Pak Jokowi, Kenapa Anda Berubah?
Tawakallah Pak Presiden

Pertanyaan ini seperti ‘bisul’ atau bahkan ‘lahar panas’ yang membesar di benak jutaan rakyat yang mencintai dan mendukung kesahajaan Presiden Jokowi selama ini. Pertanyaan itu mulai muncul setelah publik kaget menyaksikan terjadinya perubahan pada jatidiri Jokowi sendiri. Yang tadinya memancarkan kekuatan moral kesederhanaan, bukan siapa-siapa, tulus, tidak gila hormat, sabar dan fokus untuk melayani; tiba-tiba berubah menjadi memancarkan hasrat mabuk kekuasaan, Kehilangan moral politik.
Merasa paling berkuasa dan lupa kacang akan kulitnya. Merasa paling hebat sendiri dengan jargon pengakuan rakyat: “Biarlah rakyat yang menilai dan memilih,” yang menafikan peranan parpol yang membesarkannya. Tanda-tanda perubahan itu belakangan ini begitu telanjang. Dimulai dengan pura-pura mendukung Ganjar Pranowo, Capres dari partainya sendiri (PDIP) tetapi di saat yang sama memberi ‘tanda-tanda’ kepada Prabowo Capres Gerindra. Lalu cawe-cawe politiknya yang terkesan mengendalikan beberapa Ketua Umum Parpol. Sampai di situ, publik masih percaya kepada Jokowi, itu dilakukannya semata-mata demi kepentingan jaminan kelanjutan pembangunan untuk mencapai tujuan Indonesia Emas
Keraguan mulai muncul setelah Jokowi ‘merebut’ Ketua Umum PSI melalui putra bungsunya Kaesang dengan cara instan ‘tegak lurus Jokowi.’ Publik dan terutama PDIP masih bisa diyakinkannya dengan menyatakan bahwa Kesang itu sudah berumah tangga, itu maunya dan tanggung-jawabnya sendiri. Walaupun publik sudah mulai melihat adanya ketidakjujuran. Mana mungkin Kaesang dalam dua hari bisa langsung menjadi Ketua Umum PSI jika dia bukan anak presiden dan atas restu Jokowi.
Pamungkas yang membuat ‘bisul’ atau ‘lahar’ itu mulai panas (muncul), tatkala Gibran, putra sulung Jokowi diumumkan dan dideklarasikan partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju sebagai Cawapres mendampingi Capres Prabowo setelah Mahkamah Konstitusi melampaui wewenangnya mengabulkan uji materi syarat Capres-Cawapres minimal 40 tahun dengan mengubah undang-undang, yaitu penambahan ketentuan baru pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah.
Para ahli dan praktisi hukum tata negara kaget. Begitu pula para mahasiswa dan aktivis demokrasi serta civil society terkejut. Tentu lebih kaget lagi berbagai elemen pendukung setia Jokowi serta simpatisan dan kader PDIP yang selama ini berjuang memenangkan dan mengawal Jokowi. Para ahli dan praktisi hukum tata negara pun bersuara dan menggugat keputusan MK tersebut yang direspon dengan membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
Mereka menilai ada aroma abuse of power dan nepotisme kroni Presiden Jokowi, yang berkorelasi dengan pelanggaran etik Ketua MK Anwar Usman yang tidak lain adalah adik ipar Jokowi, sehingga mengeluarkan keputusan yang melampaui kewenangan MK. Suatu ancaman sangat serius terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya penegakan hukum dan demokrasi yang mengarah pada tirani kekuasaan.
Dalam hal ini, MKMK masih melaksanakan tugasnya, yang mungkin akan diputuskan 7 November 2023 mendatang. Namun bukan hal itu yang ingin kita catat dalam kolom ini. Itu hanya latar-belakang yang menggambarkan terjadinya perubahan moral dan karakter Jokowi dari moral kesederhanaan menjadi ambisi kekuasaan secara sangat berlebihan (haus kekuasaan).
Setelah semua hal itu terungkap terang-benderang, kita melihat sosok Jokowi hari ini sangat bertolak-belakang dengan sosoknya ketika menjabat Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga menjabat Presiden periode pertama dan mulai menyimpang dan terkuak pada tahun keempat periode keduanya.
Ketika masih Walikota Solo, kita kagum atas moral kesahajaannya. Saat itu TokohIndonesia.com mengapresiasi sosoknya sebagai Seorang Pemimpin Fenomenal, Inspirasi Pemimpin Bijak, yang akan Mengubah Indonesia dengan ketulusan dan kesahajaannya. Setidaknya, Jokowi telah menginspirasi publik tentang seorang pemimpin yang bijak dan tulus mengayomi rakyat, memimpin dengan rendah hati.
Petugas Partai
Ketika itu, Wartawan Tokoh Indonesia bertanya: “Berani gak mencalonkan diri jadi Gubernur DKI Jakarta?”. Setelah pertanyaan itu empat kali diajukan, Jokowi menjawab: “Saya tidak mau mencalonkan diri, tapi jika partai (PDIP) menugaskan, saya siap.” Bagi Wartawan Tokoh Indonesia, jawaban itu menunjukkan bahwa Jokowi adalah kader partai PDIP militan yang disebut petugas partai.
Hingga menjabat gubernur, dia masih utuh dalam kesederhanaannya dengan prinsip ‘melayani, melayani dan melayani’ sebagai petugas partai ideologis PDI Perjuangan, Nasionalis Marhaenis dengan visi Trisakti Bung Karno. Bahkan saat menjabat Presiden periode 2014-2019 dengan Nawacitanya, moral kesederhanaan itu masih melekat, walaupun sudah mulai terksesan dia mulai agak sungkan disebut petugas partai.
Redaksi Tokoh Indonesia sesungguhnya sudah merencanakan akan menulis buku bertema Kekuatan Moral Kesederhanaan Jokowi, yang akan dipersembahkan pada akhir masa jabatannya 20 Oktober 2024. Secara politik, Jokowi adalah sosok nyata Marhaenis dalam kesahajaannya yang digambarkan dan diimpikan Bung Karno. Dan, itulah kekuatan raksasa politik Jokowi yang secara simultan diusung, didukung dan dikawal seluruh elemen PDI Perjuangan dan para relawannya.
Jokowi dengan kesahajaan kekuasaannya, muncul sebagai Presiden Indonesia yang hebat, dengan berbagai prestasi pembangunan, yang gemilang di mata publik di dalam dan di luar negeri. Kendati sebagian (wajar) masih ada yang tidak mendukungnya bahkan menghina dan merendahkannya. Namun hasil jajak pendapat (persepsi) publik menunjukkan 70-82 persen publik menyatakan puas.
Tadinya kita berharap, Jokowi akan meninggalkan legasi kegemilangan pemerintahannya, dengan kekuatan moral politik kesederhanaannya. Namun, saat ini ekspektasi itu tiba-tiba menguap terbuang entah ke mana. Moral kesederhanaan itu kehilangan esensinya. Digantikan hasrat kekuasaan yang sangat ambisius. menimbulkan kekecewaan dan kesedihan yang mendalam. Menyimpan kemarahan yang masih terpendam. Kekecewaan itu terutama membuncah di hati para simpatisan dan pendukungnya, terutama elemen PDI Perjuangan yang merasa ditinggalkan dan dikhianatinya. Bahkan beberapa simpatisan dan pendukung seniornya pun sampai meneteskan air mata.
Bahkan kekecewaan itu, mulai tergambar di mata publik dunia internasional. Ketika instagram PM Australia Malcom memuat foto bersama Jokowi “Senang bisa bertemu dengan teman baik kami Presiden Joko Widodo hari ini di World Hydropower Congress di Bali,” tulis Malcolm di Instagramnya, Selasa (31/10/2023). Warganet justru berkomentar tentang dinasti politik Presiden Jokowi. “MK sebagai garda terakhir dijadikan alat kekuasaan,” komentar warganet, kecewa.
Tawakallah
Pak Jokowi, masih ada waktu bagi Anda untuk kembali ke jatidiri kesahajaan Anda. Waspadalah. Bila Pak Jokowi mempertahankan perubahan moral politik Anda, apalagi dengan meneruskan abuse of power dengan kelicikan, dan kepura-puraan, tidak tertutup kemungkinan akan terjadi huru-hara, people power yang akan membuat reputasi Anda runtuh ke titik nadir.
Presiden Jokowi tentu lebih tahu bahwa selain jutaan rakyat yang mengagumi Anda yang saat ini sebagian besar kecewa, masih ada juga jutaan yang tidak menyenangi bahkan membenci Anda. Tak mustahil mereka kini sedang menunggu momen untuk menggulingkan Anda. Momen yang mereka (pembenci Anda) tunggu itu, terutama ketika para pendukung setia Anda selama ini semakin kecewa dan marah atas perubahan Anda, tak tertahankan lagi. Ketika kedua kekuatan publik ini bergerak bersama, maka tidak tertutup kemungkinan meledak menjadi people power.
Waspadalah Pak Presiden. Kita masih memiliki sisa keyakinan, Presiden Jokowi akan lebih mementingkan kejayaan bangsa dan negara ini daripada nafsu berkuasanya. Kembalilah ke kekuatan moral kesederhanaan Anda. Jangan lupa diri, kehilangan jatidiri. Juga lupa pada partai yang membesarkan Anda, bak kacang lupa kulitnya. Ingatlah, moral kesederhanaan itu adalah tahu berterimakasih dan bersyukur.
Majid Fakhri (1991) dalam Ethical Theories in Islam menyebut, bagaimanapun juga, seseorang harus bersyukur karena menjaga diri dari kejahatan dan kepalsuan. Hanya orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan iri hati (hasud) yang ingin memiliki kekuasaan selamanya, sehingga menghilangkan kesempatan orang lain untuk memiliki atau memanfaatkannya. Satu-satunya barang asli yang diberikan kepada kita secara bebas dan permanen, dan yang mungkin kita jaga dengan eksklusif untuk diri kita sendiri, adalah jiwa, akal, dan kebajikan. Tawakallah!
Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang
Kedua tokoh ini bisa membuat indonesia maju