Disinformasi Pembunuhan Karakter Batak

Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy (4)

0
25
Disinformasi masif membunuh karakter Batak. Ilustrasi The Batak Institute - Meta AI
Lama Membaca: 5 menit

Sejak lama, sejarah dan nilai-nilai peradaban Batak atau karakter Batak banyak dinarasikan dengan persepsi dan interpretasi yang cacat dan terdistorsi serta analisis yang tidak cermat dan pemahaman yang tidak lengkap dan akurat: Bukan hanya misinformasi tetapi disinformasi dan misleading content. Suatu rangkaian narasi yang dialami oleh leluhur Batak; Sejak sebelum masehi, ketika Herodotus pada abad 4-5 sM mengawali menarasikan tentang Padaioi (kanibalis) orang Batak,[1] dilanjutkan Ptolomaeus, ilmuwan Mesir dalam Geographia (160 M) menarasikan Barussie Anthropophagi (Barussie yang Kanibal)[2] di Taprobana (Sumatera); Marco Polo dalam The Travels of Marco Polo (1292)[3]; serta diekori secara sensasional oleh Nicolo di Conti (1449) dan Odarus Barbosa (1516); yang menjadi rujukan narasi para pemerhati dan cendekia dunia:

Radermacher menulis narasi tentang kanibal Batak 1787, dan William Marsden yang mengisahkan perjalanan Giles Hollopway dan Charles Miller di Tanah Batak (1772 dan dipublikasi 1783 dan 1811); dan Wilhelm Junghuhn (1843) yang secara khusus melakukan penelitian geologi pertama ke Tanah Batak; Apalagi kompeni Belanda yang menjajah Tanah Batak sejak 1830-1940 dan teristimewa para misionaris yang hidup bersama orang Batak sejak tahun 1857-1940; Serta sejumlah cendekiawan dan pelancong dunia lainnya, sampai zaman ini (Baca: Bab 7.3: Sensasi Stigmatisasi Kanibalis), telah menarasikan Batak dari sudut pandang mereka sendiri, yang informasinya terdistorsi, misinformation (tidak sengaja) bahkan disinformation (sengaja); Sehingga terjadi pembunuhan karakter Batak secara masif dan sistematis selama ribuan tahun (sejak tahun 450 sM), sengaja atau tidak; dan nyaris tidak pernah (atau kurang masif) ‘dibantah’ atau dinarasikan oleh orang Batak sendiri tentang keberadaan, eksistensi atau jatidirinya yang sesungguhnya.

Distorsi informasi, misinformasi dan disinformasi atau kebohongan, pemalsuan informasi (cerita dan narasi) dan misleading content telah dibiarkan menjadi ‘sejarah’, dan dianggap menjadi ‘kebenaran’. Sangat menyesatkan dengan menyebutnya ‘fakta’ yang sebenarnya bukan fakta. Intelektual asing berkolaborasi dengan ‘budaya kebohongan kolonial’ sesuka hatinya menyebut leluhur orang Batak itu apa: Antara lain, sebagai manusia pemakan daging manusia paling biadab di dunia, tidak bermoral,[4] tidak punya sejarah dan lain sebagainya. Bahkan orang Batak, selain mengalami pugilisme intelektual, juga menderita pugilisme fisik dalam perang ‘yang adil dan beradab’ alias perang suci ala asing (kolonisasi dan misionisasi) serta penindasan dan penghisapan kapitalis kolonial. Fisik, moral dan karakter Batak benar-benar tertindas dan terbelenggu: Pembunuhan karakter yang menjurus pemusnahan! Genosida karakter Batak.

Dalam The Global Encyclopaedia of Informality (Ensiklopedi Global Informalitas), 2018, entri Character Assassination disebut: Pembunuhan karakter adalah praktik di mana upaya yang disengaja dan berkelanjutan dilakukan untuk merusak reputasi atau kredibilitas individu, kelompok atau lembaga sosial (Icks dan Shiraev 2014). Pembunuhan karakter mengacu pada proses, dan hasil dari proses ini (mis, reputasi yang rusak). Ini mungkin melibatkan berbagai jenis serangan fitnah, yang mirip dengan serangan kasar dan tidak langsung (argumentum ad hominem) yang digunakan dalam konteks permusuhan untuk mengalihkan perhatian dari masalah yang diperdebatkan ke sifat atau reputasi lawan (Walton 1998); Terdiri dari berbagai kemungkinan serangan dalam bentuk serangan verbal dan non-verbal; Pembunuhan karakter merupakan fenomena lintas budaya yang menampakkan dirinya dalam berbagai bentuk dan metode di setiap lingkungan politik dan sosial. Kerusakan yang diderita dalam proses pembunuhan karakter dapat berlangsung seumur hidup dan disamakan dengan pemusnahan.[5]

Thomas Chrowder Chamberlin, LL.D. (1843-1928) dalam bukunya The Ethical Functions of Scientific Study (Fungsi Etika Studi Ilmiah) menegaskan: “Jika saya dipanggil untuk menyebutkan kejahatan terbesar di zaman kita, di atas tingkatan kriminal yang paling berat, kejahatan yang membawa penderitaan paling pedih ke jiwa yang paling sensitif, kejahatan yang darinya semua menderita, dan dosa yang membuat semua orang menderita, saya pikir saya harus menyebutkan kesalahan konstruksi tindakan dan motif pribadi, merangkul interpretasi yang salah dan palsu, pikiran memfitnah, mengeluarkan kata-kata yang memfitnah, dan membentang ke bawah melalui gradasi rasa bersalah sampai mencapai yang terendah, paling pengecut, paling keji, kejahatan paling hitam, adalah kejahatan pembunuhan karakter.”[6]

Maka dalam sudut pandang strategi kebudayaan serta fungsi etis intelektual dan spiritual, salah satu peran lakon kolonialis Belanda dan para ‘cendekia’ pendukungnya di Tanah Batak adalah mereka sangat buas melakukan pugilisme intelektual dan spiritual, membunuh karakter Batak. Mereka sangat sungkan memandang orang Batak sebagai manusia yang memiliki kodrat dan derajat yang sama dengan mereka. Kendati orang Batak telah memberi penghormatan yang setinggi-tingginya kepada mereka, tetapi tetap memandang dan memperlakukan orang Batak sebagai suku bangsa paling tidak bermoral dan tidak beradab di dunia, ras rendah; bahkan lebih biadab dari binatang yang jarang memakan spesiesnya sendiri;[7] yang kemudian telah ‘diselamatkan’ oleh mereka (penjajah dan misionaris) dengan mengenakan ‘tali celana Eropa’ di kepala orang Batak; sebagaimana diistilahkan Ds. A. Trouw: “Bahkan ada frasa: menjadi seorang Kristen harus mengenakan celana Eropa.”[8]

Saat itu, bagi Si Bontar Mata, kepribadian manusia Batak hanya bernilai sejauh ia dapat melayani hasrat kekuatan politik kolonial dan misi. Konsepsi yang menghasilkan mekanisasi semua kehidupan sosial Batak. Orang-orang Batak hanya menjadi roda atau penghubung dalam mesin kekuasaan kolonial dan misi yang bergerak, sesuai prinsip nilai dan kehendak mereka. Suatu periode paling kelam dalam sejarah Batak, diterapkan dalam ranah kekuasaan saat itu dan dimanifestasikan dalam penganiayaan fanatik terhadap siapa pun yang tidak mau mengadopsi ‘agama politik baru’ yang mereka usung, di mana mereka tidak menghormati martabat, peradaban adat, kebebasan berpikir dan bertindak orang Batak (keberadaan dan eksistensi orang Batak) dengan tidak sungkan menggunakan mesin ‘perang yang adil’ alias perang suci (holy war) atas nama Tuhan. Entah kenapa Nommensen dan beberapa misionaris memilih jalan ‘perang suci’ itu. Padahal, secara umum, perang itu, kata Joseph Anthony Starke (1921) dalam Light and Truth After The World Tragedy (Terang dan Kebenaran Setelah Tragedi Dunia) adalah massa kepalsuan yang memuakkan dan kelicikan rendah yang menjijikkan, penipuan etis, dan labirin penyimpangan yang tidak bisa dipahami![9]

Dalam perang, jelas kata Joseph Anthony Starke, kekuatan dan metode fisik yang besar, tanpa henti dan seringkali biadab diproyeksikan ke dalam arena dan ditopang oleh impuls moral yang korup dan tidak wajar. Di semua sisi, tidak ada tujuan besar, permusuhan yang jujur dan sejati, antusiasme yang nyata untuk tujuan yang adil atau cita-cita yang mulia; alih-alih ada desain ambisi material yang rendah, nafsu kekuasaan untuk kepentingannya sendiri, semuanya ditutupi oleh jaring kepura-puraan dan pengingkaran semua pretensi moral dan agama.[10]

Rudolf Rocker (1937) dalam Nationalisme en Cultuur, menyebut adalah kekambuhan ke barbarisme baru bila mana semua kondisi untuk budaya sosial yang lebih tinggi adalah asing, dan perwakilannya memegang keyakinan fanatik bahwa semua keputusan dalam kehidupan nasional dan internasional dapat dilakukan hanya dengan pedang.[11]

Sikap represif rasis (barbarisme baru) Si Bontar Mata, di Tanah Batak sangat merendahkan dan membunuh karakter Batak. Orang Batak mereka pandang sebagai ras yang jauh lebih rendah dari mereka. Sikap rasis seperti ini, menurut Rudolf Rocker, adalah takhayul picik bahwa orang, ras dan kelas pada umumnya ditakdirkan secara spiritual dan intelektual telah menyebabkan banyak kejahatan dan mengaburkan pemahaman yang lebih dalam tentang fenomena sosial.[12]

Advertisement

Rudolf Rocker memberi contoh, kemunduran literatur di Jerman Hitler, fakta bahwa sains didasarkan pada fatalisme rasial yang suram, yang menganggap mungkin untuk menggantikan semua prinsip etika dengan pandangan etnologis, runtuhnya panggung, penipuan opini publik, moncong pers dan organ lain, pemerkosaan terhadap keadilan publik di bawah tekanan fanatisme partai yang bodoh, penindasan tanpa ampun.[13]

 

Sebelumnya || Bersambung

Penulis Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy

 

Footnotes:

[1] Kowal, Johannes, 1922: Berichte uber Sumatra bis zum beginn des 16 Jahrhunderts, Inaugural-Dissertation, zur Erlangung der philosophischen Doktorwürde der Hohen Philosophischen Fakultät der Schlesischen Friedrich- Wilhelms-Universität zu Breslau. Promotion 26 Juli 1922; Wüstegiersdorf (Głuszyca): M. Jacob, s. 6.; dan, Simatupang, TB, 1991: Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, h. 32.

[2] Geographia dalam cerita “Tabula Asiae XI dan XII” karya kartografer Ptolomaeus sekitar tahun 150-160 Masehi. Direproduksi dan dipublikasikan dalam bentuk peta oleh Sebastian Munster dkk pada 1540 dan Willibald Pirckheimer dkk 1541.

[3] Polo, Marco (1254-1323?); Wright, Thomas (ed), 1886: Travels of Marco Polo the Venetian; London: George Bell & Sons, p.366-367.

[4] Hobhouse, Leonard Trelawny, 1920: Morals in Evolution, A Study in Comparative Ethics, Fifth Edition; New York: Henry Holt and Company, p.426.

[5] Ledeneva, Alena (Ed.), 2018: The Global Encyclopaedia of Informality, Volume 2: Understanding Social and Cultural Complexity; London: UCL Press, p.441.

[6] Chamberlin,Thomas C. LL. D., 1888: The Ethical Functions of Scientific Study; an address delivered at the annual commencement of the University of Michigan, June 28, 1888;  Ann Arbor, Michigan: The University, p.15.

[7] Wilken, G.A. (George Alexander), 1893: Handleiding voor de vergelijkende volkenkunde van Nederlandsch-Indië, Leiden: E.J. Brill, b.27

[8] Trouw, A. Ds, 1933: Indische Reisbrieven, Assen: Van Gorcum & Comp, bl.38.

[9] Starke, Joseph Anthony, 1921: Light and Truth After The World Tragedy; A Political and Ethical Analysis of the European War of 1914-1919; New York: Advance Publishing Co., p.9.

[10] Starke, Joseph Anthony, 1921: p.9.

[11] Rocker, Rudolf, 1937: Nationalisme en Cultuur, Deel I, Amsterdam: Uitgave V.A.U,b.6-7.

[12] Rocker, Rudolf, 1937: b.7.

[13] Rocker, Rudolf, 1937: b.5-6.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments