Affan Dilindas, Tanggung Jawab Menguap
Ketika Nyawa Hilang, Negara Menjawab dengan Prosedur

Seorang warga sipil tewas dilindas kendaraan taktis saat pengamanan demonstrasi. Tapi yang disampaikan justru daftar prosedur. Bukan tanggung jawab.
Affan Kurniawan, 21 tahun, bukan bagian dari massa aksi. Ia tidak membawa poster, tidak meneriakkan tuntutan. Ia sedang bekerja, mengantar pesanan sebagai pengemudi ojek online, ketika sebuah kendaraan taktis Brimob melindas tubuhnya di kawasan Pejompongan, Jakarta, malam 28 Agustus 2025. Ia tewas di tempat. Menurut keterangan rekannya sesama pengemudi, Affan sedang menyeberang jalan untuk menyelesaikan pesanan. Kejadian itu menimbulkan satu pertanyaan yang lebih tajam: mengapa kendaraan yang sudah menabrak justru tetap melaju dan melindas tubuh yang sudah jatuh?
Kematian Affan menyentak kesadaran publik, bukan hanya karena caranya yang tragis, tetapi karena ia bukan satu-satunya. Dalam gelombang demonstrasi yang berlangsung di berbagai kota, setidaknya tujuh orang dilaporkan meninggal. Affan hanyalah satu di antaranya. Belum lagi mereka yang luka-luka, ditahan, atau mengalami intimidasi. Angka ini memperkuat pertanyaan yang terus bergema: apakah tragedi sebanyak ini cukup dijawab dengan sanksi individual dan janji prosedural?
Negara memang menjawab. Tujuh anggota Brimob ditetapkan sebagai tersangka. Dua di antaranya (komandan pleton dan sopir rantis) disebut melakukan pelanggaran berat dan berpotensi diberhentikan tidak dengan hormat. Lima lainnya dijerat pelanggaran sedang. Unsur pidana dinyatakan ada, gelar perkara dijadwalkan, dan berbagai lembaga pengawas diikutsertakan. Prosedur berjalan. Sistem merespons.
Sidang etik memang belum berlangsung, dan proses pidana tengah disiapkan. Tapi narasi publik tidak berhenti pada langkah hukum formal. Video yang beredar mengonfirmasi bahwa kendaraan taktis sempat berhenti setelah menabrak, lalu kembali melaju dan melindas tubuh Affan. Inilah yang membuat publik mempertanyakan alasan di balik keputusan itu. Menurut pengakuan sopir, saat itu mereka dalam tekanan karena dikepung dan diserang massa. Jika berhenti lebih lama, kata dia, “kami habis diamuk massa.”
Penjelasan ini memberi konteks situasi di lapangan, tapi juga membuka ruang pertanyaan yang lebih luas: apakah tindakan menyelamatkan diri dengan cara seperti itu dapat dibenarkan? Bagaimana protokol pengamanan memungkinkan situasi di mana keselamatan petugas diutamakan, sementara keselamatan warga sipil justru terabaikan?
Affan bukan ancaman bagi siapa pun. Ia tidak membawa batu, tidak menyerang aparat, tidak menerobos barikade. Ia sedang bekerja untuk menyelesaikan pesanan. Ia adalah warga biasa yang menjalani rutinitas harian, bukan bagian dari konflik yang sedang terjadi. Dalam hidupnya, ia pernah harus berhenti sekolah karena tidak mampu membayar SPP. Ia kemudian bekerja sebagai pengemudi ojek online untuk membantu keluarganya. Tapi bahkan sebagai warga sipil yang tidak terlibat aksi, Affan tetap tidak mendapat jaminan keselamatan dari negara.
Politikus negara hadir di rumah duka: Kapolri menyampaikan permintaan maaf langsung, Presiden Prabowo turut melayat dan berjanji menjamin kehidupan keluarga, termasuk membantu menyediakan rumah. Ini adalah respons simbolik yang diterima secara luas namun pertanyaan yang tertinggal justru substansial: apakah gestur paling tulus pun dapat mengganti nyawa yang telah pergi?
Tidak ada pejabat yang menyatakan tanggung jawab secara terbuka dalam bentuk pengunduran diri. Tidak dari Kapolri, tidak dari pejabat yang memberi perintah di lapangan. Yang muncul justru kalimat formal: “Saya prajurit. Kalau presiden memerintahkan, saya siap.” Sah secara struktur, tapi luput secara moral. Dalam demokrasi yang sehat, akuntabilitas tidak selalu menunggu perintah atasan. Ada saat ketika seorang pemimpin cukup melihat apa yang terjadi di lapangan, lalu bertanya: apakah saya masih layak bertahan?
Hingga hari-hari setelah kejadian, yang disorot hanya pelanggaran individu. Tapi tak terdengar evaluasi soal rantai komando, instruksi operasional, atau sistem pelatihan. Seolah yang gagal hanya petugas, bukan sistem yang membentuk mereka. Dan ketika sistem tak berubah, kematian seperti Affan hanya akan dianggap insiden, bukan peringatan.
Kita pernah menyaksikan betapa besar penghormatan yang diberikan negara saat aparat menjadi korban. Tapi ketika warga sipil yang tak bersenjata tewas, negara hadir lewat prosedur, bukan peringatan atau penghormatan.
Di banyak negara, pengunduran diri pimpinan kepolisian bukan hal luar biasa ketika warga sipil menjadi korban kekerasan aparat. Kepala kepolisian Atlanta dan Brooklyn Center mundur setelah penembakan warga. Di Hungaria, pimpinan kepolisian mundur usai demonstrasi berujung korban. Dalam kasus-kasus itu, pengunduran diri bukan pengakuan bersalah, tetapi isyarat bahwa kepercayaan publik perlu dijaga, dan bahwa jabatan tidak lebih penting dari integritas institusi.
Indonesia tampaknya belum sampai ke tahap itu. Jabatan masih diperlakukan sebagai mandat vertikal, bukan tanggung jawab yang bisa dilepas secara sadar. Padahal yang dibutuhkan publik bukan sekadar investigasi, tapi pengakuan bahwa ada kegagalan yang perlu ditanggung. Termasuk di level pimpinan.
Mungkin Kapolri memang tidak merasa bersalah. Mungkin menurutnya semua sudah sesuai prosedur. Tapi di luar ruang rapat dan garis komando, ada keluarga yang kehilangan anak, ada publik yang kehilangan kepercayaan, dan ada kematian yang tak bisa dipulihkan dengan pernyataan formal.
Publik tidak sedang menuntut pengorbanan. Mereka hanya ingin melihat tanda bahwa negara masih bisa mendengar. Sebab dalam negara yang berdaulat, rakyat bukan objek pengamanan, melainkan alasan keberadaan kekuasaan itu sendiri. Ketika suara mereka diabaikan, dan nyawa mereka hanya dihitung dalam laporan prosedur, maka yang hilang bukan hanya kepercayaan, tetapi makna dari kekuasaan itu sendiri. (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)