Ekonom Bertangan Dingin

Boediono
 
0
338
Boediono
Boediono | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Wakil Presiden pendamping Presiden SBY, ini seorang ekonom bertangan dingin. Tangan dingin Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada dan Doktor Ekonomi Bisnis lulusan Wharton School University of Pennsylvania, AS 1979, ini terbukti selama menjabat Ketua Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (1998-1999)) Menteri Keuangan (2001-2004), Menko Perekonomian (2005-2008), maupun sebagai Gubernur Bank Indonesia (2008-2009).
Hanya saja, dia terlibat dalam skandal Bank Century (2008). Dia sangat berperan dalam kebijakan FPJP dan bailout Bank Century sebesar Rp.6,7 triliun, yang oleh Badan Pmeriksa Keuangan (BPK) dan DPR dinilai bermasalah dan berbau korupsi. Kebijakan bailout Bank Century itu dilakukan dengan alasan menyelamatkan Indonesia dari ancaman krisis keuangan global yang episentrumnya terjadi di Amerika.

Namun, diduga terjadi rekayasa kebijakan dan penyimpangan aliran dana bailout Bank Century itu. Bahkan diduga mengalir ke partai politik penguasa dan pasangan Capres-Cawapres tertentu. Maklum, pengucuran dana p.6,7 triliun itu dilakukan menjelang dan bertepatan hiruk-pikuk Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden.

Dengan terungkapnya kasus bank Century ini, banyak pihak menjadi paham mengapa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang dalam Pemilu Presiden 2009 diusung Partai Demokrat kembali sebagai Calon Presiden, secara mengejutkan memilih Boediono sebagai Cawapresnya. Ketika pilihan itu diumumkan dan dideklarasikan 15 Mei 2009, tidak banyak pihak yang memahaminya.

Prof. Dr. Boediono yang memiliki jejak rekam dalam tata kelola ekonomi disebut akan berpihak kepada kepentingan nasional dan kepentingan rakyat. Namun, entah kenapa beberapa pihak melemparkan tudingan yang menyebut Boediono menganut ekonomi neoliberalisme dan terlalu berpihak kepada asing. Maka, Prof. Dr. Boediono merasa sedih dan tidak tahu mengapa diberi label sebagai antek neoliberalisme dan terlalu berpihak kepada asing. Sebab, menurutnya, sejak awal dalam kebijakan ekonomi, ia selalu mendahulukan kepentingan nasional, kepentingan rakyat yang belum mendapatkan manfaat pembangunan.

Jejak Rekam
Selama menjabat Menteri Keuangan, suami dari Herawati dan ayah dua anak (Ratriana Ekarini dan Dios Kurniawan), ini berhasil membenahi bidang fiskal, masalah kurs, suku bunga dan pertumbuhan ekonomi juga berhasil mengakhiri kerjasama dengan IMF (Dana Moneter Internasional).

Bersama tim dalam kabinet dan Bank Indonesia, Master of Economics, Monash University, Melbourne, Australia (1972), itu berhasil menstabilkan kurs rupiah pada kisaran Rp 9000-an per dolar AS. Begitu pula dengan suku bunga berada dalam posisi yang cukup baik merangsang kegiatan bisnis, sehingga pertumbuhan ekonomi menaik secara signifikan. Pria berpenampilan kalem dan santun serta terukur berbicara itu juga dinilai mampu membuat situasi ekonomi yang saat itu masih kacau menjadi dingin.

Saat baru menjabat Menkeu, langkah pertama yang dilakukan ekonom berpenampilan rapih dan low profile itu adalah menyelesaikan Letter of Intent dengan IMF yang telah disepakati sebelumnya serta mempersiapkan pertemuan Paris Club September 2001. Paris Club ini merupakan salah satu pertemuan penting karena menyangkut anggaran 2002. Setelah itu, dia bersama tim ekonomi Kabinet Gotong-Royong, secara terencana mengakhiri kerjasama dengan IMF (Dana Moneter Internasional) Desember 2003.

Departemen Keuangan di bawah kendali pria kelahiran Blitar, Jawa Timur, 25 Februari 1943, itu pun berhasil melampaui masa transisi pascaprogram IMF, yang sebelumnya sudah dia ingatkan akan sangat rawan, bukan hanya menyangkut masalah dana, tetapi juga menyangkut rasa percaya (confidence) pasar. Apalagi kala itu, Pemilihan Umum 2004 juga berlangsung. Kondisi rawan itu pun berhasil dilalui tanpa terjadi guncangan ekonomi.

Dia berhasil menggalang kerjasama dengan Bank Indonesia dan tim ekonomi lainnya, kecuali dengan Kwik Kian Gie yang kala itu tampak berbicara sendiri sebagai Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/ Kepala Bappenas.

Sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Gotong Royong, ia berhasil memperbaiki keuangan pemerintah dengan sangat baik sehingga mampu membawa Indonesia lepas dari bantuan Dana Moneter Internasional.

Advertisement

Tak heran bila majalah BusinessWeek (AS), memberi Boediono pengakuan sebagai tokoh yang kompeten di posisinya sebagai menteri keuangan. Ia dipandang sebagai salah seorang menteri yang paling berprestasi dalam Kabinet Gotong Royong.

Maka ketika Susilo Bambang Yudhoyono (BY) terpilih sebagai presiden (2004), banyak orang mengira bahwa Boediono akan dipertahankan dalam jabatannya. Sebetulnya ia diminta tetap bertahan di kursi Menteri Keuangan. Namun guru besar ekonomi Universitas Gadjah Mada ini mengaku ingin beristirahat dan kembali mengajar. Selain itu, tampaknya Boediono sungkan kepada Megawati, yang pada Pilpres 2004 dikalahkan SBY. Akhirnya, posisi Menteri Keuanagn ditempati Jusuf Anwar. Namun, Jusuf Anwar hanya bisa bertahan lebih satu tahun.

Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan perombakan (reshuffle) kabinet pada 5 Desember 2005, SBY kembali meminta kesediaan Boediono bergabung dalam tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu. Presiden SBY, dalam jumpa pers di Pangkalan TNI Angkatan Udara Kelapa Sawit, Medan, Sumatera Utara, Jumat (2/12/2005), mengungkapkan telah meminta mantan Menteri Keuangan Boediono untuk memperkuat tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu.

Kemudian sebelum terbang ke Sibolga, Kamis (1/12/2005) pagi, Presiden SBY mengakui telah bertemu Boediono, memintanya memperkuat tim ekonomi. Menurut Presiden, Boediono cukup meyakinkan untuk mengelola makro-ekonomi dengan baik. Namun, menurut Presiden SBY, Boediono mengaku ingin beristirahat sambil berbuat baik bagi negara tanpa harus bergabung di kabinet. “Tetapi saya minta, Pak Boediono kalau negara memerlukan, kalau rakyat menghendaki dan Anda harus masuk pemerintahan, tentu itu amanah,” kata Presiden SBY.

Akhirnya, Boediono memenuhi permintaan SBY. Boediono diangkat menggantikan Aburizal Bakrie menjadi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan mengangkat Sri Mulyani menggantikan Jusuf Anwar sebagai Menteri Keuangan. Presiden SBY menginginkan ada komunikasi dan konsultasi yang baik antara pemerintah dan Bank Indonesia.

Pasar pasar pun menyambutnya dengan antusias. IHSG dan mata uang rupiah langsung menguat. Nilai tukur rupiah pun langsung naik di bawah Rp 10.000 per dolar AS. Boediono, ekonom bertangan dingin, dinilai mampu mengelola makro-ekonomi yang kala itu belum didukung pemulihan sektor riil dan moneter. Juga perdagangan di lantai Bursa Efek Jakarta (BEJ) naik signifikan. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEJ langsung ditutup menguat hingga 23,046 poin (naik sekitar 2 persen) dan berada di posisi 1.119,417, berhasil menembus level 1.100.

Diungkapkan, inflasi tahun 2005 yang lebih buruk dari tahun 2004 dinilai jauh dari harapan. Tentu ada faktor yang bisa menjelaskan mengapa inflasi buruk. Harus ada keterpaduan atau harmoni kebijakan fiskal yang dibuat pemerintah dan kebijakan moneter dari Bank Indonesia.

Presiden SBY, kala itu berharap, Boediono akan mampu membenahi kinerja ekonomi Indonesia, terutama di sektor riil dan terkait dengan tingginya laju inflasi saat itu menyusul kenaikan harga BBM pada 1 Oktober 2005 diiringi tingginya tingkat konsumsi pada bulan puasa Ramadhan dan Lebaran November 2005.

“Mengapa saya akan menata kembali tim ekonomi karena kita ingin semuanya tertata baik, makro-ekonomi, mikro-ekonomi, jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang. Ada yang harus bergerak cepat, yaitu ekonomi, tetapi harus ada yang menjaga stabilitas jangka panjang, sustainability dan balance, kata Presiden SBY.

Presiden menginginkan orang yang tepat di posisi yang tepat untuk mendukung kerja tim yang kuat. Pemilihan figur didasarkan pada kemampuan melakukan koordinasi dan kerja sama tim yang baik. Presiden berkepentingan dengan dua hal itu, untuk memiliki dewan menteri dan tim kerja yang baik.

Berbagai pelaku bisnis menilai Boediono kredibel, low profile, tidak banyak bicara, prudent dan sangat konservatif. Hal itu dibuktikannya, dengan dukungan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang juga handal, serta kerjasama yang baik dengan Dewan Gubernur Bank Indonesia, dengan hasil gemilang membawa perekonomian Indonesia pada track dan daya tahan yang baik, terutama dalam menghadapi krisis ekonomi global.

Kemudian, Presiden SBY kepada DPR mengajukan Boediono sebagai Gubernur Bank Indonesia, menggantikan Burhanuddin Abdullah. Pengajuan nama Boediono ini ‘terpaksa’ dilakukan setelah sebelumnya DPR menolak Agus DW Martowardojo (Dirut Bank Mandiri) dan Raden Pardede yang diajukan Presiden untuk mengisi jabatan Gubernur Bank Indonesia. Pada tanggal 9 April 2008, DPR secara aklamasi menyetujui dan mengesahkan Boediono sebagai Gubernur Bank Indonesia, menggantikan Burhanuddin Abdullah.

Sebelum menjabat Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu, Menteri Keuangan Kabinet Gotong Royong (2001–2004) dan Kabinet Reformasi Pembangunan (1998-1999), Boediono telah menjabat Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas. Ia juga pernah menjabat Direktur Bank Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto.

Guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, ini memperoleh gelar S1 (Bachelor of Economics (Hons.)) dari [Universitas Western Australia] pada tahun 1967. Lima tahun kemudian, meraih gelar Master of Economics dari Universitas Monash. Kemudian meraih gelar S3 (Ph.D) dalam bidang ekonomi dari Wharton School, Universitas Pennsylvania pada tahun 1979. Ch. Robin Simanullang

02 | Dipilih Jadi Cawapres

Dipilih Jadi Cawapres: Beberapa hari setelah Pemilu Legislatif 9 April 2009, yang dimenangkan Partai Demokrat, beberapa partai politik menyatakan akan berkoalisi dengan Partai Demokrat mengusung SBY sebagai Calon Presiden. Di antaranya Partai Golkar, PKS, PKB, PAN dan PPP. Partai Golkar, PKS dan PAN sekaligus mengajukan Cawapres pendamping SBY.

Partai Golkar yang bersikukuh menduetkan SBY-JK kembali, merasa ditolak dan didikte sehingga akhirnya membatalkan niat berkoalisi dengan Partai Demokrat. Partai Demokrat sendiri menyatakan tidak pernah menolak Partai Golkar, namun juga tidak mau didikte partai politik manapun, termasuk perihal penentuan siapa Cawapres pendamping SBY.

Partai Demokrat yang sudah menetapkan SBY, Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, sebagai Capres sekaligus memberi mandat penuh kepada SBY untuk memilih pendampingnya sebagai Cawapres. Berdasarkan mandat ini, SBY melamar dan memilih Boediono menjadi Calon Wakil Presiden. Banyak orang kaget.

Boediono sendiri mengungkapkan proses lamaran dan pilihan ini berlangsung beberapa minggu sejak usainya Pemilu Legislatif. SBY mengajak Boediono dalam beberapa kali pertemuan. “Prosesnya beberapa minggu. Pertemuan saya dengan beliau dilakukan tidak hanya sekali,” ungkap Boediono setelah pasangan Capres SBY dan Cawapres Boediono dideklarasikan.

Awalnya, Boediono meminta diberi waktu dua hari untuk berpikir. “Saya perlu menata pikiran saya dan berbicara dengan keluarga, karena akan memasuki jenjang baru,” ujar Boediono. Boediono juga melihat dan merasakan ajakan itu serius. Apalagi dalam beberapa kali pertemuan SBY menceritakan berbagai macam tantangan Indonesia ke depan. Ajakan serius ini dirasakan dan direspon Boediono sebagai suatu pengalaman yang jarang didapat dalam hidup seseorang. Ia berpikir ajakan ini bisa menjadi catatan akhir dari pengabdian aktifnya. Ia akan tetap mengabdi sampai akhir hayat kepada bangsa ini.

Akhirnya, Boediono mengambil keputusan menerima ajakan SBY itu dengan kesadaran bahwa ia harus belajar mendalami bidang baru ini, bidang yang banyak politiknya. Walaupun sebenarnya ia sama sekali tidak nol dalam bidang politik. Dalam posisinya sebagai Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian juga merupakan salah satu jabatan politik yang selalu berkaitan dengan proses politik, antara lain sudah terbiasa berunding dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pernyataan kesediaan sebagai Cawapres mendampingi Capres SBY itu disampaikan Boediono kepada SBY tepat pada malam syukuran kemenangan Partai Demokrat yang digelar di Cikeas, Sabtu 9 Mei 2009 malam, tepat satu bulan sejak Pemilu Legislatif.

Boediono, selain mendapat dukungan penuh dari keluarga, juga merasa cocok dengan kepemimpinan SBY. Pengalamannya bekerjasama dengan SBY, terutama selama tiga tahun sebagai pembantu presiden (menteri Koordinator Perekonomian) di Kabinet Indonesia Bersatu, memberinya keyakinan tidak akan hanya didudukkan sebagan ban serep, tetapi akan bisa berperan lebih baik demi kesejahteraan rakyat.

Keyakinan Boediono ini muncul dari sifat SBY yang terbuka terhadap saran dan usul. Bagi Boediono, hal ini adalah indikasi bahwa ia tidak akan sekadar menjadi ban serep. Sehingga sebagai Wapres, ia punya harapan bahwa kalau ide-idenya bagus akan bisa dilaksanakan. Boediono yakin akan berperan dan punya sumbangan positif sebagai bagian (Wapres) dari tim eksekutif yang dipimpin Presiden dalam mengelola negara. Bukan hanya sebagai anggota pasif.

“Saya yakin, karena pengalaman saya bekerja dengan bapak presiden (SBY). Saya tahu beliau (SBY) itu orangnya terbuka. Jadi kalau ada ide-ide dari menteri atau Wapres dan lainnya, beliau selalu terbuka. Dan itu artinya ada peran, tidak hanya didikte dari atas. Sama sekali beliau itu bukan tipe yang hanya mendikte,” jelas Boediono.

Apalagi Boediono yakin, diri dan keluarganya, tidak punya konflik kepentingan apa pun. Sama seperti SBY, yang dalam pengamatannya juga tidak punya vested interest. Boediono berkeyakinan akan dapat menjalankan prinsipnya saat bertugas, yakni harus mengacu kepada kepentingan nasional. Tidak akan ada vested interest yang memengaruhi pengambilan keputusan.

Saat berdialog dengan para blogger di Angkringan Wetiga, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (26/5/2009) malam Cawapres Boediono kembali menegaskan agar (bila sudah menjadi) pejabat sebaiknya meninggalkan urusan bisnis. Sebab, menurutnya, posisi pejabat dan bisnis merupakan wilayah yang rawan benturan kepentingan.

Boediono menjelaskan bahwa di negara berkembang irisan antara pejabat dan bisnis merupakan area yang sangat rawan, jadi jangan sampai tercampur. “Hal ini terjadi di negara-negara lainnya,” kata Boediono. Maka dia menegaskan harus ada kebijakan yang mengatur batasan antara pebinsis dan pejabat sehingga tidak terjadi kerawanan. “Pejabat itu harus melepas bisnisnya. Itu hitam-putih dan harus diatur dengan sistem yang jelas,” tegas Boediono. Ch. Robin Simanullang

03 | Sedih Dituding Neoliberalisme

Sedih Dituding Neoliberalisme: Namun, pada awalnya, pilihan SBY berpasangan dengan Boediono mendapat reaksi kurang mendukung dari beberapa partai mitra koalisi, terutama PKS dan PAN. Selain karena partai mitra koalisi itu merasa tidak pernah diajak dalam proses penentuan pilihan Cawapres Boediono, juga karena mereka memandang Boediono sebagai seorang ekonom penganut (antek) neoliberalisme dan terlalu berpihak kepada asing.

Menanggapi hal ini, Boediono tampak selalu tenang, bijak dan santun. Menurutnya, politik akhirnya adalah persoalan human approach agar muncul saling percaya. Boediono percaya, politik yang dilandaskan pada ketulusan, kejujuran, toleransi, dan saling percaya akan menjadi politik dalam arti yang baik.

Boediono juga merasa tidak tahu mengapa diberi label sebagai antek neoliberalisme dan terlalu berpihak kepada asing. Sebab, menurutnya, sejak awal dalam kebijakan ekonomi, ia selalu mendahulukan kepentingan nasional, kepentingan rakyat yang belum mendapatkan manfaat pembangunan.

Ia memberi contoh tentang Bantuan Langsung Tunai, walaupun ia tidak langsung menanganinya, tapi kebijakan itu diambil ketika ia menjadi Menko Perekonomian. Ia mendukung kebijakan BLT itu, baik dari segi anggaran maupun operasional.

Contoh lain, saat menjabat Ketua Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional pada 1990-an, ia menangani kebijakan pemberantasan kemiskinan. Sebuah kebijakan yang sangat peduli rakyat miskin. Ia mengaku sejak awal ingin bekerja untuk negara, bukan pemerintah. Kalau pun ia mungkin melakukan hal berbeda dengan yang lain, itu karena perbedaan pandangan mana yang lebih efektif untuk meningkatkan kemakmuran rakyat saja.

Makanya, jika ia disebut pro-asing dan anti-ekonomi kerakyatan, ia merasa hal itu tidak fair. Ia mengaku amat sedih mendengar tudingan itu. “Itu tidak benar dan saya sedih sekali dengan sebutan tersebut. Saya ekonom Indonesia, Indonesia tanah airku. Semuanya saya curahkan untuk Indonesia,” ujar Boediono setelah acara peringatan Hari Kebangkitan Bangsa, di Jakarta, Rabu (20/5).

“Sepanjang karier saya, telah saya serahkan untuk Indonesia,” terangnya. Sebagai abdi negara, Boediono mengaku tidak bercita-cita menjadi kaya. Terbukti, sejak masih sekolah ia tidak pernah ingin masuk dunia bisnis. Ia juga menyatakan menjadi tokoh yang populer sama sekali bukan tujuan hidupnya. Ia akan tetap apa adanya.

Dalam pidato saat deklarasi pasangan SBY-Boediono di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) Bandung, Jumat (15/5) malam, Boediono juga menjawab kerisauan beberapa pihak mengenai pandangan ekonominya yang dinilai neoliberal itu. Menurut Boediono, perekonomian Indonesia tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada pasar bebas. Ia menegaskan sikapnya selalu diperlukan intervensi pemerintah untuk mendukung perekonomian dengan aturan yang jelas dan adil.

Untuk itu, kata Boediono, diperlukan lembaga pelaksana yang efektif. “Meski demikian, negara tidak boleh banyak campur tangan dalam perekonomian karena akan mematikan aktivitas bisnis,” ujar Boediono. Tetapi, tegas Boediono, pemerintah juga tak boleh tidur, untuk itu perlu pemerintahan yang bersih. Menurutnya, pemerintah yang bersih tidak dapat dicapai hanya lewat retorika, tetapi harus dimulai dengan teladan pemimpinnya.

Sehubungan dengan itu, Boediono mengatakan Indonesia membutuhkan pemimpin yang tidak dikotori oleh suap dan tidak mau memperdagangkan kekuasaan. “Tidak mencampuradukkan kepentingan republik dengan kepentingan bisnis keluarga,” tegas Boediono.

Boediono tidak mau terperangkap perdebatan yang mendikotomi ekonomi makro dan mikro, ekonomi liberal dan kerakyatan. “Menurut saya dikotomi itu hanya label, yang mengambil energi kita terlalu banyak kalau memperdebatkannya,” katanya.

Kuncinya, menurut Boediono, kebijakan ekonomi itu arahnya adalah untuk kepentingan ekonomi Indonesia, meningkatkan kesejahteraan rakyat. “Kalau untuk menguatkan ekonomi Indonesia pakai cara sistem pasar bebas baik digunakan, bisa kita pakai. Tapi, kalau kebijakan itu menyengsarakan rakyat, jangan dilakukan,” ujar Boediono. Jadi, menurutnya, ukuran akhir suatu kebijakan dilihat dari muaranya, akan bermanfaat bagi rakyat atau tidak. Kalau tidak bermanfaat bagi rakyat, ya tidak usah dipakai,” tegas Boediono.

Jadi, menurutnya, jangan memperdebatkan label-label besar. “Selama ini saya tidak menghianti tujuan negara yakni menyejahterakan rakyat. Cara apapun bisa berbeda yang penting tujuannya,” kata Boediono.

Ia memberi contoh tentang kebijakan moneter (makro). Harga stabil akan memberi manfaat kepada rakyat banyak. Daya beli rakyat juga tidak digerogoti. “Kebijakan diukur dari situ saja,” katanya. Menurutnya, kalau mengendalikan inflasi kemudian dikatakan neoliberal, sebenarnya itu tidak terlalu penting. Boediono mengajak agar jangan terpukau hanya pada satu kegiatan yang disebut dalam label ekonomi kerakyatan. Sebab, menurutnya, apapun yang menyangkut peningkatan kesejahteraan rakyat, baik dari segi produksi, segi konsumsi, itu adalah untuk ekonomi rakyat. Ch. Robin Simanullang

04 | Lanjutkan dengan Team Work Lebih Baik

Lanjutkan dengan Team Work Lebih Baik
Bercermin dari pengalaman selama tiga tahun bekerja secara tim di bawah kepemimpinan Presiden SBY, Boediono berkeyakinan, jika rakyat memberi kesempatan kepada SBY melanjutkan kepemimpinannya sebagai Presiden (kepala negara dan kepala pemerintahan) dan ia mendampinginya sebagai Wakil Presiden, akan dapat menggerakkan roda pembangunan dan roda pemerintahan dengan team work yang lebih baik. Team work, bukan hanya presiden dan wakil presiden, tapi seluruh kabinet. Menteri juga akan sangat menentukan kecepatan dalam pengambilan keputusan.

Penegasan atas keyakinan ini dikemukakannya menjawab adanya anggapan pasangan SBY-Boediono ini akan cenderung lamban karena kedua-duanya terlalu berhati-hati. Menurutnya, konservatif dan hati-hati adalah sesuatu yang diperlukan. Tak perlu ditakuti dari awal. Boediono memberi contoh seperti naik sepeda, harus berhati-hati, tapi harus tetap maju. “Kalau kita tetap menjaga kestabilan tapi tidak maju, ya akan jatuh. Tapi, kalau maju terus tanpa menjaga kestabilan, akan jatuh juga. Tidak ada yang bisa maju tanpa keseimbangan atau kehati-hatian. Cuma waktunya berbeda-beda. Pada masa krisis, kehati-hatian penting. Masa agak tenang, menggenjot ke depan itu juga jadi penting. Jadi kita harus mencari irama yang pas,” kata Boediono.

Menurutnya, sektor riil merupakan salah satu fondasi perekonomian nasional. Boediono pada diskusi bersama pengusaha dan mahasiswa, Selasa (2/6) di Hotel Kartika Candra, Jakarta, mengaku memiliki resep jitu dalam menggenjot sektor riil, yang pada akhirnya dapat meningkatkan perekonomian Indonesia. Pertama adalah perbaikan atau peningkatan mutu sektor infrastruktur, termasuk pelabuhan, jalan, jembatan, dan lainnya agar iklim investasi menjadi lebih baik.

Kedua, reformasi birokrasi dan perkuatan tata pemerintahan yang lebih baik, emperbaiki pelayanan pemerintahan kepada rakyat sebagai upaya menciptakan iklim investasi dan ekonomi yang lebih baik serta mendukung percepatan pertumbuhan ekonomi. Segala peraturan dan perundang-undangan yang dinilai menghambat tumbuh kembangnya ekonomi akan dihapuskan. Sebaliknya, segala sesuatu yang akan membuat iklim usaha kondusif akan difasilitasi pemerintah.
Terakhir, ketiga, intervensi pemerintah yang lebih efektif bagi masyarakat ekonomi lemah. Antara lain, melanjutkan program subsidi beras orang miskin (raskin), Bantuan Langsung Tunai (BLT). Hanya saja, kata Boediono, program lanjutan BLT ke depan harus diperbaharui lebih baik lagi, juga melanjutkan program BOS, Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Program Nasional Masyarakat Mandiri (PNPM).

Perihal permodalan perbaikan atau peningkatan mutu infrastruktur, Boediono mengatakan akan merangkul pihak swasta, terutama yang berbiaya besar, seperti pelabuhan, agar tidak membebani dana APBN yang sangat terbatas. Sedangkan untuk membangun jembatan dan jalan di pedesaan, akan menggunakan dana APBN karena pihak swasta biasanya tidak tertarik.

Boediono mengatakan langkah pemerintah sekarang banyak yang bagus dan akan terus dilanjutkan. “Kita tinggal lihat mana yang harus dipertajam, ditingkatkan, atau disesuaikan,” katanya. Seperti, bidang infrastruktur akan diteruskan. Sebab, menurutnya, infrastrukturnya yang bagus merupakan salah satu hal penting dalam upaya meningkatkan produktivitas satu bangsa.

“Infrastruktur adalah salah satu dari pendukung dunia usaha. Kalau listrik tidak nyala, jalan-jalan berlubang, biaya transportasi mahal, ya dunia usaha juga tidak akan berkembang. Kalau iklim usaha ini bagus, saya kira sektor swasta akan bergerak dengan cepat,” kata Boediono kepada pers di Bravo Media Centre, Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (17/5) malam.
.
Selain itu, program pemberantasan kemiskinan dan pengangguran yang sudah dilakukan sekarang, akan ditingkatkan lagi. Seusai bertemu dengan sejumlah anggota koalisi parpol yang digalang Partai Demokrat, Selasa (19/5) di Bravo Media Center, Jakarta, Boediono secara garis besar menyampaikan tiga platform ekonomi kerakyatannya, yakni, kesejahteraan rakyat, pemerintahan yang bersih, dan demokrasi.

Dalam hal mengatasi imbas krisis ekonomi global atau krisis keuangan dunia dewasa ini, Boediono berkeyakinan dengan tim kabinet yang padu akan mampu mengatasinya. Sebab, menurutnya, Indonesia belum terlanjur seperti negara-negara lain dimana sektor keuangannya benar-lepas dari akarnya, yaitu sektor riil. “Sektor keuangan kita itu terbelakang. Tapi dengan keterbelakangan itu nampaknya dengan adanya krisis ini kita malah mendapatkan semacam keuntungan yang sebenarnya tidak kita rencanakan,” jelas Boediono.

Boediono menjelaskan bahwa Indonesia tidak ikut dalam permainan produk-produk sektor keuangan yang aneh-aneh, produk-produk derivatif yang akhirnya menimbulkan masalah. Ia pun mengingatkan, ke depan harus lebih hati-hati kalau ada perkembangan produk-produk keuangan, harus benar-benar diseleksi mana yang ada landasannya (kegiatan riilnya) dan mana yang tidak.

Ia juga melihat masalah pengawasan, bank maupun non-bank, harus lebih ditingkatkan. “Saya kira ini pelajaran yang sangat penting untuk kita, supaya ke depan pengawasan harus lebih dipertajam. Pengembangan sektor keuangan harus diarahkan kepada yang tidak terlalu menimbulkan risiko seperti yang dihadapi negara-negara maju itu,” katanya.

Sementara, mengenai utang pemerintah yang sudah semakin kecil, namun, di sisi lain, utang komersial naik signifikan, Boediono mengatakan utang jangan dianggap tabu. “Kita boleh utang untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,” katanya. Namun, menurutnya, utang itu harus aman dari segi makro, tidak boleh lebih dari jumlah tertentu dan jangka jatuh tempo harus seimbang.

Boediono menegaskan utang harus digunakan untuk kegiatan produktif atau untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara langsung. “Artinya, kita tidak perlu alergi pada utang kalau tujuannya sesuai dengan ketentuan dan jumlahnya sesuai dengan batasan. Semua negara melakukan itu dalam standar-standar tertentu,” jelasnya.

Dia menjelaskan bahwa di negara yang terbelakang dan sedikit maju, pinjaman lunak dari pemerintah biasanya besar pada tingkat bawah. Karena supply memang disediakan untuk negara-negara yang terbelakang. Pinjaman lunak banyak diarahkan ke negara yang PDB-nya rendah karena kemampuan mengakses utang sangat rendah. “Makanya dalam data, centenary loan banyak diterima negara terbelakang. Sedangkan yang commercial loan mereka lebih sedikit.

Sementara posisi Indonesia beranjak naik. “Sejak 1970 hingga sekarang kita terus naik kelas. Kita bisa mendapat akses ke pasar komersial. Saya kira ini prestasi,” kata Boediono. Namun, tegasnya, tidak berarti kita bisa menggunakan utang seenaknya tanpa aturan. “Sebab, yang commercial loan syaratnya lebih ketat. Kalau kita salah, pasar akan menghukum,” katanya.

Maka, katanya, harus ditempuh kebijakan, yang mengatur jumlah utang pada proporsi yang aman untuk menjaga kemampuan kita membayar kembali. Boediono mengungkapkan, rasio utang terhadap gross domestic product (GDP) kita menurun terus. “Ini pertanda baik. Coba bandingkan dengan negara lain di sekitar kita, rasio GDP Indonesia tidak terlalu buruk,” katanya. Ch. Robin Simanullang

05 | Cepat, Tepat dan Akuntabel

Cepat, Tepat dan Akuntabel: Wakil Presiden Jusuf Kalla yang sekarang menjadi Capres dari Partai Golkar dan Hanura dalam acara “Kadin Temu Capres” di Jakarta menyebutkan bahwa kebijakannya sering tak didukung oleh menteri-menteri terkait. Salah satu kebijakan yang menurut JK, tak didukung menteri terkait adalah program pembangkit listrik 10 ribu megawatt dan monorel. Menurut JK, Menteri Koordinator Perekonomian Boediono saat itu tak mendukung program tersebut.

Boediono yang ditanya pers soal anggapan JK itu membantah bahwa dirinya mempersulit pelaksanaan program pembangkit listrik 10 ribu megawatt dan proyek monorel. “Saya ingin proyek itu dilakukan secara cepat, tepat, dan akuntabel,” kata Boediono.

Pada saat proyek-proyek itu diajukan, jels Boediono, semua unsur di kabinet tidak ada yang menolak. “Semua menginginkan proyek itu terlaksana untuk percepatan pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat,” katanya. Boediono juga menegaskan bahwa dirinya tidak ada masalah soal itu, selama syarat-syaratnya terpenuhi.

Menteri-Sekretaris Negara Hatta Rajasa, yang juga Ketua Tim Sukses Pemenangan SBY-Boediono, juga membantah pernyataan itu. “Saya tidak pernah melihat dan mendengar bahwa Pak Boediono menolak membangun listrik dan monorel,” kata Hatta. Yang saya tahu, kata Hatta, Boediono sangat tidak setuju apabila harus melanggar aturan.

Kala itu, Hatta masih menjabat Menteri Perhubungan, mengungkapkan bahwa Boediono menanyakan kepadanya ihwal peraturan perundangan yang mengatur keterlibatan swasta dalam pembangunan monorel. “Waktu itu Undang-Undang Perkeretaapian menyebutkan, jalur kereta api, termasuk monorel, hanya boleh dibangun secara monopoli oleh PT KA,” kata Hatta. Maka, jika dipaksakan, kata Hatta, bisa terjadi pelanggaran aturan. Waktu itu undang-undangnya belum diubah. “Jadi, harus dilihat, penolakan dan ketidaksetujuan Pak Boediono itu karena melanggar aturan,” kata Hatta.

Yang jelas, menurut Hatta, Boediono malah mendorong dirinya mempercepat pembangunan monorel. “Pak Hatta, ayo cepat harus bangun MRT (mass rapid transit),” kata Hatta, menirukan dorongan Boediono.

Begitu pula, soal pembangunan proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt, Hatta menjelaskan, sejak awal proyek itu tidak menyebutkan adanya jaminan dari negara. Hal ini berbeda dengan sikap JK, yang ngotot bahwa pemerintah harus memberikan jaminan penuh bagi konsorsium yang mendanai proyek listrik itu. “Kenapa kok tiba-tiba harus ada jaminan negara? Awalnya dikatakan tidak ada jaminan negara,” kata Hatta.

Jadi yang jelas, Boediono selalu menginginkan semua proyek dilakukan secara cepat, tepat, dan akuntabel. Tidak grasa-grusu dan tidak ada vested interest. Ch. Robin Simanullang

Data Singkat
Boediono, Wakil Presiden RI (2009-2014) / Ekonom Bertangan Dingin | Ensiklopedi | Pertamina, Wapres, Menteri, Bank Indonesia, staf ahli

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini