Pajak, Wajah Kekuatan Rakyat

[OPINI] – CATATAN KILAS – Oleh Ch. Robin Simanullang | Tajuk Rencana SIB, Kamis 12 Januari 1989 | Utopia, suatu negara tanpa pajak. Namun citra pajak dalam sejarahnya tidak pernah popular. Bahkan rakyat sudah terlanjur melihat dan merasakan pajak sebagai kewajiban yang dipaksakan secara sewenang-wenang.
P ada kerajaan tradisional dan pemerintahan kolonial di negeri ini, rakyat diharuskan dan dipaksakan memberi upeti kepada raja, kerja rodi, tanam paksa sebagai pengganti pajak. Barangkali kisah Roro Mendut, putri jelita itu, sedikit banyak dapat menjadi kisah saksi tentang tragedi yang dialami manusia yang bermula dari soal tak terbayarnya pajak.
Demikian buruknya wajah pajak peninggalan kerajaan tradisional dan penjajah itu. Rakyat dipaksa dan merasa ditindas untuk membayar pajak sebagai kewajiban tanpa perlu tahu apa yang menjadi haknya dan untuk apa pajak itu digunakan. Apakah itu untuk memperkaya pribadi penguasa atau sekelompok orang? Sehingga tidak perlu heran, bila banyak rakyat berjuang mengimpikan, kemerdekaan berarti akan bebas pajak.
Selain itu, penggunaan pajak itu perlu lebih efisien dan efektif. Jangan dikorupsi. Kebocoran penggunaan pajak akan berakibat buruk yakni mempersulit penegakan citra dan peranan pajak. Bahkan dapat mengundang orang melihat relevansi pajak pada zaman kerajaan tradisional dan penjajahan dengan pajak pada zaman kemerdekaan.
Itu sudah utopia! Sebab, tiada negara tanpa pajak. Pajak adalah kekuatan negara, yang sekaligus kekuatan rakyat. Itu dalam negara modern, terutama negara demokrasi dimana kedaulatan di tangan rakyat. Partisipasi rakyat adalah kekuatan negara. Pajak sebagai salah satu partisipasi dan kekuatan rakyat merupakan faktor penentu kekuatan keuangan negara. Jadi, dalam alam kemerdekaan, pajak sudah berubah fungsi, selain sebagai salah satu bentuk partisipasi dan kekuatan rakyat, pajak juga berfungsi sebagai alat pemerataan.
Marilah kita renungkan sejenak. Apa makna yang terkandung dalam kedaulatan di tangan rakyat? Sebagai panduan renungan, kita bertanya: Bagaimanakah wujud kedaulatan rakyat dalam suatu negara yang menganut demokrasi tanpa adanya partisipasi rakyat, tidak hanya partisipasi politik tetapi juga sama pentingnya partisipasi ekonomi dan segala bidang kehidupan bernegara? Bukankah tingkat partisipasi akan menunjukkan wajah kekuasaan dan kekuatan rakyat?
Lalu, lebih khusus kita merenung tentang kedaulatan ekonomi kita dalam kaitannya dengan kedaulatan rakyat. Bagaimana wajah kekuatan rakyat dalam membangun kekuatan dan kedaulatan ekonomi negara kita? Apakah mungkin ekonomi negara berkekuatan dan berdaulat tanpa partisipasi, perjuangan rakyat sebagai kekuatan, dan tanpa kekuatan ekonomi rakyat atau ekonomi rakyat yang kuat?
Setelah itu kita renungkan, akhirnya kita sampai kepada suatu kata yang bermakna banyak: Perjuangan! Jawaban ada dalam kata ini. Sekali lagi, perjuangan!
Dengan renungan itu pula, diharapkan kita dapat terpandu untuk lebih menghayati dan menwujudkan himbauan dan penegasan Presiden Soeharto dalam pidato RAPBN 1989/1990, ‘…demi kemajuan dan kesejahteraan kita bersama, marilah kita tingkatkan penerimaan pajak itu sebagai perjuangan habis-habisan.”
Walaupun memang pajak tidak merupakan satu-satunya kekuatan •sebab kita memiliki kekayaan alam dan otak (potensi ilmu dan teknologi) • namun peranan pajak perlu kita tegakkan lebih tinggi sebagai primadona yang didukung sepenuhnya oleh kemampuan dan kekuatan rakyat. Kendatipun hal itu dalam proses pembangunan saat ini, upaya peningkatan peranan pajak itu masih menuntut perjuangan habis-habisan.
Kita sudah mendapat pelajaran pada masa lalu, ketika kita mengandalkan minyak sebagai primadona. Kita juga sudah memetik pelajaran pahit atas tingkat ketergantungan perekonomian kita kepada faktor eksternal. Maka adalah pilihan para patriot untuk berjuang habis-habisan untuk menegakkan kemandiran. Kemandirian sebagai makna pokok tahap lepas landas yang akan kita masuki setelah Repelita V. Saat mana kita membangun dengan kemampuan dan kekuatan sendiri.
Maka, kita kini memang harus memasyarakatkan bahwa wajib pajak adalah patriot bangsa. Membangun citra pajak di atas kuburan perpajakan peninggalan kerajaaan tradional dan penjajah yang dipenuhi keangkuhan kekuasaan dan tragedi buat manusia lemah. Kini kita ingin membangun citra pajak dengan perjuangan habis-habisan, demi kemajuan dan kesejahteraan bersama. Demi kesejahteraan bersama! Kita garis bawahi. Dimana pajak sekaligus harus berfungsi sebagai alat pemerataan.
Hal terakhir ini, mengajak kita untuk bertanya. Bagaimananya caranya membayar/memungut pajak itu, siapa petugas pajak, siapa yang membayar, berapa besar, apakah terpikul, apakah adil dan sebagainya. Barangkali (teoritis) jawabannya dapat kita temukan dalam beberapa perundang-undangan dan ketentuan perpajakan yang sudah diperbaharui sejak 1983 yang mulai berlaku efektif 1 Januari 1984.
Namun keluhan masih saja ada. Demikian pula pertanyaan belum semua terjawab. Tampaknya perjuangan habis-habisan ini memerlukan keterbukaan. Sehingga setiap orang dapat melihat bahwa pajak yang dipikulnya adalah adil. Keterbukaan itu juga antara lain akan menjawab pertanyaan, apakah tetangga kita juga membayar pajak? Apalagi jika kebetulan tetangga kita itu seorang pengusaha besar yang dekat dengan penentu kebijakan.
Maka untuk mencegah kecurigaan itu dan sebaliknya akan membangkitkan kerelaan membayar pajak, perlu diumumkan secara terbuka daftar wajib pajak dan berapa besar pajak yang dibayarkan. Kita yakin membuat pengumuman seperti itu tidaklah sulit.
Selain itu, penggunaan pajak itu perlu lebih efisien dan efektif. Jangan dikorupsi. Kebocoran penggunaan pajak akan berakibat buruk yakni mempersulit penegakan citra dan peranan pajak. Bahkan dapat mengundang orang melihat relevansi pajak pada zaman kerajaan tradisional dan penjajahan dengan pajak pada zaman kemerdekaan. Penulis Ch. Robin Simanullang | Arsip Tajuk Rencana Hr. SIB, Medan, Kamis 12 Januari 1989 |
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA