back to top

BIOGRAFI TERBARU

Continue to the category
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
More
    27.2 C
    Jakarta
    Populer Hari Ini
    Populer Minggu Ini
    Populer (All Time)
    Ultah Minggu Ini
    Lama Membaca: 4 menit
    Lama Membaca: 4 menit
    Lama Membaca: 4 menit
    Lama Membaca: 4 menit
    BeritaLorong KataKasir yang Mau Merombak Restoran

    Kasir yang Mau Merombak Restoran

    Siapapun boleh bicara, tapi yang memasak tetaplah kekuasaan

    Lama Membaca: 4 menit

    Restoran itu tampak megah dari luar. Tapi di dalamnya, dapurnya sempit, pelayannya malas, dan kokinya lebih sibuk berunding daripada memasak. Lalu datanglah seorang kasir baru dengan gagasan besar dan suara lantang, berniat merombak seluruh sistem kerja restoran.

    Begitulah kira-kira kesan pertama dari kehadiran Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan yang baru. Belum seminggu menjabat, ia sudah mengubah atmosfer ruang publik dengan gaya bicara yang berbeda dari pendahulunya: spontan, ceplas-ceplos, bahkan konfrontatif. Ia menyebut tuntutan rakyat sebagai suara “sebagian kecil yang hidupnya kurang.” Ia membalas kritik DPR dengan bertanya balik, “Kenapa dulu nggak ditanyakan ke Menkeu sebelumnya?” Ia juga langsung menggulirkan dana Rp 200 triliun ke bank-bank BUMN, mengakuinya sebagai dana negara yang selama ini hanya “mengendap” di Bank Indonesia.

    Sederet langkah cepat ini menampilkan Purbaya sebagai sosok yang percaya diri. Mungkin terlalu percaya diri. Seolah-olah dengan mengutak-atik kas negara, semua masalah bisa diselesaikan. Seolah-olah uang yang tidur di BI adalah satu-satunya kunci untuk membangunkan ekonomi yang lesu. Seolah-olah kasir bisa sendirian merombak restoran, tanpa memperhitungkan siapa yang memasak, siapa yang melayani, dan siapa yang diam-diam menilep bahan makanan di dapur.

    Tentu, tidak ada yang salah dengan keberanian. Tapi dalam sistem pemerintahan yang penuh dengan tarik ulur kepentingan politik, keyakinan seorang menteri keuangan tak selalu sebanding dengan kekuatan realitas yang dihadapinya. Apalagi ketika pelaksana teknis di lapangan adalah para menteri politik yang tidak selalu satu visi, birokrasi yang lambat, dan kultur pengambilan keputusan yang lebih akomodatif ketimbang progresif.

    Di tengah gaya Purbaya yang lugas dan penuh keyakinan itu, publik disuguhkan serangkaian pernyataan yang sulit diabaikan. Tentu saja, setiap menteri boleh punya pendekatan berbeda. Tetapi ketika seorang Menteri Keuangan menyebut bahwa demo yang melibatkan puluhan ribu orang hanyalah suara “sebagian kecil rakyat yang hidupnya kurang”, maka yang terusik bukan sekadar logika statistik. Yang terganggu adalah nalar kepekaan.

    Dalam satu tarikan napas, pernyataan itu langsung mengaburkan realitas: bahwa suara publik tidak bisa diukur hanya dari jumlah atau intensitas tuntutan. Bahwa protes bisa lahir dari tekanan sistemik yang tak kasat mata. Dan bahwa menjadi menteri bukan hanya soal menjawab angka, tapi juga mendengar yang tidak terdengar.

    Tak lama berselang, Purbaya kembali menjadi sorotan. Kali ini saat ia menanggapi pertanyaan kritis dari anggota DPR dengan balasan: “Rapatnya dengan Menteri Keuangan (sebelumnya) berapa ratus hari dalam setahun, kenapa nggak pernah mempertanyakan itu?” Sebuah sindiran yang tajam sekaligus rawan. Di satu sisi, ia sedang menelanjangi konsistensi parlemen; di sisi lain, ia tampak menghindar dari tanggung jawab masa kini dengan menunjuk ke belakang.

    Namun yang paling mencolok dari minggu-minggu awalnya sebagai Menkeu adalah ketika ia membuka satu fakta yang selama ini seolah tak pernah terdengar: bahwa ada dana Rp 200 triliun milik negara yang selama ini “mengendap” di Bank Indonesia. Dana itu, katanya, akan digelontorkan ke lima bank BUMN untuk menggerakkan ekonomi melalui kredit ke sektor riil.

    Anda Mungkin Suka

    Mendengar itu, sebagian publik hanya bisa mengernyit. Bukankah selama bertahun-tahun kita diberi narasi bahwa negara sedang defisit? Bahwa realisasi pajak tak mencapai target? Bahwa subsidi harus dipangkas demi efisiensi anggaran? Bukankah kenaikan pajak dan pengetatan belanja adalah buah dari anggapan bahwa kas negara kian tipis?

    Tiba-tiba, kini disebutkan ada ratusan triliun dana mengendap. Tentu saja, tidak salah bila seorang Menkeu memutuskan untuk mengaktifkan dana yang selama ini pasif. Tapi yang menjadi soal adalah narasi yang berubah terlalu cepat. Dan dalam perubahan narasi itu, kepercayaan publik ikut dipertaruhkan.

    Karena di luar gedung rapat, rakyat tidak menghitung defisit. Mereka menghitung selisih harga cabai, sewa rumah, dan ongkos sekolah. Maka ketika pemerintah berkata bahwa uang negara sebenarnya ada (dan banyak), yang bergema bukan rasa lega, melainkan rasa heran. Yang mengendap bukan hanya dana, tapi juga pertanyaan: kalau uang itu ada, kenapa rakyat harus menanggung semua penghematan itu sendirian?

    Uang, sebesar apa pun jumlahnya, tidak bekerja sendiri. Dan seorang Menteri Keuangan, seberani apa pun visinya, bukanlah arsitek tunggal pembangunan ekonomi. Ia lebih mirip kasir yang mengelola arus uang: menghitung, mencatat, memastikan saldo cukup. Tapi restoran bernama negara ini tidak hanya bergantung pada kasir. Ada dapur yang harus bekerja. Ada pelayan yang harus bergerak. Dan, yang paling menentukan, ada pemilik restoran yang sering kali lebih tertarik pada citra ketimbang kualitas masakan.

    Untuk mengalirkan Rp 200 triliun menjadi kredit produktif, Purbaya harus bergantung pada banyak tangan yang tidak ia kendalikan: bank-bank BUMN dengan logika bisnis masing-masing, kementerian teknis yang bertanggung jawab pada proyek dan infrastruktur, serta lembaga birokrasi yang kerap bekerja lambat dan berlapis kepentingan.

    Lebih jauh, ia harus bersinergi dengan para menteri politik yang tidak selalu datang dengan visi ekonomi jangka panjang, tetapi lebih sering membawa agenda jangka pendek: citra, elektabilitas, pembagian proyek, dan stabilitas kekuasaan. Bahkan ketika anggaran sudah disiapkan, realisasi di lapangan bisa tersendat karena kontraktor yang tak kapabel, tender yang dipermainkan, atau izin yang dipersulit oleh logika rente.

    Dalam dunia Jawa, ada pepatah: wong jujur kalah karo wong pinter, wong pinter kalah karo wong bejo. Pertanyaannya, Purbaya masuk kategori yang mana?

    Purbaya bisa menyusun skema penempatan dana yang ideal, mengatur regulasi fiskal yang visioner, bahkan memarahi parlemen di depan publik. Tapi jika proyek-proyek tak kunjung berjalan, jika belanja pemerintah tetap diserap secara lambat, jika dana bank tak mengalir ke sektor riil melainkan kembali diputar di instrumen yang aman dan menguntungkan bank semata, maka kasir tetaplah kasir. Suara lantangnya akan tenggelam dalam gaduh dapur yang tak pernah tertata.

    Dan mungkin, bukan karena ia tak punya niat baik. Tapi karena restoran ini memang sudah lama dikuasai oleh jaringan yang lebih kuat dari siapa pun yang mengatur laci kas.

    Mungkin restoran ini memang butuh lebih dari sekadar kasir baru. Mungkin ia butuh pembongkaran dapur. Tapi siapa yang cukup berani untuk masuk ke sana, saat asapnya belum tentu dari tungku, tapi dari sesuatu yang lebih gelap? (Atur Lorielcide / TokohIndonesia.com)

    Menurut Anda, seberapa besar peran Menteri Keuangan dalam memperbaiki ekonomi Indonesia?
    VoteResults
    - Advertisement -Kuis Kepribadian Presiden RI
    🔥 Teratas: Habibie (25.3%), Gusdur (18%), Jokowi (14.4%), Megawati (11.9%), Soeharto (10.8%)

    Populer (All Time)

    Terbaru

    Share this
    Share via
    Send this to a friend