Wartawan dan Sejarawan Otodidak

Mohammad Said
 
0
507
Mohammad Said
Mohammad Said | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Seorang jurnalis, politikus dan sejarawan handal. Sempat membuka praktek kantor pengacara tanpa diploma (zaakwaarnemer) yang umumnya membantu masyarakat yang dirugikan golongan the haves dan rentenir. Menerima beberapa penghargaan baik sebagai wartawan maupun sejarawan. Ia hanya tamatan sekolah rendah, namun pengetahuan dan wawasannya amat luas. Ia seorang otodidak tulen.

H. Mohammad Said (HMS), lahir 17 Agustus 1905 di Labuhan Bilik, Kabupaten Labuhan Batu, Sumatra Utara, anak ke empat dari tujuh bersaudara keluarga Haji Hasan (keluarga tani), menempuh sekolah rendah dan normal, ketidak-sanggupan orang tua membiayai pelanjutan sekolah, menjadi giat dengan self-study terus menerus, seorang otodidak.

Ia berpulang ke rahmatullah pada hari Rabu, 26 April 1995 pukul 10:20 dalam usia 89 tahun, meninggalkan seorang istri dan 12 orang anak (6 putra dan 6 putri) serta puluhan cucu. Jenazahnya dimakamkan hari Kamis, 27 April 1995 di pekuburan Muslim Jalan Thamrin, Medan.

Awal karir jurnalistik dimulai tahun 1928 di Medan setelah selesai sekolah rendah dan sekolah normal. Menulis berpuluh-puluh, kalau tidak ratusan karangan tersebar di antaranya bersambung-sambung dalam surat kabar.

Di tahun 1928 berangkat dari desa kelahiran ke Medan dan diterima menjadi anggota redaksi surat kabar harian Tionghoa-Melayu “Tjin Po”, tahun 1929 menjadi redaktur I surat kabar “Oetoesan Sumatra” yang dipimpin Djaparlagoetan, berhenti karena penerbit ingin merevolusionerkan haluan surat kabar tersebut untuk dipimpin oleh seorang politikus kiri.

Berikutnya, beberapa tahun lamanya HMS membuka praktek kantor pengacara tanpa diploma (zaakwaarnemer) yang umumnya membantu masyarakat yang dirugikan golongan the haves dan rentenir. Setelah beberapa tahun menjadi wartawan free lance, turut memimpin surat kabar mingguan “Penjebar”, pindah menjadi pemimpin redaksi surat kabar mingguan “Penjedar”, selanjutnya 1938-1939 menerbitkan sendiri dan menjadi pemimpin redaksi mingguan politik populer “Seruan Kita” bersama Ani Idrus (wartawati surat kabar “Sinar Deli”) hingga dekat perang dunia ke 2.

November 1943 menjadi pegawai bagian unsur Departemen Penerangan & Kebudayaan pemerintahan sipil militer Jepang (Bunka ka) di Medan. Selanjutnya, Sabtu, 29 September 1945 (segera setelah proklamasi) memimpin surat kabar harian Republiken edisi sore “Pewarta Deli” menggantikan pemimpin redaksi Djamaluddin Adi Negoro yang pindah ke Bukit Tinggi (Sumatra Barat). Pewarta Deli kemudian terpaksa terhenti pada awal tahun 1946 akibat mesin pencetaknya dihancurkan oleh pasukan Sekutu gara-gara anti padanya.

Setelah itu, Juli 1946 sampai pertengahan 1948 menjadi wakil kantor berita nasional “Antara” untuk memimpin dan membangun cabang-cabangnya di Sumatra atas mandat yang diberikan oleh Adam Malik.

Pada 11 Januari 1947 menerbitkan dan memimpin harian Republiken di daerah pendudukan Belanda/Nica Medan bernama “Waspada”, yang terus terbit sejak pemulihan kedaulatan hingga kini. Berikutnya, mengundurkan diri sebagai Pemimpin Redaksi Harian Waspada tahun 1969 guna memusatkan perhatiannya kepada penulisan sejarah.

Sebagai Politikus
Agustus 1949 sebagai satu-satunya wartawan Indonesia (Republiken) yang ditunjuk oleh pemerintah RI dari Yogya turut ke Nederland meninjau Konferensi Meja Bundar.

Advertisement

Awal 1950 memimpin Kongres Rakyat se-Sumatra Timur yang menuntut pembubaran negara boneka Belanda “NST” (Negara Sumatra Timur).

Sejak itu menjadi aktivis dan ketua umum Partai Nasional Indonesia daerah Sumatra Utara hingga 1956, seterusnya non-aktif, dengan prestasinya memperjuangkan nasionalisasi Tambang Minyak Sumatra Utara. Kemudian pada masa Orde Baru atas rekomendasi PNI Osa Usep menjadi anggota MPRS, sekedar setahun minta berhenti dengan hormat karena kesibukan lain.

1955: Memenuhi undangan pemerintah RRT bersama rombongan politisi non-komunis lainnya meninjau Tiongkok dan menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama rombongan Presiden Sukarno.

1956: Memenuhi undangan pemerintah Amerika Serikat meninjau negeri itu selama 3 bulan (“leaders’ grant”). 1957 s/d 1967: Memenuhi undangan-undangan meninjau Inggris, Belanda, Jerman, Amerika Serikat (kedua kali), Mesir (dua kali).

Sebagai Sejarawan
Berhubung orang tuanya tidak sanggup lagi membiayai sekolah lanjutannya, HMS sejak mudanya di Labuhan Bilik hingga menjalani dunia kewartawanan tetap menggiatkan diri belajar sendiri (otodidak). Dari otodidaknya tersebut, menguasai bahasa Belanda dan Inggris yang mendukungnya menjadi sejarawan.

Tulisannya mengenai sejarah mencapai ratusan di surat kabar. Di antaranya diterbitkan secara bersambung. HMS juga selalu menyampaikan makalah pada kegiatan ilmiah, utamanya seminar menyangkut sejarah. Misalnya menyangkut seminar masuknya Islam ke Indonesia berlangsung di Medan dan Banda Aceh. Selain itu, seminar tentang sejarah pers tiga jaman di Jakarta, Seminar Sejarah Tuanku Tambusai di Medan dan lain-lain.

Begitu pula buku-buku sejarah yang ditulisnya, antara lain: “Kerajaan Bumi Putera Yang Berdiri Sendiri di Indonesia”, “Deli Dahulu dan Sekarang”, “Perubahan Pemerintahan (Bestuurshervorming)”, “Busido” (salinan), “14 Bulan Pendudukan Inggris di Indonesia”, “Sejarah Pers di Sumatra Utara”, “Koeli Kontrak Tempo Doeloe”, “Atjeh (Aceh) Sepanjang Abad” dan beberapa naskah tebal yang belum diterbitkan.

Sebagai Tokoh Masyarakat ia emimpin beberapa kali Seminar Masuknya Islam ke Indonesia, yang berlangsung di Medan dan Banda Aceh.

Penghargaan
Semasa hidupnya, HMS mendapat berbagai penghargaan sebagai kewartawanan dan kesejarawanannya. Misalnya, “Satya Penegak Pers Pancasila” yang diterima 10 patriot pers Pancasila, termasuk H. Mohammad Said yang dinilai aktif melawan Gerakan 30 September / Partai Komunis Indonesia.

Penghargaan tersebut diserahkan Menteri Penerangan H. Harmoko pada Hari Pers Nasional pertama di Jakarta pada 9 Februari 1985. Menpen ketika itu menyebutkan bahwa HMS telah mengabdi pada perjuangan nasional dan pembangunan bangsa melalui profesi kewartawanan secara aktif dan terus menerus.

Tahun 1991 almarhum juga menerima penghargaan peniti emas dari Ketua Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat H. Zulharmans. Penghargaan itu untuk mengenang jasa-jasa beliau dalam turut mendirikan organisasi SPS di Solo pada tahun 1946 dan mensponsori pembentukan pembinaan terhadap pers di daerah ini. Peniti emas tersebut disematkan Gubsu H. Raja Inal Siregar di Hotel Dharma Deli Medan.

Sebagai sejarawan, HMS menerima penghargaan dari Pemerintah Daerah Istimewa Aceh / Gubernur Ali Hasjmy berupa “Sarakata Pancacita” dan “Medali Pancacita” untuk mengenang jasa-jasanya sebagai perintis sejarah Aceh dengan bukunya berjudul “Aceh Sepanjang Abad”. Kemudian, pada tahun 1978, menerima penghargaan dari Majelis Ulama Indonesia berupa “Sarakata Ulama” dan “Medali Ulama” untuk peran aktifnya dalam seminar-seminar di Aceh, antara lain seminar masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara yang diadakan oleh MUI Aceh di Banda Aceh 10-16 Juli 1978. e-ti, WASPADA

Data Singkat
Mohammad Said, Wartawan dan Sejarawan / Wartawan dan Sejarawan Otodidak | Ensiklopedi | Wartawan, redaktur, sejarawan, tionghoa, surat kabar

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini