Syaykh Panji Gumilang: Pendidikan Berasrama sebagai Fondasi Peradaban

Pelatihan Pelaku Didik Jilid 3 di Al-Zaytun

0
15
Syaykh AS Panji Gumilang
Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang saat memberikan pidato di Pelatihan Pelaku Didik Jilid 3, Kampus Al-Zaytun, 15 Juni 2025
Lama Membaca: 4 menit

Syaykh AS Panji Gumilang, dalam pidatonya pada Pelatihan Pelaku Didik Jilid 3 di Al-Zaytun, menekankan bahwa pendidikan berasrama bukan sekadar pilihan sistem, tetapi bagian dari kesinambungan peradaban. Ia menegaskan perlunya penataan pendidikan nasional yang tidak hanya berorientasi pada akademik, tetapi juga membentuk karakter dan kemandirian melalui pendekatan yang menyatu dengan kehidupan.

Penulis: Mangatur L. Paniroy, TokohIndonesia.com (Tokoh.ID)

Di hadapan ribuan peserta, ia menegaskan bahwa koma dalam tema “Transformasi Revolusioner Pendidikan, Berasrama” bukan sekadar tanda baca, melainkan penegas bahwa yang ditransformasi adalah pendidikannya, bukan semata sistem asramanya.

“Jangan dibaca langsung ‘transformasi revolusioner pendidikan berasrama’, nanti sasarannya itu asramanya yang ditransformasi. Yang kita transformasi itu pendidikannya. Berasrama itu mengikut,” tegasnya.

Syaykh Panji Gumilang mengaitkan gagasan pendidikan dengan kesinambungan peradaban manusia dari masa purba hingga era kontemporer. Ia menolak pandangan yang memutus sejarah dengan kategorisasi seperti revolusi industri 4.0 atau 5.0. Sebagai gantinya, ia mengusulkan kerangka pikir “six point zero” yang memadukan elemen-elemen sebelumnya ke dalam satu kesinambungan sejarah.

“Peradaban umat manusia tidak boleh diputus-putus, sekalipun nampak seperti mozaik,” ujarnya. Dalam konteks itu, pendidikan dipandang sebagai alat penting untuk menjaga kesinambungan peradaban, bukan sekadar perangkat modernisasi.

Salah satu fondasi utama yang diangkat dalam pidatonya adalah peran ibu dalam pendidikan awal manusia. Ia mengutip pandangan Ibnu Rusyd (Averroes) dan Ibnu Arabi, yang menyebut bahwa ibu adalah madrasah utama. “Al-umm madrasatun kubra,” kata Syaykh Panji Gumilang, yang berarti ibu adalah sekolah besar yang pertama. Pandangan ini ia kaitkan dengan identitas bangsa Indonesia, dengan menafsirkan “ibu pertiwi” sebagai entitas pendidikan kebangsaan. “Kita harus jadi pandu ibuku. Ibuku itu Indonesia,” ucapnya.

Mengulas sejarah pendidikan dunia, Syaykh Panji Gumilang merujuk sistem pendidikan di masa Yunani Kuno yang menerapkan model berasrama. Ia menyebut dua pusat pendidikan utama pada masa itu: Athena dan Sparta. Keduanya memiliki sistem pendidikan berbasis asrama yang membentuk karakter, disiplin, dan kekuatan berpikir peserta didiknya.

“Ada dua pendidikan besar: pendidikan Athena dan pendidikan Sparta. Semua berasrama. Di abad kuno, berasrama itu penting,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa pendidikan Sparta terkenal dengan kurikulum agoge, yang menekankan kekuatan pikir, kekuatan fisik, disiplin, dan ketaatan. Sementara itu, pendidikan Athena berfokus pada filsafat dan pembentukan nalar kritis. Ia menyoroti bahwa masa pendidikan dasar saat itu berlangsung dari usia 7 hingga 18 tahun, disusul pendidikan menengah hingga usia 30 tahun. Menurutnya, pola ini jauh lebih mendalam dibandingkan sistem 12 tahun pendidikan dasar-menengah yang umum di Indonesia saat ini.

Advertisement

Dengan merujuk pada pendidikan berasrama dari masa lalu, Syaykh Panji Gumilang menyampaikan bahwa sistem ini bukanlah konsep asing atau baru. Justru ia melihat bahwa model pendidikan berasrama telah terbukti efektif membentuk generasi pemimpin. Ia kemudian menyebut beberapa tokoh nasional yang menempuh pendidikan berasrama, seperti Presiden Soeharto, B.J. Habibie, hingga Bung Karno. Bung Karno berasrama, Pak Harto asrama militer, Pak Habibie berasrama. Yang berasrama bisa keluar bahasa teknologi,” katanya.

Dalam konteks kekinian, Syaykh Panji Gumilang memperkenalkan gagasan kurikulum baru yang ia sebut novum gradum, sebagai kelanjutan dari pendekatan filsafat klasik seperti organon dan novum organum. Kurikulum novum gradum ini disusun berdasarkan pendekatan L-STEAM, yaitu Law, Science, Technology, Engineering, Arts, dan Mathematics. Ia menyebut bahwa pendekatan ini menggabungkan pendidikan hukum, sains, teknologi, seni, dan matematika secara terpadu untuk membentuk manusia yang utuh dan produktif dalam masyarakat.

Syaykh AS Panji Gumilang
Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang saat memberikan arahan di Pelatihan Pelaku Didik Jilid 3, Kampus Al-Zaytun, 15 Juni 2025

“Ini landasan daripada transformasi revolusioner pendidikan. Karena al-umm madrasatun kubra, maka harus diasramakan,” ujarnya, menegaskan bahwa pendidikan berbasis karakter tidak cukup bila dilakukan hanya dalam format non-berasrama.

Sebagai tindak lanjut dari konsep pendidikan berasrama, Syaykh Panji Gumilang mengusulkan model distribusi nasional berupa pembangunan 500 kawasan pendidikan berasrama di berbagai daerah di Indonesia. Setiap kawasan dirancang memiliki luas sekitar 300 hektar dan difungsikan sebagai satuan pendidikan terpadu berbasis proyek. Dalam lingkup tersebut, pendekatan kurikulum L-STEAM dapat diterapkan secara praktis melalui berbagai fasilitas dan kegiatan yang relevan dengan kondisi lokal.

“Kalau 500 ini terjadi, orang semua berpikir topsoil bagaimana mengatur topsoil untuk membikin emas, untuk membikin nikel, untuk meningkatkan pendapatan per kapita,” ujarnya. Bagi Syaykh Panji Gumilang, pendidikan harus mampu terhubung langsung dengan persoalan nyata yang dihadapi masyarakat. Ia menolak pendekatan pendidikan yang semata berorientasi pada kelas dan ijazah, tanpa memberi dampak konkret terhadap pembangunan wilayah dan pemberdayaan sumber daya alam serta manusia.

Dalam pandangannya, sistem pendidikan formal yang saat ini dominan justru menyisakan ketimpangan dalam hal kedisiplinan dan karakter. Ia membandingkan lulusan lembaga berasrama, seperti akademi militer, dengan lulusan institusi pendidikan tinggi sipil yang tidak mengenal sistem asrama. “Janji jam 8, ya jam 8, karena beliau ini berasrama. Agak beda dengan yang tidak pernah berasrama,” katanya, menekankan perbedaan pola pembentukan etika dan tanggung jawab.

Lebih lanjut, Syaykh Panji Gumilang menegaskan bahwa pendidikan berasrama yang ia gagas bukanlah pesantren dalam pengertian tradisional. Ia menyebut bahwa sistem pendidikan berasrama bersifat terbuka dan modern, meski memiliki semangat kemandirian yang juga dikenal dalam tradisi pesantren. “Pendidikan berasrama ini bukan pesantren. Adapun kalau ada spirit pesantren, itu bukan berasramanya,” ujarnya. Spirit yang dimaksud meliputi nilai-nilai kemandirian, sistem belajar yang menyatu dengan kehidupan, dan pembentukan karakter melalui disiplin harian.

Menutup pidatonya, Syaykh Panji Gumilang mengajak negara untuk mempertimbangkan secara serius usulan sistem pendidikan berasrama nasional. Ia menyebut bahwa pendekatan ini bukan bentuk pemaksaan, melainkan sumbangan pemikiran untuk perbaikan jangka panjang bangsa. Menurutnya, jika Indonesia benar-benar ingin menyiapkan generasi yang tangguh, berdaya pikir, dan berkarakter, maka pendidikan harus dibangun di atas fondasi yang kuat baik secara nilai maupun sistem.

“Negara ini madrasatun kubra. Jaga ibuku, jadi pandu ibuku,” ujarnya, mengutip pandangan bahwa bangsa harus kembali memosisikan pendidikan sebagai pilar utama pembangunan. Ia mengingatkan bahwa pendidikan yang tidak tertata secara menyeluruh akan menyulitkan dalam menanamkan karakter, etika, dan harga diri secara konsisten.

Dalam perspektifnya, waktu 20 tahun menuju 2045 bukanlah masa yang terlalu panjang jika dipersiapkan sejak sekarang. Ia menolak narasi pesimistis tentang kehancuran bangsa, dan justru mengajukan gagasan pendidikan sebagai cara untuk membangkitkan kembali semangat dan arah Indonesia. “Kalau arti kiamat itu kehancuran, nggak ada. Kiamat itu justru kebangkitan. Orang semua kaget, Indonesia kok bisa begini. Oh, sudah kiamat, ya sudah bangkit,” katanya.

Pendidikan berasrama, menurut Syaykh Panji Gumilang, adalah bentuk konkret dari sistem pendidikan nasional yang tidak hanya menyentuh aspek akademik, tetapi juga membangun manusia seutuhnya dalam aspek karakter, kemandirian, dan tanggung jawab sosial. Ia meyakini, jika sistem ini diadopsi secara luas, maka kekhawatiran terhadap masa depan Indonesia dapat diatasi secara konstruktif. “Kalau ini diadopsi oleh negara, ketakutan Pak Prabowo tentang Indonesia lebur 30 tahun lagi, nggak perlu takut,” tutupnya. (Atur/TokohIndonesia.com)

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments