Matahari Kembar: Ketika Solo Lebih Ramai daripada Istana

Prabowo karena Mandat, Jokowi karena Pengaruh

 
0
25
Matahari Kembar: Jokowi Vs Prabowo
MATAHARI KEMBAR: Di langit kekuasaan Indonesia, dua matahari tampak bersinar: satu terang karena mandat, satu hangat karena pengaruh. Dalam cahaya yang saling bersilangan, arah loyalitas elite pun terbelah.

Kekuasaan resmi kini di tangan Prabowo, tapi arus sowan elite justru mengarah ke Solo. Bukan semata menghormati yang telah turun, tapi mungkin juga membaca arah kekuasaan masa depan yang belum sepenuhnya terbentuk. Satu matahari cukup di langit, tapi di peta kekuasaan, cahayanya bisa datang dari dua arah.

“Matahari itu hanya satu, yaitu Presiden Prabowo Subianto,” – Joko Widodo, 21 April 2025

Itulah pernyataan Joko Widodo, mantan Presiden RI, saat menjawab pertanyaan seputar kunjungan para menteri kabinet ke kediamannya di Solo. Sebuah pernyataan yang terdengar tegas, namun justru membuka ruang tafsir baru: jika matahari hanya satu, mengapa begitu banyak tokoh masih mencari hangatnya di tempat yang seharusnya sudah tenggelam?

Sejak awal April 2025, kota Solo mendadak menjadi poros pertemuan politis yang tidak resmi, tapi sarat simbol. Di tengah suasana Lebaran, satu per satu tokoh hadir bersilaturahmi ke Jokowi. Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menyempatkan diri hadir, begitu pula Budi Gunadi Sadikin, Menteri Kesehatan yang dikenal dekat secara teknokratis dengan Jokowi. Zulkifli Hasan, Menteri Perdagangan sekaligus Ketua Umum PAN, turut datang – menambah dimensi politis yang lebih tajam.

Tidak hanya itu. Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Kelautan dan Perikanan yang sebelumnya juga loyalis Jokowi, datang dan secara terbuka menyebut, “Silaturahmi ke bekas bos saya. Sekarang pun masih bos saya.” Lalu Sudaryono, Wakil Menteri Pertanian, juga menyambangi rumah pribadi Jokowi. Ia bahkan mengakui tidak meminta izin terlebih dahulu kepada Presiden Prabowo. “Silaturahmi pribadi,” ujarnya singkat, seolah ingin memisahkan loyalitas jabatan dan loyalitas personal.

Silaturahmi ini juga meluas ke aparat daerah. Kapolda Jawa Timur Irjen Imam Sugianto, bersama Pangdam V/Brawijaya Mayjen Rudy Saladin, serta Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, hadir di Solo dengan membawa pesan Lebaran dan membicarakan arus mudik yang memadati wilayah Jatim. Namun tetap, kehadiran mereka menciptakan satu lanskap visual yang kuat: pejabat negara dalam formasi lengkap, mendatangi seorang mantan presiden.

Tak kalah menarik, rombongan dari kalangan Polri – yakni para peserta didik Sekolah Staf dan Pimpinan Menengah (Sespimmen) Polri – juga hadir menemui Jokowi di kediamannya. Para perwira menengah ini secara terbuka menyampaikan permohonan arahan kepada Jokowi sebagai tokoh nasional. Mereka menganggap kunjungan itu sebagai bagian dari proses pembelajaran strategis – sebuah gestur yang sekaligus menunjukkan bahwa Jokowi masih dianggap relevan dalam diskursus kenegaraan, bahkan oleh aparat yang kini berada di bawah struktur kekuasaan yang baru.

Tidak cukup sampai di situ, tokoh sipil seperti Hercules Rosario de Marshal – tokoh masyarakat yang dikenal dengan sikap blak-blakan – juga ikut hadir. Ia datang tidak hanya membawa salam Idulfitri, tapi juga pernyataan politis. “Saya gerah dengan fitnah soal ijazah palsu Jokowi. Saya datang untuk beri dukungan,” katanya. Ketika bahkan kelompok non-elite formal ikut menyuarakan pembelaan di hadapan mantan presiden, sulit untuk tidak menyebut ini sebagai arena loyalitas terbuka.

Dalam politik Indonesia, gestur kecil bisa mengandung makna besar. Dan saat gestur itu terjadi berulang, melibatkan tokoh-tokoh besar, serta berlangsung saat matahari baru masih dalam proses menstabilkan orbitnya, tafsir menjadi tak terhindarkan. Istilah “matahari kembar” mencuat: dua pusat pengaruh, satu resmi, satu simbolik.

Tentu Jokowi menampik itu. “Nggak ada matahari kembar. Matahari itu hanya satu, Presiden Prabowo,” katanya lugas, sebagaimana dikutip dari detik.com. Tapi pernyataan itu, meski jelas secara lisan, tidak sepenuhnya menghapus bayangan politik yang berkembang di ruang publik. Sebab, di balik logika kekuasaan formal, Indonesia masih menyimpan budaya kekuasaan yang sangat personal. Dan di tengah sistem patronal seperti Indonesia, loyalitas bukan sekadar soal jabatan, tapi rasa aman, kedekatan, dan akses pada kekuasaan yang nyata – atau yang dirasa nyata.

Advertisement

Yang menarik, Jokowi tidak sepenuhnya berperan pasif. Ia tidak mengundang, tapi juga tidak menolak. Ia tidak membentuk poros kekuasaan baru, tapi juga tidak memberi batas yang jelas pada siapa yang boleh datang dan untuk apa. Dalam politik, diam bisa menjadi strategi. Ketika publik melihat mantan presiden terus disambangi oleh pejabat aktif, yang terjadi bukan hanya pencitraan kekeluargaan, tapi sinyal kekuasaan: bahwa pengaruh lama belum selesai. Jokowi mungkin tidak memaksa siapa pun untuk datang, tapi ia juga tidak memutus aliran mereka yang datang demi memastikan dirinya tetap di pusat orbit politik.

Dan ironinya, Prabowo Subianto, sang matahari yang kini resmi bersinar di Istana, juga belum sepenuhnya melepaskan diri dari bayangan pendahulunya. Dalam perayaan ulang tahun ke-17 Partai Gerindra, ia bahkan memekik, “Hidup Jokowi!” di depan para kadernya. Prabowo juga berkata, “Dan saya katakan di sini kita berhasil karena kita didukung oleh presiden ke-7. Tepuk tangannya kurang semangat. Semangat lagi.” Bagi banyak orang, ini adalah gestur hormat. Tapi bagi pengamat yang jeli, ini juga bisa dibaca sebagai pengakuan bahwa kekuasaan Prabowo belum sepenuhnya mandiri.

Pernyataan seperti ini, jika terus diulang, berisiko memperpanjang ketergantungan simbolik pada figur Jokowi. Ia memberi kesan bahwa Prabowo belum sepenuhnya membangun pusat gravitasinya sendiri. Ketika presiden aktif masih merasa perlu menegaskan hubungan dengan pendahulunya secara terbuka, maka bayangan dari matahari lama tidak sepenuhnya hilang – ia justru diperpanjang.

Yang juga jarang disoroti adalah kemungkinan bahwa sowan ke Jokowi bukan hanya soal hormat personal, tapi strategi membangun koneksi ke kekuasaan yang akan datang. Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi, adalah wakil presiden terpilih. Maka mendekat ke Jokowi berarti juga mendekat ke kekuatan politik baru yang akan mengiringi lima tahun ke depan. Dalam peta politik yang semakin bercorak dinasti, keluarga adalah jalur pengaruh yang sama kuatnya dengan partai.

Pernyataan “matahari hanya satu” terdengar sebagai sikap negarawan, tapi itu tak serta-merta memadamkan keraguan publik. Karena dalam realitas politik Indonesia, matahari bisa satu di atas kertas, tapi pancaran cahayanya bisa berasal dari banyak titik. Ketika pejabat-pejabat aktif mendatangi figur yang sudah purna jabatan, tanpa alasan formal yang jelas, maka kita tidak hanya bicara tentang kultur silaturahmi – tapi juga tentang ketidakjelasan arah loyalitas.

Tentu, tidak ada yang salah dengan menghormati pemimpin lama. Tapi yang bermasalah adalah ketika loyalitas itu melampaui loyalitas struktural kepada presiden yang sedang menjabat. Transisi kekuasaan bukan hanya soal pelantikan dan pidato resmi, tapi juga tentang bagaimana pengaruh lama ditutup dan pengaruh baru dibuka. Jika ini tidak terjadi secara tegas, maka kita tidak sedang membangun kesinambungan, melainkan tumpang tindih yang membingungkan.

Indonesia sedang memasuki babak baru, namun banyak aktor masih sibuk membaca ulang skrip yang lama. Di sinilah ujian terbesar Prabowo: bukan hanya menjalankan pemerintahan, tapi membangun orbitnya sendiri, dengan sinar dan kehangatan baru yang cukup untuk membuat para elite berhenti menoleh ke belakang.

Jokowi pun punya tanggung jawab moral: untuk menunjukkan bahwa seorang pemimpin tahu kapan harus memberi ruang.  Jika ia benar-benar ingin mendukung transisi yang sehat, ia tak cukup hanya berkata “matahari itu satu.” Ia harus secara aktif menegaskan, “Terima kasih sudah datang, tapi sekarang, bawalah loyalitasmu ke presiden yang sah.”

Matahari memang satu. Tapi dalam politik kita yang begitu simbolik, banyak yang masih mencari hangatnya – entah karena belum yakin pada sinar yang baru, atau karena terlalu nyaman pada sinar yang lama. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini