa ini? Kenapa bisa begini? Hal ini karena tidak ada transparansi, pengawasannya bagaimana, jalan tidak?” kata Denny Kailimang kepada wartawan Tokoh Indonesia saat wawancara di kantornya Menara Kuningan, Selasa, 14 Februari 2023.

Denny Kailimang mengatakan bahwa akar carut marut penegakan hukum di negeri ini ada pada manusianya. “Inilah yang saya katakan, masalahnya adalah manusianya, kemudian kontrolnya, pengawasannya, dan hati nuraninya,” kata Denny Kailimang.

Sebagus apapun undang-undangnya atau sistemnya, tanpa integritas dan hati nurani, lembaga peradilan akan terus jatuh bangun dalam menjaga marwahnya sebagai benteng terakhir penjaga keadilan hukum di Tanah Air. Integritas dan hati nurani hakim dan aparat peradilan menjadi kunci utama dalam menjaga rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan di lembaga peradilan.

Denny Kailimang memandang bahwa penyimpangan-penyimpangan yang terjadi sekarang ini bisa diminimalkan bila penerapan hukum dan sistem pengawasan berjalan sebagaimana mestinya. Kepolisian dan kejaksaan sudah ada sistem pengawasannya namun tidak berjalan karena mereka tidak mempunyai independensi. Memang muncul kasus-kasus yang membuka borok institusi sehingga semua beramai-ramai berjanji akan membenahi diri, namun satu dua tahun kemudian, mereka semua lupa dan mengulangi kesalahan yang sama.

“Itulah yang kita harapkan, bagaimana dapat menciptakan satu suasana peradilan yang benar-benar transparan, akuntabel, dalam penanganan hukum. Mulai dari tingkat penyidikan di kepolisian, penuntutan dan sampai di pengadilan. Begitu juga halnya dengan kasus-kasus perdata. Bagaimana penegak hukum baik jaksa, polisi, hakim, advokat, lembaga pemasyarakatan, menjadi suatu integrated system. Kalau satu tidak jalan, maka akan pincang semua,” kata Denny Kailimang.

Wawancara wartawan Tokoh Indonesia
Wawancara wartawan Tokoh Indonesia

Berikut bincang-bincang wartawan TokohIndonesia dengan Denny Kailimang (DK) seputar penegakan hukum, lembaga peradilan, organisasi advokat dan kunci agar supremasi hukum bisa ditegakkan di negeri ini.

Advertisement

Penegakan hukum di Indonesia harus mengedepankan profesionalitas, akuntabilitas, dan progresivitas di tengah kondisi kita sekarang. Bagaimana tanggapan Bapak?

DK: Kalau terkait soal progresivitas, ya itu sudah tertanam sejak awal kan. Yang paling penting dalam hal ini adalah penerapan hukumnya dan pengawasannya. Yang kita lihat sekarang ini masih banyak penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, baik yang dari pribadi profesional yang bersangkutan, maupun penyimpangan yang terpengaruh oleh kekuasaan tertentu. Sehingga suatu proses hukum yang harus berjalan semestinya sesuai dengan ketentuan, sesuai asas-asas hukumnya, kadangkala ada penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam pelaksanaannya.

Dengan demikian banyak juga yang merasa dirugikan, sehingga bisa timbul bermacam-macam masalah. Ya karena merasa seharusnya mereka yang benar, lantas timbul masalah apabila suatu penanganannya itu menjadi berbelit-belit, sehingga timbullah kasus-kasus tertentu lagi. Seperti kasus suap. Contohnya sekarang ini kita lihat, sampai Hakim Agung saja dua orang yang ditangkap oleh KPK.

Jadi inilah memang suatu proses yang harus ditegakkan, bahwasanya profesionalisme mereka, benar harus ada. Kemudian penegakan hukumnya sesuai dengan asas-asas hukum itu. Inilah harapan kita ke depan benar-benar ada suatu penegakan hukum yang sesuai dengan asas-asas hukum. Jangan keluar dari sana. Kalau keluar dari sana berarti ada sesuatu yang menjadi masalah. Dan kemudian akan menimbulkan masalah juga, seperti pada hakim-hakim yang ditangkap itu.

Inilah yang kita harapkan bahwa penegak hukum baik jaksa, polisi, hakim, advokat, lembaga pemasyarakatan, menjadi suatu integrated system. Kalau satu tidak jalan, maka akan pincang, dan sesuatu akan terjadi, akhirnya pincang semua.

Awalnya kan di penyidikan-penyidikan itu, bisa polisi, bisa jaksa. Kemudian penuntutan. Jadi ini adalah suatu proses, dan proses inilah sebenarnya yang terganggu di dalam pelaksanaannya. Misalnya kalau kita lihat dan masuk di penyidikan, ada timbul masalah, dipersulit, diperlambat, tidak transparan, sehingga di sini terlihat kecenderungan ada hal-hal yang tidak berkenan, baik sebagai pelapor maupun sebagai terlapor. Menimbulkan pertanyaan ada apa ini? Kenapa bisa begini? Hal ini karena tidak ada transparansi, pengawasannya bagaimana, jalan tidak?

Di kepolisian ada pengawasannya ya, baik di Propam, baik di dalam penyidikan ada juga pengawasannya. Biasa di kejaksaan juga ada. Tetapi semua tidak jalan karena independensi mereka itu tidak ada. Mudah-mudahan dengan kasus-kasus yang ada belakangan ini kita harapkan ke depan bisa lebih baik. Tetapi setelahnya satu atau dua tahun lagi mungkin saja dilupakan kembali. Jadi kan sama saja mengulangi hal yang sama. Jangan sampai mengulangi hal yang sama lagi.

Itulah yang kita harapkan, bagaimana dapat menciptakan satu suasana peradilan yang benar-benar transparan, akuntabel, dalam penanganan hukum. Mulai dari tingkat penyidikan di kepolisian, penuntutan dan sampai di pengadilan. Begitu juga halnya dengan kasus-kasus perdata.

Semua kembali kepada azas hukumnya dalam memberikan suatu putusan-putusan, sehingga tidak terjadi masalah-masalah yang mencurigakan, baik penggugat maupun tergugat. Padahal hukumnya sudah jelas, tinggal diterapkan saja.

Seperti Bapak katakan meski sudah jelas ada aturan atau undang-undang atau payung hukumnya, namun penegakan hukum seringkali tumpul. Perlu langkah apa dan terobosan seperti apa, menurut Bapak?

DK: Kita bisa lihat bahwa di dalam suatu proses hukum, baik di dalam kasus-kasus pidana maupun dalam kasus-kasus perdata, pailit, semua undang-undangnya sudah ada. Hukum acaranya, hukum materialnya sudah ada, tinggal sekarang bagaimana menerapkannya. Yang menerapkan dan menulisnya itu kan orang, yaitu para hakim, advokat, polisi, jaksa. Yang menulis dan yang mengimplementasikan di dalam tindakan kekuasaan yang ada padanya itu kan orang. Hal inilah yang seringkali sudah tidak sesuai. Sehingga banyak yang dikecewakan. Salah satu pihak dikecewakan. Pertama mungkin pelapornya merasa terhambat karena ulah dari terlapor. Begitu juga dengan gugatan. Begitu mulai, ada apa ini, timbul curiga lagi. Hal ini terjadi karena hukumnya yang tidak bisa diterapkan dengan baik. Ya itu namanya azas. Seperti misalnya kalau punya hutang, ya sudah tinggal bayar kan. Jangan ada alasan-alasan lagi.

Semua ini kalau profesional, baik polisi, jaksa, hakim, pengacara, maka penegakan hukum akan terlihat. Tetapi sekarang kita tidak melihat dengan baik semua, karena sudah saling curiga. Saling merasa hak-haknya bisa dikesampingkan, atau dimatikan oleh suatu putusan pengadilan.

Inilah yang kita harapkan bahwasanya pengawasannya yang bagaimana. Ada Komisi Yudisial, tapi tidak bisa juga. Ada Ombudsman tapi tidak bisa juga, hanya satu dua saja yang bisa dilihat dilakukan.

Jadi langkah apa yang harus dilakukan? Terlihat pemerintahan sekarang terus berupaya menciptakan dan memajukan hukum nasional Indonesia yang dapat memberi keadilan di masyarakat. Seperti melakukan pemulihan ekonomi bangsa usai diterpa pandemi, dengan upaya mendatangkan para investor luar dengan kemudahan perijinan agar pertumbuhan ekonomi Indonesia cepat bangkit. Tanggapan bapak?

DK: Di tingkat atas pemerintah sudah bagus, tapi itu harus diikuti di tingkat jajaran bawah. Sekarang kalau investor sudah siap, sudah siap semuanya, kendalanya ada di penerapannya. Memang di atas harus cepat, tetapi di bawahnya tidak begitu. Kita sudah ada peraturannya, harus ada cipta kerja, iya sudah. Tapi pelaksanaannya bisa berbulan-bulan keluar ijinnya, sementara investor dari luar negeri itu sudah siap masuk tapi mendapatkan kendala-kendala dalam pelaksanaannya. Di tingkat menteri, di tingkat gubernur. Mestinya cepat dong. Yang mestinya tiga sampai empat hari, ini bisa berbulan kadang tahunan baru keluar.

Di sini yang tidak benar adalah orangnya. Itulah birokrasinya. Sehingga investor juga melihatnya dan bertanya-tanya bagaimana mau masuk, jadi mereka terhambat. Sementara pada duta besar kita di luar sudah berjuang mempromosikannya. Bapak Jokowi perorangan sudah bagus, tapi harus didukung jajaran di bawahnya. Saya tahu hal ini karena dialami para klien saya.

Di dalam hal inilah kita bisa lihat, apalagi di tingkat pengadilan yang punya kewenangan. Masing-masing punya kewenangan. Coba kalau dia benar-benar bisa transparan dalam penegakan hukum ini, kita juga lebih enak sebagai lawyer. Karena kita ini kejepit kiri kanan. Kalau lapor, klien bisa dipermainkan. Bisa terlapor juga mempermainkan pelapor. Semua bisa terjadi. Jadi, inilah bagaimana cara menyelesaikannya. Orangnya, iya kan.

Saya rasa mudah-mudahan orang-orangnya ini sudah mulai ke depan, sudah bisa wise (bijak) lah untuk melayani publik masyarakat. Yang lain punya sistem, ini kitab undang-undangnya ada semua, tapi ya itulah. Karena kekuasaan bisa dimiringin, bisa dilurusin, bisa dibelokin, iya kan, karena masih kekuasaan. Nah kontrolnya, pengawasannya itu bagaimana. Dengan Komisi Yudisial (KY) bagaimana, dan Mahkamah Agung bagaimana kontrolnya.

Jadi kesulitannya semua ini ada, semua undang-undangnya ada, tapi manusia yang menjalankannya, yang menerapkannya, bisa dia belokkan. Akhirnya kembali kepada manusianya.

Inilah program SDM yang diinginkan dibangun oleh Presiden Jokowi. Sumber daya manusia yang dikatakan itu kan tidak bisa sehari dua hari. Cukup lama untuk membinanya. Sampai sekarang belum terlaksana dengan baik. Buktinya ya itu, tertangkapnya hakim itu luar biasa. Kalau dibuka mungkin saja lebih banyak lagi.

Dari penjelasan di atas harus diakui bahwa hukum di Indonesia mengalami kemajuan dan perkembangan, hal ini karena Pemerintah sekarang memang menginginkan perbaikan-perbaikan. Namun belum tersentuh dengan baik.

Perbaikan dari sistem sudah ada di kementerian. Di birokrasi juga sudah ada. Tapi di pengadilannya kan belum. Memang sudah mulai ada E-Court segala macam, tapi belum berlaku secara keseluruhan. Masih ada tatap muka dan seterusnya, tapi itu bukan persoalan, karena kan itu proses. Cuma dalam hal ini tentunya kita harus melihat dari sisi profesionalisme mereka dalam menangani kasus-kasus. Baik di Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan maupun Advokat. Kalau ini sudah jalan saling kontrol, itu bagus. Tapi ini tidak jalan, karena masing-masing, jadi amburadul. Lihat saja pengadilan, di sana sudah seperti pasar. Bagaimana kita bisa melihat bahwasanya pengadilan itu berwibawa.

Kita masuk di pengadilan seperti di Singapura, di Malaysia, terlihat berwibawa dihormati. Nah ini kita masuk pengadilan seperti pasar.

Dulu masuk pengadilan itu masih tertib, lihat bajunya, asesorisnya dan sebagainya. Sekarang sudah seperti pasar, sudah tidak tahu advokat atau apa. Banyak sekali. Jadi tidak mendukung di sini. Ribuan perkara dengan suatu pengadilan yang demikian kecilnya, tidak nampak berwibawa lagi.

Jiwa pengadilan itu mulai dari asesorisnya, terutama gedungnya. Bisa karena sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang. Kalau ada 1000 perkara dalam setahun, lantas bagaimana bisa menghadapinya. Sudah bertaburan banyak orang ke pengadilan, dan jadinya seperti pasar karena penuh sesak. Menurut saya hal itu, dan Mahkamah Agung juga tidak melihat hal ini, padahal ini bagian daripada Mahkamah Agung. Sementara kalau itu bisa dibenahi akan menjadi berbeda. Padahal kita bisa melihatnya itu terhormat, ada wibawa di sana.

Itu harapan kita ke depan, selain kepada SDM nya dan pengawasannya. Selama tidak mau diawasi, kemudian pengawasannya lemah, baik horisontal maupun vertikal, yah akhirnya seperti kasus fenomenal yang terjadi sekarang. Akhirnya sudah mulai pengawasan masyarakat kan. Yang sudah terjadi seperti peradilan jalanan. TV, media dan sebagainya masuk, dan semua membuat opini-opini. Apakah begitu yang kita inginkan atau tidak? Apakah itu sebuah contempt of court atau tidak?

Terkait dengan progresivitas hukum ke depannya, bagaimana pendapat bapak?

DK: Ya tergantung manusianya kan. Saya rasa kembali prinsipnya pada manusianya. Kalau manusianya mau politik bagaimana, diintervensi, politiknya kacau, kalau memang tertib semuanya, tidak mungkin bisa diganggu. Dan tetap pada prinsipnya bahwa kalau diganggu harus tetap jalan terus. Seperti kasus sekarang yang ramai, kan bisa jalan. Jadi sistem yang ada ini harus kita tegakkan, dijalankan dengan benar sesuai dengan hukum. Namun yang menjalankan ini yang sering menyimpang.

Terkait dibangunnya IKN Ibukota Negara di Kalimantan, apakah nantinya akan memunculkan potensi konflik baru. Tanggapan bapak?

DK: Saya rasa IKN tidak ada lagi masalah hukumnya. Karena sudah ada Undang-Undangnya. Ada payung hukumnya. Tidak ada masalah lagi sekarang dalam arti kata mengenai Ibu Kota Baru.

Masalah tanahnya, itu lain lagi. Itu problem tanah dimana-mana ada. Bukan karena IKN nya (Ibu Kota Negara). Sama saja semua dengan mafia-mafia tanah ini bergerak begitu melihat ada keuntungan-keuntungan yang ada dengan adanya proyek di sana. Tetapi itu kan tegas pemerintah di dalam pembebasan tanahnya. Jadi itu lahan kan lahan pemerintah. Tanah kan tanah negara. Dan ada dibayar ganti uang kan. Tidak ada masalah IKN ini menurut saya. Yang kita harapkan pembangunannya bisa lancar.

Ada baiknya untuk pindah ibukota ini. Supaya terkontrol juga mereka, seperti yang saya katakan tadi, lebih disiplin. Pengadilan mindsetnya jadi dirubah, iya kan. Seperti contoh kita di sini kalau keluar negeri ternyata bisa juga mengantri, tapi kalau di dalam negeri rebut-rebutan.

Tapi lama lama gak tahu juga, kulturnya bisa jadi kembali lagi gitu. Ya ini contohnya juga seperti Mahkamah Konstitusi, dulu sudah bagus, lama-lama jadi turun. Jadi ini semua balik lagi seperti lingkaran setan. Dulu tahun 70 dan 80 an kita melihat para profesor kita masih enak bagus, begitu hormat, sekarang banyak berubah.

Inilah yang saya katakan, masalahnya adalah manusianya, kemudian kontrolnya, pengawasannya, dan hati nuraninya. Jadi kalau dia mencintai profesinya, ya dia bisa baik.

Jadi kembali kepada orangnya. Benar-benar bisa menggunakan hati nuraninya lebih banyak, hal itu mungkin tidak? Memang dengan situasi kondisi sekarang agak berbeda. Misalnya kenapa bisa hakim tertangkap dan sekian banyak panitera. Ini bagaimana seleksi-seleksi hakimnya. Kalau dikatakan tunjangan-tunjangan hakim besar. Saya bilang tidak besar untuk kondisi saat ini. Kalau terpengaruh. Ya, ini karena terpengaruh. Semua tatanan masyarakat sudah sangat materialistis. Hal ini yang harus dilihat keseluruhan. Kalau mereka yang tahan ya tahan, yang tidak tahan kan akhirnya berbuat. Karena lihat sekitarnya berbuat begitu ya akhirnya ikut, bisa karena kebutuhan. Dalam ilmu kriminologi ini disebut karena lingkungannya mempengaruhi, lingkungannya sudah buruk semua, karena tiap hari dia lihat, lama-lama jadi profesional.

Sebagai seorang pengacara kondang yang pernah menangani sejumlah kasus besar di Indonesia, apa visi dan misi Bapak sekarang?

DK: Saya selalu katakan, terutama di advokat ini selalu diobrak abrik. Kita inginkan tertib, mereka tidak ingin kita tertib. Undang-undangnya ada tapi organisasinya diobrak abrik. Dulu sudah tertib sekian tahun, mereka tidak inginkan kita bersatu karena kita solid, kita mengawasi mereka. Kita ada di semua lini, ada di kepolisian, ada di kejaksaan, di pengadilan, ada di perdata, ada di luar kontrak-kontrak. Sehingga rusaklah mental dari advokat-advokat ini, rekrutmen sudah tidak benar semua. Padahal tahun 2012-2013 itu, kita sudah rekrut dengan begitu baik. Zero KKN, lewat organisasi PERADI.

Saya berkecimpung dari awal jadi mengerti betul, pertama single bar mulai, lalu masuk PERADI sudah bagus karena kita mulai dengan program kerja Advokat Indonesia. Kita sudah rekrut, buat undang-undang dan seterusnya, sudah bagus waktu PERADI. Setelah PERADI berjalan, 5 tahun lalu ribut, kebetulan ini juga ulah dari pemerintah tidak tegas. Kalau dia tegas, satu saja. Karena pengawasannya kan ada di Mahkamah Agung dan Menteri Hukum dan HAM. Kalau dia tegas sudah tidak bisa macam-macam.

Jadi mau tidak mau harus jadi multibar, semi multibar. Tidak single bar lagi. Ada dewan Advokat nasional. Disana ada 10 atau 12 orang yang atur semua di sana secara periodik, dan kebijakan semua ada di sana.

Jadi saya ini seorang aktivis di kampus, jadi satu-satunya kalau sarjana hukum itu kan cuma beberapa pilihan saja. Mau masuk politik, masuk birokrasi atau mau masuk mandiri. Mandiri kan berarti menjadi advokat. Itulah yang saya alami. Karena saya sangat dinamis, maka saya condong masuk advokat.

Sosok dan figur yang menginspirasi saya menjadi pengacara itu adalah Yap Thiam Nin.

Saya lihat begitu, dalam diskusi-diskusi kalau tidak salah dalam kasus Marsinah 72-73, saat itu saya jadi panitia dari Fakultas Hukum Parahyangan Bandung (UNPAR), kerjasama kita dengan UNPAD kemudian lihat dari pemberitaan-pemberitaan.

Apa harapan Bapak terkait penegakan hukum ke depan?

DK: Bagi saya tentu ada penertiban, kemudian ada organisasi yang ditertibkan. Yang kita harapkan bahwasanya organisasi advokat inilah yang harus mempunyai peran dalam pembinaan dari Advokat. Jadi dia yang mengarahkan, karena dia yang menuntun dan mengawasi Advokat.

Sekarang sudah tidak ada lagi figur atau karakter para advokat itu. Dulu kita masuk pengadilan kalau mau bersidang itu masih pakai dasi, itu tahun 70-80 an, karena ya kita memang mencintai profesi kita. Sekarang kan sudah berubah, karena organisasinya sudah berbeda, namun setelah reformasi sudah berubah sama sekali.

Jadi harapan saya organisasi advokat ini, aturan-aturannya di-review lagi lah, menjadikan advokat itu profesi terhormat.

Sebagai orang yang mengecap asam garam di bidang kepengacaraan selama empat puluh tahun lebih apa yang bapak pesankan agar penegakan hukum kita tetap ada harapan dan masih adakah harapan dalam penegakan hukum?

DK: Tentu harapan saya masih ada, masih mau melihat bahwasanya penegakan hukum itu bisa ada di republik ini. Meski ada degradasi SDM, demikian merosotnya, sehingga bagaimana bisa hukum ditegakkan disini. Kalau bisa pakai hati nurani maka akan lebih bisa kita lakukan. Dengan ada hati nurani akan lebih bisa kita rasakan. Makanya mari para jaksa, hakim, polisi, penegak hukum pakai hati nurani dalam menangani kasus-kasus.

(Nita/Hotman/Rik)/e-ti

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini