[BERITA TOKOH] – LEADERSHIP Orasi HUT-60 Surya Paloh – Jakarta, TI 16/7/2011 | Buya Ahmad Syafii Maarif mengatakan bangsa ini punya orang atau penguasa formal, seperti presiden atau gubernur, tetapi tidak memiliki pemimpin sejati. Kendati ada pemerintah, tetapi perintahnya sudah tidak dipatuhi sehingga bisa dikatakan pemerintahan sudah berhenti. Jika bangsa ini masih bertahan hingga kini, sesungguhnya karena mujizat.
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif mengemukakan hal itu saat berorasi pada peringatan ulang tahun Pendiri dan Ketua Umum Ormas Nasional Demokrat Surya Paloh di Gedung Pola, Komplek Tugu Proklamasi, Jakarta, Sabtu (16/7/2011). Sejumlah tokoh Indonesia hadir dalam acara itu, antara lain Ketua MK Mahfud MD, Ketua Umum Partai Hanura Wiranto, Sekjen PDI Tjahjo Kumolo.
Acara HUT ke-60 tahun Surya Paloh itu juga diisi penyerahan manifesto dari perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Indonesia kepada Surya Paloh. Acara juga diisi monolog Butet Kertaredjasa.
Buya Syafii Maarif dalam orasi kebangsaan bertajuk ‘Pemuda, Keteladanan dan Kepemimpinan’ itu menganggap Indonesia terus bertahan pada kegagalan. Dia menyebut bangsa ini tidak mengalami kemajuan signifikan dalam pembangunan. “Negara ini nyaris gagal. Kalau Indonesia bisa bertahan hingga kini, ini sungguh mukjizat. Ini yang memberi harapan,” ujarnya.
Buya menilai pemimpin di negeri ini absurd. “Perintah 50 persen tidak dijalankan. Jangan mengeluh dong. Kenapa ini, apa penyebabnya? Apa perintahnya tidak masuk akal atau anak buahnya tidak patuh lagi? Kalau anak buah sudah tidak patuh, bisa dikatakan, kepemimpinan sudah berakhir,” kata Buya Syafii. Hal ini berkaitan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada sidang kabinet beberapa pekan lalu bahwa pelaksanaan instruksi Presiden capaiannya kurang dari 50 persen.
Buya Syafii mengemukakan, permasalahan yang bertubi-tubi menimpa bangsa tak pernah diselesaikan secara tuntas. Dia sebut, permasalahan ini terjadi di beberapa bidang, seperti hukum, pemberantasan korupsi, ekonomi, dan sosial. Di bidang hukum, jelasnya, negara telah kalah menghadapi Nazaruddin. Penegak hukum tak berdaya untuk memaksa mantan Bendahara Partai Demokrat ini untuk menjalani proses hukum.
Demikian pula dalam pemberantasan korupsi. “Jangan hanya bilang kita hunuskan pedang melawan korupsi, tetapi pedangnya disarungkan lagi,” katanya. Menurut Syafii, bangsa ini tengah menuju kegagalan dalam melawan korupsi karena kepemimpinan yang tidak tegas. Dia menunjuk kegagalan penegak hukum menghadirkan tersangka kasus korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games Palembang.
“Negara telah gagal menghadapi Nazaruddin,” ujar Buya Syafii. “Nazaruddin cerdik, tapi yang mengejarnya hanya basa-basi,” katanya. Buya pun kemudian mengingatkan pimpinan negara agar mau menyimak puisi Chairil Anwar yang mengatakan “Sekali berarti, sudah itu mati”. Menurut dia, saat ini pemimpin negeri ini tidak bertindak seperti apa yang disebutkan Chairil Anwar. “Kalau memang pemimpin, pimpin negeri ini, “action”, jangan mengeluh,” serunya.
Dia juga mengungkapkan kasus-kasus korupsi dari penyelenggara negara maupun pegawai negeri sipil (PNS), sangat memprihatinkan. Dia juga menyinggung permasalahan pajak. Di bidang ekonomi dan sosial, kata Buya, kemiskinan yang terus menerus menjerat masyarakat. Dia mengatakan, pemerintah tidak pernah hadir untuk memberikan penyelesaian konkrit seperti pendidikan gratis.
Kepemimpinan Berakhir
Buya menilai pemimpin di negeri ini absurd. “Perintah 50 persen tidak dijalankan. Jangan mengeluh dong. Kenapa ini, apa penyebabnya? Apa perintahnya tidak masuk akal atau anak buahnya tidak patuh lagi? Kalau anak buah sudah tidak patuh, bisa dikatakan, kepemimpinan sudah berakhir,” kata Buya Syafii. Hal ini berkaitan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada sidang kabinet beberapa pekan lalu bahwa pelaksanaan instruksi Presiden capaiannya kurang dari 50 persen.
Buya Syafii Maarif juga mengkritik para aktivis pemuda yang melempem ketika telah memasuki lingkaran kekuasaan. Menutnya, ada idealis musiman selama jadi aktivis. Tapi, katanya, kalau kantong masih kosong idealis, begitu masuk sistem, dalam kultur yang kumuh itu, dia berubah sama sekali. “Antara hati dan mulut sudah pecah kongsi. Antara kata dan laku tidak bersahabat. Ini permasalahan kita,” ujarnya.
Dia mengemukakan, banyak pemuda yang menjadi tokoh mahasiswa kini ikut terlibat korupsi. “Ada yang masuk partai, tidak perlu saya sebut nama partainya, jadi kumpulan orang-orang bermasalah,” katanya. Namun, kata Buya, meskipun kondisinya memprihatinkan, bangsa Indonesia tidak boleh berputus asa. Dia mengatakan sebenarnya dirinya sudah malas berbicara masalah ini. “Tetapi kita tidak boleh berhenti bicara. Kalau kita berhenti, kondisi bangsa akan semakin buruk,” ujarnya.
Punya Karakter Pemimpin
Sementara itu, Juru bicara Presiden Julian Pasha mengatakan adalah hak setiap warga untuk menyebut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bukan tipe pemimpin. Namun, tegasnya, berdasarkan fakta selama dua tahun SBY memerintah (periode kedua), tak terbantahkan dirinya punya karakteristik sebagai pemimpin. “Tidak ada alasan yang menyebutkan SBY bukan pemimpin,” ujarnya (16/7/2011).
Julian menegaskan, karakter SBY sebagai pemimpin bukanlah hanya dalam tatataran wacana. Dia menyebut bukti kuat bahwa SBY adalah pemimpin nampak saat dirinya dengan bijak menyelesaikan persoalan kebangsaan dengan arif selama ini. “Selain itu, SBY adalah presiden yang sah, pemimpin bangsa Indonesia dan tidak ada yang meragukan dirinya sebagai pemimpin,” jelasnya.
Dia menyebut, banyak orang menilai ketidaktegasan SBY yang menjadi faktor dirinya dicap bukan tipe pemimpin. Namun, tegasnya, jangan terlalu dini menilai SBY tidak tegas. Sebab, menurutnya, sebagai presiden, dalam kondisi apapun harus dengan bijak dan arif mengambil keputusan.
“Kalau ada pandangan SBY tidak tegas itu sah-sah saja. Namun bila orang menjadi seperti SBY menghadapi kasus atau masalah bangsa maka dia harus bersikap dengan sangat arif. Karena tidak mudah mengambil keputusan yang mempengaruhi kehidupan bangsa,” tegasnya. Julian menjelaskan, dalam mengambil keputusan, SBY harus mempertimbangkan nilai integritas. “Segala keputusan yang diambil terlebih dahulu mempertimbangkan ekses atau konsekuensinya. Dan pada titik ini, SBY memiliki kearifan,” tandasnya. Berita TokohIndonesia.com | rbh-hotsan