Politicking Harga BBM dan BLT

[OPINI] – CATATAN KILAS – CATATAN KILAS Ch. Robin Simanullang | Harga BBM diturunkan tiga kali! Pertama kali sepanjang sejarah. Harga BBM diturunkan! Terimakasih Pak SBY” (Een, petani). Agar beban rakyat jadi lebih ringan. Begitu bunyi iklan tentang jasa besar Presiden SBY yang ditayangkan di televisi-televisi oleh Partai Demokrat dalam kampanye Pemilu 2009.
Itu adalah politicking[1] harga BBM (bahan bakar minyak) yang paling telanjang sepanjang sejarah! Tayangan iklan itu masih segar dalam ingatan, yang berhasil mendongkrak perolehan suara Partai Demokrat dan Presiden SBY dalam Pemilu 2009.
Politicking atas harga BBM ini menjadi semakin tak etis, tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat (PD), ketika memberi pembekalan dan arahan kepada para kader PD di kediamannya di Puri Cikeas, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat, Minggu (18/3/2012), meminta agar rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi tak dipolitisisasi
Sebab, menurut SBY, kebijakan menaikkan BBM bersubsidi semata-mata dilakukan demi menyelamatkan perekonomian nasional. Lalu, proses pembahasan rencana kenaikan BBM bersubsidi di Parlemen yang memang alot, menurut SBY, adalah karena ingin menghasilkan opsi terbaik. “Itu wajar dan saya bisa terima. Tapi kalau yang terjadi adalah black campaign, berburuk sangka, apa pun digunakan sebagai peluang untuk menghadapi lawan politik, maka politik di negeri ini menyedihkan,” kata SBY.
Untuk menyegarkan ingatan dan menjernihkan logika masyarakat awam, mari kita lihat kembali kronologi naik-turunnya harga BBM sejak tahun 2003 sampai 2012. Pada tahun 2003 Pemerintahan Megawati menaikkan harga BBM (Premium) menjadi Rp 1.810 per liter. Kemudian, setelah empat bulan pemerintahan SBY, tepatnya 1 Maret 2005 dinaikkan menjadi Rp 2.400. Dinaikkan lagi pada 1 Oktober 2005 menjadi 4.500 (naik hampir 300 persen). Lalu, untuk ketiga kalinya pada 24 Mei 2008 dinaikkan lagi menjadi Rp 6.000 pada 24 Mei 2008.
Saya terkesima mendengar pernyataan Presiden SBY tersebut. Jika ingatan publik sangat pendek, pernyataan Presiden ini dapat ditelan sebagai sebuah pernyataan seorang pemimpin yang negarawan. Tapi, bagi mereka (publik) yang ingatannya tidak sependek itu, justru pernyataan Presiden SBY ini merupakan pernyataan politik yang amat menyedihkan. Bahkan, tidak heran bila ada yang beranggapan pernyataan itu merupakan pembohongan, penyesatan dan pembodohan. Sebab, publik masih ingat bunyi iklan kampanye SBY dan PD pada Pemilu 2009, sebagaimana dikutip di atas. Iklan kampanya yang merupakan politisasi harga BBM yang amat vulgar dan telanjang.
Untuk menyegarkan ingatan dan menjernihkan logika masyarakat awam, mari kita lihat kembali kronologi naik-turunnya harga BBM sejak tahun 2003 sampai 2012. Pada tahun 2003 Pemerintahan Megawati menaikkan harga BBM (Premium) menjadi Rp 1.810 per liter. Kemudian, setelah empat bulan pemerintahan SBY, tepatnya 1 Maret 2005 dinaikkan menjadi Rp 2.400. Dinaikkan lagi pada 1 Oktober 2005 menjadi 4.500 (naik hampir 300 persen). Lalu, untuk ketiga kalinya pada 24 Mei 2008 dinaikkan lagi menjadi Rp 6.000 pada 24 Mei 2008. Bagi saya, waktu itu, ini adalah kebijakan pemimpin yang amat berani.
Tapi, selain ada kebijakan yang berani, dikompensasi pula dengan kebijakan populis dengan menyalurkan bantuan langsung tunai kepada rakyat miskin. Sebuah kebijakan yang amat populis yang bertema bukti keberpihakan kepada rakyat miskin. Sayang, bagi saya, kebijakan ini sangat tidak visioner, tidak mendidik (tidak mencerdaskan), dan tidak produktif.
Ini adalah kebijakan politicking yang berorientasi pencitraan, bukan kebijakan pemimpin yang negarawan. Sebab, dalam pandangan saya, negarawan itu visioner dan mencerdaskan. Sebaiknya, keberpihakan kepada rakyat miskin itu dilakukan dengan kebijakan (prioritas, secara berkesinambanguan) dengan bantuan langsung produktif dan mencerdaskan. Bukan kebijakan kompensasi dengan BLT (konsumtif) secara temporer.
Lalu, menjelang Pemilu 2009, pemerintah SBY dalam dua bulan menurunkan harga BBM secara bertahap (tiga kali), yakni pada 1 Desember 2008 diturunkan dari Rp 6.000 menjadi Rp 5.500. Setengah bulan kemudian, 15 Desember 2008, diturunkan lagi menjadi Rp 5.000. Bulan berikutnya, pada 29 Januari 2009 diturunkan lagi menjadi Rp 4.500. Setelah itu, dalam kampanye Pemilu 2009, iklan “Harga BBM diturunkan tiga kali! Pertama kali sepanjang sejarah” itu pun berkumandang di televisi-televisi nasional. Partai Demokrat dan Presiden SBY pun memenangkan Pemilu. Sangat dahsyat! Bukankah hal ini politisasi kebijakan harga BBM dengan kompensasi BLT? Lagi pula, bukankah Presiden SBY telah menaikkan harga BBM dari Rp.1.810 (2005) menjadi Rp.6000 (2008) lalu diturunkan lagi menjadi Rp.4.500 (2009)?
Maka, ketika hari ini Pemerintah SBY bersikukuh menaikkan harga BBM (Premium) tertanggal 1 April 2012 kembali menjadi Rp.6000 seperti harga per 24 Mei 2008 lalu, tak heran jika banyak pihak menduga permainan politicking harga BBM kembali sedang diskenariokan menyongsong Pemilu 2014. Apalagi saat ini PD dan Pemerintahan SBY sedang ditimpa kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yakni korupsi yang melibatkan beberapa petinggi PD dan pejabat pemerintahan SBY.
Dalam hati, saya bertanya: Apakah bangsa ini mau terjerumus dua kali ke dalam lobang yang sama? Hanya bangsa yang menderita lupa ingatan kolektif (amnesia kolektif) yang mungkin mengalami hal itu. Sebab, ada ungkapan: Rusa saja tidak mau terjerumus dua kali ke dalam lobang yang sama.
Saya tercenung. Lalu mengingat ulang pernyataan Presiden SBY agar jangan mempolitisasi rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Jangan-jangan, justru pernyataan inilah awal politisasi terjadi. Apalagi bila melihat sikap Partai Demokrat yang ngotot mendukung kenaikan BBM bersubdisi.
Saya mengutip pernyataan Prof. Hendrawan Supratikno, MBA, PhD, politisi dari Fraksi PDI Perjuangan, kepada pers di ruang F-PDIP di Kompleks DPR, Jakarta, Kamis (29/3/2012), yang menyatakan bahwa pihaknya mencurigai lima kepentingan Partai Demokrat mengusulkan kenaikan harga BBM sebesar Rp 1.500 per liter. Pertama, kenaikan harga BBM akan menutupi atau sebagai pengalihan isu dugaan korupsi yang menyandera kader-kader Partai Demokrat.
Kedua, untuk menguji soliditas partai koalisi pemerintah di saat situasi sulit. Ketiga, kompensasi jika harga BBM naik berupa uang tunai untuk rakyat miskin akan dimanipulasi Partai Demokrat demi mencegah kemerosotan elektoral seperti ditunjukkan berbagai hasil survei belakangan ini.
Keempat, kenaikan harga BBM akan mengurangi tekanan internasional yang menghendaki liberalisasi pasar migas Indonesia. Kelima, kenaikan harga BBM dan BLSM (bantuan langsung sementara masyarakat) akan berpotensi mengulangi skenario sukses 2009 lalu. Hendrawan Supratikno menduga akan ada penurunan harga BBM jelang Pemilu dan Pilpres 2014.
Kita berharap, jangan sampai kecurigaan ini benar-benar terjadi. Sebab, jika hal itu terjadi, betapa menyedihkan nasib bangsa ini akibat kebobrokan politicking pemerintahnya sendiri. Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang | Redaksi TokohIndonesia.com |
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
Footnote:
[1] Politicking, berpolitik; kegiatan politik; Kegiatan yang diarahkan untuk memperoleh kekuasaan dan pengaruh, untuk mencapai tujuan tertentu; proses kampanye untuk dukungan, suara dan lain-lain; Pelakunya disebut politicker.