Keprihatinan NoRiYu
Nova Riyanti Yusuf
[DIREKTORI] Kehilangan dua orang terkasih sempat membawanya berada di titik nadir. Namun berkat pertolongan Tuhan, ia mampu bangkit dan sukses merintis karir sebagai seorang penulis handal, psikiater, aktivis perempuan, dan anggota DPR RI periode 2009-2014. Dalam karirnya, perempuan yang menggunakan nama alias NoRiYu ini fokus menyoroti masalah kejiwaan manusia.
Nova Riyanti Yusuf lahir di Palu, Sulawesi Tengah, 27 November 1977. Meski terlahir sebagai anak bungsu dari empat bersaudara, Nova tidak tumbuh sebagai gadis yang manja, kedua orang tuanya pun tetap mengajarkan kedisiplinan. Selain itu, sejak remaja Nova telah terbiasa untuk berbagi meski pemberiannya tak selalu berupa materi.
Profesi sang ayah sebagai seorang bankir membuat keluarganya kerap berpindah tempat mengikuti kepindahan tugas sang kepala keluarga. Kendati lahir di Palu, Nova tetap dibesarkan di Jakarta. Pendidikan dari SD hingga kuliah dijalaninya di ibukota. Selain tumbuh menjadi anak yang cerdas, Nova kecil juga dikenal aktif di berbagai bidang termasuk olahraga. Saat masih remaja, Nova sempat menekuni tenis. Kegandrungannya pada olahraga itu diwarisinya dari sang ayah. Gelar juara 3 Piala Walikota Jakarta Pusat dan runner up turnamen tennis Jakarta Hilton Executive Club, menjadi bukti keuletannya di cabang olahraga tersebut.
Meski terbilang cukup berbakat, hobinya bertenis ria perlahan mulai ditinggalkan. Apalagi saat duduk di bangku SMA Tarakanita I, Nova lebih banyak berkiprah di dunia tulis menulis dengan menjadi editor sekaligus reporter majalah sekolah bernama Starpura (Suara Tarakanita Pulo Raya). Hobi menulis Nova sebenarnya sudah terlihat saat ia masih SD. Saat duduk di bangku SMP pun, ia bahkan kerap menghasilkan cerpen-cerpen berbahasa Inggris meski belum dikomersilkan. Bakat menulis Nova boleh jadi diwarisinya dari sang kakek, D. Suradji, yang dikenal sebagai seorang wartawan Antara sekaligus sastrawan Malioboro. Dari sang kakek pulalah, goresan tangan yang berubah menjadi kumpulan novelnya bermula. Nova yang sudah terbiasa melihat buku-buku tebal, mengawali karirnya sebagai penulis dengan menulis opini-opini.
Impiannya sebagai penulis dengan menerbitkan novel perdananya yang berjudul ‘Mahadewi Mahadewi’. Novel yang pada mulanya diterbitkan secara independen itu menarik salah satu penerbit besar yang kemudian mengedarkannya. Kesuksesan kembali diraih Nova tatkala novel tersebut meraih predikat bestseller karena angka penjualannya yang cukup tinggi. Mahadewi Mahadewi bahkan dijadikan sebagai buku referensi di Universitas Charles Darwin, Australia untuk unit belajar kemahiran bahasa Indonesia.
Begitu tamat SMA, Nova sempat berencana ingin memperdalam kemampuan menulisnya di luar negeri. Namun sayang, izin dari orangtua tak berhasil dikantonginya. Ayah dan ibunya sedikit cemas jika harus melepas si bungsu menempuh pendidikan di luar negeri. Alhasil, Nova harus cukup puas melanjutkan studinya di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta. Kendati menempuh pendidikan kedokteran, Nova tak lantas meninggalkan hobi menulisnya. Sebaliknya, di tengah padatnya jadwal kuliah, ia justru semakin giat berkarya lewat tulisan dengan mendirikan dan sempat menjadi pemimpin redaksi media komunikasi KOMET (Komunikasi Medikal Trisakti).
Sejak itu, ia semakin jatuh cinta pada dunia menulis. Apa yang berada dalam pikirannya, dapat dengan mudah langsung dituangkan ke tulisan dan dirangkai menjadi sebuah cerita nan menarik. Seperti penulis kebanyakan, Nova juga memendam impian bahwa suatu saat karyanya bisa diterbitkan dalam bentuk buku. Namun, di saat impiannya belum juga tercapai, Nova justru harus menghadapi kenyataan pahit setelah kepergian ayahanda tercinta menghadap Sang Khalik.
Peristiwa pilu itu terjadi di saat ia masih menjadi co-ass untuk meraih gelar dokter. Ayahnya yang tengah sakit keras ternyata harus pergi selamanya pada tahun 2000, akibat gagal jantung pascaoperasi by-pass jantung koroner. Belum hilang duka yang dirasakannya, setahun kemudian menyusul berpulangnya sang kakak, Novinita Hassan di usianya yang baru menginjak 35 tahun. Novinita, kakak tertua Nova meninggal dunia setelah dirawat selama 38 hari, karena didiagnosis Disseminated Intravascular Coagulation. Akibat penyakit tersebut, kakak Nova harus mengalami pendarahan cukup parah sehingga nyawanya tak dapat diselamatkan.
Kehilangan dua orang tercinta dalam rentan waktu yang relatif dekat, tak ayal meninggalkan rasa trauma dalam dirinya. Pengagum penulis novel Twilight Stephanie Mayer ini merasa kematian seolah begitu dekat, ia bahkan mulai mengira-ngira berikutnya giliran siapa. Ketakutan pada kematian menyisakan berbagai tanda tanya besar yang secara bergantian muncul dalam pikirannya. Ayah dan kakaknya yang dijemput maut dalam kurun waktu setahun, dianggap sebagai sebuah ketidakadilan. Sempat terbersit dalam benaknya untuk marah dan melancarkan protes pada Tuhan, meski tak cukup bernyali. Butuh waktu cukup lama bagi Nova untuk mengembalikan kondisi mentalnya seperti sedia kala.
Di tengah guncangan batin tersebut, atas saran salah satu temannya, Nova mulai lebih mendekatkan dan berpasrah diri kepada Allah. Benar saja, perlahan kondisi mentalnya semakin membaik. “Tiba-tiba ada titik terang setelah saya sudah tawakal. Di situ saya merasakan adanya intervensi Allah. Seperti ada energi positif yang muncul,” ujar Nova menggambarkan kondisinya ketika berkomunikasi dengan Tuhan seperti dikutip dari situs realita.
Dengan campur tangan Tuhan, seiring waktu, ia berhasil menerima kenyataan setelah kepergian dua orang terkasihnya. Kuliahnya di Universitas Trisakti pun rampung dan ia berhak menyandang gelar dokter di tahun 2003. Di tahun yang sama, ia juga berhasil mewujudkan impiannya sebagai penulis dengan menerbitkan novel perdananya yang berjudul ‘Mahadewi Mahadewi’. Novel yang pada mulanya diterbitkan secara independen itu menarik salah satu penerbit besar yang kemudian mengedarkannya. Kesuksesan kembali diraih Nova tatkala novel tersebut meraih predikat bestseller karena angka penjualannya yang cukup tinggi. Mahadewi Mahadewi bahkan dijadikan sebagai buku referensi di Universitas Charles Darwin, Australia untuk unit belajar kemahiran bahasa Indonesia.
Setelah Mahadewi Mahadewi, Nova yang meraih gelar master psikiatrinya di Universitas Indonesia tahun 2008 ini meluncurkan karya-karya sastra lainnya, yakni Imipramine (2004), dan 3Some (2005). Tak hanya novel, Nova juga meluncurkan dua buku yang merupakan kumpulan esainya yaitu Libido Junkie: A Memoir for the Radicals dan Stranger Than Fiction: Cerita dari Kamar Jaga Malam. Pada Oktober 2011, ia meluncurkan buku “Atas Nama Jiwa” yang mengajak masyarakat Indonesia untuk mendukung RUU Kesehatan Jiwa agar segera diundangkan.
Cerpen-cerpen karangan NoRiYu, nama pena Nova Riyanti Yusuf, telah tersebar di berbagai media cetak seperti majalah Playboy, Femina, dan X2. Kumpulan esainya juga telah dimuat di sejumlah media cetak ternama seperti Koran Tempo, majalah Gatra, dan majalah MTV Trax. Ia juga menulis esai secara reguler di Djakarta Magazine. Di waktu senggangnya, NoRiYu menuliskan juga resensi musik yang berkisar dari genre indie Indonesia, Mazzy Star, dan film untuk jakartabeat.net.
Selain itu, salah satu dari 25 Wanita Sukses versi Majalah Emporium Perempuan tahun 2005 ini juga menulis novel adaptasi dari skenario film, yakni 30 Hari Mencari Cinta (adaptasi skenario karya Upi Avianto), Betina (adaptasi skenario karya BE Raisuli), dan Garasi (adaptasi skenario karya Prima Rusdi). Pada tahun 2007, Nova menulis sebuah skenario film layar lebar berjudul Merah Itu Cinta yang kemudian difilmkan oleh Rapi. Dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI), film tersebut mendapat 7 nominasi penghargaan.
Soal inspirasi dalam setiap tulisannya, wanita penggemar sushi ini mengaku mendapat banyak ilham dari berbagai kejadian dalam kehidupannya. Misalnya saat menulis novel pertamanya, ‘Mahadewi Mahadewi’ yang diilhami dari dua kematian yang terjadi dalam keluarganya. Saat akan menulis Mahadewi Mahadewi, Nova juga sempat mengalami sebuah pengalaman unik. Kala itu, ia kerap bermimpi didatangi oleh sosok dengan penampilan menyeramkan. Kehadiran sosok tak dikenal itu sempat membuatnya takut, terlebih setelah bangun dari tidurnya, ia selalu jatuh sakit. Namun, justru kehadiran sosok menyeramkan itulah yang kemudian juga menggugah kreativitasnya dalam menulis. Sosok itu kemudian dijadikan salah satu karakter di novel Mahadewi Mahadewi.
Inspirasi menulis juga bisa datang dimanapun ia berada, bahkan ketika berada di balik pintu kamar jaga malam dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Inspirasi itulah yang kemudian dituangkannya menjadi puluhan esai dengan pendekatan populer yang dirangkum dalam buku Stranger Than Fiction. “Buku ini adalah kumpulan esai kedua saya, isinya tentang realitas sosial dengan sedikit ulasan dari sudut pandang psikiatri. Sebagian besar ceritanya saya tulis di RSCM ketika sedang sepi pasien,” ujar Nova dalam wawancara usai peluncuran buku.
Awalnya terdapat 25 tulisan yang dikumpulkannya, setelah melalui proses penyuntingan terkumpul sebanyak 16 esai yang akhirnya dibukukan. NoRiYu mengungkapkan topik yang diangkat dalam esainya sebagian besar tentang politik, lingkungan hidup, social sickness, cinta, dan keluarga.
Sejak itu, Nova terus bergairah menjalani hidupnya. Ketakutan akan datangnya kematian berganti menjadi rasa pasrah dan ikhlas menerima segala takdir Ilahi. Baginya, pertolongan Allah tak hanya hinggap ketika ia harus ditinggalkan orang-orang terkasih, namun juga dalam menghadapi berbagai problema hidup, tak terkecuali dalam hal asmara.
Perempuan yang pada tahun 1995 pernah mengikuti program menulis kreatif di The Writing School, Singapura ini sempat merasakan kebahagiaan saat tengah menjalani hubungan dengan putra sulung salah satu calon presiden tahun 2004 lalu. Perencanaan untuk membawa hubungan itu ke gerbang pernikahan bahkan sudah dirancang, namun urung dilaksanakan lantaran ada banyak kendala yang menghadang. Awalnya, Nova berusaha untuk mencari jalan penyelesaian terbaik. Namun, pada akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengakhirinya. Tak cukup yakin dengan keputusan yang diambil, Nova pun berangkat ke Tanah Suci untuk menjalankan ibadah Umrah.
Di sana, ia memanjatkan doa berharap diberikan petunjuk dan kekuatan agar tidak salah dalam mengambil keputusan. Sekembalinya ke Jakarta, barulah petunjuk tersebut datang dan kian menambah keyakinan bahwa keputusan yang diambilnya sudah tepat. “Dia memang bukanlah jodoh saya,” ujar Nova singkat mengenang kisah kasihnya yang telah kandas. Jalinan kasih dengan sang pujaan hati kian hari kian menjauh hingga akhirnya tak bisa bersatu kembali. Terlebih lagi, sang ibu menyatakan ketidaksetujuannya terhadap hubungan Nova dengan pria tersebut. Hal itulah yang kian mempertebal keyakinannya bahwa keputusan yang diambil adalah tepat. Meski pahit, kegagalan itu tak membuatnya trauma. Soal kesendiriannya di usianya yang sudah berkepala tiga, ia tetap berusaha untuk mencari pasangan tanpa harus terburu-buru.
Meski banyak peristiwa yang mewarnai pasang surut kehidupannya, mantan guru Bahasa Inggris LIA ini kian terpacu untuk memantapkan karirnya. Kepedulian terhadap masalah-masalah kesehatan jiwa di Indonesia telah mengantarnya untuk berpartisipasi dalam ajang “The Asia 21 Young Leaders Summit” yang berlangsung di Tokyo pada 14-16 November 2008. Tema yang dipakai dalam forum tersebut adalah “Challenges Beyond Borders, Solutions Beyond Cultures”.
“Saya hanya ingin menggugah generasi muda dunia dan di Indonesia bahwa persoalan kesehatan jiwa kini menjadi semakin perlu untuk diperhatikan, apalagi mengingat dampaknya yang besar dalam perkembangan global seperti sekarang,” kata Nova Riyanti Yusuf seperti dikutip dari situs Antara. Forum dialog para pemimpin muda Asia Pasifik itu digagas kelompok “Asia Society” dan memilih hanya 200 peserta, termasuk Nova Riyanti Yusuf. Nova berhasil terpilih mewakili Indonesia setelah melalui seleksi yang ketat dari sekitar seribu peserta.
Kesempatan tampil dalam event berskala internasional itu juga dimanfaatkan Nova untuk membangun jejaring dan mencari dukungan internasional bagi upaya advokasi mengenai kesehatan jiwa. Ia mencontohkan kasus bencana alam tsunami yang melanda Aceh. Situasi krisis yang mengguncang Aceh tersebut telah menyebabkan ribuan jiwa mengalami trauma sehingga membutuhkan penanganan darurat yang bertumpu pada psikiatri. Menurut Nova, saat itulah peran psikiatri bersama komponen lainnya mutlak bekerjasama guna mengatasi situasi krisis kesehatan jiwa masyarakat.
Hal lain yang menambah keprihatinannya adalah perlakuan yang salah dari masyarakat terhadap penderita kesehatan jiwa, salah satunya dengan memasung penderita sakit jiwa. Pandangan negatif (stigma) terhadap penderita mental ini juga terjadi di negara-negara maju walau mereka memiliki sistem dan fasilitas yang lebih bagus dibanding Indonesia.
“Melalui forum internasional ini memang perlu dibangun kepedulian yang lebih luas lagi, pemberian informasi yang tepat, seperti tips-tips ringan atau memberitahu publik mengenai gejala-gejala kesehatan jiwa,” katanya. Nova memang merasa beruntung bisa bergabung dalam forum pemimpin muda dunia itu, karena bisa dimanfaatkannya sebagai upaya untuk meningkatkan citra Indonesia di mata komunitas internasional.
Nova merupakan orang ketiga Indonesia yang ikut pertemuan tokoh muda dari berbagai negara tersebut, setelah Veronica Colondam (2006) dan Sandiaga Uno (2007). Saya banyak belajar bagaimana pikiran delegasi dari beberapa negara dan mengaplikasikannya ke Indonesia,” ungkap Ketua Metaforma Institute: Center for Community and Social Development ini dengan nada bangga.
Statusnya yang masih lajang membuat waktunya bisa digunakan untuk beragam aktivitas. Ia kerap menjadi juri beragam festival, menghadiri undangan sebagai pembicara menyangkut buku-buku karangannya, serta tampil dalam sejumlah program televisi baik sebagai narasumber hingga presenter. Kesibukan Nova semakin bertambah setelah pada Pileg 2009 lalu, ia berhasil terpilih sebagai anggota DPR periode 2009-2014 untuk Daerah Pemilihan Jakarta II dari Partai Demokrat.
Nova juga kerap ambil bagian dalam beragam event bertema sosial. Tahun 2009, ia terpilih menjadi Duta SUTA (Stand Up Take Action, End Poverty Now!) bersama sejumlah nama dari dunia hiburan seperti Pandji, Iwet Ramadhan, Joko Anwar, Nia Dinata, Indi Barends, Yacko, dan Igor Saykoji. SUTA adalah rangkaian Kampanye Bangkit Beraksi demi tercapainya tujuan-tujuan MDGs 2015.
Jabatan sebagai Ketua Bidang Sosial WOMAN Foundation we care, we act, juga pernah diamanatkan padanya. WOMAN merupakan sebuah LSM yang beranggotakan perempuan-perempuan aktivis di bidangnya masing-masing, seperti Indira Soediro, Tina Talisa, Alia Jumhur, Kiki, Arti S Usman, dan sejumlah nama lain. Pada tahun 2007, LSM yang pernah ditunjuk sebagai Duta Lingkungan Hidup ini mengadakan Ruwat Bumi bersama-sama PSIK Universitas Paramadina dan ikut mengadvokasi kesehatan jiwa dan pernah bekerjasama dengan Jejak Jiwa menerbitkan Indonesian Mental Health Journal, Ataraxis. Tulisan Nova dalam jurnal tersebut berjudul Eksotisme Terapi Spiritual. muli, red