Akselerasi Transformasi dan Kepemimpinan UI
Gumilar R Somantri
[ENSIKLOPEDI] Prof Dr der Soz (der Sozialwissenschaften), Drs (Doktorandus) Gumilar Rusliwa Somantri, dilantik menjabat Rektor Universitas Indonesia (2007-2011) di Balairung Kampus UI, Depok, Selasa 14 Agustus 2007. Dekan FISIP UI ini menggantikan Usman Chatib Warsa. Berikut ini kami sajikan otobiografi putera bangsa kelahiran Tasikmalaya, 11 Maret 1963 itu. Redaksi
Sejarah dan Gambaran Diri
Pengantar
Gambaran diri seseorang tidaklah terbentuk seketika. Ia dinamis dan bertalian dengan proses belajar seseorang. Saya memberi judul tulisan ini “Sejarah dan Gambaran Diri”. Tulisan ini dibagi pada beberapa sub berdasarkan tingkat pendidikan. Memang tidaklah mudah menulis gambaran diri. Karena, batas antara menyampaikan fakta dan keinginan manusiawi “dihargai” teramat tipis.
Sebuah “auto-biografi” cenderung menyampaikan informasi selektif. Oleh karena itu, saya bertumpu pada “kesadaran” bahwa banyak orang lain mengalami hal luar biasa dalam perjalanan menuju kematangan. Sehingga, saya dapat lebih objektif “menilai” diri sendiri.
Masa SD: Putra Sang Guru
Keluarga kami percampuran dua tradisi. Ayahanda berasal dari keluarga religius berorientasi pendidikan dan berpikiran maju. Sedangkan ibunda berasal dari tradisi pesantren. Ayahanda berpendidikan Sarjana Muda, berasal dari “kota”, pernah bertugas beberapa tahun sebagai Tentara Pelajar (TRIP) TNI-AL masa perang kemerdekaan. Kemudian beliau pergi ke desa bekerja sebagai guru SD. Sedangkan ibunda kami adalah seorang salihah lembut puteri ulama setempat amat disegani. Ibunda pernah menjadi murid ayahanda ketika kelas VI SD.
Perbedaan usia diantara ayahanda dan ibunda sekitar 10 tahun. Mereka menikah saat situasi genting pemberontakan DI/TII berkecamuk. Mereka dikaruniai 7 anak. Saya adalah anak ketiga dan pertama laki-laki di keluarga tersebut. Saya dilahirkan 44 tahun lalu di kota kecamatan, Indihiang, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Namun, saya dibesarkan di sebuah desa berjarak 18 kilometer dari pusat kota kabupaten.
Ayahanda kami seorang penyayang, namun kerap keras juga dalam mendidik disiplin anak-anaknya. Saya mempunyai tugas pasti dikerjakan setiap harinya. Subuh saya dibangunkan ayahanda shalat dan mengaji di mesjid. Pagi-pagi sekali, olahraga di depan rumah. Ayahanda mewajibkan saya lari pagi. Kemudian saya menimba air mengisi bak mandi, memberi ikan makan di kolam terletak dekat sawah, baru berangkat sekolah.
Waktu bermain adalah sore hari. Kami biasanya bermain sepak bola buah jeruk bali, bermain perang-perangan, serta aneka permainan anak-anak di pedesaan pada jaman itu seperti baren, galah, gatrik, cat-catan, dan sebagainya. Malam hari saya mengerjakan PR pelajaran sekolah. Pada masa itu, di desa tidak ada televisi, hanya terdapat radio transistor. Hal paling saya gemari adalah mendengarkan warta berita RRI Jakarta. Pada hari minggu, saya bermain dengan teman-teman sebaya. Namun, saya sering mengisi waktu luang membaca buku dipinjam dari perpustakaan sekolah. Kebiasaan membaca terus berlanjut apalagi setelah ayahanda berlangganan koran. Pada masa itu, beliau satu-satunya warga desa berlangganan koran.
Ayahanda suka bekerja keras, mempunyai banyak ide dan gagasan baru. Beliau sangat inovatif di bidang pertanian, dan sering menjadi rujukan warga desa mengenai kemajuan. Misalnya ayahanda, di sela-sela kesibukan mengajar dan menjadi kepala sekolah di SD, bertani sayuran bayam, kacang panjang, serta buah-buahan terutama jeruk dan nanas. Kami belajar menjajakan hasil pertanian kepada penduduk desa. Ayahanda selalu mengatakan, kita harus belajar mengatasi malas dan rasa malu. Ibunda membuat penganan aneka kacang goreng dibumbui manis-pedas dibungkus plastik. Dengan menggunakan sepeda milik ayahanda, saya sejak kelas V SD belajar menjajakan dagangan tersebut dari warung ke warung.
Ayahanda adalah tokoh Pramuka. Sejalan dengan aktivitas beliau, saya sering dipilih teman-teman satu sekolah sebagai ketua regu pramuka. Pada upacara-upacara saya biasanya ditunjuk guru-guru menjadi komandan upacara. Demikian juga di kelas, saya sering menjadi ketua kelas. Prestasi belajar saya di kelas I hingga kelas III SD termasuk sedang-sedang saja. Ketika menginjak kelas IV, saya mulai masuk peringkat 5 besar dan di kelas VI menjadi juara I di kelas.
Ayahanda selalu mendorong, mendukung, melatih dan menanamkan nilai-nilai positif kepada anak-anaknya. Misalnya selain mempunyai “mimpi” dan cita-cita tinggi, kami dididik kemandirian, berpegang teguh pada prinsip, bekerja keras, jujur, berani, tegas dalam mengambil keputusan, disiplin, ulet, kreatif, menghargai sesama, dan mengasihi orang tidak mampu. Sebagai contoh beliau sering berceritera tentang tokoh-tokoh nasional maupun internasional yang dikaguminya. Hal tersebut melahirkan banyak mimpi masa kecil menggebu-gebu menjadi Jenderal yang dokter. Tidak segan-segan beliau memberi tanggung jawab besar kepada putra-putrinya. Kadang-kadang beliau menyuruh putra-putrinya mengantarkan bantuan kecil bagi fakir miskin.
Semasa SMP: Penulis, Aktivis, dan Siswa Teladan
Pada tahun 1976 saya masuk SMP Negeri. Sekolah tersebut berlokasi lima kilo meter dari desa kami. Saya setiap hari pulang-pergi berjalan kaki melewati jalan desa berbatu. Tidak ada kelelahan dan patah semangat pada kami. Pemandangan di sepanjang jalan menuju sekolah indah, lengkap dengan kolam-kolam. Air subur-melimpah, beriak-riak diterpa angin pegunungan.
Pada masa SMP kegemaran saya dalam membaca buku terus belanjut. Saya mulai menulis puisi dan cerpen untuk koran dan majalah terdapat di Ibu Kota (majalah anak-anak Kuncung dan Kucica, serta Koran Suara Karya dan Pikiran Rakyat). Karena keluarga kami tidak mempunyai mesin tik, saya mengetik karya satra di Balai Desa. Tulisan saya sering dimuat dan mendapatkan honor lumayan. Saya mulai belajar bekerja memberi les matematika pada dua orang siswa SD anak keluarga kaya di desa kami.
Ayahanda sering mengatakan penting mencari ilmu dan belajar mandiri membiayai hidup, “Janganlah berharap mendapat warisan harta, carilah ilmu setinggi-tingginya. Ilmu tidak berat dibawa-bawa. Jangan berharap ayah membiayai seratus persen sekolahmu nanti, carilah separuh biaya oleh dirimu sendiri.”
Prestasi belajar saya di SMP sangat baik, selalu masuk rangking tertinggi di kelas. Aktivitas pramuka terus berlanjut. Bahkan, saya ketika kelas II aktif pula di Palang Merah Remaja (PMR), tim Bola Voli, kelompok pecinta alam dan OSIS. Sementara itu, saya kadang-kadang membawa juga barang dagangan dititipkan di warung sekolah atau warung lain sepanjang perjalanan menuju SMP. Untuk barang-barang tertentu pernah saya menjajakannya di antara teman-teman di sekolah.
Dalam aktivitas ekstra-kurikuler saya sering menjadi ketua. Bahkan ketika saya kelas III menggagas pendirian Majalah Dinding (Mading). Gagasan ini cukup sulit untuk direalisasikan pada waktu itu. Gagasan tersebut terlampau maju untuk ukuran SMPN di pelosok. Kepala Sekolah memberi dukungan sehingga Mading dapat dibuat. Meskipun saya termasuk siswa “populer”, pernah dihukum jemur oleh kepala sekolah. Pertama karena panjang rambut melewati batas diperbolehkan. Kedua karena terlambat upacara senin. Saya datang terlambat karena bangun kesiangan dan cukup berat harus berjalan kaki lima kilometer melewati jalan berbatu sepanjang perbukitan naik-turun. Faktor jiwa remaja senang memberontak pada pembatasan, mulai muncul di usia remaja. Meskipun demikian, saya belajar banyak dari peristiwa tersebut. Saya lulus gemilang dan melanjutkan sekolah di sebuah SMA Negeri.
Semasa SMA: Antara Organisasi dan Persiapan Masuk Universitas
Saya melanjutkan sekolah di SMA Negeri Ciawi, Tasikmalaya, berjarak 40 kilo meter dari rumah. Saya kost di rumah salah seorang kerabat di kota kewedanaan tersebut. Seminggu sekali pulang menumpang bis antarkota. Kami biasanya berjalan kaki dua jam dari jalan provinsi ke desa. Karena jadwal sekolah saya sore, maka perjalanan “pulang kampung” dilakukan menjelang magrib. Saya tiba di desa sekitar jam 9.00 malam. Memang perjalanan tersebut melelahkan, meskipun dilakukan tidak sendirian. Saya tidak jarang terkantuk batu karena jalan tidak rata dan gelap-gulita.
Saya aktif dalam berbagai kegiatan seperti menjadi ketua kelas, ketua OSIS, Pramuka dan sebagainya. Meskipun demikian, prestasi belajar sangat baik. Rangking saya naik turun berkisar peringkat 1-3. Peringkat tidak stabil karena faktor pubertas dan juga persaingan ketat di kelas IPA. Saya dalam kapasitas ketua OSIS mengorganisir bimbingan tes di sekolah. Saya mengatur jadwal, menghubungi guru dan mengumpulkan uang honorarium dari siswa untuk guru.
Selain itu, saya bersama beberapa teman sekelas mengikuti les tambahan di kota untuk mata pelajaran kimia dan fisika. Singkat kata, kerja keras membuahkan hasil. Saya lulus ujian saringan di UI, teman-teman lain diterima di ITB, Unpad, IKIP Bandung, AKABRI dan sebagainya. Prestasi tersebut mencengangkan, karena kami merupakan lulusan pertama dari SMAN terletak jauh dari pusat kota. Sekolah favorit (SMAN I dan SMAN II) terkalahkan dalam hal jumlah lulusan diterima di PTN pada tahun tersebut.
Sewaktu di kelas I, saya sebagai ketua OSIS, melontarkan gagasan mengadakan camping di puncak Galunggung. Kepala Sekolah tidak menyetujui dengan alasan keamanan, sukar dan sebagainya. Saya berargumentasi acara tersebut penting membangun kebersamaan, esprit de corps, dan kebanggaan akan sekolahnya. Kepala Sekolah tetap tidak mengijinkan. Para siswa mendukung gagasan tersebut. Pada akhir pekan, saat Kepala Sekolah agak sakit, saya membawa rombongan sejumlah hampir 200 siswa ke puncak Galunggung berjarak 50 kilo meter dari sekolah. Saya membentuk beberapa tim bertanggung jawab akan transportasi, logistik, teknis pendakian, acara, serta P3K.
Pada waktu itu guru olah raga bersimpati kepada para siswa dan ikut menyertai. Kami berkemah selama dua malam. Pengalaman saya berorganisasi, mendaki gunung dan pramuka dikerahkan untuk kesuksesan acara tersebut. Saya ingin membuktikan kepada Kepala Sekolah apa yang dibayangkannya sulit dan berbahaya dapat diatasi dengan baik melalui kesungguhan, disiplin dan kerja keras. Singkat kata rombongan kembali dengan selamat. Kegembiraan kami meluap-luap serta persahabatan semakin kuat. Pada hari senin, saat upacara rutin, kepala sekolah “menegur” keras kami dalam kata sambutannya.
Semasa Kuliah di UI: Menenun Kehidupan
Ketika kuliah di UI, saya tinggal di asrama mahasiswa Daksinapati, Rawamangun. Komunitas berisi mahasiswa beraneka latar belakang, tabiat, dan budaya. Saya memperoleh topangan hidup dari orang tua meskipun jumlahnya relatif terbatas. Karir ayahanda membaik. Beliau dari kepala SDN dipindahkan menjadi guru di Sekolah Pendidikan Guru Negeri (SPGN). Bahkan beliau pernah menjabat kepala Tata Laksana Kandep P dan K Kabupaten Tasikmalaya dan Cirebon. Beliau harus membiayai sekolah tujuh putra dan putrinya, hingga semua kini sarjana.
Oleh karena itu, saya bekerja sebagai guru les privat matematika, kimia dan fisika bagi siswa SMA. Meskipun “bekerja”, saya tetap aktif berorganisasi. Misalnya, saya menjabat Wakil Ketua Senat Mahasiswa. Di asrama mahasiswa Daksinapti saya duduk sebagai salah satu pengurus RT. Sementara itu, saya bertahun-tahun memperkuat tim kampus dalam beberapa kejuaraan bola voli antar universitas tingkat UI maupun nasional. Saya kadang-kadang mempergunakan waktu di akhir pekan membantu beberapa saudara sepupu tukang kredit barang di kawasan Condet berjualan komoditas untuk keperluan rumah tangga.
Saya sejak masuk kuliah S1 telah menggantungkan cita-cita melanjutkan studi di luar negeri memperoleh gelar doktor. Ketika menjelang lulus S1, saya mulai mengumpulkan informasi studi lanjutan di manca negara. Bahkan saya mengirimkan aplikasi S2 ke Thammasat, ISS Denhaag, Filipina, dan sebagainya. Setelah lulus S1, saya bekerja sebagai CPNS dosen di FISIP-UI. Dan upaya mencari beasiswa ke luar negeri semakin intensif dilakukan. Saya selalu berani mencoba dan mencoba, serta tidak pernah mau menyerah pada kegagalan. Belajar dengan cepat tentang segala hal, berani mengambil keputusan, dan melihat jauh ke depan; melekat dalam perjalanan hidup saya. Hal ini melatari juga keputusan saya untuk menikah di tahun 1990, meskipun pekerjaan sebagai asisten dosen belumlah mapan.
Studi Pascasarjana: Jendela Dunia
Pada tahun 1990 saya mendapat beasiswa peneliti tamu di Universitas Groningen, Belanda, selama tiga bulan. Saya memanfaatkan kesempatan tersebut memperbaiki bahasa Inggris dan menulis proposal studi lanjutan. Dalam waktu dua bulan bahasa Inggris saya, melalui praktek dalam pergaulan di lingkungan kampus, maju pesat. Seorang Asisten Professor di Groningen tercengang ketika membandingkannya dengan kondisi sewaktu pertama kali tiba di Belanda.
Sementara itu, proposal studi lanjutan saya selesaikan di akhir bulan kedua tersebut. Saya mengunjungi Professor H-D Evers di Universitaet Bielefeld, Jerman dan Dr Lins dari DAAD Bonn. Dr lins dan tim yang saya jumpai di kantor pusat DAAD membuka percakapan, “Well Mr. Somantri, bahasa Inggris anda sangat baik, kini pandai berbahasa Belanda pula, dan juga dapat berbahasa Jerman”.
Saya menjawab sindiran tersebut dengan tenang, “Saya tidak dapat berbahasa Belanda dan Jerman, hanya berbahasa Inggris”. Ia menukas, “Jika anda tidak bisa berbahasa Jerman, bagaimana mungkin anda studi lanjutan di Jerman? Tentu di dalam kampus semua orang dapat berbahasa Inggis, namun orang kebanyakan di luar……?”. Saya menjawab dengan penuh rasa percaya diri dan keberanian, “Persoalannya bukan saya saat ini dapat berbahasa Jerman atau tidak, namun, apakah anda mau atau tidak memberi saya beasiswa, jika anda memberikan saya kesempatan mendapatkan beasiswa tersebut, akan saya kuasai bahasa Jerman dengan baik dan cepat”.
Professor Evers mengenal saya sejak asisten dosen di FISIP-UI. Beliau senang saya mencapai kemajuan bahasa dan akademis secara cepat. Sebelum kembali ke tanah air, saya stop-over di Singapore dan menjadi visiting research fellow di ISEAS untuk beberapa minggu. Saya memperbaiki kembali proposal yang disusun di Belanda. Dr Sharon Siddique, Wakil Direktur ISEAS dan juga alumni Bielefeld, bersemangat membantu memberi masukan termasuk mengirimkan proposal versi terakhir kepada Prof Hans-Dieter Evers di Jerman.
Pada akhir tahun 1990, saya mengikuti tes beasiswa S3 DAAD di Jakarta. Saya lulus dengan nilai tinggi dan menyisihkan banyak peminat lain. Saya belajar bahasa di Goethe Institut Goettingen selama enam bulan. Pada bulan pertama prestasi saya biasa-biasa saja dengan rata-rata tes cukup. Di bulan kedua nilai tes meningkat rata-rata baik. Pada bulan ketiga rata-rata tes sangat baik. Pada bulan keempat saya mendapatkan penghargaan sebagai siswa terbaik di seluruh Goethe Institut. Hal ini bukan saja karena prestasi di kelas, namun saya aktif dalam aneka kegiatan seperti diskusi kelompok peminat politik dan pernah menulis cerpen di sebuah majalah berbahasa Jerman terbit di Goettingen.
Saya masuk di universitas pada Oktober 1991. Saya bekerja keras membaca banyak buku literatur dalam bahasa Inggris maupun Jerman. Saya dikenal oleh para kolega di kampus selalu paling akhir keluar perpustakaan. Pernah sekali waktu, hampir di tengah-tengah malam musim dingin yang beku, Professor Evers, ketika pulang dari ruang kerjanya, mengetuk-ngetuk kaca perpustakaan dari luar. Hal tersebut menjadi penambah semangat luar biasa.
Di akhir tahun pertama di Universitas, saya diterima sebagai mahasiswa program doktor. Saya menempuh doktor langsung dari jenjang S1. Pada tahun 1995 saya dapat menyelesaikan disertasi dan lulus ujian doktor dengan judisium Magna cum Laude. Sebelum ujian disertasi saya mendapat khabar ayahanda meninggal dunia di Tasikmalaya. Kesedihan sedikit terhibur dengan lahirnya putra kami sebulan kemudian. Masa studi saya tempuh kurang dari empat tahun, dan termasuk sangat cepat.
Karir di UI: Jalan Menuju Kematangan
Ketika saya kembali ke tanah merintis karir akademis sungguh-sungguh di kampus UI. Karena banyak penelitian kolaboratif internasional dikerjakan, saya sering diundang mempresentasikan makalah di seminar internasional dan menjadi peneliti tamu. Pada tahun 1996-1997 saya menjadi ketua dari Center for Urban and Regional Studies, di PAU-IS-UI. Pada tahun 1997 saya diangkat menjadi Wakil Direktur Pusat Studi Jepang UI.
Di tengah-tengah kesibukan bekerja di PSJ-UI, saya merintis agro-industri tahun 2000 di Mega Mendung Bogor. Saya berkebun jati emas di samping menanam bunga potong dan jagung manis. Luas areal kami tanami sekitar 15.000 m2 dibeli menyicil. Diharapkan setelah 30 tahun menghasilkan 750 m3 kayu dari 2500 pohon ditanam, atau 1000 pohon seleksi. Perkiraan harga kayu jati emas di tahun 2028 adalah 10 juta rupiah per m3. Sementara itu kenaikan harga aset selama tiga dasa warsa sekitar lima kali lipat. Bisnis lain adalah produksi “Tanaman Buah dalam Pot” (Tabulampot), peternakan ikan gurame dan koi lokal, serta peternakan burung perkutut.
Pada tahun 2001 saya menjadi ketua Tim Persiapan Penataan (TPP) Otonomi kampus di FISIP-UI. Pada tahun 2002 saya terpilih mewakili dosen FISIP-UI di Senat Akademik Universitas (SAU). Di SAU saya sempat menjadi ketua Komisi III, namun mengundurkan diri saat terpilih menjadi anggota Majelis Wali Amanat UI. Di MWA saya terpilih sebagai Sekretaris. Pada akhir tahun 2002 saya terpilih menjadi Dekan FISIP-UI yang ke-9 (usia 39 tahun).
Gambaran Diri: Pembaharuan dari Hati
Jumlah mahasiswa FISIP-UI lebih dari 8000. Jumlah dosen tetap dan tidak tetap hampir 500 orang. Jumlah departemen adalah delapan membawahi 32 program studi. Sebagai Dekan baru di tahun 2002, saya mengidentifikasi masalah pokok dihadapi fakultas pada waktu itu, yaitu tradisi akademik belum terlalu kuat. Saya memutuskan untuk meletakkan transformasi budaya akademik sentral dalam rencana strategis. Berarti reformasi sistemik harus menyentuh bidang pengajaran (knowledge transfer), riset (knowledge development), dan pelayanan masyarakat (knowledge reproduction).
Tidaklah mudah berperan menjadi motor transformasi di Fakultas kompleks seperti FISIP-UI. Budaya lama birokratis kuat melekat di tengah tuntutan perubahan menuju knowledge enterprise faculty. Proses tersebut memerlukan dukungan fasilitas, infrastruktur, dan sistem manajemen modern. Saya bertekad memotong “lingkaran setan” kompleksitas masalah, kemudian meraih prestasi membanggakan. Saya memotori pengembangan sistem manajemen dan pelaporan keuangan real-time, online, dan mampu menghasilkan neraca harian. Sistem ini selesai diimplementasikan selama enam bulan. Pengembangan sistem administrasi akademik juga dilakukan dengan mengacu pada payung di tingkat Universitas. Infrastruktur dan fasilitas dibangun secara sistimatik dan fokus penumbuhan budaya akademik maju.
Skema-skema pengembangan SDM termasuk program beasiswa S2 dan S3 bagi dosen, fasilitasi seminar internasional (fiskal dan fees) dan penulisan buku (enam juta per bulan), dan sebagainya diimplementasikan. Sistem SDM nonakademik ditata termasuk remunerasi “layak” berbasis kinerja dan merit (gaji naik 20 persen per tahun, jumlah gaji 14 kali). Sementara itu, aktivitas mengajar dirangsang bergeser dari tradisi konvensional pada research-based teaching. Sementara fasilitasi pengembangan riset dilakukan memalui aneka skema termasuk dosen inti (sekitar sembilan juta per bulan) dan pemberian grant. Pada dasarnya riset diarahkan pada dua kebutuhan, yaitu akademis dan komersial. Hal yang disebut terakhir mengindikasikan pelayanan masyarakat dilakukan berbasis riset dan dicari relevansinya bagi pengembangan pengajaran (pemasukan dana riset terus meningkat tajam).
Proses transformasi di atas telah menghantarkan FISIP-UI pada banyak prestasi. Secara umum fakultas ini diperhitungkan di tingkat regional. Daya saing dan keunggulannya FISIP-UI di tingkat regional dilihat dari kualitas maupun kuantitas riset dan publikasi, performa pengajaran, kecepatan lulusan mendapat pekerjaan, internasionalisasi perpustakaan, ruang dosen, dan sebagainya. Sementara itu, implementasi sistem manajemen modern di bidang akademik maupun non akademik telah melahirkan sistem efisiensi, subsidi silang, serta pemanfaatan fasilitas bersama optimal.
Sebagai motor dari perubahan, saya memberikan komitmen penuh waktu di Fakultas. Tidak jarang saya bekerja hingga malam hari dan terjun langsung dalam merubah mindset publik. Misalnya kampus kotor beberapa tahun lalu kini menjadi sangat bersih. Saya langsung mengajak civitas academica hirau masalah tersebut. Di awal menjadi Dekan, sering saya memungut puntung rokok berserakan di lantai di tengah kerumunan mahasiswa merokok. Mereka malu dan segan membuang puntung sembarangan, bahkan akhirnya bersama-sama membersihkan puntung rokok. Karyawan dan cleaning service tidak sembarangan lagi menangani kebersihan WC di lingkungan kampus. Satu kran macet saja dapat diketahui.
Mahasiswa di fakultas di masa lalu dikenal gemar bermain kartu remi. Mereka kini lebih banyak berada di perpustakaan, lapangan olahraga, atau berkumpul di bangku-bangku taman asri, bekerja dengan lap-top memanfaatkan sistem nir kabel. Saya keliling gedung dan lokasi dua kali sehari untuk memastikan mereka tidak bermain kartu. Saya sering duduk bersama mereka menjelaskan mengapa bermain kartu dilarang. Pada tahun 2006 kampus FISIP dinobatkan sebagai kampus terbersih dan terindah di UI.
Sebagai pimpinan, saya menyelesaikan setiap persoalan secara cepat, tepat, dan adil. Saya bukan tipe orang menyenangkan semua orang. Saya teguh berpegang pada prinsip. Namun, saya mempunyai kemampuan untuk melakukan persuasi melalui proses komunikasi empatif sehingga ketegasan tersebut humanis. Sebagai contoh pernah seorang wali mahasiswa marah karena putranya DO. Saya dengan tegas dan sopan meminta beliau meredakan amarah, agar dapat dilayani baik. Setelah amarahnya reda, saya memberikan penjelasan, berempati, dan memberikan perspektif alternatif mengenai masa depan putranya. Beliau akhirnya lapang dada menerima kenyataan putranya DO tidak memenuhi persyaratan akademik.
Meskipun pekerjaan rutin dan kasus-kasus dapat diselesaikan dengan baik, publik masih belum terpuaskan rasa dahaga akan hadirnya kepemimpinan kreatif dan inovatif. Mereka mengharapkan perubahan ditandai hal-hal baru. Seperti dibahas di atas, saya melakukan transformasi. Hal yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, dan membawa manfaat luas. Pada tingkatan ini publik menilai, selain kita mempunyai komitmen, integritas, juga penuh daya kreatif dan inovasi. Secara umum, mereka mengatakan kita mampu bekerja dan fakultas mengalami kemajuan pesat.
Saya sendiri tidak puas dengan hasil yang dicapai. Saya adalah tipe orang mempunyai mimpi jauh ke depan dan bertumpu pada idealisme membangun peradaban dan kemanusiaan. Saya selalu dipenuhi imajinasi liar, di “luar kotak” (out of the box) rutinitas dan kemapanan. Visi saya membangun fakultas sering dinilai sebagai hal yang mustahil dan sulit dilakukan. Saya gigih meyakinkan hal tersebut dapat dicapai dan mengambil langkah (terobosan) penuh resiko.
Strategi saya adalah merealisasikan mimpi tersebut satu per satu. Sebagai contoh membangun Selo Soemardjan Research Center (SSRC) modern di tahun pertama menjadi dekan adalah tidak mudah. Banyak pihak di fakultas menyangsikan. Namun ketika mimpi tersebut menjadi kenyataan, mereka mengakui gagasan itu baik dan realistik. Terlebih lembaga ini berhasil mengumpulkan dana abadi cukup besar dari industri dan keluarga almarhum Prof Selo.
Contoh lain, saya pernah menyampaikan kepada publik akan merubah total perpustakaan kumuh, sistem pelayanan tertutup; menjadi pusat pembelajaran (resource center) mutakhir dilengkapi sistem data digital. Mereka mengatakan “mimpi” terlampau muluk, dan menyarankan cukup memperbanyak buku baru serta kualitas pelayanan. Enam bulan kemudian proyek tersebut selesai (dana satu milyar, dan mendapat grant 150.000 US dolar) dengan nama Mirian Budiardjo Resource Center. Pengujung MBRC saat ini mencapai angka 700-1000 mahasiswa per hari (bandingkan pengunjung sebelumnya berkisar 100 mahasiswa per hari).
Publik tercengang terlebih kami mampu meningkatkan pelayanan dengan menggunakan SDM yang sama. MBRC dilengkapi oleh kehadiran American Corner (pada saat tulisan ini dibuat, World-Bank Corner, BPS Corner dan BUMN Corner dalam proses pengerjaan). MBRC mempunyai akses journal on-line pada 2500 judul jurnal. Sementara itu, akses digital e-book hampir tak terbatas. MBRC kini diakui terbaik di Asia Tenggara dan dimanfaatkan FISIP, FIS, FIA dan FIKOM, seluruh Indonesia. Singkat kata MBRC menjadi unit aktif memotori dinamika budaya akademik maju.
Terobosan berani kami ambil dalam rangka menata SDM akademik. Pada tahun 2006 mulai diimplementasikan program dosen inti mendapat remunerasi relatif tinggi berbais kinerja. Pembangunan ruang dosen dan student business center bertaraf internasional selesai dibangun tahun 2006. Pembangunan Gedung M baru saja selesai Mei 2007, menambah jumlah dan kapasitas fasilitas modern di lingkungan UI. Upaya-upaya tersebut selalu diawali pendapat sebagai hal mustahil di kalangan publik, namun kami selalu membuktikan melalui keberanian, tekad yang kuat, dan kemampuan manajerial tinggi; hal tersebut berhasil direalisasikan.
Membuat terobosan penataan SDM, infrastruktur, dan fasilitas seperti dikemukakan di atas memerlukan dana besar. Saya berusaha keras untuk mengembangkan sumber pendanaan non BOP melalui pengembangan enterpreneurial relevan. Sebagai contoh kantin berisi 20 pedagang di masa lalu memberikan kontribusi hanya jutaan rupiah per bulan menjadi mesin uang dengan kontribusi di atas 1 milyar per tahun. Parkir motor tampaknya tidak seberapa, mampu mendatangkan pendanaan di atas 100 juta per tahun. Demikian pula foto kopi dan legalisir ijazah ditata serta ditingkatkan kualitas pelayanannya sehingga mampu mendatangkan sejumlah dana signifikan. Dana dari riset, training, dan aktivitas business baru di gedung Koetjaraningrat juga memperbesar jumlah persentase pendanaan non BOP. Sementara itu kerjasama dengan industri dan lembaga-lembaga dalam dan luar negeri terus dilakukan dengan format “menjemput bola”.
Remarks: Akselerasi Transformasi dan Kepemimpinan UI
Trasformasi UI di tahun 2007-2012 menghadapi tantangan berat di bidang non akademik maupun akademik. Di bidang non akademik terdapat lima agenda sebagai berikut. Pertama transformasi sistem pengelolaan SDM PNS menjadi BHMN terintegrasi di tahun 2010. Kedua sistem remunerasi berbasis kinerja (rata-rata gaji Rp 10 juta bagi dosen, Rp 5 juta bagi karyawan). Ketiga infrastruktur serta fasilitas (perpustakaan, laboratorium, rumah sakit akademis, pusat riset dan science park, ruang kelas, pusat kegiatan mahasiswa, pusat seni, pusat olahraga, lingkungan kampus, dan sebagainya) dibangun bertaraf internasional.
Hal tersebut dikelola secara efisien termasuk penggunaan bersama lintas unit dan disiplin ilmu. Keempat meningkatkan kemampuan pendanaan melalui sumber non BOP hingga anggaran tahunan mencapai angka 1,5 trilyun hingga 2 triliun. Termasuk di dalamnya optimalisasi pemnafaatan aset UI di Depok, Salemba, PGT dan Wisma Rini. Kelima melipatgandakan secara cerdas jumlah dana abadi selama jangka waktu 5 tahun. Keenam mengembalikan citra UI sebagai kampus milik rakyat, namun kuat secara finansial serta akademis maju.
Di bidang akademik, kemahasiswaan dan hubungan alumni terdapat tujuh agenda sebagai berikut. Pertama, menumbuhsuburkan riset berkelompok (cluster) secara terintegrasi sehingga lahir tradisi riset yang kuat, sinambung, dinamis serta membuka ruang konvergensi ilmu dan teknologi. Kedua, mendongkrak jumlah dan kualitas aktivitas akademis internasional (seminar, publikasi, pertukaran akademis, dan kolaborasi riset) sehingga nilai akreditasi internasional meningkat. Ketiga, pengembangan budaya inovasi dan perolehan paten. Keempat, pengajaran berkualitas internasional dengan sistem memperhatikan fleksibilitas hubungan lintas disiplin ilmu, serta memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan pasar global. Kelima, pelayanan masyarakat (di bidang konsultasi, pelatihan, dan kerja nyata di lapangan) berbasis riset, diarahkan menyelesaikan masalah bangsa dan peradaban (kemiskinan, kesehatan, keadilan dampak pembangunan pada kerusakan lingkungan hayati, pemanasan global, perhubungan, pembangunan masyarakat industrial, digital literacy, ketertinggalan iptek, dinamika budaya, dan sebagainya). Keenam, fasilitasi kelembagaan dan aktivitas kemahasiswaan menjamin mereka tampil matang sebagai calon pemimpin bangsa. Ketujuh, adalah optimalisasi peran alumni dalam proses transformasi kampus.
Dalam rangka mencapai tiga belas agenda di atas serta agenda lain yang penting dalam Kebijakan Umum (KU) universitas, diperlukan visi dan misi tepat. Kami mengusulkan visi UI ke depan menjadi universitas riset dan entrepreneurial maju di tingkat regional dan diakui secara internasional. UI perlu mengembangkan unggulan di bidang pengajaran, riset, dan pelayanan. Namun demikian, UI tetap bertumpu pada idealisme kebangsaan, tidak tercerabut dari akar “Indonesia”, termasuk mempunyai perhatian membantu anak bangsa berbakat yang tidak mampu dari seluruh pelosok negeri memperoleh pendidikan terbaik secara murah bahkan cuma-cuma.
Dalam rangka merealisasikan mimpi tersebut, UI ke depan memerlukan kiprah pemimpin tangguh. Dia mempunyai kemampuan manajerial mumpuni, berani dalam melakukan terobosan, cepat dan cermat dalam mengambil keputusan, jiwa kewirausahaan tinggi, mempunyai komitmen penuh pada UI, serta mampu merealisasikan “mimpi” menjadi kenyataan.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, saya mempunyai ciri dan kemampuan kepemimpinan seperti dikemukakan di atas. Meskipun demikian, sebagai manusia biasa saya mempunyai kelemahan mudah iba pada orang-orang “kecil” kurang beruntung dirundung kemiskinan. Kelemahan ini di satu sisi positif. Namun, jika kita terhanyut dalam perasaan, dapat membuat keputusan menjadi bias. Namun demikian, selama ini saya banyak belajar untuk matang dalam mengendalikan perasaan semacam itu dengan memasukan rasionalitas dalam menilai setiap keadaan, sehingga perasaan iba tersebut justeru menjadi penyeimbang positif. (Gumilar Rusliwa Somantri) e-ti
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)