
[WAWANCARA] Wawancara Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono (7 dari 8) – Dari segi kesejarahan, agraris harus dipertahankan dan dari segi geografi maritim harus dimunculkan. Dua-duanya harus dijalankan dengan baik. Itu hal yang luar biasa. Realitanya sampai dengan saat ini Indonesia memang negara agraris tetapi belum sebagai negara agraria, juga sudah negara kepulauan namun belum sebagai negara maritim.
Demikian Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono menjawab pertanyaan Wartawan TokohIndonesia.com Ch. Robin Simanullang tentang visinya atas NKRI, dalam wawancara eksklusif di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu 11 April 2012. Panglima TNI didampingi Kapuspen TNI Laksda Iskandar Sitompul dan Kadispenum Puspen TNI Kolonel Cpl. Minulyo Suprapto. Wawancara dipersiapkan dan difasilitasi Kasubdisgiatblik Dispenum Puspen TNI Letkol Arh Hari Mulyanto.
Simak jawaban Panglima TNI atas sejumlah pertanyaan yang menyangkut visi Indonesia dan kriteria yang harus dipenuhi pemimpin nasional. Apa jawabannya atas pertanyaan: Kira-kira pada tahun berapa Indonesia bisa mencapai kesejajaran agraria dengan kekuatan maritimnya?; Berarti sebaiknya dari Angkatan Laut jadi Presiden supaya visi maritimnya menyala?; Sebagai warga bangsa, putra bangsa yang terpilih menjadi Panglima TNI, kalau misalkan rakyat menghendaki Anda menjadi presiden?; Apa syarat utama yang harus dimiliki seseorang untuk layak jadi pemimpin nasional, khususnya Presiden RI?
Semua pertanyaan itu dijawab dengan lugas, tanpa kepentingan diri sendiri. Simak petikan wawancara TokohIndonesia.com dengan Panglima TNI, yang kami turunkan dalam tajuk ‘Visi & Tujuh Syarat Pemimpin Nasional’ yang merupakan bagian ketujuh dari delapan bagian:
TI: Kembali ke arah yang lebih besar, sebagai seorang panglima TNI, tapi pribadi dalam posisi jabatan Panglima TNI, tentang bagaimana melihat Indonesia ini, apa kira-kira visi Anda tentang Indonesia?
AS: Kalau saya begini, sebelum saya di AL, kalau kita lagi beraktivitas itu memang ada daratan dan lautan. Lautan kita lebih mendominasi, di sisi lain negara kita terkenal dengan negara agraria. Kita mencoba untuk menjadi negara maritim juga tidak mudah. Menurut saya, ke depan ini yang perlu, kita padukan saja antara maritim dan agraris. Dua-duanya bisa berdampingan yang semuanya bisa menghasilkan sumber devisa bagi negara, bisa menyejahterakan masyarakatnya. Dan kalau itu dilakukan, saya kira itu hal yang baik.
Saya kira apa yang dilakukan oleh pemerintah sekarang sebenarnya sudah mengakomodasi kedua-duanya, negara agraris dan maritim sudah mulai diangkat, tapi belum sama. Nanti ke depan bisa berjalan bersama-sama. Memang kita tidak bisa menafikan bahwa negara kita negara kepulauan. Sumber daya alam kita yang di laut juga cukup banyak manakala dikelola dengan baik. Dari segi kesejarahan, agraris harus dipertahankan dan dari segi geografi maritim harus dimunculkan. Dua-duanya harus dijalankan dengan baik. Itu hal yang luar biasa.
TI: Bukankah maritim yang harus lebih diangkat karena potensinya yang demikian lebih besar?
AS: Jadi begini, tidak mudah mengelola kemaritiman kita, tidak mudah. Biaya tinggi, menggunakan teknologi yang tinggi dan memerlukan sumber daya manusia yang cukup. Di sisi lain dari sejarah, Indonesia negara agraris, kalau ditinggalkan pasti tidak akan jalan, semuanya harus dikembangkan. Memang dalam pandangan sekarang bahwa untuk masalah kemaritiman dinaikkan, betul, supaya mengimbangi agraria tadi. Persisnya contohnya seperti ini, maritim misalnya masih sebesar ini, agrarisnya seharusnya sudah sampai di sini, karena itu memang perlu untuk digenjot. Supaya selevel dengan agraris, baru maju.
“Untuk menjadi Presiden RI yang merupakan negara besar dengan luas wilayahnya, jumlah penduduknya, keragaman sukunya, jumlah bahasa daerahnya, jumlah suku bangsanya, tingkat sosial masyarakat, kondisi geografinya, membutuhkan seseorang yang memiliki komitmen yang tinggi untuk benar-benar mencurahkan seluruh kemampuan intelektual, spiritual, emosional pada pengabdian kepada bangsa dan negara yang dilandasi dengan karakter kepemimpinan yang kuat, memiliki visi dan misi yang jelas, dilandasi dengan sifat-sifat negarawan yang sejati.”
TI: Kalau menurut Anda, kira-kira pada tahun berapa Indonesia bisa mencapai kesejajaran agraria dengan kekuatan maritimnya?
AS: Sebenarnya tinggal dengan komitmen kita saja mengelola sumber daya maritim itu. Sekarang sudah terlihat hanya pada potensi perikanan yang sudah dikelola meskipun hasilnya belum sesuai dengan harapan. Tetapi budaya belum dan masih perlu diteruskan. Kemudian eksplorasi kekayaan yang di tengah laut (Migas) sekarang sudah mulai banyak tapi juga perlu terus dilakukan.
Kalau prediksi saya, tinggal kebijakan yang dilakukan mengarah ke mana. Tapi kalau kebijakan menggenjot ini secepat mungkin pasti akan lebih baik.
TI: Berarti sebaiknya dari Angkatan Laut jadi Presiden supaya visi maritimnya menyala?
AS: Ha-ha-ha. Banyak teknorat kita yang bervisi maritim, saya kira tidak harus TNI Angkatan Laut.
TI: Tapi penghayatan dan tantangan maritimnya pasti di Angkatan Laut, karena yang menggumuli laut itu secara sistematis dan mendalam masih di AL?
AS: Tapi tidak harus seperti itu, artinya orang bervisi ke sana itu cukup banyak.
TI: Tapi kita bisa menafsirkan seperti itu, kita bisa berpikir ke arah itu, supaya menempatkan orang itu pada posisi jaman dan kompetensiny ya. Supaya Indonesia maju harus mendayagunakan potensi lautnya, itu kira-kira?
AS: Iya, kita tidak mendikotomikan. Yang menguasai masalah kemaritiman adalah Angkatan Laut, juga belum pasti.
TI: (Ini pertanyaan sebagai Panglima tidak bakalan mau kali Anda menjawab ini, ha-ha-ha). Tapi sebagai warga bangsa, putra bangsa yang terpilih sebagai Panglima TNI, kalau misalkan rakyat menghendaki Anda menjadi presiden, misalnya gitu. Apa kira-kira?
AS: Kalau nggak bisa dijawab nggak usah ditanyakan (ha-ha-ha). Nggak jangan berangan-angan untuk itu.
TI: Kan boleh visinya bukan obsesinya?
AS: Setiap orang harus tahu batas kemampuannya. Jadi harus tahu juga batas kemampuan sehingga sampai di mana ia perlu berpikirnya, sampai di situ saja kali.
TI: Bukan obesesi ya, tapi visi. Kalau Tuhan memberi kesempatan melalui pilihan rakyat. Kalau mengikuti alur pikiran Anda, bukan dari alur obsesi jabatan itu. Tapi kalau itu dihantarkan pilihan rakyat atas kehendak Allah, apa kira-kira?
AS: Jadi begini, karena seseorang itu untuk menuju ke arah ke sana, dia harus menjadi politikus. Harus menjadi politikus dulu. Padahal sekarang TNI tidak boleh berpolitik, jadi jangan tanya itu (ha-ha-ha).
TI: Tapi visi politik TNI diyakini masih lebih tajam dari seorang politikus praktis. Kendati TNI tidak berpolitik praktis, bukan berarti visi politiknya malah lebih rendah, kan tidak. Bahkan politik negara yang pasti lebih tinggi dimiliki oleh orang-orang yang terdidik secara sistematis dalam lingkungan TNI?
AS: Jadi pertanyaannya jangan begitu….
TI: Oke. Menurut Anda, apa syarat utama yang harus dimiliki seseorang untuk layak jadi pemimpin nasional, khususnya Presiden RI?
AS: Untuk menjadi Presiden RI yang merupakan negara besar dengan luas wilayahnya, jumlah penduduknya, keragaman sukunya, jumlah bahasa daerahnya, jumlah suku bangsanya, tingkat sosial masyarakat, kondisi geografinya, membutuhkan seseorang yang memiliki komitmen yang tinggi untuk benar-benar mencurahkan seluruh kemampuan intelektual, spiritual, emosional pada pengabdian kepada bangsa dan negara yang dilandasi dengan karakter kepemimpinan yang kuat, memiliki visi dan misi yang jelas, dilandasi dengan sifat-sifat negarawan yang sejati.
Kepemimpinan demikian sangat diharapkan oleh bangsa ini untuk menggapai kondisi masyarakat Indonesia yang lebih baik yang benar-benar mencerminkan kemerdekaan Indonesia yang sebenar-benarnya sesuai dengan Sila Kelima dari Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Mencermati kondisi geografi, demografi dan kondisi sosial Indonesia tersebut, pemimpin nasional harus mempunyai syarat minimal sebagai berikut: Pertama, Problem Solver. Seorang pemimpin dituntut mampu membuat keputusan penting dan mencari jalan keluar dari permasalahan. Sebagai ‘nakhoda’ adalah yang berkewajiban mengemudikan ‘kapal’ ke arah yang besar dan benar;
Kedua, Bersikap Positif. Setiap masalah dapat dipandang dari sisi positif dan negatif. Dalam memandang setiap masalah hendaknya lebih banyak dipandang dari sisi positifnya untuk menyelesaikan masalah;
Ketiga, Komunikasi. Sebaik apa pun masyarakat akan kehilangan arah bila dibiarkan jalan dalam ‘gelap’. Sebagai pemimpin perlu menerangkan sejelas mungkin tentang tujuan bersama yang hendak diraih dan strategi mencapainya;
Keempat, Menjadi Inspirasi. Seorang pemimpin harus bisa menerapkan standar dan jadi contoh bagi semuanya; Kelima, Tumbuhkan Motivasi. Memberikan penghargaan terhadap prestasi sekecil apapun yang dilakukan oleh siapapun, akan menumbuhkan motivasi bagi masyarakat;
Keenam, Hubungan Baik. Jalin hubungan profesional dan interpersonal yang harmonis dengan semua kalangan; Ketujuh, Turun Gunung. Seorang pemimpin akan dihargai apabila ia bersedia turun ke lapangan untuk memahami persoalan yang dihadapi masyarakat.
TI: Kembali ke perihal visi Anda tentang Republik Indonesia?
AS: Ditinjau catatan sejarah sosial budaya, masyarakat bangsa Indonesia lahir di dua sisi kehidupan sebagai masyarakat agraris dan masyarakat maritim. Hal ini didukung oleh kondisi geografis Indonesia yang terdiri lebih dari 17.000 (tujuh belas ribu) pulau yang terbentang sepanjang 1/8 (satu per delapan) garis khatulistiwa dengan kekayaan alam yang melimpah dan menghasilkan komoditas strategis maupun komoditas ekspor.
Kondisi ini semestinya mampu menjadikan Indonesia sebagai “supply side” yang dapat memasok dunia dengan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki dan hasil industri olahannya, sekaligus menjadi pasar yang besar atau “demand side” dalam rantai pasok global, karena jumlah penduduknya yang besar.
Di sisi lain, perjuangan panjang bangsa Indonesia telah ditempuh, guna meraih pengakuan internasional sebagai negara kepulauan, yang kemudian untuk pertama kalinya Deklarasi Djuanda 1957 diakui hingga akhirnya pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 (UNCLOS 1982), yang diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, selanjutnya konvensi tersebut diberlakukan sebagai hukum positif sejak tanggal 16 Nopember 1994, maka status Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) diakui oleh dunia.
Pengakuan dunia dalam hukum internasional tersebut mengesahkan “a defined territory” bahwa negara Indonesia, memiliki legalitas hukum terhadap wilayah nasionalnya yang meliputi wilayah darat, laut dan udara di atasnya.
Dari tinjauan inilah sebenarnya visi RI harus berangkat dalam “Mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur” dengan mengombinasikan potensi agraris dan maritim, sekaligus untuk menjadikan Indonesia sebagai “supply side” dan “demand side”.
Namun kesuksesan tersebut harus disertai langkah-langkah kongkrit dalam mengimplementasikan legalitas tersebut untuk mewujudkan negara kepulauan yang jika ditinjau, baik dari aspek geopolitik, geostrategi maupun geoekonomi. Realitanya sampai dengan saat ini Indonesia memang negara agraris tetapi belum sebagai negara agraria, juga sudah negara kepulauan namun belum sebagai negara maritim. Wawancara TokohIndonesia.com | Ch. Robin Simanullang
<— Sebelumnya: Wawancara 6 dari 8 =||= (Bersambung: Wawancara 8 dari 8) —>