Bendera Bajak Laut di Negeri Merdeka

Fenomena Bendera One Piece dan Streisand Effect di Bulan Kemerdekaan

0
26
Bendera One Piece dan Bendera Merah Putih
One Piece berkibar di antara merah putih, memunculkan reaksi beragam.
Lama Membaca: 3 menit

Ketika bendera bajak laut berkibar di bulan kemerdekaan, persoalannya jarang sesederhana kain dan gambar. Yang lebih menentukan adalah bagaimana negara memilih merespons suara berbeda: dengan ruang dialog, atau dengan larangan yang justru membuatnya berkibar lebih tinggi di mata publik.

Menjelang HUT ke-80 Republik Indonesia, warna merah dan putih kembali mendominasi ruang publik. Gapura desa hingga jalan protokol dipenuhi umbul-umbul, spanduk, dan bendera Merah Putih. Namun di antara itu, ada warna yang mencolok: hitam, bergambar tengkorak tersenyum dengan topi jerami.

Bagi penggemar anime, itu adalah Jolly Roger milik kelompok bajak laut Topi Jerami dari serial One Piece. Bagi sebagian warga, bendera ini menjadi simbol protes terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap tidak memihak rakyat. Bagi sebagian lainnya, ia adalah gangguan yang menodai kesakralan bulan kemerdekaan.

Larangan pun muncul, disertai ancaman pidana. Tapi justru dari sini sebuah fenomena komunikasi klasik muncul: Streisand Effect, ketika sesuatu yang coba diredam justru menyebar semakin luas.

Fenomena ini awalnya berawal dari lingkaran kecil. Beberapa warga di Bogor, Riau, dan kota lain mengibarkan bendera ini di rumah atau kendaraan mereka. Alasannya bervariasi: kekecewaan pada kebijakan pemerintah, keresahan terhadap kondisi ekonomi, atau sekadar ingin mengekspresikan pendapat dengan cara berbeda. Dalam dunia fiksi One Piece, Jolly Roger Topi Jerami melambangkan keberanian menentang ketidakadilan, kebersamaan di tengah perbedaan, dan kebebasan untuk menentukan jalan hidup. Nilai-nilai ini terasa relevan bagi mereka yang merasa suaranya tak didengar.

Pemerintah menilai fenomena ini tidak sekadar ekspresi budaya. Menko Polhukam Budi Gunawan menyebut pengibaran bendera selain Merah Putih pada bulan kemerdekaan berpotensi mencederai kehormatan simbol negara. Wakapolda Banten Brigjen Hengki menganggapnya provokasi yang dapat menurunkan derajat Merah Putih. Sejumlah legislator mengaitkannya dengan upaya memecah belah persatuan.

Namun, pandangan ini tidak tunggal. Ketua MPR Ahmad Muzani menilainya sebagai bentuk kreativitas, selama Merah Putih tetap dikibarkan di posisi yang lebih tinggi. Wamendagri Bima Arya menyebutnya ekspresi yang wajar dalam demokrasi, sejauh tidak bertentangan dengan konstitusi. Sejumlah pakar hukum pidana dari berbagai universitas menegaskan bahwa tidak ada pasal yang secara spesifik melarang pengibaran bendera non-negara, selama tidak ada niat mengganti atau merendahkan Merah Putih. Amnesty International Indonesia bahkan mengingatkan bahwa penindakan berlebihan dapat melanggar kebebasan berekspresi yang dilindungi konstitusi dan perjanjian internasional.

Polemik ini memperlihatkan perbedaan cara membaca simbol yang sama. Sebagian melihatnya sebagai ancaman, sebagian menganggapnya kritik, dan sebagian lagi hanya melihatnya sebagai bagian dari tren budaya pop. Tetapi larangan yang dikeluarkan tanpa ruang dialog membawa konsekuensi lain. Di era digital, langkah seperti ini sering kali memberi “panggung gratis” bagi simbol yang ingin dibatasi.

Itulah inti dari Streisand Effect, istilah yang lahir dari kasus pada 2003 ketika Barbra Streisand berupaya menghapus foto rumahnya dari internet. Sebelum gugatan, foto itu hanya diunduh enam kali. Setelah gugatan, ratusan ribu orang melihatnya. Dalam kasus bendera One Piece, pola serupa terlihat jelas. Sebelum larangan resmi, bendera ini hanya ramai di komunitas penggemar anime. Setelah larangan dan ancaman pidana diumumkan, isu ini muncul di media nasional dan internasional seperti South China Morning Post dan MeriStation. Pemantauan media sosial menunjukkan mayoritas percakapan justru mendukung aksi ini dan memaknainya sebagai protes damai.

Fenomena ini juga menggarisbawahi peran budaya pop sebagai bahasa politik baru. Simbol dari dunia fiksi dapat membawa pesan yang relevan dengan realitas sosial. Ia mudah dikenali, sederhana secara visual, dan cepat menyebar di media sosial. Dalam bentuk ini, kritik menjadi lebih cair: tidak selalu disampaikan lewat orasi atau spanduk politik, tetapi melalui gambar yang akrab di mata banyak orang.

Advertisement

Di sisi lain, muncul tantangan untuk membedakan antara penghinaan terhadap negara dan kritik terhadap pemerintah. Keduanya sering tercampur dalam perdebatan publik, padahal implikasinya berbeda. Negara yang mampu mengelola perbedaan pendapat secara proporsional akan lebih kuat dibanding negara yang terburu-buru menganggap setiap kritik sebagai ancaman.

Menjaga kehormatan Merah Putih adalah kewajiban semua warga negara. Namun, cara merespons perbedaan pandangan juga bagian dari menjaga simbol itu sendiri. Larangan yang disampaikan tanpa ruang dialog berpotensi menimbulkan efek yang berlawanan, apalagi ketika simbol yang dibatasi memiliki daya tarik visual dan narasi kuat di baliknya.

Bendera bajak laut dari dunia fiksi ini mungkin hanya akan menjadi fenomena sesaat. Namun percakapan yang ditimbulkannya menyentuh inti yang lebih mendasar: sejauh mana kita memaknai kemerdekaan sebagai keberanian mendengar suara yang berbeda. Sebab mempertahankan Merah Putih bukan hanya soal menjaganya tetap berkibar di tiang tertinggi, tetapi memastikan nilainya tetap hidup di hati rakyat bahkan ketika di sebelahnya berkibar warna lain yang mengingatkan kita untuk terus berpikir. Dan di titik itu, pertanyaannya sederhana namun tajam: apakah kita cukup percaya diri untuk tidak takut pada kritik? (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)

Bagaimana Sebaiknya Negara Merespons Simbol Protes Non-kekerasan (misalnya bendera One Piece)?
VoteResults
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments