Prof. Imron Arifin: Menyambung Tri Ki Hajar Dewantara dan Tri Al-Zaytun

Siapa sangka, konsep pendidikan yang lahir lebih dari seabad lalu masih hidup dan berkembang dalam wajah baru di pesantren modern? Dalam Simposium Hardiknas 2025 di Ma’had Al-Zaytun, Prof. Dr. Imron Arifin mengungkap bagaimana “Tri” Ki Hajar Dewantara — Tri Sentris, Tri Nga, dan Tri Rahayu—menemukan kelanjutannya dalam “Tri” Al-Zaytun: Tri Merdeka, Tri Global, dan Tri Alam, yang dijalankan dalam satu ekosistem pendidikan terintegrasi dan berkelanjutan.
Penulis: Mangatur L. Paniroy, TokohIndonesia.com (Tokoh.ID)
Dalam pidatonya, Prof. Imron Arifin menekankan pentingnya pendidikan sebagai sistem yang hidup, saling terhubung, dan tidak terputus. “Pendidikan adalah sistemik, interkorelasi, interdependensi, dan tidak terpisahkan. Sama seperti ekosistem kehidupan,” ujarnya. Ia menyebut Ma’had Al-Zaytun sebagai salah satu contoh konkret dari ekosistem pendidikan yang menyatu, bukan hanya pada tataran konsep, tetapi dalam praktik sehari-hari.
Di hadapan ribuan peserta simposium yang memadati Masjid Rahmatan lil ‘Alamin, Prof. Imron Arifin memulai refleksinya dengan mengangkat kembali tiga pilar pemikiran Ki Hajar Dewantara: Tri Sentris (keluarga, sekolah, masyarakat), Tri Nga (ngerti, ngrasa, nglakoni), dan Tri Rahayu (hayuning sarira, hayuning bangsa, hayuning bawono). Ia menyebut bahwa ketiga konsep ini menjadi embrio dari sistem pendidikan nasional yang tidak hanya menekankan akademik, tetapi juga karakter dan keterhubungan sosial.
Namun konsep, lanjutnya, hanya akan menjadi warisan kosong jika tidak dihidupkan dalam lembaga yang membumikannya. Dalam pengamatannya, Ma’had Al-Zaytun menghadirkan padanan yang sangat relevan dan modern. Ia menyaksikan bagaimana santri tidak hanya diajari ilmu agama dan umum, tapi juga dilatih kepemimpinan, diberi tanggung jawab sosial, dan bahkan dilibatkan dalam aktivitas pertanian, teknologi, dan pelayanan publik dalam lingkungan pesantren.
“Saya melihat sendiri bagaimana siswa-siswi berdiri dengan tertib menyambut tamu. Ketika lagu Indonesia Raya dikumandangkan, seluruh jamaah masjid menyanyikannya dengan khidmat dan harmoni. Saya seperti menyaksikan orkestra nilai yang berjalan dalam sistem,” ungkap Prof. Imron.
Ia pun mengelaborasi bagaimana Al-Zaytun mengembangkan Tri Merdeka: merdeka ruh, merdeka pikir, merdeka ilmu — yang dalam pandangannya merupakan kelanjutan dari Tri Nga. “Jika Ki Hajar mengajarkan peserta didik untuk ngerti, ngrasa, dan nglakoni, maka Al-Zaytun membawa ini ke level pembebasan,” jelasnya. “Merdeka ruh berarti memiliki spiritualitas yang matang; merdeka pikir berarti mampu berpikir kritis dan independen; merdeka ilmu berarti tidak dogmatis, tetapi terbuka pada sumber-sumber keilmuan dunia.”

Kebebasan berpikir itu tidak dilepaskan dari nilai kebangsaan. Prof. Imron Arifin mencatat bahwa seluruh proses pendidikan di Al-Zaytun berjalan dalam bingkai Pancasila dan UUD 1945. Siswa tidak hanya dibentuk sebagai santri, tapi sebagai warga negara. “Kurikulum mereka memasukkan nasionalisme, bahasa asing, hafalan Qur’an, keterampilan hidup, hingga kewirausahaan. Ini adalah pendidikan yang menyatu,” ujarnya.
Lebih jauh, Prof. Imron Arifin mengangkat Tri Global dan Tri Alam yang dikembangkan Al-Zaytun sebagai lanjutan dari Tri Rahayu. Jika Ki Hajar menginginkan pendidikan yang menciptakan keharmonisan pribadi, bangsa, dan dunia, maka Al-Zaytun mengartikulasikannya dalam konsep globalisasi beretika: berpikir global (al-tafkir al-‘alami), solidaritas global (al-takaful al-‘alami), dan menciptakan tatanan dunia yang damai (al-wadho’ al-‘alami).
“Al-Zaytun bukan hanya membentuk manusia Indonesia, tapi manusia dunia,” tegasnya. Ia mengutip fakta bahwa banyak lulusan Al-Zaytun yang melanjutkan studi ke luar negeri, menguasai berbagai bahasa, dan dibekali kesadaran multikultural yang kuat.
Apa yang dijalankan di sana, menurut Prof. Imron, bukan semata inovasi, tetapi kontinuitas dari pemikiran Ki Hajar yang dibumikan dalam konteks kekinian. Dan di balik keberhasilan itu, ia menunjuk satu tokoh sentral: Syaykh Panji Gumilang. “Beliau bukan sekadar pimpinan pesantren, tapi arsitek peradaban,” ujar Prof. Imron. “Saya menyebutnya sebagai pemimpin transformasional berbasis nilai.”
Syaykh Panji Gumilang, menurutnya, bukan hanya menjalankan lembaga, tapi juga merumuskan nilai dan visi. Ia mengintegrasikan nasionalisme, religiositas, dan globalitas dalam satu model pendidikan yang hidup. Bahkan, Prof. Imron Arifin menyandingkan perannya dengan tokoh-tokoh besar seperti Bung Karno dan Ki Hajar sendiri — yakni tokoh yang memimpin melalui gagasan, bukan sekadar jabatan.
Salah satu visi besar Syaykh Panji Gumilang adalah membangun 500 titik pendidikan dari Sabang sampai Merauke. Bagi Prof. Imron, ini adalah upaya sistematis untuk menjahit kembali ekosistem pendidikan nasional yang selama ini terputus dan terfragmentasi. “Ini bukan ekspansi institusi, tetapi penyebaran nilai dan sistem pendidikan yang berkelanjutan,” jelasnya.
Ia juga menyoroti keberhasilan Al-Zaytun dalam mengintegrasikan kehidupan keagamaan dengan kemodernan. “Di sini, spiritualitas tidak bersaing dengan ilmu pengetahuan. Masjid, laboratorium, ladang pertanian, dan kelas teknologi berjalan bersama,” katanya. Bahkan, ketika ada tokoh non-Muslim berbicara di dalam masjid, Prof. Imron Arifin melihatnya bukan sebagai penyimpangan, tapi bentuk inklusivitas Islam rahmatan lil ‘alamin yang diajarkan Nabi.

Menutup refleksinya, Prof. Imron Arifin menyampaikan, “Jika semua lembaga pendidikan menumbuhkan kembali konsep Tri seperti ini — baik dari Ki Hajar Dewantara maupun yang dikembangkan di Al-Zaytun — maka kita tidak hanya akan punya generasi emas, tapi juga bangsa yang bermartabat.”
Bagi Prof. Imron Arifin, dialog antara Tri Ki Hajar Dewantara dan Tri Al-Zaytun bukan sekadar komparasi, tetapi kesinambungan lintas zaman. Ia menunjukkan bahwa warisan Ki Hajar Dewantara bukanlah doktrin masa lalu, melainkan benih hidup yang kini tumbuh dalam wujud berbeda di lembaga-lembaga seperti Ma’had Al-Zaytun.
Dengan cara itu, Al-Zaytun menjadi lebih dari pesantren: ia adalah ruang perjumpaan antara masa lalu dan masa depan, antara nilai dan praktik, antara kebangsaan dan kemanusiaan global. Dan Prof. Imron Arifin menyaksikan semua itu sebagai bagian dari mimpi besar bangsa — membangun manusia Indonesia seutuhnya, melalui pendidikan yang bernilai, berakar, dan melintasi zaman. (Atur/TokohIndonesia.com)