Tidak Pintar dan Pura-pura Kerja, Itu yang Bahaya

Presiden Prabowo menyindir orang pintar yang tak jadi apa-apa – menyentil halus tapi tetap terasa. Tapi yang lebih lucu sekaligus menyedihkan adalah mereka yang tak pintar, tak bekerja, bahkan berpura-pura kerja. Mereka terlihat sibuk, blusukan ke sana kemari, tapi tak menghasilkan apa-apa. Seolah kehadiran mereka adalah prestasi, padahal justru menghambat mereka yang sungguh-sungguh ingin bekerja. Mereka adalah warisan dari sistem yang lebih menghargai loyalitas ketimbang kemampuan.
“Kadang-kadang orang terlalu pintar malah enggak jadi apa-apa.” – Prabowo Subianto
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto itu dilontarkan dalam suasana santai saat acara Panen Raya Padi Serentak bersama petani di Majalengka, Jawa Barat, 7 April 2025. Gayanya khas, blak-blakan, dan membumi. Ucapan itu pun segera menyebar luas, memantik perdebatan di ruang publik. Sebagian menyambutnya sebagai kritik konstruktif terhadap birokrat dan teknokrat yang cakap teori namun lemah eksekusi. Sebagian lain menilai kalimat itu sebagai sindiran kepada kelompok luar pemerintahan yang gemar mengkritik, merasa pintar, namun tidak pernah menyingsingkan lengan untuk bekerja langsung.
Dalam politik, tidak ada pernyataan yang sepenuhnya bebas dari arah. Dan tidak jarang, pernyataan semacam itu punya dua sisi mata uang. Ia bisa menyasar mereka yang berada di dalam sistem, tapi juga menyentil mereka yang hanya berada di pinggir lapangan, ramai bicara, namun nihil kontribusi. Tapi pernyataan tersebut juga membuka ruang yang lebih luas untuk refleksi: tentang siapa sesungguhnya yang dibutuhkan oleh negara ini.
Kita memang tidak kekurangan orang pintar. Di banyak lembaga, kementerian, dan universitas, para cendekia hadir dengan ide-ide besar. Tapi kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua dari mereka berhasil menerjemahkan kepintaran itu menjadi kebijakan yang membumi dan bermanfaat. Sebagian terjebak dalam diskusi panjang, sebagian ragu mengambil keputusan, sebagian terlalu sibuk menjaga citra intelektualnya.
Namun kritik ini menjadi tidak lengkap jika hanya diarahkan pada satu kelompok: orang pintar yang tidak bekerja, entah di dalam atau di luar sistem. Ada satu kelompok lain yang lebih berbahaya, lebih membebani, dan lebih merusak kultur kerja: yaitu mereka yang tidak pintar dan juga tidak bisa bekerja – atau bahkan lebih buruk, mereka yang berpura-pura bekerja.
Mereka adalah figur yang tersebar di berbagai level, dari pusat hingga daerah, dari kantor kementerian hingga dinas-dinas. Mereka hadir dalam rapat, membuat laporan, membahas program, tapi semuanya kosong dari substansi. Mereka mempertahankan posisi melalui relasi politik, menjilat pimpinan, dan menciptakan ilusi produktivitas. Mereka bukan hanya tidak bekerja, tapi menghalangi yang benar-benar ingin bekerja.
Dan kelompok inilah yang semestinya mendapat sorotan utama dari seorang presiden. Jika Presiden Prabowo Subianto serius ingin membenahi sistem dan menciptakan pemerintahan yang efektif, maka pembenahan tidak cukup dilakukan di tataran ide besar atau jargon politik. Ia harus menyasar langsung pada akar penyakit birokrasi: budaya kerja semu, loyalitas semu, dan aparatur yang tidak memiliki kapabilitas maupun etos.
Kelompok ini adalah “penyakit kronis” dalam sistem birokrasi kita. Mereka mempertahankan kekuasaan kecilnya dengan segala cara. Mereka tak segan menciptakan birokrasi yang ruwet demi menghindari pertanggungjawaban. Mereka merasa aman selama tetap mengikuti arus, dan merasa sukses hanya karena berhasil bertahan di jabatan – bukan karena berhasil menyelesaikan persoalan. Mereka bukan hanya tidak “jadi apa-apa”, tapi membuat sistem tidak menghasilkan apa-apa.
Di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata terhadap keberadaan sosok-sosok yang meski tidak gemilang secara akademik, justru membuktikan dirinya melalui kerja nyata. Tri Rismaharini adalah contoh yang telah banyak diangkat. Tanpa gelar dari universitas elite global, ia menjadikan Surabaya sebagai kota yang hidup, ramah, dan tertata. Ia turun langsung menyapu jalan, menata taman, bahkan menghadapi anak-anak jalanan dan warga marjinal tanpa protokol berlapis.
Hal yang sama berlaku untuk Amran Sulaiman, Menteri Pertanian yang berasal dari jalur pengusaha. Ia bukan konseptor besar, tapi pelaku yang memahami sektor pertanian dari bawah. Dan hasilnya terlihat: kebijakan yang langsung menyentuh petani, pendekatan berbasis kebutuhan nyata, dan peningkatan produksi yang konkret.
Di sisi lain spektrum, kita mengenal sosok seperti Sri Mulyani – tokoh ideal yang memadukan kecerdasan luar biasa dengan kemampuan eksekusi. Ia tidak hanya pintar dalam menyusun kebijakan, tapi juga tegas dalam menjaga integritas keuangan negara. Dalam konteks global, figur seperti Barack Obama menunjukkan bahwa intelektualisme dan kerja nyata bisa berjalan beriringan – jika disertai karakter dan keberanian.
Namun semua pencapaian itu bisa terganggu oleh kelompok keempat tadi: mereka yang tidak pintar, tidak mau belajar, tidak bekerja, dan bahkan membebani. Mereka menciptakan ruang kerja yang tidak sehat, menormalisasi ketiadaan hasil, dan menghambat regenerasi aparatur yang lebih kompeten. Mereka adalah warisan dari sistem yang lebih menghargai loyalitas ketimbang kemampuan. Dan selama mereka masih dominan, perubahan akan selalu tersendat.
Pernyataan seperti yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto bisa menjadi pintu masuk untuk reformasi cara pandang terhadap kinerja. Namun agar kritik itu terasa adil dan transformatif, maka ia harus diarahkan pada semua sisi. Bukan hanya menyentil mereka yang pintar tapi belum bekerja, tapi juga mereka yang tidak punya niat untuk menjadi lebih baik.
Kita bisa memaklumi jika seseorang terlalu idealis, terlalu berpikir panjang, atau bahkan terlalu berhati-hati. Tapi sulit memaklumi mereka yang tidak tahu, tidak mau tahu, tidak peduli, dan yang paling parah, berpura-pura tahu – berpura-pura peduli. Bangsa ini membutuhkan kombinasi: antara kerja dan kecerdasan, antara visi dan aksi, antara retorika dan realisasi.
Mereka yang bekerja secara diam-diam, menghasilkan tanpa banyak bicara, sering kali adalah tumpuan utama keberlangsungan sistem. Mereka yang menolak berpura-pura, memilih jalan yang berat tapi benar, adalah mereka yang layak diberi ruang lebih besar. Dan mereka yang terus bertahan tanpa kontribusi, harusnya diberi pilihan: belajar atau mundur.
Ke depan, kita berharap Presiden Prabowo Subianto dan para pemimpin lainnya tidak hanya mempertahankan gaya komunikasi yang lugas, tapi juga menyelaraskannya dengan kebijakan yang menyentuh persoalan paling mendasar dalam sistem birokrasi: ketidakefisienan yang disengaja, ketidakmampuan yang dilindungi, dan ketidaktahuan yang diwariskan.
Karena keberhasilan sebuah pemerintahan tidak hanya ditentukan oleh siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tapi juga oleh siapa yang benar-benar bekerja. Dan kerja, adalah satu-satunya bukti bahwa kita pantas memimpin.
Pernyataan seperti yang diucapkan Presiden Prabowo Subianto memang bisa memicu debat. Tapi debat yang baik adalah yang melahirkan perenungan. Bukan tentang siapa yang disindir, tapi siapa yang perlu bercermin. Dan barangkali, yang paling perlu bercermin hari ini adalah mereka yang tidak pintar, tidak bisa kerja, dan tidak mau pergi-pergi dari sistem. Mereka bukan hanya tidak jadi apa-apa – mereka membuat kita semua tidak ke mana-mana. (Atur Lorielcide/TokohIndonesia.com)