Menuju Indonesia Abadi: Revolusi Pendidikan dalam Gagasan Panji Gumilang
1000 Tahun Indonesia Raya: Mimpi Besar Al-Zaytun di Usia Perak
Syaykh Panji Gumilang, pemimpin Ma’had Al-Zaytun, menggugat cara kita membangun bangsa dan menawarkan peta jalan baru – sebuah revolusi pendidikan yang tidak hanya mengejar kemajuan, tapi mewujudkan cita-cita tertinggi bangsa: Indonesia Abadi.
Penulis: Mangatur L. Paniroy, TokohIndonesia.com (Tokoh.ID)
“Romawi bertahan 1250 tahun, Utsmaniyah selama 600 tahun. Tapi keduanya runtuh. Sebabnya bukan sekadar perang, bukan ekonomi. Tapi karena pendidikan tidak merata.” – Syaykh Al-Zaytun, Panji Gumilang
Kutipan ini bukan sekadar refleksi sejarah. Ia adalah peringatan yang menggelegar dari seorang tokoh pendidikan: Syaykh Al-Zaytun Prof. Dr (HC) Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang, MP. Dalam Khutbah Idulfitri 1446 H (31 Maret 2025), di hadapan ribuan jamaah di Masjid Rahmatan Lil’Alamin, Ma’had Al-Zaytun, Indramayu, Syaykh Panji Gumilang tidak hanya menyampaikan pesan keagamaan, tapi membuka wacana besar tentang nasib bangsa dan masa depan Indonesia.
Ia bicara tentang cita-cita Indonesia Abadi – sesuatu yang bukan utopia, melainkan tujuan historis dan ideologis yang termaktub dalam stanza ketiga lagu kebangsaan: “Marilah kita berjanji, Indonesia abadi.” Namun menurutnya, keabadian itu tidak akan dicapai hanya dengan pertumbuhan ekonomi atau kekuatan militer. Keabadian hanya bisa terwujud bila pendidikan bangsa ini dibangun ulang dengan cara yang belum pernah dicontoh dunia: bukan disebar merata, tapi dipusatkan secara strategis dan berkualitas.
Pidato/khutbah tersebut adalah gugatan intelektual sekaligus proposal kebijakan nasional. Ia menyebutnya sebagai revolusi pendidikan – gagasan besar yang berani melawan arus, namun sepenuhnya masuk akal. Menurut Panji Gumilang, pendidikan Indonesia selama ini masih terperangkap dalam warisan kolonial Hindia Belanda: elitis, tidak menyeluruh, dan berpura-pura merata. Sekolah memang ada di mana-mana, tapi mutunya tak terkendali. Pemerataan hanya terjadi di atas peta, bukan dalam kenyataan.
Maka, alih-alih menyebar pendidikan tanpa arah dan pengawasan, Panji Gumilang menawarkan jalan lain: konsentrasi pendidikan. Dalam pidatonya, ia merinci rancang bangun pendidikan nasional yang visioner namun konkret:
- Pendidikan dikonsentrasikan di 38 provinsi.
- Setiap pusat pendidikan dilengkapi lahan seluas 3.000 hektar: 500 hektar untuk fasilitas belajar dan asrama, 2.500 hektar untuk praktik serta pembiayaan mandiri.
- Sistem ini menampung puluhan juta siswa dalam satu sistem yang terintegrasi, efektif, dan setara.
- Dijalankan dalam kerangka yang menyatu dengan ideologi kebangsaan dan budaya kemanusiaan universal.
Model ini bukan angan-angan. Ia telah dijalankan secara terbatas di Ma’had Al-Zaytun, pesantren modern terbesar di Indonesia yang didirikan Panji Gumilang sejak 1999. Dengan filosofi “Pesantren spirit but modern system”, Al-Zaytun menjadi laboratorium nyata dari pendidikan terpadu dan bercirikan Indonesia – terbuka lintas agama dan budaya, memadukan teknologi dengan spiritualitas, dan menjunjung tinggi perdamaian serta toleransi.

Pendidikan di sini bukan sekadar sekolah — melainkan sistem yang mendidik, membentuk karakter, menghidupkan nilai, dan mengembangkan kemampuan abad ke-21. Sebuah pusat peradaban kecil yang bisa direplikasi untuk seluruh negeri.
Syaykh Panji Gumilang melihat Indonesia sebagai entitas yang sangat unik secara geografis dan sosiologis: negara kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 17.000 pulau dan 6.000 yang dihuni. Maka mustahil meniru sistem pendidikan negara daratan seperti Amerika, Cina, atau Rusia. Indonesia harus memiliki sistem sendiri, dan Panji Gumilang menyodorkan model itu — bukan dari Barat, bukan dari Timur, tapi dari tengah-tengah negeri ini sendiri.
Sebagai penguat argumen, ia mengajak kita belajar dari sejarah. Romawi dan Utsmaniyah, dua kekaisaran besar dunia, masing-masing bertahan 1.200 dan 600 tahun, namun akhirnya lenyap. Bukan karena mereka kalah perang, tapi karena pendidikan mereka eksklusif, tidak merata, dan terputus dari mayoritas rakyat.
Romawi memberlakukan sistem bahasa yang stratifikatif — Latin klasik untuk elit, vulgar untuk rakyat biasa. Utsmaniyah hanya mendidik kelas penguasa dan agamawan. Ketika Barat membangun sekolah sebagai motor peradaban, Utsmaniyah stagnan. Pendidikan yang timpang mempercepat kehancuran mereka.
Indonesia, kata Panji Gumilang, berisiko mengulang kesalahan yang sama. Kita bangga dengan banyaknya sekolah dan program beasiswa, tapi tidak berani menyentuh ulang sistemnya. Kita memuja akses, tapi abai pada ketimpangan kualitas.
Revolusi pendidikan yang ia tawarkan tidak bicara soal banyaknya sekolah, tapi soal format baru sistem pendidikan nasional:
- Terkonsentrasi secara geografis.
- Terintegrasi antara teori, praktik, karakter, dan visi kebangsaan.
- Teraplikasi langsung di lingkungan belajar yang hidup dan holistik.
Di Al-Zaytun, sistem ini telah bekerja. Para peserta didik tidak sekadar belajar teori, tapi dilatih menjadi visionary and vision builder, systems thinker, change agent, dan innovator and risk taker.
Semua siswa mendapat akses dan pengalaman belajar yang sama. Tidak ada ruang bagi kesenjangan. Inilah wujud konkret pendidikan Indonesia yang inklusif, efektif, dan bermartabat.
Gagasan besar ini, yang telah dibuktikan di Al-Zaytun, kini mulai menemukan gema dalam kebijakan negara. Presiden Prabowo Subianto menggulirkan program Sekolah Rakyat — sekolah berbasis asrama yang akan dibangun di seluruh Indonesia, khusus untuk anak-anak dari keluarga miskin dan ekstrem. Tujuannya bukan sekadar pemerataan akses, melainkan pendidikan berkualitas tinggi yang terstruktur dan intensif.
Jika dilihat lebih dalam, konsep Sekolah Rakyat ini memiliki kesamaan prinsip mendasar dengan revolusi pendidikan Panji Gumilang: pendidikan harus menjadi sistem yang menyatu, terkonsentrasi, dan terkontrol mutunya. Bukan hanya menyebar fasilitas, tapi menyebar kualitas. Bila Sekolah Rakyat dijalankan dengan visi yang sama — menjadikan pendidikan sebagai poros keadilan dan pembangunan manusia seutuhnya — maka inilah titik temu antara kebijakan negara dan gagasan dari pesantren, antara program pemerintah dan pengalaman lapangan yang telah terbukti. Dan mungkin, dari sinilah, revolusi pendidikan yang akan membawa Indonesia menuju keabadiannya benar-benar dimulai.
Panji Gumilang yakin bahwa Indonesia bisa menjadi bangsa pertama yang berhasil membangun sistem pendidikan kepulauan yang kuat dan berkarakter. Tapi itu hanya mungkin jika ada keberanian politik, keberanian anggaran, dan keberanian berpikir besar. Kita tidak bisa terus menambal sistem lama. Kita harus membangun yang baru — dari akar hingga pucuknya.
Kini, 2045 tinggal dua dekade lagi. Saat Indonesia genap berusia satu abad. Banyak yang menyebutnya sebagai momentum menuju Indonesia Emas. Tapi Syaykh Panji Gumilang mengingatkan: emas bukanlah hasil tambang, tapi hasil tempaan. Dan pendidikan adalah tempaan itu.
Maka pertanyaannya:
- Apakah kita siap menjadi bangsa yang menciptakan sejarah, bukan sekadar mengulanginya?
- Apakah kita siap menjawab tantangan besar dengan tindakan besar?
Jika jawabannya adalah ya, maka revolusi pendidikan ini bukan lagi sekadar visi seorang Syaykh Panji Gumilang – melainkan misi kolektif kita sebagai bangsa.
Karena hanya dengan itu, Indonesia Abadi benar-benar bisa dimulai.
(Atur/TokohIndonesia.com)
“Jika ada keberanian politik, keberanian anggaran, dan keberanian berpikir besar…” Modalnya ni