Jokowi dan Cengkeraman Kecanduan Kekuasaan
Sesakit Apapun, Tetap Kawal Jokowi
Koran Tempo dalam beberapa hari terakhir (Oktober 2023) menampilkan karikatur yang menggambarkan ‘diagnosa’ Presiden Jokowi sudah terindikasi tertular kecanduan kekuasaan. Yang terlukiskan dari kuatnya cengkeraman cawe-cawe kekuasaan Jokowi terhadap Koalisi Indonesia Maju yang mengusung Capres Prabowo, dan bahkan terhadap Mahkamah Konstitusi yang dipimpin iparnya, dengan melakukan segala cara untuk mengusung putranya Gibran menjadi Cawapres, untuk melanjutkan dinasti kekuasaannya. Sangat mengagetkan dan mengecewakan! Karena bertolak-belakang dengan karakter kesederhanaan Jokowi yang dikenal dan dikagumi publik selama ini. Akibatnya dia dipandang sebagai pengkhianat oleh pendukung ideologisnya dan para aktivis demokrasi dan civil society.
Tapi bagi ‘orang-orang dekat penikmat kekuasaannya’ dan pemuja kuasanya, hal itu mengagetkan tetapi tidak mengecewakan, bahkan menggembirakan. Dipandang suatu strategi politik hebat, strategi politik tingkat dewa (mungkin lebih tepat, strategi politik berhala); termasuk (terutama) oleh para pendukung Prabowo yang sebelumnya sangat membenci dan menghujat Jokowi (menyebutnya, PKI, planga-plongo, Jokod*k, baj*ngan tol*l, dsb) dan tiba-tiba berbalik memandangnya sebagai ‘dewa penyelamat’ Prabowo dengan strategi politik tingkat berhala.
Sebaliknya, sangat mengagetkan, mengecewakan dan menyakitkan para teman seperjuangan dan pendukung setia ideologi, visi dan karakter kesederhanaannya. Terutama para kader dan simpatisan PDI Perjuangan dan ‘relawan ideologis’ yang membesarkannya; juga banyak netizen dan youtuber, bahkan juga para aktivis demokrasi, civil society dan budayawan, yang selama ini mengagumi dan mati-matian mendukung dan membela Jokowi. Seperti Denny Siregar dkk, Butet Kartaredjasa, Goenawan Mohamad, dan lain sebagainya.
Di mata kader PDI Perjuangan dan para pendukung setia kesederhanaannya, Jokowi adalah pemimpin fenomenal berhati mulia, tulus dan sederhana, kader militan PDI Perjuangan yang menggunakan singgasana kekuasaannya untuk ‘melayani, melayani dan melayani’ demi kesejahteraan dan kejayaan masyarakat, bangsa dan negaranya; bukan berkuasa demi kepentingan diri, keluarga, dan orang-orang dekatnya, serta kepentingan partai pengusung dan para relawan pendukungnya.
Dia presiden yang sangat hebat, fenomenal, terutama dalam membangun infrastruktur dan gerakan hilirisasi tambang kekayaan bumi Indonesia, dan berbagai sektor lainnya. Walaupun itu menimbulkan membengkaknya utang ribuan triliun yang membebani rakyat dan pemerintah berikutnya, tetapi publik mengapresiasinya dengan rasa puas (hasil survei 70-82 persen). Karena publik yakin Presiden Jokowi itu bersahaja, tulus dan tidak akan berkhianat mementingkan diri dan keluarganya.
Karakter kesederhanaan (simplicity) itu juga membuatnya sangat dihormati dunia internasional. Para pemimpin negara-negara besar dunia, seperti Amerika Serikat, Rusia, China dan sebagainya, selalu tampak mengakrabi dan menghormatinya dalam berbagai kesempatan. Bukan karena Jokowi mempunyai gagasan hebat tentang kerjasama dan perdamaian dunia, seperti Bung Karno; melainkan lebih karena kesederhanaannya. Kesederhanaan itulah kekuatan utama Jokowi.
Tetapi ketika Jokowi memperlihatkan tanda-tanda keserakahan dan kecanduan kekuasaan, menyimpang dari karakter kesederhanaannya, rasa hormat dan kagum itu seperti tercampakkan. Timbul suasana pergulatan batin di kalangan pendukung setianya. Apakah hal ini benar? Apakah mungkin Jokowi tiba-tiba menjadi serakah dan tega (kejam) mengkhianati para teman seperjuangan dan pendukung ideologisnya? Mereka sempat galau, antara percaya dan tidak. Tetapi setelah melihat kenyataan pemberian restu kepada putra sulungnya menjadi Cawapres, publik terperangah. Mereka cinta tetapi benci. Cinta pada kesederhanaannya, tetapi benci pada mabok candu kuasanya.
Ya, memang, sejarah penuh dengan pecandu kekuasaan yang akhirnya menghancurkan dirinya sendiri. Sebagaimana ditulis Bill Stinnett, Ph.D. dalam Addicted To Power: Why Bad Leadership Habits Are Hard To Break, January 20th, 2015, untuk memuaskan keinginan mereka akan kekuasaan, banyak orang bersedia melakukan kompromi dan bahkan pengkhianatan, yang mungkin akan mereka sesali di kemudian hari.
Bill Stinnett menjelaskan, pengejaran kekuasaan mungkin juga memiliki komponen neurokimia. Memiliki kekuasaan atas orang lain mempunyai efek yang memabukkan. Hal ini meningkatkan testosteron, yang pada gilirannya meningkatkan pasokan dopamin (neurotransmitter perasaan puas) dalam sistem penghargaan otak. Aliran dopamin ini menjelaskan kualitas kekuatan yang membuat ketagihan dan mengapa sangat sulit untuk melepaskannya.
Kelebihan dopamin dapat memengaruhi fungsi kognitif dan emosional. Hal ini dapat mengurangi empati, mendorong perilaku sombong dan impulsif, sehingga berkontribusi terhadap kesalahan besar dalam mengambil keputusan dan pengambilan risiko yang tidak perlu. Pada akhirnya, orang-orang yang memiliki terlalu banyak kekuasaan bahkan mungkin kehilangan kesadaran akan realitas dan landasan moral mereka. Tanpa mereka sadari, mereka hidup dalam ruang hampa, memercayai pers mereka sendiri dan membayangkan bahwa mereka sempurna. Hal itu juga merupakan ujian terhadap karakter seseorang. Hal itu juga mengingatkan kita atas pernyataan Lord Acton, “Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut pasti korup”.
Sifat-sifat kekuasaan itu membuat seseorang ketagihan. Mereka yang kecanduan kekuasaan atau melakoni kekuasaan yang berlebihan, akan kehilangan moral dan kebijaksanaan. Semakin besar kekuasaannya, semakin besar pula potensi penyalahgunaannya. Napoleon Bonaparte pernah berkata, “Kekuasaan adalah majikanku. Saya telah bekerja terlalu keras dalam penaklukannya sehingga tidak ada orang yang bisa mengambilnya dari saya.”
Dorongan obsesif terhadap kekuasaan dan kekayaan bisa sama atau bahkan lebih berbahayanya dengan kecanduan narkoba. Para ahli menyebut, kecanduan kekuasaan (dan kekayaan) sering kali merupakan tanda-tanda gangguan kepribadian narsistik, suatu ciri yang umum terjadi pada orang-orang yang sangat sukses dan berkuasa.
Sehingga pecandunya, kendati sangat mengecewakan bahkan menyakiti orang lain, patut dikasihani dan ditolong para sahabat seperjuangannya. Jangan membencinya. Para ahli kecanduan percaya bahwa orang yang kecanduan kekuasaan sebenarnya takut kehilangan kendali dan mengalami perasaan tidak berdaya. Kecanduan kekuasaan sering dikaitkan dengan kecemasan, depresi, rendah diri, rasa malu, dan perfeksionisme yang tidak terkendali. Sama seperti penyalahgunaan dan kecanduan narkoba, mengatasi kecanduan terhadap kekuasaan membutuhkan kerja keras dan komitmen, untuk membantunya memperoleh kesadaran diri.
Jimmy Offord (2013) dalam Power, Powerlessness and Addiction mengatakan, dalam hal kecanduan kekuasaan tidak pernah jauh dari ketidakberdayaan. Konsep ketergantungan, yang sering digunakan sebagai sinonim untuk kecanduan, menyiratkan hilangnya kekuatan. Maka ‘kecanduan’ memang membawa sejumlah bahaya.
Maka, para sahabat ideologis seperjuangannya, kasihanilah Jokowi dan keluarganya, hingga suatu saat sadar diri, kembali pada kekuatan kesederhanaannya!
Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang
Tulisan yang sangat kritis dan mendalam, mengena ke tulang sumsum.