
[WIKI-TOKOH] Dalam acara pergelaran busana karya Biyan Wanaatmadja pada beberapa tahun terakhir selalu dipilih tamu undangan berbusana terbaik. Pada peragaan terakhir di Ritz Carlton Pacific Place Jakarta, Rabu (26/8), yang mendapat penghargaan adalah Widi Basuki dan Junita Liesar.
Nama yang pertama tak asing lagi untuk publik Jakarta karena aktivitasnya dalam bisnis maupun pergaulannya di kalangan sosialita Jakarta. Tentang nama yang kedua banyak orang bertanya-tanya karena dia bukan sosok yang rajin beredar dari satu function ke function lain di Tanah Air.
Pasti bukan karena kuper alias kurang pergaulan bila perempuan tinggi langsing ini jarang beredar di acara-acara sosial sekelumit orang Jakarta. “Aku tahu mereka biarpun jarang hadir dalam acara-acara itu,” kata Junita (39) di tempat tinggalnya, penthouse Apartemen Da Vinci di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta.
Dari tempatnya tinggal terpampang sebagian pemandangan Kota Jakarta tanpa kebisingan dan debu. Jakarta yang terik dan sering bikin frustrasi karena macet di mana-mana terasa jauh sekaligus dekat.
Junita Liesar memang bukan orang yang suka memperlihatkan kegiatan yang dia lakukan.
“Aku bukan socialite, aku bukan orang yang terlalu suka datang ke function atau pesta-pesta. Aku sangat menjaga kehidupan pribadiku supaya benar-benar tetap personal,” kata Junita yang merasa dalam acara seperti itu tidak bisa menjadi diri sendiri. Karena itu, wajah dan namanya jarang muncul dalam kolom “apa dan siapa” majalah-majalah gaya hidup.
Padahal, dia memiliki syarat untuk menjadi bagian dari komunitas orang yang itu-itu saja yang tampil di lembaran-lembaran majalah mengilat. Penampilan yang menarik, kehangatan dalam berkomunikasi, dan kemampuan ekonomi yang jauh di atas rata-rata sudah cukup untuk membuat seseorang diterima di dunia yang mengandaikan tampilan adalah segala-galanya.
Sekitar separuh harinya dalam setahun habis untuk menemani perjalanan bisnis suaminya yang bergerak dalam bidang properti dan pertambangan. Di antara waktu-waktu antara Jakarta, Singapura, Australia, dan Inggris itulah Junita membagi hidupnya antara membesarkan dua anaknya, kegiatan sosial, dan mengurus bisnisnya sendiri.
“Yang membuat aku merasa lebih senang kalau sedang di luar negeri karena kalau sedang di restoran atau bahkan ketika bertemu di jalan, mereka datang ke aku dan mengatakan hal yang aku percaya tulus dari hati mereka,” tambah dia.
Tahap kehidupan
Bila sedang berada di Jakarta, Junita lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Kata dia, dia tidak menghabiskan waktu ke mal. Kalaupun ada acara ke luar rumah, itu antara lain makan siang dengan sahabat-sahabatnya.
“Saya lebih menjadi a shoulder to cry on buat teman-teman dekat. Kalau mereka sedang ada masalah, mereka bisa bicara ke aku supaya tidak down. Saya kalau bisa menjadi orang yang selalu membangkitkan semangat untuk teman-teman. Dari kecil aku diajar orangtua untuk menjadi terang di mana pun aku berada,” tutur Junita.
Segala sesuatu dia kerjakan dari rumah. Penata rambut hingga pelatih khusus yoga dan pilates dia undang ke rumah dan semua dikerjakan di rumah. Juga bila dia memerlukan sesuatu. “Mereka biasanya akan mengirim barang-barang ke rumah. Misalnya, orang dari Roberto Cavalli datang ke sini membawakan baju-baju terbaru mereka,” kata Junita.
Begitu juga mengurus perusahaan biro perjalanan yang pelanggannya perusahaan, toko kue yang hanya melayani pesanan, atau usaha properti dan pertambangan. Semua dikendalikan dari rumah. Alasan Junita, perusahaan itu sudah berjalan sehingga sekali-sekali saja dia meminta orang dari kantor datang ke apartemennya.
Kehidupan yang sangat privat itu dia jalani setelah menikah. Padahal, Junita yang kelahiran Ternate, Maluku, dan besar di Surabaya itu pernah menjadi model pada usia 15-18 tahun di Kota Buaya itu.
Setelah itu, ibu dari Gabriella Lovisa Lyanto dan Gilvin Leonard Lyanto ini bersekolah ke Inggris dan menyelesaikan pendidikan sarjana bidang hospitality di Bournemouth University. Dia sempat bekerja di beberapa perusahaan sebelum akhirnya menikah 17 tahun lalu.
“Setelah menikah aku menarik kehidupanku ke dunia yang sangat privat. Tentu aku pernah mengalami masa berasa sepi, tetapi aku menjalaninya dengan sukacita. Aku sudah melewati masa-masa itu dan menjalani kehidupan ini sebagai tahapan-tahapan yang harus aku lewati,” kata Junita. Dia mengatakan, pilihan itu adalah penghargaan kepada suaminya yang memilih kehidupan yang lebih privat.
Ketika berada di Jakarta, waktunya akan banyak dia habiskan untuk menunggu dua anaknya pulang sekolah. “Dengan anakku yang perempuan aku seperti teman, kami mengobrol banyak hal. Aku juga bertanya, apakah mereka kehilangan mamanya kalau aku pergi,” kata Junita yang mengatakan liburan Lebaran ini rencananya akan mereka habiskan bersama di Hawaii, menebus waktu bersama yang hilang.
Perpindahan ke kehidupan yang sangat privat ini di sisi lain membuat dia tidak henti bersyukur. “Aku bersyukur hidupku seimbang, dalam perkawinan, dalam materi,” tutur Junita.
Dalam keseimbangan itulah, dia berusaha berbagi. Dia menjadi penyandang dana untuk yayasan sosial yang didirikan ayahnya, seorang pendeta. “Kalau seseorang sudah punya semua, harus berbagi lebih banyak lagi dengan yang lain. Tidak mungkin semuanya dia habiskan sendiri,” kata Junita.
Itu sebabnya juga dia mengaku merasa lebih bahagia ketika bisa menyapa dan mengusap pundak para janda miskin dan anak-anak yatim piatu yang disantuni yayasan tersebut. “Cinta, peduli, berbagi, itu tidak bisa hanya diomongin, tetapi harus dilakukan dengan tindakan. Aku mendapatkan ketulusan dari para ibu janda itu,” kata Junita.
***
Saya Tidak Suka Pesta
Penthouse yang ditinggali Junita Liesar bersama suami dan dua anaknya adalah hadiah ulang tahun untuk dia dari suaminya saat perkawinan mereka berusia 15 tahun. Dia juga yang mendekorasi apartemen itu dalam gaya yang dia sebut “aristokrat” yang kata Junita mencerminkan seleranya.
Penthouse di Apartemen Da Vinci ini bagi Junita adalah salah satu bukti keseimbangan kehidupan perkawinan yang sudah dia jalani 17 tahun. Meskipun harus menarik diri dari gemerlap dunia sosialita dan pesta—sesuatu yang juga dia tidak merasa keberatan karena kata dia, “I’m not a party goer”—dia mendapat imbangan di tempat lain. Suaminya menganggap dia sebagai sosok yang punya kepekaan bisnis sehingga selalu dimintai pendapat. Juga dengan dua anaknya dia merasa dekat meskipun separuh dari waktunya dalam setahun habis untuk menemani perjalanan bisnis suaminya.
Perempuan berdarah Manado dari ayahnya dan Ternate dari ibunya itu tidak pernah menyesal meninggalkan dunia model yang dia jalani hanya sekejap, saat usianya antara 15 dan 18 tahun, meskipun sampai sekarang dia menyukai mode. Setamat dari SMA Petra di Surabaya dia langsung terbang ke London untuk melanjutkan sekolah.
“Karena tidak bisa jalan di catwalk lagi, sekarang jadi buyer, he-he-he…,” kata perempuan bungsu dari empat bersaudara ini. Di antara koleksinya ada tas Hermes dan clutch dari Chanel, sepatu dari Jimmy Choo, Prada dan Manolo Blahnik minus Christian Laboutin yang katanya tidak cocok dengan bentuk kakinya. Untuk baju kasual ada merek Alexander McQueen dan Chanel, serta jaket untuk ke kantor dari Louis Vuitton. Sedangkan perancang Indonesia yang dia berteman lama adalah Biyan Wanaatmadja, Didi Budiardjo, dan Sebastian Gunawan. “Dengan Biyan saya berteman dari waktu menjadi model di Surabaya,” papar Junita tentang perancang kelahiran Surabaya itu.
Namun, Junita tidak ingin berhenti hanya sebagai pengonsumsi. Dia ikut membantu usaha pengembangan tenun di Nusa Tenggara Timur yang digagas Ny Hotmangaradja Panjaitan, istri Pangdam IX/Udayana.
“Masih dalam tahap sangat awal, tetapi saya berkomitmen membantu program ini,” tandas Junita. Meskipun jarang memakai kain Indonesia, Junita mengaku cukup rajin mengumpulkan kain tradisional, antara lain batik lasem, cirebon, bantul, madura, jambi, dan indramayu. “Kebanyakan untuk suvenir kalau aku ke luar negeri,” kata dia.
Di antara upaya pengembangan adalah mengganti benang tenun dengan benang sutra agar hasil tenunan menjadi lebih lembut dan dalam pewarnaan, termasuk penggunaan bahan alami.
“Aku harus benar-benar bisa bagi waktu, ya…,” kata Junita. Ini juga bagian mencari keseimbangan hidup itu. e-ti
Sumber: Kompas, 13 September 2009 | Penulis: Ninuk Mardiana Pambudy
She is dmso beautiful