Saatnya Akhiri Antagonisme dengan Inkulturasi Pengudusan Kebatakan

Jauhkan Si Singamangaraja dari Injil (11, Tamat)

0
27
Akhiri pendekatan antagonisme kekristenan terhadap habatahon. Ilustrasi TokohIndonesia.com - Meta AI
Lama Membaca: 4 menit

Jauhkan Si Singamangaraja dari Injil (11)

 

Akhiri Antagonisme Kekristenan versus Kebatakan dengan Inkulturasi Pengudusan Kebatakan. Belajar (introspeksi) dari sikap antagonisme beberapa misionaris Protestan, yang secara radikal menentang dan memisahkan kekristenan dengan adat-budaya Batak. Bahkan ada yang terlibat langsung dalam ‘perang yang adil’ demi dan atas nama Tuhan dalam rangka heroisme Kristenisasi; Menista (mengkafir-kafirkan secara ekstrim) kepercayaan leluhur Batak dan bersikap menjauhkan Raja Imam Si Singamangaraja dari Injil.

Sikap ‘pertentangan radikal’ tersebut, sebagaimana telah diuraikan di awal, sesungguhnya bertentangan dengan ajaran Agama Kristen (Injil), paling tidak mendistorsi Injil, atau untuk tidak gamblang disebut mengandung bahaya yang berpotensi menjadi Anti-Kristus terselubung karena tidak cukup bersifat eskatologis.[1] Hal ini telah menjadi sumber utama pergulatan konstan (siklus lingkaran setan) gereja-gereja Batak hingga hari ini, sadar atau tidak, diakui atau tidak.

Berakibat munculnya berbagai narasi yang mempertentangkan Pejuang Adat Batak versus Misionaris RMG, atau secara lebih khusus mempertentangkan Si Singamangaraja versus Nommensen, yang menjadi ikon pertentangan (antagonisme) Adat Batak versus Kekristenan (Kristenisasi), dalam pergumulan konstan hingga hari ini; Yang sesunggunya hal itu tidak akan terjadi jika para misionaris tidak bersikap antagonistis (dan dualistis) serampangan mengkafir-kafirkan dan menista adat-budaya Batak, dan/atau tidak menjauhkan Si Singamangaraja dari Injil.

Inilah jurang pemisah terdalam antara misi kristenisasi dengan nilai-nilai intrinsik adat-budaya Batak. Yang dicekoki disinformasi karena Si Singamangaraja menentang penjajahan dan didisinformasi sebagai sikap menentang Zending. Paddahal dari sumber primer (terutama surat-surat SSM dan surat sebagian misionaris), SSM tidak menolak misi Kristen, hanya menolak penjajahan; dan bahkan bersedia (berinisyatif) menemui misionaris; Sementara, Misionaris Barat sangat terikat dengan penjajah; dan juga sekaligus antagonis (menentang, mengkafir-kafirkan) dan paling banter dualistis terhadap kepercayaan dan nilai-nilai budaya Batak; dan hanya bersedia bertemu Si Singamangaraja dengan syarat menyerah kepada penjajah.

Suatu hal yang sangat mutlak dan urgen memerlukan perubahan naratif, dari semua pihak berkaitan, khususnya para pendeta (teolog), dengan berpikir besar, berkarsa besar, belajar besar, dan berjiwa besar, instrospeksi dalam kerangka (frame) Orde Hidup Baru, pemurnian ajaran Agama Kristen yang melangkah dalam lajur pasifis Sang Penebus, tanpa kekerasan, penistaan dan kebencian, tapi dengan cinta agape, kelembutan dan pengorbanan (memikul Salib), itulah sejatinya Jalan, Kebenaran dan Hidup; Sehingga menjadi panutan bagi awam jemaatnya yang berbicara dengan lidahnya sendiri.

Saatnya, kita mengajak para teolog Gereja Batak untuk melakukan kajian teologis lebih mendalam perihal jurang pemisah yang menjadi sumber utama pergulatan konstan (siklus) tersebut dan mengubahnya menjadi linear, langkah demi langkah di Jalan Juruselamat Tuhan Yesus Kristus, sebagai satu-satunya Imam Besar; Daripada larut karatan apalagi emosional fanatisme sempit (mabuk agama) mengultuskan nama seorang misionaris yang catatan sejarah misinya mendistorsi kerasulan dan Injil, apalagi dengan menafikan pelayanan lebih 100-an misionaris hebat lainnya, yang di antaranya justru lebih bersifat pasifis di jalan Kristus. Narasi yang mendobrak kemapanan laksana kucuran api air mata cinta kesedihan yang membara dalam kegelapan, dan kiranya menyala menjadi terang api air mata kasih tanpa kebencian.

Caroline Atwater Mason (1916) dalam World Missions and World Peace mengemukakan: Kerajaan Kristus dan peperangan fisik saling bertentangan satu sama lain, yang satu adalah ekspresi cinta yang tertinggi, yang lainnya adalah ekspresi kebencian. Perang menurunkan (derajat) cita-cita moral, menyebarkan sifat buruk, menjadikan agama sebagai kemunafikan yang mengerikan, melumpuhkan misi, mencekik dunia.[2]

Gereja didirikan oleh Dia yang tanpa perlawanan menumpahkan darah-Nya sendiri dan melarang penumpahan darah orang lain oleh murid-murid-Nya. Dimurnikan oleh penganiayaan dan dimahkotai oleh kemartiran, Gereja abad-abad awal berpegang erat pada perintah Tuhannya.[3] Caroline Atwater Mason mengemukakan beberapa kesaksian tentang prinsip perdamaian dari Gereja awal; Di antaranya, Justin Martyr (103-166 M) dalam permintaan maafnya mengatakan:

“….. berdoa untuk musuh, kita berusaha untuk membujuk mereka yang membenci kita secara tidak adil untuk hidup sesuai dengan ajaran indah Kristus. Kami, yang dulu membunuh satu sama lain, sekarang tidak bertarung dengan musuh kami”. Begitu pula Irenaeus (120-200 M), menegaskan bahwa nubuat Yesaya, yang menyatakan bahwa manusia harus mengubah “pedang mereka menjadi mata bajak dan tombak mereka menjadi pisau pemangkas”, telah digenapi pada masanya, karena orang-orang Kristen, “telah mengubah pedang dan tombak mereka menjadi alat perdamaian dan mereka tidak mau berperang.“[4]

Advertisement

Maxmilian, seorang pemuda Kristen Afrika, dibawa ke pengadilan Romawi oleh ayahnya untuk didaftarkan sebagai tentara. Ketika prokonsul menanyakan namanya, dia menjawab: “Saya seorang Kristen, saya tidak bisa melawan”. Dia sudah terdaftar tapi tetap menolak untuk bertarung. Dia diberitahu bahwa dia harus mengabdi atau mati. Dia kembali menjawab, “Saya seorang Kristen! Saya tidak bisa melawan, bahkan jika saya mati!” Dia pun dieksekusi. Kesaksian lainnya, Marcellus, seorang perwira, pada hari festival publik membuang ikat pinggang dan panji-panji kemiliterannya, serta berseru dengan suara nyaring, bahwa dia tidak akan menaati siapa pun kecuali Yesus Kristus, Raja yang Abadi, dan bahwa dia meninggalkan selamanya penggunaan senjata duniawi dan pelayanan dari majikan penyembah berhala. Karena itu dia dihukum dan dipenggal, kejahatan desersi.[5]

Kristus menderita bagi kita, meninggalkan bagi kita teladan bahwa kita hendaknya mengikuti langkah-Nya; yang tidak melakukan dosa, tidak ada tipu daya yang ditemukan di mulut-Nya; yang, ketika Dia dicerca, tidak balik mencaci maki; ketika Dia menderita, Dia tidak mengancam.[6] Itulah hakikat Misio Dei sesuai Injil, Jalan pasifis Kristus, yang alpa diimplementasikan Nommensen dan beberapa misionaris di Tanah Batak. Saatnya kita mengakhiri sikap antagonis misionaris; Melepas ‘tali celana’ yang disematkan masif di kening kita;[7] Melangkah linear di lajur inkulturasi pengudusan kebatakan.

Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (1937) menarasikannya: “Mereka tidak perlu lagi berjalan di tali misionaris Eropa. Suara mereka sendiri harus didengar dan wawasan mereka sendiri harus diperhitungkan”.[8] Dalam ensiklopedi tersebut tak kurang dari 1500 kata untuk menarasikan perihal aspirasi kemandirian Hoeria Kristen Batak tersebut yang diistilahkan dengan “Mereka tidak perlu lagi berjalan di tali misionaris Eropa”. Atau seperti yang disebut Pendeta A. Trouw (1930) menjadi seorang Kristen Batak (tidak perlu lagi) harus mengenakan celana Eropa. [9]

Metafora tali sepatu dan celana ataupun mahkota herois Eropa (misionaris dan penjajah) saatnya untuk dilepaskan. Tidak lagi menjadikan cara pandang atau perspektif asing (misionaris, cendekia dan penjajah) sebagai tuan atas pikiran dan perspektif kita, melainkan cukuplah menggunakannya sebagai alat bantu pencerah atau pelayan

Semestinya, bukanlah bentuk (budaya) Kekristenan Barat yang harus diperluas ke seluruh dunia, melainkan inti esensial dari iman dan ajaran Kristen yang didasarkan pada wahyu Allah (Firman) dalam Yesus Kristus Juruselamat dunia.[10] Maka, saatnya bertransformasi dari ‘misiologi kolonial’, melepas ‘tali celana’ dan ‘mahkota herois’ misionaris yang disematkan di kening kita, memasuki ‘misiologi post-kolonial’, teologi kebebasan secara kontekstual, Teologi in Loco yang memerdekakan orang Batak berbicara memuliakan Allah dengan lidah dan budayanya sendiri dalam kepenuhan Roh Kudus (Kis 2: 4-8).

Horas tondi madingin, pir tondi matogu! Syalom! Amin!

 

Sebelumnya

 

Penulis: Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy, Jilid 3 Bab 11.3.1. Hlm. 1956-1958.

 

Footnotes:

 

[1] Niebuhr, Reinhold, 1949: p.238.

[2] Mason, Caroline Atwater, 1916: World Missions and World Peace : A Study of Christ’s Conquest; West Medford, Mass.: The Central Committee on the United Study of Foreign Missions, p.12.

[3] Mason, Caroline Atwater, 1916: p.13.

[4] Mason, Caroline Atwater, 1916: p.15.

[5] Mason, Caroline Atwater, 1916: p.16-17.

[6] Mason, Caroline Atwater, 1916: p.6-7.

[7] Trouw, A. Ds, 1933: bl.38.

[8] Stibbe, D.G, en Mr. Dr. FJWH. Sandbergen (Onder Redactie), 1937: b.1211.

[9] Trouw, A. Ds, 1933: bl.38.

[10] Lamott, Willis C., 1944: Do You Want A Christian World? A Study Guide For Young People; New York: Friendship Press, p.28.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments