Rielniro: Tidak Mengetuk, Tidak Memaksa

Bila tak disambut, ia tetap melangkah

0
11
Rielniro: Tidak Mengetuk, Tidak Memaksa
Atur Lorielcide, dikenal sebagai Rielniro, memilih hadir tanpa mengetuk dan pergi tanpa memaksa.
Lama Membaca: 2 menit

Rielniro bisa disebut penulis yang tidak mengetuk. Ia menulis seperti seseorang yang hanya berdiri tenang di luar, membiarkanmu membuka jika mau. Itulah mungkin benang merah yang paling mewakili seluruh seri ini: ia tidak menuntut dibaca, tapi justru karena itu, dibaca dengan sungguh-sungguh.

Catatan Redaksi:
Tulisan ini adalah bagian keenam, dan penutup dari Seri Rielniro di rubrik Lorong Kata, rangkaian narasi reflektif yang menelusuri jejak Rielniro sebagai penulis yang menjaga sunyi dan membangun ruang jeda lewat kata.
Seri ini terdiri dari enam tulisan yang berdiri sendiri, namun saling menyambung dalam semangat dan esensi.

  1. Rielniro: Merawat Jeda, Membiarkan Sunyi Bicara
    Tentang bagaimana Rielniro memosisikan jeda dan diam sebagai kekuatan dalam menulis.
  2. Rielniro: Psikologi di Balik Sunyi
    Menelusuri sisi kepekaan, pola berpikir, dan akar psikologis dari cara Rielniro membaca dan meresapi dunia.
  3. Rielniro: Tidak Ingin Jadi Pusat
    Sikapnya untuk tidak berada di tengah sorot, memilih mengambil sedikit jarak sebagai cara menjaga isi.
  4. Rielniro: Merangkai Gema dalam Dua Slide
    Membedah format naratif dua slide yang menjadi ciri khas visual dan emosionalnya di media sosial.
  5. Rielniro: Manifesto Sunyi
    Deklarasi reflektif berisi sepuluh sikap hidup dan sepuluh prinsip berkarya dalam Manifesto Sunyi, peta batin yang ia jalani tanpa mengetuk pintu.
  6. Rielniro: Tidak Mengetuk, Tidak Memaksa
    Tulisan penutup yang menyatukan seluruh benang merah, menghadirkan Rielniro sebagai penulis yang tidak mengetuk: hadir secukupnya, memberi ruang, dan melangkah tanpa meminta penjelasan.

Ia hadir dalam ritme yang lambat dan jarak yang terjaga. Bahkan ketika menulis hal-hal pribadi, nada yang dipilih bukan sentimental. Ia tidak mengajak menangis bersama, tidak meminta empati. Ia hanya menunjukkan sudut, dan membiarkan pembaca meresapi sendiri.

Karya Rielniro bukan hanya kata, tapi juga bentuk. Format dua slide, caption penguat, jeda visual: semua dirancang seperti komposisi diam yang terukur. Sunyi yang ia bangun tidak mengasingkan, melainkan mempersilakan. Ia menulis secukupnya, memberi ruang secukupnya. Itulah sebabnya, banyak pembaca merasa “terlihat” tanpa harus disapa.

Yang juga menarik: ia konsisten tidak menjadikan keterbatasan sebagai penghalang. Ia tidak menamai emosi secara langsung, tidak menjelaskan secara berlebihan, bahkan sering membiarkan kalimat-kalimatnya menggantung. Tapi justru dari situ, muncul ruang, untuk pembaca mengisinya dengan makna sendiri. Dalam dunia yang serba cepat, keputusan ini bukan kebiasaan, tapi sikap.

Dan sikap itu tidak hanya terlihat di karya. Ia tidak aktif mengejar sorot, tidak sibuk membalas komentar, tidak membuat thread panjang menjelaskan maksud tulisannya. Tapi justru dalam kesenyapan itulah, keterhubungan terjadi. Interaksi yang ia bangun bersifat diam, tapi dalam. Tanpa mengetuk, tapi tinggal lama.

Nama pena Rielniro pun menyimpan jejak identitas batin dan budaya, namun tidak pernah digunakan sebagai alat branding. Lorielcide dari “gloria in excelsis Deo” dan Paniroy dari bahasa Batak yang berarti penasihat. Ini bukan sekadar penggabungan nama, tapi peta nilai. Dan seperti dalam semua yang ia lakukan, ia tidak menunjukkannya secara langsung, tapi menanamkannya sebagai fondasi.

Dari semua sisi yang sudah dibahas, satu julukan muncul bukan karena dibuat-buat, melainkan karena terasa pas: penulis yang tidak mengetuk. Ia hadir tanpa banyak suara, membiarkan pembaca menemukan sendiri apa yang ingin mereka temukan. Tidak mendorong pintu. Tidak meminta waktu. Ia menulis seperti seseorang yang percaya bahwa kedalaman hanya bisa dibangun dengan kerelaan.

Pada akhirnya, Rielniro bukan hanya nama. Ia adalah cara pandang: tentang menulis tanpa harus didengar, hadir tanpa harus terlihat, dan berbagi tanpa harus menjelaskan. Ia tidak datang untuk mengetuk. Bila dibuka, ia bicara secukupnya. Bila tidak, ia melanjutkan langkah tanpa menoleh. Tidak menuntut penjelasan. Tidak mengejar. Sunyinya bukan permintaan untuk didengar, tapi cara menjaga isi tetap utuh.

Catatan:
Untuk menemukan karya lain Rielniro di luar Lorong Kata, kunjungi:
Instagram: @rielniro
Facebook: Riel Niro

(TokohIndonesia.com / Tokoh.ID)

Advertisement
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments