Najwa Shihab Menyerang, Uni Lubis Menggugat, Prabowo Bertahan

 
0
85
Najwa Shihab, Uni Lubis, Prabowo Subianto
Najwa Shihab dan Uni Lubis datang membawa keresahan yang tumbuh di tengah masyarakat sipil, tentang arah negara, supremasi hukum, dan kekuasaan yang terasa makin sulit dikritik.

Najwa Shihab menyerang dari sisi etika dan partisipasi; Uni Lubis menembus lewat logika dan prioritas kebijakan. Keduanya tak datang untuk menjatuhkan, melainkan menantang Presiden agar konsisten. Sayangnya, jawaban Presiden Prabowo hanya berputar pada pengulangan bahwa semua akan diperhatikan – tanpa komitmen membuka partisipasi atau merevisi substansi.

Ada satu momen paling penting dalam wawancara panjang Presiden Prabowo bersama tujuh pemimpin redaksi media nasional – momen ketika suara rakyat yang gelisah bersuara lewat dua jurnalis perempuan: Najwa Shihab (Founder Narasi) dan Uni Lubis (Pemimpin Redaksi IDN Times). Keduanya tidak datang hanya membawa pertanyaan. Mereka datang membawa keresahan yang tumbuh di tengah masyarakat sipil, tentang arah negara, supremasi hukum, dan kekuasaan yang terasa makin sulit dikritik.

Najwa Shihab membuka dengan tenang, tapi pertanyaannya mengandung ketegasan yang tidak bisa dibantah. Ia menyinggung proses pembentukan undang-undang yang belakangan terasa semakin jauh dari rakyat. Ia menyoroti bahwa sejumlah RUU penting – seperti RUU Kepolisian, RUU Kejaksaan, dan RUU Penyiaran – disusun dan dibahas tanpa partisipasi publik yang layak.

“Kalau kita lihat RUU-RUU ini,” ujar Najwa Shihab, “ada satu pola yang mirip: wewenang aparat negara diperbesar, sementara ruang sipil justru menyempit.” Sebuah kalimat yang memotret kekhawatiran banyak orang tentang bagaimana negara mulai menjelma menjadi mesin pengendali, alih-alih pelindung.

Lalu Najwa Shihab melemparkan pertanyaan tajam kepada Presiden:

“Apa pendapat Bapak sebagai Presiden dan pribadi? Apakah Bapak setuju polisi perlu diperluas kewenangannya, atau justru harus diperkuat pengawasannya dan dikurangi wewenangnya?”

Pertanyaan itu tidak hanya menguji pandangan hukum seorang pemimpin, tapi juga sikap dasarnya terhadap kebebasan sipil. Najwa Shihab tidak sedang menagih jawaban teknis. Ia sedang menagih sikap. Ia ingin tahu: di mana sesungguhnya Presiden berdiri dalam ketegangan antara kekuasaan dan rakyat?

Presiden Prabowo menjawab dengan hati-hati. Ia menyebut bahwa akan “memperhatikan secara khusus” kekhawatiran itu. Ia menegaskan bahwa dalam sistem yang ada, sudah tersedia mekanisme pengawasan seperti Kompolnas dan DPR. Bahwa semua undang-undang dibahas oleh wakil-wakil rakyat. Dan bahwa proses demokrasi tetap berjalan.

Namun dari sisi substansi, tidak ada komitmen konkret untuk membuka proses legislasi ke publik. Tidak ada batasan jelas atas perluasan kewenangan yang dipersoalkan. Jawaban Presiden cenderung normatif – benar secara struktur, tapi tidak cukup untuk menjawab keresahan publik. Ia bicara prosedur, sementara Najwa Shihab menagih prinsip.

Najwa Shihab tak berhenti. Ia mengingatkan kembali: “Draft RUU belum pernah dibuka ke publik. Bahkan setelah disahkan, rakyat masih tidak tahu apa isi finalnya.” Ia menyinggung bagaimana proses legislasi saat ini kerap terjadi tanpa transparansi yang memadai. Dan dalam satu momen yang sangat penting, ia menyatakan,

Advertisement

“Koalisi Bapak 80 persen. Kalau semua partai setuju, siapa yang bisa jadi penyeimbang di parlemen?”

Ini bukan sekadar pengamatan politik. Ini adalah panggilan etis agar kekuasaan tidak semena-mena. Sebuah pengingat bahwa kekuatan besar harus dibatasi oleh transparansi, bukan dibungkus dalam kerahasiaan.

Prabowo merespons dengan nada yang tetap tenang. Ia menyebut bahwa masih ada fraksi-fraksi yang tidak bergabung dengan pemerintah. Ia juga menekankan bahwa dirinya terbuka terhadap kritik. Tapi sekali lagi, tak ada janji untuk memperbaiki proses legislasi. Tak ada pernyataan bahwa draf RUU akan dibuka. Tak ada instruksi agar pembahasan melibatkan masyarakat sipil. Yang ada hanyalah pengulangan bahwa semua akan diperhatikan.

Sedangkan Uni Lubis berbicara dengan gaya berbeda. Lebih datar, lebih terukur, tapi tak kalah tajam. Ia mengangkat isu yang tidak kalah krusial: kekerasan aparat terhadap demonstran, proses legislasi yang minim konsultasi publik, dan terutama soal mengapa RUU TNI dan Kepolisian dibahas lebih cepat daripada RUU Perampasan Aset.

Dengan tenang, Uni Lubis menyampaikan satu kutipan dari buku “Gagasan Prabowo”:

“Negara yang tidak bisa atasi korupsi, akan bubar.”
Ia lalu bertanya:
“Mengapa justru RUU yang memperluas peran militer didahulukan, bukan RUU yang menyasar akar korupsi?”

Ini adalah pertanyaan yang dalam sekali. Ia bukan sekadar menggugat urutan prioritas pemerintah. Ia sedang mempertanyakan visi kebernegaraan: apakah negara dibangun dengan logika pengamanan kekuasaan, atau dengan semangat pemberantasan korupsi?

Presiden Prabowo menjawab bahwa perpanjangan masa dinas perwira tinggi TNI diperlukan agar rotasi tidak terlalu cepat. Ia bilang, “Kalau tiap tahun ganti kepala staf, itu tidak sehat.” Ia juga menepis kekhawatiran tentang militerisme dengan menyebut:

“Tidak ada niat TNI mau dwifungsi. Come on. Itu hanya narasi. Nonsense.”

Namun, dalam gaya bicara yang tegas itu, tidak muncul argumen sistemik. Tidak ada klarifikasi apakah pengawasan sipil terhadap TNI akan diperkuat. Tidak ada penjelasan kenapa RUU Perampasan Aset belum diprioritaskan. Yang muncul adalah pembelaan atas kebijakan, bukan pernyataan untuk membuka ruang partisipasi atau revisi substansi.

Uni Lubis tidak membantah, tapi keheningannya cukup untuk memberi isyarat: pertanyaannya belum terjawab. Dan publik yang menyaksikan, bisa merasakannya juga.

Kedua jurnalis ini, dengan gaya dan pendekatan berbeda, mewakili sisi terbaik dari demokrasi Indonesia. Mereka tidak hanya bertanya, mereka mendudukkan kekuasaan di bangku ujian. Najwa Shihab menyerang dari sisi etika dan partisipasi. Uni Lubis menembus lewat logika dan prioritas kebijakan. Keduanya tidak berniat menjatuhkan, tapi menantang Presiden untuk konsisten.

Dan pada titik ini, patut diapresiasi bahwa Presiden Prabowo hadir, mendengar, dan memberi ruang pada pertanyaan-pertanyaan tajam itu. Ia tidak lari dari kritik. Ia tidak menolak dialog. Itu bukan hal kecil, di zaman ketika kritik kerap disambut dengan pembungkaman.

Namun jawaban saja tidak cukup. Yang dibutuhkan selanjutnya adalah tindakan. Dan rakyat akan terus mengingat, menagih, dan mengawal. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini