
[WAWANCARA] – Air, sebenarnya memiliki tempat hidup atau habitat. Dia hidup di akar-akar pohon, di danau-danau, di situ-situ, di alur-alur sungai. Sekarang habitat air itu dirusak. Pohon-pohon ditebang, situ-situ diuruk menjadi industri, mal-mal dan permukiman metropolitan. Di Jakarta, misalnya, yang dulu namanya Rawa Buaya, Rawa Mangun dan lain-lain itu adalah habitat air. Tetapi dibangun rumah, pabrik. Maka sekarang, air itu mencari dan menggugat: “Tempat tinggal saya di mana?” Sehingga ia lari ke mana-mana. Banjir!
Demikian petikan wawancara Wartawan Tokoh Indonesia dengan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah (Menkimpraswil) Dr. Ir. Soenarno, Dipl HE, di ruang kerjanya, Kamis 27 Februari 2003. Selain itu, ia juga berbicara tentang agenda pokok (fokus) Departemen Kimpraswil. Problem yang dihadapi departemen ini dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Kondisi bangsa saat ini. Juga gagasannya tentang agropolitan, jangan metropolitan. Serta beberapa hal lain termasuk proyek waduk Kedungombo, di mana ia pernah menjabat sebagai pimpinan proyek. Selengkapnya:
Hal-hal apakah yang menjadi agenda pokok (fokus) Departemen Kimpraswil yang sekarang Anda pimpin?
Sebagaimana halnya nama departemen ini, masalah yang dihadapi adalah seputar pemukiman keterkaitan dengan perumahan penduduk. Jadi paling tidak ada tiga hal yang paling pokok yang sangat perlu mendapat perhatian yakni masalah pemukiman (keterkaitan dengan perumahan), masalah sumber daya air dan prasarana jalan.
Pertama, perihal perumahan. Kita mengetahui masih ada sekitar lebih 4,5 juta penduduk, keluarga yang belum memiliki rumah. Sementara setiap tahun orang yang membutuhkan rumah bertambah. Jadi kebutuhan dalam membangun rumah ini sangat besar. Sementara itu, besarnya kebutuhan tersebut dihadapkan kepada masyarakat yang membutuhkan rumah dengan kondisi ekonomi, relatif sangat rendah.
Karena itu dalam bidang perumahan ini, kami memikirkan bagaimana pemerintah bisa menciptakan dukungan, khususnya bagi masyarakat ekonomi lemah dengan subsidi. Atau bisa kita menciptakan sebuah teknologi dalam membangun rumah yang murah, bisa terjangkau masyarakat atau juga dibangun sendiri oleh masyarakat.
Saat ini pemerintah tiap tahun hanya dapat membangun 100 ribu rumah, kalau tidak ada percepatan. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan untuk mendukung program rumah masyarakat adalah rumah jangan distandarisir. Berikan kesempatan untuk setiap daerah untuk dapat menggunakan sumber alam yang ada di wilayahnya. Sedangkan dulu ada RS dan RSS yang bangunannya harus menggunakan tembok batu bata dan beratap genteng. Sekarang kita lepaskan saja.
Kita memberikan bimbingan teknisnya untuk membangun Rumah Sehat Sederhana. Kita berubah dari Rumah Sehat menjadi Rumah Sehat Sederhana. Dan, kita memberikan opsi kepada masyarakat, bisa dengan pasangan batu, kayu, atau panggung atapnya pun tergantung dari sumber alam yang ada di daerahnya. Dengan demikian kita harapkan masyarakat akan aktif membangun rumah. Tugas kita menfasilitasi atau membantu untuk pembiyaan atau pembangunan itu sendiri.
Jadi sangat besar tugas yang berhubungan dengan perumahan rakyat ini. Kita juga tahu masih banyak saudara-saudara kita yang tinggal di kolong-kolong jembatan, jalan tol, yang tinggal di tepian sungai yang akhirnya mengalami kebanjiran. Itu juga masalah pemukiman. Belum lagi dengan masyarakat yang tinggal di tempat-tempat kumuh, rumah-rumah kumuh. Itu masalah besar.
Kedua adalah masalah sumber daya air. Negeri kita ini terdiri dari 8700 desa atau kampung yang belum memiliki akses air bersih, belum air minum. Oleh karena itu bagaimana kita bisa mengangkat derajat masyarakat supaya segi kesehatan baik, dan memiliki akses air. Salah satunya dengan membangun jaringan-jaringan air bersih yang sifatnya sederhana dan mudah dikelola oleh masyarakat.
Dan melalui subsidi energi, kita mencoba mengambil bagian dengan membangun hidran-hidran atau pompa-pompa yang tersebar sehingga mereka dapat memperoleh air bersih dengan mengeluarkan biaya lebih kecil. Bisa turun secara drastis, yang tadinya satu bulan harus mengeluarkan uang untuk air bergalon-galon sekitar 20 ribu rupiah, tapi dengan program ini mungkin hanya 5 ribu rupiah untuk satu bulannya.
Jadi itu juga masalah besar yang kita hadapi. Setiap tahun kita hanya bisa menangani paling maksimum 750 desa. Jadi jika ini berlanjut 10 tahun pun belum selesai. Sementara itu jumlah penduduk terus bertambah. Kemungkinan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 sudah mencapai ± 400 juta. Jadi kebutuhan juga akan dua kali lipat. Pertambahan desa juga semakin banyak.
Sementara itu daya rusak air semakin bukan main. Akibat kerusakan lingkungan. Kerusakan hutan lindung. Akibat perubahan alih fungsi lahan yang dulu dari pertanian menjadi perindustian, perumahan dan fasiliatas-fasilitas umum yang bukan main besarnya. Sehingga, air selain bermanfaat, juga mempuyai daya rusak tinggi kalau kita tidak memperhatikan keadaan alam.
Air ini juga sebernanya memiliki tempat hidup atau habitatnya. Dia hidup di akar-akar pohon, di danau-danau, di situ-situ, di alur-alur sungai. Sekarang tempat air ini kita rusak. Pohon-pohon ditebang, situ-situ diuruk menjadi mal-mal, dan dijadikan permukiman.
Di Jakarta, yang dulu namanya Rawa Buaya, Rawa Mangun dan macam-macam rawa itu sebenarnya kan tempat tinggal air. Tetapi dibangun rumah, pabrik. Jadi sekarang air itu mencari, “tempat tinggal saya di mana?” Jadi saat ini, sebenarnya air menggugat. Sehingga ia lari ke mana-mana.
Kita harus prihatin terhadap situasi ini. Karena jika saat ini tidak ada tempat air di gunung-gunung, semua air akan mengalir, jadi run-on. Mengalir turun bersama-sama dengan lumpur, pasir dan batu yang menjadi masa yang besar sekali. Setiap penghalang yang ada di depannya pasti hancur. Jembatan bisa putus, jalan longsor, tanggul jebol.
Untuk hal ini memang kita harus betul-betul serius. Saat ini kita harus kembali membuat tempat-tempat tinggal (habitat) air. Hutan-hutan dikembalikan fungsinya. Situ-situ dikembalikan keaslinya. Memang, itu memerlukan waktu yang panjang. Tapi kalau ini tidak kita lakukan maka kita akan menghadapi kerusakan yang terus menerus.
Kerugian yang diderita akibat banjir yang lalu itu triliyunan. Koordinasinya adalah dengan Menko Perekonomian. Ada tim kebijakan mengenai sumber daya air yang diketuai oleh Menko Perekonomian. Sedangkan saya sebagai ketua hariannya.
Kemudian, ketiga, masalah parasarana jalan dan transportasi. Tugas dari departemen ini sebagai peyedia prsarana jalan. Saat ini kita memilki prasarana jalan sepanjang 250 ribu km. Tiga kali lipat dari panjang daratan Indonesia. Panjang garis pantai kita itu 81 ribu km yang merupakan panjang garis pantai terbesar kedua di dunia. Kita memiliki jalan yang tiga kali lipat dari itu, jalan nasional, provinsi, kabupaten dan desa. Tetapi kondisinya sudah banyak yang rusak. Kondisi jalan yang ada di kabupaten saat ini 50 persen rusak berat, di tingkat provinsi mungkin 25 persen, dan yang nasional sekitar 15 persen.
Kalau kita harus melihat ke depan, mengenai arus barang dan jasa untuk lebih efesien dan harus bersaing dengan dunia internasional dan regional, itu memerlukan transportasi yang cepat dan handal. Sementara saat ini kontainer semakin besar dan panjang demi efesiensi. Sedangkan kemampuan jalan terbatas. Sehingga kita ke depan harus melakukan reformasi yang sangat singnifikan dalam hal ini.
Kalau kita lihat penduduk yang 220 juta adalah menjadi sasaran produsen di kawasan Asean, Asia maupun international. Jumlah konsumen yang sangat besar. Pertumbuhan kita sekarang ‘kan masih bersifat komsumtif belum dari sektor ril.
Dalam hal ini, Sebetulnya ada dua konsep yang perlu dipertimbangkan oleh masyarakat. Pertama menjadi bangsa yang konservatif. Beranikah kita, seluruh bangsa ini, menutup diri hidup seperti halnya Cina pada beberapa waktu yang lalu? Kita hidup dari sumber alam sendiri. Begitu waktunya kita sudah merasa siap baru kita mencanangkan terbuka untuk umum. Sebenarnya kalau hanya untuk makan dan minum bangsa kita ini mampu dengan mengolah hasil sendiri.
Tapi negara kita adalah bangsa kepulauan yang memiliki pintu keluar-masuk yang banyak, jadi susah juga. Tidak seperti Cina sebagai negara daratan yang mudah tertutup.
Sebenarnya, kalau kita berani begitu, kita sama-sama mengencangkan ikat pinggang. Betul-betul kita makan, hidup sendiri dari alam Indonesia ini, pada saatnya kita akan menjadi bangsa yang kuat. Bayangkan dengan berkeliling Indonesia saja, seperti berkeliling keluar negeri ‘kan? Tapi itu harus kesepakatan total dari masyarakat kita. Dan juga jangan dikerjakan oleh orang daerah saja tetapi semua. Serta, Indonesia harus tetap satu.
Gagasan itu sangat ideal, sebagai salah satu jalan keluar bangsa ini dari kesulitan ekonomi yang kini masih menghimpit. Tapi kesepakatan seperti itu, mungkin sangat sulit dibuat saat ini. Barangkali orientasi pembangunannya yang perlu direformasi. Sebagai Menkimpraswil, apa konsep dan langkah Anda?
Selama ini pembangunan kurang merata ke seluruh wilayah dan desa. Lebih berpusat di Jawa, terutama Jakarta. Jakarta yang waktu dulu masa jaman penjajahan Belanda, tidak pernah direncanakan untuk ditinggali oleh lebih dari 13 juta penduduk pada siang hari dan sekitar 8-9 juta pada malam hari seperti sekarang ini. Mungkin, hanya sepersepuluh dari itu saja. Ini merupakan ledakan penduduk yang luar biasa. Hal ini dapat terjadi akibat kesempatan ekonomi yang lebih memungkinkan di sini, sebagai kota metropolitan. Jadi, ‘ada gula, ada semut.’ Sementara, kita tidak bisa mengatakan bahwa Jakarta tertutup untuk masyarakat lain.
Konsep yang kita tawarkan adalah marilah kita membangun agropolitan jangan metropolitan. Kita membangun desa-desa yang menjadi pusat-pusat produksi pertanian yang beraneka-macam. Dan kita membangun pusat yang mengembangkan hal itu. Jadi ada industri-indutri kecil yang mengolah hasil-hasil pertanian desa-desa itu. Sehingga ada nilai tambah kepada masyarakat dan penduduk tidak terus mengalir ke kota-kota.
Jadi, sebaiknya basis kita ke depan adalah agropolitan. Kita harus mencegah urbanisasi dengan mengembangkan desa. Infrastruktur desa diperkuat. Kemudian produksi di pedesaan diperkuat dengan memberikan berbagai insentif. Konsep ini sangat tepat bagi negara agraris.
Sementara, selama ini kita mengambil kebijakan percepatan mengembangkan industri (metropolitan) yang ketika krisis terjadi, menjadi terhenti karena 10 persen dari pergerakan industri itu berasal dari luar negeri dan sangat menentukan. Jadi, menurut saya, kenapa kita tidak kembali saja kepada nature bangsa ini sebagai bangsa agraris?
Konsep ini sudah saya tawarkan kepada Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Dalam Negeri. Sementara, kita sudah mencoba menerapkan di beberapa daerah di tahun 2003 ini. Kita harapkan ke depan semua provinsi memiliki model-model argopolitan ini yang meluas. Walaupun disadari proses ini akan berjalan panjang dan dapat terjadi friksi dengan keinginan-keinginan untuk terus mengembangkan industri. Padahal seharusnya yang kita kembangkan adalah industri yang basisnya pertanian.
Contohnya, dapat kita lihat di Kota Batu, Malang. Kota ini sebenarnya bisa dikembangkan sebagai argopolitan karena memiliki hinterland, desa-desa, yang dapat memberikan produk-produk pertanahan yang kemudian bisa ditumbuhkan industri kecil di sana. Misalnya, appel dapat menghasilkan minuman sari appel dalam bentuk-bentuk yang siap jual. Sehingga tidak perlu lagi mendatangkan appel dari luar negeri. Sebab seluruh rantai produksi telah berada di satu wilayah. Kemudian tinggal bagaimana proses pemasarannya dan kelembagaannya.
Kita lemah dalam hal ini (pemasaran). Karena kecenderungan kita adalah jika di salah satu tempat bertumbuh hasil pertanian tertentu dan berhasil, tiba-tiba semua orang ikut. Akhirnya membuat harga jatuh. Jadi masing-masing daerah harus memiliki sektor-sektor unggulannya. Untuk itu pembangunan infrastruktur harus bukan lagi berfokus ke kota namun ke daerah. Kemudian prasarana dan sarana transportasi juga merupakan bagian dari keberhasilan konsep ini.
Apa problem yang dihadapi departemen ini dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah?
Kebijakan otonomi daerah adalah keputusan politis yang hasilnya tidak bisa kita lihat dalam waktu satu-dua tahun selesai. Namun membutuhkan waktu, yang diperkirakan sekitar tujuh tahun, baru bisa berjalan dengan baik. Setelah berjalan selama tujuh tahun, harus diadakan evaluasi, baik itu perbaikan pada produk perundangan yang ada dan terus melangkah lagi hingga kita dapat menemukan satu formula yang kita sepakati bersama.
Di bidang Kimpraswil sendiri, kita masih belum bisa melepaskan seluruhnya pada kemampuan daerah. Terutama dalam pembangunan infrasturktur. Sebab infrastruktur itu mahal. Daerah jika ingin membangun jalan atau jembatan sendiri, tidak mampu, tidak cukup uangnya. Sehingga harus meminta ke pusat.
Maka ada beberapa konsep yang saya tawarkan kepada daerah untuk menjadi kesepakatan bersama. Contohnya saja di bidang air. Kita memiliki lebih 5900 sungai. Sungai-sungai itu dapat kita bagi dalam 4 kategori yaitu sungai lokal berada di satu kabupaten yang sumbernya juga ada di situ, sungai lintas kabupaten atau kota, sungai lintas provinsi dan sungai lintas negara.
Kita memiliki 9 sungai yang berhunganan dengan negara tetangga yaitu dengan Timtim, Papua New Guini dan Malaysia. Ini juga belum terjamah. Untuk yang sifatnya lokal, kita serahkan kepada otonomi daerah, ke bupati atau walikota. Untuk sungai yang lintas kabupaten diserahkan ke gubernur. Yang lintas provinsi bisa kerjasama antar provinsi atau diserahkan ke pusat. Yang lintas negara diserahkan ke pusat dan negara yang terkait.
Konsep ini saja masih belum berjalan. Karena ada yang setuju tapi ada yang menyerahkan ke pusat karena merasa berat. Jika terjadi bencana alam sungai, mereka tidak bisa apa-apa hanya meminta kepada pusat, kecuali jika sungai yang sudah menghasilkan manfaat, seperti sungai Brantas.
Jadi pelaksanaan otonomi daerah dari satu bidang ini saja tidak mudah. Begitu juga dengan irigasi juga menghadapi situasi yang sama. Sehingga kita memerlukan kesepakatan bersama dengan daerah, mana yang akan dikerjakan oleh daerah dan mana yang dikerjakan oleh pusat. Misalnya, irigasi yang mencakup 5000 hektar adalah tanggung Jawab kabupaten, di atas 5000 hingga 10000 adalah tanggung jawab provinsi dan di atas 10.000 adalah tanggung jawab pusat. Atau mungkin kita menggunakan sharing antar daerah dan pusat.
Jadi saat ini, semua itu masih kita matangkan. Tapi kalau kita kembali ke UU No. 22 itu, semua wewenang diserahkan kepada kabupaten. Sehingga sering wartawan mengatakan, kalau pemerintah pusat hanya diam saja, kita jadi bingung. Nah opsi yang saya tawarkan ialah kalau pemerintah daerah masih belum mampu, sebetulnya ada mekanisme dalam undang-undang itu untuk menyerahkan dulu kepada pemerintah pusat. Baru setelah berjalan baik, kemudian diambil kembali oleh daerah. Jadi sampai ada kesan bahwa departemen ini masih sentralistis.
Itu baru dari dua bidang. Begitu juga dengan masalah jalan. Dalam pembuatan jalan atau jembatan, jika diperhadapkan dengan pembangunan jembatan yang berskala besar, kembali meminta ke pusat. Padahal itu jalan provinsi atau bahkan jalan kabupaten. Tetapi tetap ada daerah tidak mampu.
Jadi menurut saya, jika kita membangun infrastruktur daerah saja, untuk hal-hal yang lain kita serahkan kepada daerah. Seperti pemberdayaan masyarakat. Itu sudah mampu dilakukan oleh pemerintah daerah sendiri. Tapi kalau daerah diminta membangun infrastruktur, saya yakin sepuluh tahu mendatang juga belum mampu. Tidak ada uang daerah untuk itu, karena masih mementingkan yang lain. Jadi, kalau infranstruktur, jangan melihatnya seperti Jakarta. Jakarta memang bisa. Jangan bandingkan dengan Jakarta, karena yang seperti Jakarta hanya satu.
Seperti saya datang ke Nias, Sangertalaut, Laor, dibandingakan dengan Jakarta jauh sekali. Ketika saya berdiskusi dengan mahasiswa dari UI dan ITS, kalau pemerintah meminta untuk menaikan tarif tol seharusnya jangan ditolak. Karena paling banyak jalan tol itu dipulau Jawa. Kenapa orang daerah ikut-ikut menolaknya?
Di Jakarta sendiri, masyarakat dan swasa sudah mampu membangun infrastrukturnya dengan menciptakan kondisi yang kondusif mengenai tarif dan lainya. Sehingga kebijakan adil adalah mendorong APBN untuk dialihkan ke daerah dan pelosok terpencil. Tetapi masyarakat mengartikan jika ada kenaikan tarif sepertinya rakyat yang disengsarakan. Rakyat yang mana? Jalan tol hanya ada di Jakarta dan kota-kota besar saja. Memang tarif tol jangan sampai meyusahkan rakyat kecil seperti menaikan tarif bis. Tapi untuk orang-orang yang mempunyai mobil lima, tarif tol dinaikan harus diterima.
Sehingga dengan begitu APBN dapat bergeser ke daerah dan pulau-pulau terpencil. Saya kalau melihat kondisi daerah-daerah pedalaman, jadi kasihan. Kalau kita tidak melihat visinya ke arah itu, nanti bobotnya ke Jawa terus. Padahal daerah-daerah di luar Jawa telah banyak memberikan subsidi bagi Jawa.
Jadi ke depan, menurut saya, pembangunan infrastruktur harus dialihkan di luar pulau Jawa. Tetapi ketika pusat masuk ke daerah-daerah untuk membangun infastruktur, baik itu jalan, irigasi, perumahan dan penyedian air bersih jangan dianggap sebagai tindakan sentralistis. Namun sebagai dukungan pemerintah pusat dalam kemajuan daerah.
Kendala lain dalam hal adanya keputusan politik mengenai otonomi daerah ini yang sifatnya big bang. Begitu diluncurkan harus langsung jalan. Padahal itu pekerjaan besar. Jadi mekanisme dan prosedur harus diperbaiki lagi.
Bagaimana soal sumber daya manusia dalam rangka otonomi daerah?
Sekarang yang menjadi kendala kalau kita bicara tentang pembangunan infrastruktur dalam kaitannya dengan otonomi daerah adalah selain masalah dana juga masalah sumber daya manusia.
Kita di depatemen ini sudah lama tidak menerima darah baru. Artinya tenaga-tenaga baru sudah lama tidak ada. Karena kebijakannnya adalah zero growth bahkan minus growth. Karena setiap tahun ada 500 orang yang pensiun kemudian tidak diberikan tambahan tenaga baru sehingga akhirnya jadi minus growth, yang tinggal adalah yang sudah tua-tua.
Belum lagi soal tenaga-tenaga yang kita sebar ke daerah-daerah. Sebagain dari mereka sudah ditolak oleh daerah. Sebab daerah ingin orang daerah. Sehingga SDM kita pada pulang. Di sini, sebagai bagian tanggung jawab, kita angkat sebagai pejabat fungsional untuk membantu.
Sementara untuk daerah, kita hanya bisa memfasilitasi kebutuhan daerah. Tetapi jangan sampai daerah yang menghadapi masalah infrastruktur yang berat tidak memiliki SDM yang cukup. Sering di daerah mengangkat SDM dengan katrolan. Bahkan banyak kepala dinas yang tidak tahu mengenai air dan jalan. Ini kan berarti sia-sia?
Kita harus mengembangakan tenaga-tenaga yang profesional yang mengerti akan bidangnya, dan jangan dicampurkan dengan politis. Jadi kalau kita membangun jalan, ya untuk masyarakat bukan untuk golongan tertentu saja kan?
Waktu dulu, untuk mengangkat Kepala Kanwil PU atau Kepala Dinas PU itu harus mendapat rekomendasi teknis dari Menteri PU, karena personel itu harus betul-betul profesional. Tapi sekarang, tidak seperti itu, tidak ada yang minta konsultasi. Bahkan ketika kita menyarankan, ini pun kadang-kadang ditolak. Kita mengajukan pimpro yang sudah berpengalaman bisa ditolak. Maka mekanisme baru perlu diciptakan, agar kita jangan kehabisan waktu untuk hal itu.
Seharusnya kita juga mengerti kalau kita sudah sepakat untuk menjadi sebuah negara kesatuan. Sehingga kita boleh tinggal, bekerja dan berkarya di mana saja, di seluruh tanah air ini. Jadi jangan ada orang yang mengatakan bahwa Anda tidak boleh tinggal di Jakarta. Itu tidak bisa. Sebaliknya juga tidak ada wilayah tertentu yang menolak orang untuk tinggal di daerah tersebut.
Jadi pemahaman disentralisasi itu jangan dipahami secara sepotong-potong, sehingga akhirnya menghilangkan makna dari wujud kita sebagai bangsa berdaulat dan negara kesatuan. Ada saja negara lain yang kurang menginginkan negara ini berkembang. Oleh karena itu kita ke dalam harus solid. Memang tidak mudah dengan etnik yang beragam itu.
Apakah sebaiknya penempatan PNS dilakukan oleh pusat saja?
Ya! Tapi nanti sifatnya dianggap sentralistis lagi. Namun yang jelas ada satu sebutan nama pegawai negeri sipil. Itu saja sudah memberikan warna bahwa PNS itu satu.
Kita harus percaya kriteria profesionalisme seseorang itu harus menjadi acuan. Di seluruh negara, acuan adalah itu, profesionalisme. Kalau kita ke luar negeri, jika tidak profesional, tidak bisa kerja. Kalau orang-orang daerah itu mau, bisa menggunakan orang-orang pandai dari daerah lain dan diberikan insentif “Kalau Anda di sini, Anda saya kasih rumah,” misalnya.
Kalau kita saja di pusat jika membutuhkan tenaga ahli, kita datangkan dari luar. Kita bebaskan dari pajak. Kita beri tempat tinggal dan yang lain-lain. Jadi seharusnya sama saja ‘kan analoginya seperti itu. Apalagi kalau pekerja itu sudah menyatu dengan budaya setempat dan kawin, itu lebih baik lagi.
Misalnya saja, ada seorang bupati, ia ingin mempromosikan daerahnya ke luar negeri. Misalnya saja ke Jerman. Bicara banyak tentang daerahnya tetapi orang Jerman tidak tahu. Ini kabupaten yang mana di Indonesia? Mereka tidak tahu. Karena tahunya hanya Jakarta dan Bali. Kalau orang di luar itu, kita cerita macam-macam, mereka dengar saja, tapi tidak ada realisasi untuk investasi yang tidak jelas.
Negara Indonesia saja ada yang tidak kenal ‘kan? Apalagi sebuah kabupaten. Sebuah kabupaten baru lagi, punya kantor saja baru dibangun. Jadi kita harus melihat SDM yang ada yang kita miliki. Orang kita yang lulusan luar negeri yang pintar-pintar itu banyak, dari Amerika, Australia, Inggris. Tetapi sesampainya di sini tidak dapat dipakai dengan optimal. Satu sisi mungkin adaptasinya yang kurang. Di sisi lain, kita sudah apriori duluan.
Jadi sebetulnya orang pintar di Indonesia banyak. Sekarang bagaimana kita memanfaatkan. Kalau tidak, sayang betul. Sebab kita akan dikuasai oleh negara-negara lain. Kita lebih menghargai orang bule dibandingkan dari orang Indonesia sendiri walaupun memiliki kemampuan yang sama. Kita orang Indonesia lebih suka banyak bicara, membuat gosip, menyebarkan isu, Tapi coba kalau diminta untuk menulis, menghitung yang sungguh-sungguh akan merasa kesulitan.
Selain masalah pelaksaan tonomi daerah yang sifatnya big bang itu, tampaknya dalam reformasi bidang jasa konstruksi juga masih menimbulkan masalah?
Iya! Satu bidang yang saat ini sedang krusial yaitu mengenai jasa kontruksi. Dulu pembinaan jasa konstruksi dilakukan oleh pemerintah. Saat ini diberikan kepada masyarakat konstruksi sendiri. Lalu, masih muncul friksi di antara kelompok-kelompok konstruksi sendiri. Bahkan dunia konstruksi kita menjadi tidak efesien dan bergejolak terus. Akibatnya, masyarakat sebagai konsumen jasa konstruksi yang dirugikan.
Sementara kita akan menghadapi AFTA dan WTO. Orang-orang asing sudah mulai menyerbu Indonesia. Sementara kita sendiri belum well prepare (siap sedia) untuk hal itu. Jadi ini juga hal-hal ke depan yang menjadi perhatian kita. Jangan sampai dana-dana pembangunan akan mengalir ke tangan orang-orang asing. Ini juga merupakan tugas yang tidak ringan bagi kita.
Sekarang kita mencoba mengadakan rekonsiliasi di antara pengusaha-pengusaha jasa konstruksi. Sehingga kita ke depan memiliki pandangan yang sama. Jangan hanya rebutan proyek-proyek jasa. Tetapi meningkatan kualitas, melaksanakan pembinaan SDM di bidang konstruksi itu sendiri perlu ditingkatkan. Misalnya saja, kita harus memiliki kualitas pekerja yang tinggi. ISO 9000 harus dimiliki kontraktor besar, itu juga harus menjadi perhatian.
Bahkan kontraktor besar juga bisa dapat masuk ke pasar regional dan dunia. Kalau mereka masuk ke negara kita, kita juga mesti mampu masuk ke negara lain. Kalau tidak, kita rugi, hanya bisa menerima konsultan-konsultan asing, sedang konsultan kita hanya jadi patner saja. Itu pun kalau patner aktif. Pemerintah juga di sini harus melindungi pekerja-pekerja kita yang profesional.
Salah satu hal menonjol dalam perjalanan karir Anda adalah ketika memimpin Proyek Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Jratun Seluna, yang salah satu proyek besarnya adalah Waduk Kedungombo. Apa sebenarnya penyebab sehingga terjadi pro dan kontra yang berkepanjangan dalam hal pembangunan proyek itu?
Jika diperhatikan, sesungguhnya pembangunan Kedungombo adalah sebuah proyek dengan prospek yang bagus. Di satu sisi memiliki keutungan dalam memberikan air untuk irigasi bagi masyarakat banyak di sekitar Purwodadi, Kudus, Lemang dan yang lainnya. Dan itu sebenarnya sudah terealisir. Namun memang dalam setiap pembangunan ada kelompok masyarakat yang mersakan keuntungan, dan ada juga sebagaian yang belum merasakan manfaatnya, bahkan ada sekelompok masyarakat yang merasakan kehadiran proyek tersebut merugikan secara nilai ekonomis.
Sehingga ini yang memicu adanya pro dan kontra. Kasus itu sebenarnya dapat menjadi sebuah pelajaran ke depan. Bagaimana kebijakan melakukan proyek-proyek yang sifatnya seperti itu. Sehingga ke depan perlu adanya kebijakan insentif dan disinsentif. Artinya bagi daerah yang berada di hilir yang mendapat keuntungan dapat mengembalikan sebagian keuntungan tersebut ke daerah hulu yang merasa dirugikan.
Saya pikir problema yang seperti itu bukan hanya terjadi pada kasus Kedungombo. Namun dapat terjadi pada banyak hal. Banyak hal yang dapat dianalogikan dalam kasus Kedungombo. Contohnya, kasus banjir Jakarta. Lalu dikaitkan dengan daerah hulunya, Puncak. Puncak, Bogor diminta untuk melestarikan lingkungan lindung yang ada, namun tanpa mendapatkan apa-apa. Itu kesannya jadi tidak fair. Sehingga daerah di Puncak karena memiliki kewenangan untuk memberikan izin bangunan, yang tentu disesuaikan kepentingan daerahnya tanpa melihat yang lebih luas lagi, mereka mengeluarkan izin. Dampaknya baru terasa dengan bajir di mana-mana terutama Jakarta.
Di samping itu, proyek Kedungombo, mungkin pada perencanaan awalnya hal-hal yang sifat kedaerahan dan merupakan perhatian bagi masyarakat lokal kurang diberikan sorotan yang tajam. Sehingga dapat memicu hal-hal yang seharusnya tidak perlu. Contohnya, di lokasi pembangunan Bendungan Kedung Ombo itu ada suatu makam yang dikramatkan dan harus dipindahkan. Saya pikir itu awalnya permasalahan muncul.
Disebut di lahan tersebut terdapat makam Kyai Ageng Serang, karena memang berada di Kali Serang, harus dipindahkan. Belakangan diketahui bahwa tidak semua masyarakat mau memindahkan makam yang ada di situ. Sehingga saat ini jika air sedang surut, kita dapat melihat bermunculan bekas-bekas makam yang lama. Mungkin itu makam-makam pemimpin mereka. Karena masyarakat daerah itu masih memiliki berbagai kepercayaan-kepercayaan.
Kemudian dilanjutkan dengan masalah pembebasan tanah yang harus diserahkan dalam rangka pembangunan itu. Dalam proses itu, ada masyarakat yang merasakan adanya tekanan-tekanan tertentu dari penguasa dan pada saat itu. Kondisi yang seperti itu mungkin saja terjadi. Sehingga masyarakat di situ menganalogikan “tanah mereka turun-temurun dari nenek-moyang, harganya semeter sama dengan sebatang rokok.”
Ini sekaligus menunjukan, memang masyarakat di Jawa Tengah memiliki hubungan yang dalam dengan tanah leluhurnya. Karena tanah adalah tempat mereka hidup. Sehingga ketika mereka diminta meninggalkan tanah tersebut adalah sesuatu yang mereka tidak inginkan. Walaupun sudah diberikan dan dijanjikan disiapkan untuk transmigrasi dan sebagainya, tetap keterkaitan emosional masyarakat dengan tanah mereka demikian berarti.
Saya secara pribadi dengan masyarakat di sana masih memiliki hubungan. Bahkan sering mereka datang ke sini. Ya, sekedar silaturami saja. Kadang-kadang saya juga berkunjung ke kampung dan rumah mereka. Karena saya dan mereka tidak ada persoalan. Yang ada hanya persoalan yang mereka yakini tekanan-tekanan tertentu dari penguasa kecuali pada saat ini di alam yang lebih terbuka semua diekspresikan dalam bentuk komplen dan itu dapat juga dimanfaatkan oleh LSM-LSM yang sebenarnya tidak mengetahui benar latarbelakang dan sejarahnya.
Anda ditempatkan memimpin proyek Kedungombo yang mengalami kesulitan teknis dan sosial. Apa langkah-langkah konkrit yang Anda lakukan untuk mengatasi kesulitan itu dulu?
Kami melakukan pendekatan dengan tokoh-tokoh masyarakat. Karena kelompok-kelompok di sana itu cukup banyak dan bervariasi dan dilihat dari kecederungan sosial mereka tidak semuanya sama. Ada sekelompok masyarakat yang cenderung dekat lingkungan Kraton Solo, mereka mengatakan “Raja saja tidak pernah mengambil tanah kita, kenapa pemerintah mengambil?” Tapi ada kelompok yang lain yang dekat dengan Semarang, yang pendapatnya berbeda.
Sehingga dengan itu saya merasa ada masalah-masalah sosial yang terlebih dahulu harus diselesaikan. Walaupun segi Amdal sudah ada dan proyek transmigrasi sudah disiapkan, namun pendekatan-pendekatan secara langsung perlu dilakukan. Itu disebabkan karena ada sekitar 30 persen atau sekitar lima ribu penduduk yang ingin ditempatkan di sekitar wilayah Kraton Solo atau di Semarang. Kelompok yang berbeda-beda itu kita fasilitasi dengan baik.
Waktu itu selain mengadakan pendekatan sosial, kita juga mempersiapkan tiga lokasi tempat tinggal permanen di sekitar waduk dengan prasarana yang memungkinkan, seperti jembatan dan sarana perairan. Ternyata itu belum dapat menampung seluruh aspirasi semua kelompok masyarakat. Sehingga hal itu menjadi sebuah pengalaman yang berharga bagi kita semua.
Sebenarnya apa manfaat utama proyek tersebut?
Proyek ini, antara lain bermanfaat untuk irigasi, pengendalian banjir, pembangkit tenaga listrik dan sumber air baku untuk berbagai kepentingan industri dalam upaya untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat Jawa Tengah pada khususnya. Jadi, manfaat waduk tersebut sangat besar bagi kehidapan masyarakat sekitar.
Terlebih karena air adalah sumber kehidupan. Jadi dengan demikian, kita patut melestarikannya. Karena tanpa air sebuah kehidupan adalah tidak berarti. Bahkan tubuh kita ini 70 % terdiri dari air. Oleh karena itu pesan yang ada di balik pembangunan waduk itu sangat mulia. Tetapi dalam implementasinya masih ada kekurangan. Karena itu, ke depan wilayah sungai itu dapat dikembangakan menjadi sebuah bagian yang terus dilestarikan dalam jangka panjang. Sehingga kita dapat juga mendorong masyarakat sekitar untuk dapat peduli dan menata kembali lingkungannya.
Seperti yang kita lakukan di proyek bendungan Jatiluhur, yang mana dari situ kita mendapat pajak dan bisa digunakan untuk masyarakat wilayah dan juga kepentingan publik luas. Saat ini kita sedang membentuk sebuah badan seperti jasa pengelolaan air untuk masyarakat sekitar yang belum bisa merasakan manfaat bendungan dapat mengelola usaha jasa ini secara optimal.
Dalam rangka pembangunan prasarana dan sarana wilayah, seharusnya mengacu pada master plan. Namun master plan itu seringkali diabaikan atau bahkan mungkin tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan kondisi, out of date?
Dalam lingkungan departemen ini master plan adalah merupakan sebuah keharusan. Dan master plan itu selalu di up-grade. Setiap sepuluh tahun kita selalu mengadakan peninjauan ulang dan pembaharuan master plan oleh karena perkembangan situasinya berbeda. Jadi setiap proyek selesai, kemudian implikasi dan dampaknya harus kita eveluasi sehingga dapat maju lebih lanjut. Jadi antara sepuluh sampai 15 tahun master plan itu pasti mendapat bagian up-dating. Tanpa up-dating saya rasa kita akan jauh menimpang.
Saya dapat memberikan contoh, proyek Brantas (bisa juga jadi perbandingan jika hal ini dikaitkan dengan banjir di Jakarta). Proyek Brantas itu sudah berumur 40 tahun lebih, karena dimulai tahun 1961. Sampai sekarang proyek tersebut masih ada, karena setiap 10-15 tahun, selalu di-updating. Demikian juga Bengawan Solo.
Suatu hal lagi yang penting kita perhatikan adalah mengenai keberadaan negara kita sebagai negara kepulauan, bukan negara daratan. Seringkali kebijakan kita mengambil dari negara-negara lain, padahal mereka negara daratan bukan lautan. Mana ada negara kelautan yang besar selain kita. Jadi setiap rencana pembangunan harus sesuai dengan keadaan dan kondisi setempat.
Sekarang kita sedang menata ulang tata-ruang kita di daerah perbatasan di Kalimantan, Papua, dan Timtim. Karena itu menjadi beranda depan kita nanti. Sehingga kita harus membangun itu sebagai menunjukan inilah identitas bangsa. Jangan sampai di perbatasan masyarakat kita lebih mengenal ringgit daripada rupiah. Di seberang sudah gedung-gedung mewah, sedangkan di sisi kita masih gubuk-gubuk reot. Jangan sampai nanti nasibnya seperti Sipandan Ligitan. Kita harus memperhatikan pembangunan di daerah-daerah perbatasan.
Bagaimana departemen yang Anda pimpin melihat problem banjir di Jakarta dan sekitarnya?
Waktu dulu, ada badan yang secara khusus menangani banjir di Jakarta, namanya Komando Pengendalian Banjir Jakarta. Waktu itu Derpartemen PU telah melihat bahwa banjir ini akan menimbulkan dampak yang luar biasa. Jadi sejak jauh hari, Departemen PU telah melihat hal ini. Namun dengan perkembangan kebijakan daerah yang lebih aktif berperan kemudian banyak juga pihak yang merasa bahwa badan tersebut perlu dilebur dan diserahkan kepada pemerintah daerah maka akhirnya dibubarkan.
Tapi Departemen PU masih melihat bahwa hal ini suatu saat akan menjadi krusial. Sebab jika sudah diambil alih ke dalam jajaran dinas, maka sifatnya lain. Sedangkan satu komando proyek itu sifatnya operasional. Kalau sudah dinas itu hanya pembinaan teritorial. Sehingga waktu itu, Departemen PU memutuskan untuk memperhatikan sungai-sungai secara menyeluruh, dan berubah dari konsep komando penanggulangan banjir menjadi proyek yang sifatnya lintas provinsi.
Karena sungai Ciliwung-Cisadanae itu merupakan sebuah sungai yang lintas provinsi, maka kemudian kita membentuk suatu kegiatan yang sifatnya lintas provinsi juga. Tetapi tetap saja kita tidak dapat melihat banjir di Jakarta secara utuh lagi, sebab ruang gerak kita sudah terbatas. Sebelumnya kita tanganinya menyeluruh.
Ketika dalam Kabinet Persatuan Nasional, Departemen PU ‘dipecah’ menjadi dua lembaga yakni Meneg PU dan Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah, bagaimana sikap Anda saat itu?
Kita memang tidak bisa pungkiri waktu itu keadaan pemerintahan menimbulkan ketidakpastian di antara teman-teman di sini. Karena pada intinya presiden di berbagai acara telah memutuskan bahwa departemen ini akan ditutup atau dilikuidasi. Sebab waktu itu, katanya, terlalu banyak KKN. Itulah pesan yang kita tangkap waktu itu. Tapi mungkin dengan berbagai saran dari pihak-pihak tertentu akhirnya malah dibentuk dua lembaga, kementerian dan departemen.
Waktu itu kami juga bertanya-tanya, apakah yang menjadi konsepsi presiden dengan terbentuknya dua departemen ini? Akhirnya kita tahu ini adalah keputusan politik. Kami mulai membagi-bagi pekerjaan dan bidang tugas supaya pekerjaan di lapangan bisa terus bergerak. Sebagai kantor Menteri Negara, maka sifatnya hanya membuat kebijakan dan tidak dapat lagi hal-hal operasional.
Sementara Departemen PU sebelum diubah menjadi Meneg memiliki jangkauan bidang yang meluas, menyebar hingga ke pelosok desa di seluruh Indonesia. Sehingga seluruh rakyat mengenal PU sebagai mitra pembangunan dan dengan simbolnya yang sangat sederhana untuk diingat yaitu simbol mendukung kepentingan masyarakat.
Departemen Kimbangwil (Peukiman dan Pengambangan Wilayah) yang waktu itu relatif baru, kita berpikir, departemen ini dapat mengakomodasikan masalah pemukiman yang pada waktu itu belum tercipta dengan baik. Karena dari ketiga kebutuhan pokok nasional yang kita ketahui, sandang, pangan dan papan, ternyata papan itu adalah yang paling jelek dari kebutuhan yang lain. Waktu itu orientasi kita ke arah itu, kita hanya mereka-reka saja. Sehingga teman-teman yang dahulu berada di kantor Meneg Perumahan Rakyat itu semua masuk ke Depkimbangwil.
Tapi di situ ada permukiman dan pengembangan wilayah, maka pengembangan wilayah ini sebagai landasan pada saat Pak Sutami menjadi menteri PU, pembangunan infrastruktur PU terkait dengan pengembangan wilayah. Jadi konsep pengembangan wilayah yang dikembangkan oleh Pak Sutami waktu itu melandasi. Dan kita melihat bahwa kebijakannya itu bisa ditetapkan melalui Meneg PU yang sifatnya infrastruktur dan pelaksanaannya dapat dikerjakan oleh departemen ini. Jadi sebetulnya, dua departemen ini bagi kita waktu itu dapat kita optimalkan untuk bisa menjalankan tugas-tugas yang lama supaya lebih komplit, lengkap.
Jadi sebetulnya, jika dahulu ada Meneg Perumahan dan Pemukiman serta Departemen PU, sekarang menjadi terbalik. Tapi kemudian dalam perkembangannya, presiden juga merasa tidak bisa dirubah seperti itu saja. Sehingga akhirnya dibentuk BP4SPU. Sebuah badan yang menjembatani proses-proses konstruksi. Karena proses konstruksi waktu dulu ditangani oleh Dep PU kemudian menjadi terlantar, malah berkembang menjadi satu badan. Jadi pada saat itu ada dua departemen dan satu badan. Itu bagi personel di sini, malah waktu itu jadi banyak promosi. Kita melihat bahwa dari segi karir masa itu lebih menguntungkan.
Tapi kemudian ketika masa restrukturisasi kabinet, tiga badan ini disatukan kembali menjadi satu yakni Departemen Kimpraswil (Pemukiman dan Prasarana Wilayah). Pengembangan menjadi Prasarana. Jadi kita seolah-olah kembali ke PU masa lalu, hanya namanya saja yang lain. Kita saat itu gembira mendengarnya sehingga seperti PU yang dulu, di mana ada yang namanya menteri muda perumahan rakyat. Bagi saya “apalah arti sebuah nama?”. Lalu, ada teman-teman yang masih fanatik dengan nama PU bertanya-tanya kenapa tidak diganti namanya menjadi PU saja kembali? Namun inikan masalah keputusan politik yang kita tidak bisa minta seenaknya. Tapi yang jelas semua fungsi-fungsi PU yang dulu sudah build-in kembali saat ini.
Apa yang menjadi pertimbangan Bapak waktu itu untuk tidak memilih di Meneg PU?
Waktu itu, Ibu Erna Witoelar, Menteri Kimbangwil, sangat demokratis. Kepada Meneg PU, Pak Rosyik diberikan kesempatan untuk memilih orang-orang yang akan membantu beliau. Pada saat itu saya juga ditawarkan untuk membantu Pak Rosyik. Tetapi dalam perjalanannya kemudian, saya diminta oleh Ibu Erna Witoelar untuk membantu beliau menjadi Dirjen Pengembangan Pedesaan. Saya sebagai birokrat dan bawahan siap untuk ditempatkan dimana pun akan saya jalankan. Sehingga waktu itu saya diambil dari Meneg PU ke Kimbangwil.
Awalnya saya adalah Dirjen Pengembangan Pedesaan. Namun setelah berubah menjadi Kimpraswil dalam perkembangannya ketika masih dalam pemerintahan Gus Dur, otomatis dirjennya juga berubah lagi. Kemudian menjadi Dirjen Sumber Daya Air.
Ketika Dirjen Pengembangan Pedesaan itu fokusnya pada pertanian, karena pertanian maka keberadaan air menjadi dominan. Jadi meskipun namannya Dirjen Pengembangan Pedesaan, tapi banyak bidang-bidang pekerjaan yang sifatnya untuk pengembangan desa itu, termasuk prasarana jalan-jalan pedesaan.
Dari pengalaman Anda yang banyak memimpin proyek di bidang pengairan, Anda pastilah orang yang sudah sangat ahli mengenai sumber daya air?
Sebenarnya bidang pendidikan saya ketika saya mendapatkan gelar sarjana (S1) adalah bidang konstruksi, gedung, jalan-jembatan. Keahlian saya pertama kali adalah bidang sipil. Bahkan ketika saya mengajar di Universitas Brawijaya, Malang, saya mengajarkan bidang konstruksi selama 17 tahun. Tetapi ketika tahun 1967 keadaan berubah dimana bidang konstruksi dalam masa down, surut, pembangunan-pembangunan sipil sangat tidak menonjol. Sedangkan bidang pembangunan kepada rakyat petani sedang dominan.
Saya waktu itu diminta oleh Pak Suyono untuk membantu lab mekanika tanah di Bandung. Dan untuk bisa mendapatkan pengalaman yang langsung maka saya ditempatkan di proyek yang berhubungan dengan bendungan dengan mempelajari tanah, batu air yang bervolume 6,5 juta kubik.
Lalu karena saya banyak bercimpung dalam pembangunan berhubungan dengan air maka pendidikan berikutnya pun saya memperdalam bidang air. Saat itu, saya ditawarkan karena saya bekerja di bidang itu. Kenapa saya pilih Nederland? Karena negara ini yang mengerti tentang air. Hampir sebagian besar negara ini berada di bawah permukaan laut. Di Belanda, saya mengambil jurusan air tanah. Saat ini saya mengajar di Universitas Muhammadiyah di Solo, bidang sumber daya air.
Sementara, ketertarikan saya untuk masuk ilmu disiplin ekonomi, yaitu sejak saya menyelesaikan beberapa proyek-proyek irigasi. Di situ juga saya mau melihat manfaat air bagi petani. Karena itu disertasi saya mengenai “bagaimana sikap petani terhadap irigasi dan perbandingan peningkatan ekonomi dengan tanpa adanya irigasi.”
Bagaimana pendapat Anda tentang fungsi sosial dan fungsi ekonomi sumber daya air?
Air adalah sumber kehidupan. Karena dia sumber kehidupan, kita harus mengenal betul-betul esensi air itu bagi kehidupan manusia. Di Indonesia sendiri masih banyak terjadi konflik mengenai air. Karena masyarakat masih melihat bahwa fungsi sosial air itu masih lebih dominan daripada fungsinya sebagai economy commodity. Kalau kita bicara air sebagai economy commodity atau mempipanisasi penyaluran air, pasti respon masyarakat akan luar biasa, dan pasti banyak juga yang kurang setuju. Hal ini disebabkan oleh lingkungan sebagian masyarakat, pesantren-pesantren atau di sekolah-sekolah, mengartikan air itu sebagai given by God. Pemberian Tuhan. Jadi kenapa mesti diatur, kenapa mesti dipajaki?
Sampai sekarang di masyarakat kita masih ada friksi tentang air. Apakah itu dari sisi ekonomi atau dalam fungsi sosial. Karena itu kita perlu mengetahui esensi air, fungsi sosial dan lingkungan air.
Air juga mempuyai kuantitas yang relatif konstan. Dengan itu bagaimana kita ke depan melihat air yang sifatnya konstan dihadapkan kepada kebutuhan yang terus menerus bertambah. Jadi suatu saat bisa saja terjadi bahwa air ini menjadi lebih sulit, lebih langka. Karena itu, mau atau tidak mau kita harus mulai berpikir, bagaimana mengonsep air itu bahkan meningkatkan air itu sedemikian rupa. Sehingga bisa digunakan untuk masyarakat kita. Makanya di Al-Quran, ayat-ayat tentang air itu banyak.
Saat ini dunia mulai kuatir, bahwa pada periode mendatang manusia akan kekurangan air. Di Jawa sendiri pun kita sudah mulai melihat adanya masalah kekurangan air. Water balance di bawah kita ini sudah mulai tidak seimbang. Ketika musim kering kekurangan air selalu terasa.
Bagaimana pendapat Anda tentang kondisi bangsa saat ini?
Saya melihat, saat ini kondisi bangsa kita mengalami perkembangan positip. Namun perlu adanya kesepakatan baru di antara komponen-komponen bangsa ini untuk ke arah mana Indonesia akan dibawa. Jadi proses kearah itu ada hal-hal yang kadang-kadang mengagetkan. Masyarakat kita yang dahulu tenang, sopan satun. Sekarang koq tidak ada lagi. Orang tua sekarang mudah dihujat.
Memang, menurut saya, proses ini butuh waktu. Yang penting kita jangan kehilangan sikap optimis untuk menjadikan bangsa ini bangsa yang besar. Jadi, ada yang mengatakan bahwa bandul ini sedang bergerak ke arah ekstrim tetapi suatu saat akan kembali kepada keseimbangan baru yang walaupun memakan waktu panjang. Jadi kita tidak boleh henti-hentinya untuk mencari jalan keluar agar rekonsiliasi oleh berbagai pihak dapat dilakukan. Meskipun ada juga pihak-pihak yang menginginkan rekonsiliasi itu tidak terjadi.
Tapi, lepas saya sebagai orang bagian pemerintah, menurut saya, perkembangannya sudah cukup membaik. Itu dapat dilihat dari berbagai konflik-konflik di daerah tertentu sudah mulai reda. Memang ekses-eksesnya masih banyak yang harus kita tata. Tapi arahnya sudah ke arah yang benar.
Kalau keadaan ini bisa dikawal dan dikembangkan terus, kemudian diberikan pencerahan yang berkelanjutan, saya yakin, kita akan berjalan ke arah yang baik. Jadi reformasi ini mudah-mudahan kita akan kawal terus sampai bisa tercapai. Kalau masih terjadi ketidakpuasan dan sinisme, itu kita angagap sebagai riak-riak atau gelombang yang harus kita hadapi.
Bagi saya, ada perubahan yang mendasar dan prisipil yang harus kita hadapi, jangan sampai kita putus asa. Saya kalau mengunjungi kampus-kampus, saya diterima secara reponsif yang baik dan positip. Karena mereka tahu apa yang menjadi program-program ke depan yang dilakukan bangsa ini.
Kelompok masyarakat kita yang heterogen dan bermacam-macam ini, memang membutuhkan komitmen baru. Pada tahun 45, bangsa ini yang terdiri dari komponen-komponen masyarakat dan bangsa menyatakan menjadi satu. Sekarang, hal itu mungkin perlu kita lakukan kembali karena kita mempuyai sebuah konstitusi yang sudah diperbaharui juga.
Tapi proses menuju ke arah itu, ‘kan cukup panjang. Dulu waktu Sumpah Pemuda, menuju kemerdekaan tahun 1945, itu kan panjang? Jadi ini juga merupakan proses yang membutuhkan waktu. Saya masih mempuyai optimisme yang tinggi. Karena reformasi ini masih terus juga didengungkan dan dikawal dan coba untuk dijalankan, walaupun kadang-kadang ada hambatan-hambatan.
Bagaimana Anda melihat sifat gotong-royong masyarakat saat ini, apakah masih ada?
Gotong-gotonng rakyat kita masih ada. Seperti kelompok-kelompok petani yang menggunakan sarana air kita itu, P3K. Sekarang pemeliharaan irigasi itu kita serahkan kepada kelompok masyarakat.