Kebenaran dan Keadilan Ternyata Tak Cukup

 
0
90
Kebenaran dan Keadilan Ternyata Tak Cukup
e-ti | tempo

[WAWANCARA] – Bangsa ini tampaknya tidak sabar dalam menjalankan semua hal, bahkan tidak jarang mengambil jalan kekerasan dan otoriter untuk memaksakan kebenarannya sendiri. Paling tidak, itulah yang bisa kita saksikan dalam hari-hari terakhir ini.

Mahasiswa, dengan maksud baik, memaksakan kebenarannya seakan merekalah pemegang monopoli kebenaran. Buruh, juga dengan maksud baiknya, menuntut perbaikan dengan perusakan. Sebuah organisasi dengan niat menegakkan kebenaran, lupa telah menjalankan hukumnya sendiri yang menjadi salah dalam negara hukum. Pejabat negara, dengan kekuasaannya, juga merasa menjadi pemegang keputusan dan ngotot dengan kebenarannya sendiri. Akhirnya, bangsa ini hanya menumpuk dendam.

Sejarawan dan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Taufik Abdullah, mengatakan, kebenaran dan keadilan tampaknya tidak cukup untuk bangsa ini. Kebenaran dan keadilan itu masih harus didampingi kearifan. Dan, kearifan tampaknya masih belum ditemukan negeri ini. Meski demikian, kearifan bukan kunci tunggal menyelesaikan persoalan kebangsaan yang menumpuk dan multidimensi. Pasalnya, kalau kita memaksakan kearifan sebagai kunci tunggal penyelesaian berbagai persoalan kebangsaan, sama artinya kita menjadi seorang diktator.

Berikut ini petikan pandangan Taufik ketika dijumpai di ruang kerjanya yang sederhana di Lantai 9 Gedung Bundar LIPI, awal pekan ini.

Ada apa dengan bangsa ini?

Saya bandingkan sikap kita pada awal tahun 1950-an. Ketika itu kita baru saja merdeka. Pengalaman selama revolusi dan penjajahan Jepang sangat pahit. Selama penderitaan itu, ada langit impian yang ingin diwujudkan. Ketika kemerdekaan tercapai dan kita ingin mewujudkan impian, kita mengalami Repotnya, dalam situasi begitu ada orang atau kelompok masyarakat yang telah memberi segalanya untuk negara ini, tetapi terbelakang dalam soal pendidikan.

Pada waktu itu ada bekas pejuang yang telah memberikan segalanya untuk negara, tetapi malah tersingkir. Ada orang yang sama sekali tak berjuang untuk negara, bahkan ingin menghancurkan negara, malah mendapat tempat. Jadi, impian tentang bangsa mulai saling bertabrakan, kita susah mengatakan siapa yang benar. Negara rasanya tidak bisa disalahkan karena negara yang baru merdeka ini ingin mewujudkan negara yang tertib, demokratis, dan membangun. Adapun orang yang tersingkir ingin mendapat tempat. Kita punya Darul Islam, Kahar Mudzakar, Daud Bereueh, dan yang lainnya. Belum lagi yang bersifat ideologi. Negara ini mau dibawa ke mana. Belum lagi masuknya pemikiran baru yang berkembang dari luar negeri.

Akhirnya Soekarno mengambil langkah ketertiban pada 1959, sampai kemudian terjadi kekacauan tahun 1965 dan saling bunuh. Soeharto muncul mengambil kekuatan melanjutkan rencana ketertiban Soekarno dengan pemerintahan otoriter. Pada saat otoriter, kita dipaksa seragam dalam banyak hal. Banyak yang tak boleh dilakukan, banyak keharusan yang mesti dilakukan.

Kemudian, apa yang terjadi setelah Soeharto mundur. Muncul perubahan dan masalah yang lebih kompleks dibandingkan ketika Soekarno memimpin negara. Ketika Soekarno, kita belum kenal dendam, belum ada luka.

Bahkan, ketika UUD 1945 dibuat, sesudah dipelajari memperlihatkan hasil murni dari zaman orang belum berdosa. Dengan UUD 1945 semua percaya akan baik. Beberapa pasal menyebutkan ini akan diatur dalam UU. Seakan-akan pembuat UU itu tetap dilakukan orang baik. Pasca-Soeharto sampai sekarang, ada banyak luka dan dendam.

Apa pengaruhnya bagi generasi yang hidup sekarang?

Memang, generasi yang hidup sekarang sebagian besar lahir di atas tahun 1959. Artinya, besar kemungkinan pernah hidup dalam sistem otoriter. Jadi, tanpa sadar ada bawaan otoriter dalam diri kita, generasi yang lahir di atas 1959. Lihat saja, sekarang, siapa pun merasa berhak menuntut dan memperjuangkan dengan cara cerdas. Akhirnya dendam bertambah.

Advertisement

 

Problem kita yang terlupakan, melihat masa sekarang sebagai masa sekarang. Padahal, yang sekarang itu bersifat transisi, yang sekarang itu sebagai peralihan ke masa depan. Kalau kita menyelesaikan masalah sekarang dengan berpikir hanya sekarang, besar kemungkinan kita bisa mengulang kejadian masa lalu dan memperdalam dendam, serta melupakan ke mana arah ke depan. Padahal, pada saat yang sama kita tidak bisa memegang kebenaran sendiri.

Kita tak bisa hanya berpegang pada kebenaran. Sebab, kebenaran kita bisa berbeda dengan kebenaran orang lain. Keadilan kita berbeda dengan keadilan orang lain. Kita menyaksikan bagaimana rasa keadilan ketika orang melakukan kejahatan yang merugikan negara hingga miliaran rupiah dihukum satu tahun. Sementara yang melakukan kejahatan lebih kecil dihukum tujuh tahun. Mana yang adil.

Apa yang bisa dilakukan bangsa ini?

Yang kurang itu kearifan. Sekarang kita melihat orang ingin berlomba menguasai sejarah. Penulisan sejarah itu cenderung ingin mengatakan bahwa yang benar itu versi saya. Padahal, sejarah bukan untuk memupuk dendam. Bahkan bukan juga untuk mencari pembenaran. Sejarah itu menghasilkan loncatan kearifan, tidak perlu tahu siapa membunuh siapa, tetapi kita ketahui kalau tindakan buruk itu ada implikasi jeleknya.

Ternyata kearifan kita kurang, dan tidak bisa kita merasa benar sendiri. Meskipun, belum pernah bangsa ini mengalami tingkat kompleksitas persoalan yang sangat beragam. Sebelum tahun 1966 ada pola yang bisa kita lihat, misalnya Anda PKI atau bukan. Jika PKI, kemungkinannya ada tiga kelas, yaitu A, B, C, atau kelas yang harus dilenyapkan dulu.

Akan tetapi, sekarang di Ambon, Anda bisa dibunuh hanya karena Islam atau Kristen tanpa tahu apa salahnya. Kondisi menyedihkan ini juga terjadi di Poso dan Kalimantan. Jalan terpendek yang bisa diambil ya jalan Pak Harto yang setahap demi setahap menjalankan otoriter. Tetapi, apa kita mau itu.

Bagaimana meningkatkan atau memupuk kearifan?

Pertama kita harus sadar bahwa dalam setiap masalah ada beragam alternatif dan pemecahan yang harus kita ambil. Tetapi jangan lupa juga, makin berat masalah, makin terbatas jumlah alternatifnya. Dengan demikian, kita juga menemukan dalam suatu masalah, tidak lagi pilihan yang ada, tetapi dilema. Artinya, kita berhadapan pada masalah etik yang murni. Etik kan tidak sama dengan moral. Etik berdasarkan teori. Etik tergantung pada apa yang dianggap kewajiban dan kebajikan.

Dalam soal beras, kalau dihitung mungkin pemerintah benar. Tetapi, kok oposisi cukup berat. Karena kita sudah kehilangan saling percaya. Karena dengan impor beras, ada kemungkinan Anda bermain. Ketidakpercayaan ini menjadi krisis yang krusial. Kita tak punya kepercayaan pada pemimpin.

Pada masa lalu, Aidit pun dianggap pemimpin rakyat. Sekarang kita menyempitkan pemimpin sebagai pemimpin kelompok tertentu dan bukan pemimpin bangsa. Ini masalah berat, dari atas di tingkat elite sendiri juga saling tidak percaya, ketika ke bawah juga masuk sektarian.

Bagaimana supaya krisis itu berakhir?

Ini repot. Karena dengan adanya otonomi daerah, orang yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan makin banyak jumlahnya. Itu memang membutuhkan waktu. Demokrasi memberi kesempatan bagi orang untuk menunjukkan segala hal, punya berbagai macam pemikiran, tetapi juga membuka kesempatan untuk membicarakan segala hal. Repotnya, karena mind set kita masih otoriter, yang pernah dikuasai pemikiran siapa yang berkuasa itu pasti korup. Itu masalah kita. (Imam Prihadiyoko, Kompas 18 Maret 2006)e-ti

***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Tokoh Terkait: Taufik Abdullah, | Kategori: Wawancara | Tags: peneliti, LIPI

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini