KPK Berpotensi Abuse of Power
Catatan Kilas

Catatan Kilas: Ada 11 temuan sementara DPR melalui Panitia Khusus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansus Angket KPK) terkait pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK. Di antaranya, KPK berpotensi abuse of power.
Temuan sementara itu merupakan kajian Pansus Angket KPK dari hasil laporan pengaduan, penerimaan aspirasi, kunjungan ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mabes Polri, Kejaksaan, Kementerian Hukum dan HAM, pemeriksaan sejumlah saksi di bawah sumpah, wawancara dengan sejumlah pihak terkait, hingga pendalaman lewat rapat internal pansus yang ditindaklanjuti kunjungan lapangan.
Begitu penjelasan Pansus Angket KPK saat menggelar konferensi pers laporan kinerja sementara pansus di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (21/8/2017 yang antara lain dihadiri Ketua Pansus Agun Gunandjar Sudarsa, Wakil Ketua Masinton Pasaribu dan Angota Misbakun.

Sebelas temuan sementara Pansus Angket KPK itu adalah:
Pertama, dari aspek kelembagaan, KPK menjadikan dirinya sebagai lembaga superbody yang tidak siap dan tida bersedia dikritik dan diawasi. Pansus juga menilai KPK kerap menggunakan opini media untuk menekan para pengkritiknya.
Kedua, KPK dengan argumen independennya mengarah pada kebebasan atau lepas dari pemegang cabang-cabang kekuasaan negara. Hal ini sangat mengganggu dan berpotensi terjadinya abuse of power dalam sebuah negara hukum dan negara demokrasi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945.
Ketiga, KPK yang dibentuk bukan atas mandat konstitusi akan tetapi UU No 30 Tahun 2002 sebagai tindak lanjut atas perintah Pasal 43 UU 31 Tahun 1999 sebagai pengganti UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sudah sepatutnya mendapatkan pengawasan yang ketat dan efektif dari lembaga pembentuknya di DPR secara terbuka dan terukur.
Keempat, KPK dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang KPK belum bersesuaian atau patuh atas asas-asas yang meliputi asas kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU KPK.
Kelima, dalam menjalankan fungsi koordinasi, KPK cenderung berjalan sendiri tanpa mempertimbangkan eksistensi, jati diri, kehormatan dan kepercayaan publik atas lembaga-lembaga negara, penegak hukum. KPK lebih mengedepankan praktek penindakan melalui pemberitaan (opini) daripada politik pencegahan.
Keenam, dalam fungsi supervisi, KPK cenderung berjalan sendiri tanpa koordinasi dengan lembaga negara lain, dibandingkan dengan upaya mendorong, memotivasi dan mengarahkan kembali instansi Kepolisian dan Kejaksaan. KPK cenderung ingin menjadi lembaga yang tidak hanya di pusat tapi ingin mengembangkan jaringan sampai ke daerah. Yang sesungguhnya KPK dibentuk lebih pada fungsi koordinasi dan supervisi. Adapun penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan lebih pada fungsi berikutnya (trigger mechanism).
Salah satu contohnya adalah mengambil alih peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam melindungi saksi korupsi. Padahal, undang-undang mengamanatkannya kepada LPSK sebagai ujung tombak perlindungan saksi.
Ketujuh, dalam menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK tak berpedoman pada KUHP dan mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia bagi para pihak yang menjalani pemeriksaan. Didapatkan bebagai praktek tekanan, ancaman, bujukan dan jani-janji. Bahkan juga didapatkan kegiatan yang membahayakan fisik dan nyawa. Pencabutan BAP di persidangan, kesaksian palsu yang direkayasa, hal-hal itu terjadi dan kami dapatkan. Ke depan tentunya hal-hal itu perlu ada langkah-langkah perbaikan.
Pansus mengambil contoh pengakuan sepihak saksi kasus mantan Ketua MK, Akil Mochtar, Niko Panji Tirtayasa.
Kedelapan, terkait sumber daya manusia. KPK dengan argumen independennya dianggap merumuskan dan menata SDM-nya yang berbeda dengan unsur aparatur pada lembaga negara pada umumnya yang patuh pada UU 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan UU Aparatur Negara lainnya seperti UU Kepolisian dan UU Kejaksaan.
KPK dengan argumen independen tidak tepat dan tidak memiliki landasan hukum yang cukup hanya dengan PP. Apalagi PP No 103 Tahun 2012 tentang SDM KPK sebagaimana telah diubah dari PP No 63 Tahun 2005, mendasarkannya pada UU KPK yang mengatur tentang pemberantasan tindak pidana korupsi bukan tentang SDM Aparatur. Walaupun ada putusan MK Nomor 109 Tahun 2015 atas hal tersebut, ke depan harus dikembalikan dan diperbaiki secara hukum yang benar, agar tidak menimbulkan dualisme pengaturan di bidang aparatur negara di internal KPK seperti adanya organisasi wadah pegawai, penyidik independen yang bisa berbeda kebijakan dengan atau bagi aparatur KPK lainnya.
Kesembilan, terkait dengan penggunaan anggaran, berdasarkan hasil audit BPK, banyak hal yang dianggap Pansus belum dapat dipertanggunjawabkan dan belum ditindaklanjuti atas temuan tersebut. Untuk itu, dibutuhkan audit lanjutan BPK untuk tujuan tertentu. Dari audit tersebut dapat diketahui secara pasti pencapaian sasarannya utamanya yang terkait dengan kinerja KPK. Ke depan, BPK juga perlu mengaudit atas sejumlah barang-barang sitaan (basan) dan barang-barang rampasan (baran) dari kasus-kasus yang ditangani KPK atas temuan-temuan Pansus di 5 (lima) kantor rupbasan pada wilayah hukum Jakarta dan Tangerang yang tidak didapatkan data-data basan dan baran dalam bentuk uang, rumah, tanah dan bangunan di rumah penyimpanan barang sitaan dan rampasan negara (rupbasan).
Kesepuluh, terhadap sejumlah kasus yang sedang ditangani oleh KPK, Pansus memberikan dukungan penuh untuk terus dijalankan sesuai dengan aturan hukum positif yang berlaku dan menjunjung tinggi HAM, dan untuk itu Komisi III DPR RI wajib melakukan fungsi pengawasan sebagaimana dilakukan terhadap instansi kepolisian dan kejaksaan melalui rapat-rapat kerja, RDP, dan kunjungan lapangan atau kunjungan spesifik.
Kesebelas, mengenai sejumlah kasus atau permasalahan yang terkait dengan unsur pimpinan, mantan pimpinan, penyidik, dan penuntut umum KPK, yang menjadi pemberitaan di publik seperti laporan Saudara Niko Panji Tirtayasa di Bareskrim, kasus penyiraman penyidik Novel Baswedan, kematian Johannes Marliem, rekaman kesaksian Saudari Miryam S Haryani, pertemuan Komisi III DPR dengan penyidik KPK: kiranya Komisi HI DPR RI dapat segera mengundang pihak KPK dan Polri dalam melaksanakan fungsi pengawasan agar tidak terjadi polemik yang tidak berkesudahan.
Itu baru temuan sementara Pansus Angket KPK yang belum diklarifikasi oleh pihak KPK. Wakil Ketua Pansus Hak Angket Masinton Pasaribu mengatakan temuan sementara tersebut bukan kesimpulan kerja pansus. Pansus akan memanggil KPK untuk mengklarifikasi. “Pada sesi berikutnya kami akan melakukan klarifikasi dan konfirmasi kepada KPK dan akan memanggil KPK untuk hadir memberikan klarifikasi atas beberapa temuan,” kata Masinton.
Menurut Masinton laporan tersebut merupakan pertanggungjawaban pansus yang mulai bekerja pada 4 Juli 2017 terhadap rakyat, sebab pansus bekerja menggunakan anggaran negara. “Tindak lanjut berikutnya kami masih melakukan pendalaman atas beberapa laporan yang masuk ke panitia angket,” kata Masinton.
Sementara, KPK sendiri masih enggan menanggapi 11 temuan tersebut. Ketua KPK Agus Rahardjo menegaskan KPK menunggu putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji materi Pasal 79 ayat 3 UU MD3 yang mengatur hak angket DPR. “Kalau kita, hubungannya kalau dengan Pansus, kan kita menunggu putusan MK gimana,” kata Agus di gedung KPK, Jakarta, Selasa (22/8/2017). Agus mengatakan, KPK akan menghadiri undangan Komisi III DPR karena merupakan mitra kerja. Namun, jika Pansus Angket yang mengundang, KPK memilih menunggu putusan MK.
Maka, karena belum terklarifikasi, kita perlu sabar menahan diri menunggu kesediaan KPK untuk secara terbuka mengklarifikasi semua temuan sementara Pansus Angket KPK tersebut. Sebaiknya KPK tidak perlu apriori terhadap Pansus Angket KPK.
Sebelas temuan sementara Pansus Angket KPK tersebut sangat baik bila dipandang dari kacamata positif pembenahan KPK. Antara lain, mencegah jangan sampai terulang hal-hal berpotensi abuse of power. Kecuali memang KPK tidak berkehendak berbenah diri sebagai sebuah lembaga penegak hukum di sebuah negara demokrasi (modern). Kata bijak mengatakan: Siapa membenci teguran (nasihat, kritik), dia membiakkan kedunguan dalam dirinya sendiri. || Catatan Kilas: Ch. Robin Simanullang | TokohIndonesia.com