‘Kamus Hidup’ Pers Indonesia

Soebagijo IN
 
0
353
Soebagijo IN
Soebagijo IN | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Wartawan Senior, pengarang buku Jagad Wartawan Indonesia, Soebagijo Ilham Notodidjojo dikenal sebagai pencatat sejarah dan ‘kamus hidup’ pers Indonesia. Pengetahuannya yang luas tentang sejarah pers Indonesia bisa dilihat dari kemampuannya merangkai kisah sejarah pers sejak zaman Hindia Belanda sampai tahun 1980-an, termasuk kisah kehidupan berbagai tokoh pers dan profesi wartawan. Wartawan senior Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA ini wafat dalam usia 89 tahun, Selasa pagi, 17 September 2013.

Selain sebagai wartawan, dia produktif menulis buku, menyunting, menerjemahkan, dan menyadur dan terutama mengenai biografi dan pers. Ada empat puluh dua (42) buku hasil tulisannya. Semua ditempatkan dalam rak tersendiri berdampingan dengan buku-buku lain yang hampir semuanya tentang sejarah pers Indonesia. Lebih dari 3.000 buku ada di rumahnya, berjajar dalam berbagai rak, belum termasuk buku-bukunya yang sedang dimakan rayap. Ada lagi yang sangat menyedihkannya. Banyak bukunya pernah digondol maling raib entah kemana.

Salah satu koleksi buku tuanya adalah kamus Jawa-Belanda beraksara Jawa dan Latin yang dicetak pada 1875. Beruntung kamus ini tidak termasuk yang dimakan rayap. Banyak orang, terutama mahasiswa, memanfaatkannya. Tercatat di antaranya Abdurrachman Surjomihardjo (alm) yang mengambil disertasi doktor tentang pers Indonesia. Sekarang, masih saja ada mahasiswa datang mencari-cari bahan skripsi.

Dari sekian banyak buku yang dihasilkannya, buku Jagad Wartawan Indonesia (1981) merupakan buku yang membanggakan baginya. Dibanding buku-bukunya yang lain, buku Jagad Wartawan memang paling tebal. Memuat 111 tokoh pers Indonesia, buku itu tebalnya 638 halaman. Di sana tercantum pula tokoh Tirtohadisoerjo, “sang pemula” pers Indonesia, yang untuk pertama kali mendirikan sebuah perseroan terbatas.

Mengumpulkan bahan untuk Jagad Wartawan sungguh penuh suka duka. Soebagijo menyurati mereka masing-masing. Mencari bahan-bahan pustaka dan wawancara dengan yang bersangkutan atau keterangan orang yang mengenalnya. “Ini kan pekerjaan wartawan. Menyenangkan,” katanya. Dukanya, surat-surat yang dikirim dengan sejumlah pertanyaan tak semua dibalas. Dia pun mencari bahan dari sumber lain. Karena itu, belum semua tokoh pers Indonesia masuk dalam Jagad Wartawan. Inilah perlunya edisi revisi.

Buku itu pernah dikritik karena tidak mencantumkan nama Mochtar Lubis dan H Rosihan Anwar. Menanggapi kritikan itu, Soebagijo mengatakan bahwa tokoh yang tercantum di sana adalah wartawan Indonesia yang sudah meninggal dan yang belum berusia 60 tahun. Pada waktu itu, Mochtar Lubis dan H Rosihan Anwar belum berumur 60 tahun. Lewat buku itu, seperti tercantum dalam Kata Pengantar, Soebagijo ingin ada orang muda yang meneruskan. Namun, keinginannya itu sepertinya masih berbentuk harapan karena ia melihat semangat mendokumentasikan fakta sejarah masih lemah di kalangan wartawan.

Di buku lain, PWI di Arena Masa (1998), dia menulis Tirtohadisoerjo atau Raden Djokomono (1875-1918), pendiri mingguan Medan Priyayi yang sejak 1910 berkembang jadi harian. Tirtohadisoerjo dikenal sebagai pemrakarsa pers nasional, yakni penerbitan yang dimodali modal nasional dan pemimpinnya orang Indonesia.

Dari semua bukunya yang terbanyak adalah buku-buku biografi tokoh politik, pemimpin rakyat, dan tokoh wartawan. Tercatat misalnya, KH Masjkur, Sudjono, SK Trimurti, Sumanang, dan Harsono Tjokroaminoto.

Menurut Soebagijo, wartawan dulu dan sekarang memang berbeda. Wartawan sekarang umumnya punya latar belakang pendidikan memadai. Kesejahteraan wartawan sekarang relatif lebih baik, memperoleh persiapan cukup, dan berbeda dengan dulu yang umumnya dilandasi semangat patriotisme perjuangan dan otodidak. Dulu, hubungan sesama wartawan tak ada kesan hubungan ‘buruh dan majikan’. Bimbingan yang diberikan oleh senior pun dia rasakan amat bersahabat. Tidak ada kesan menggurui. Wartawan sekarang? “Anda lebih tahu,” katanya.

Sepenggal Kenangan Perjalanan Hidup

Profesi jurnalis, sejak kecil sudah jadi kesenangan sekaligus cita-cita pria kelahiran 5 Juli 1924 di Blitar ini. Bakatnya itu akhirnya menuntunnya menjadi seorang penulis handal. Walaupun ayahnya, Ilham Notodidjojo, guru sebuah sekolah rakyat di Blitar serta ibundanya yang juga seorang guru selalu mengarahkannya menjadi guru, namun itu tidak mampu mengubah keinginannya yang sudah bulat.

Advertisement

Jurnalistik, tumbuh dalam jiwanya sejak anak-anak ketika ia sering disuruh sang ayah mengambil koran dari teman-teman ayahnya (yang berlangganan koran tersebut secara patungan), sebab dulu berlangganan koran itu biasanya patungan, dimana empat orang atau lebih membeli satu koran, dengan perjanjian siapa yang baca duluan harus membayar lebih besar. Dari pengalaman setiap hari mengambil koran itu, ia akhirnya jadi sering baca sebelum memberikannya kepada sang ayah. Sejak itu, ia mulai mengetahui tokoh-tokoh nasional maupun internasional dan berbagai peristiwa di dunia. Lama-kelamaan ia semakin tertarik dengan dunia jurnalistik tersebut. Ia mulai membayangkan begitu senangnya menuliskan sesuatu yang kemudian akan dibaca orang.

Namun di balik semua perjuangan hidupnya, satu kali ia juga pernah merasa tidak puas dengan keadaan yang dia terima. Ia merasa hidupnya hanya begitu-begitu saja sementara teman-temannya satu tim sudah ada yang menjadi menteri, usahawan, anggota DPR, maupun Jenderal. Namun sebagai muslim yang soleh ia tidak merengut tapi ia sujud atau tahajud pada Tuhan sembari berdoa, “Teman-temanku sudah menjadi menteri, usahawan dan pada kaya Tuhan. Aku ini kok begini saja Tuhan.”

Maka sejak sekolahpun ia sudah mulai menulis. Ia mulai menulis di Taman Bocah (Kejawen) Jakarta dan di Taman Poetra (Swara Tama) Yogyakarta. Sedangkan menulis buku dilakukannya ketika usia 25 tahun. Waktu itu, ia masih harus diantar oleh ibunya. Buku pertama yang ditulisnya adalah buku biografi Ida Ayu, ibunya Bung Karno (Presiden RI pertama), buku itu diberinya judul ‘Pengukir Soekarno.

Pria yang menghabiskan lebih dari dua pertiga usianya dalam dunia pers dan jurnalistik ini adalah anak ketiga dari 5 bersaudara dan dibesarkan dalam lingkungan Muhammadiyah. Sejak kecil sudah aktif berorganisasi seperti di Pemuda Muhammadiyah dan Pandu Hizbul Wathon. Pada masa revolusi, ia juga menjadi anggota PB Ikatan Pelajar Indonesia dan pucuk pimpinan Gerakan Pemuda Islam Indonesia di Yogyakarta.

Jepang yang menduduki Indonesia setelah Belanda, bertindak menutup semua sekolah-sekolah peninggalan Belanda. Tapi Sekolah Muhammadiyah Yogyakarta dimana kala itu ia sekolah kelas 4, tidak ikut ditutup.

Tidak lama kemudian, Jepang mendirikan Sekolah Guru Laki-laki di Blitar. Ia kemudian pindah ke Blitar untuk mengikuti sekolah guru tersebut. Di sana ia langsung kelas 4 karena sebelumnya ia juga sudah kelas 4 di Muhammadiyah Yogyakarta. Maka setelah enam bulan sekolah, ia pun langsung tamat. Lalu ia sempat mengajar, tapi hanya tiga bulan.

Selanjutnya ia mengikuti Kotoo Shihan Gakkoo yaitu Sekolah Guru Tinggi yang juga didirikan Jepang. Waktu itu ia sudah aktif menulis di berbagai media misalnya Pandji Pustaka. Sehinggga untuk membiayai sekolah, ia bisa tutupi dari hasil tulisannya. Di kemudian hari, anak-anaknyapun semua berhasil disekolahkan dari hasil menulis buku.

Pria yang pada awal revolusi 45 sudah memimpin redaksi Api Merdeka ini, pada usia 22 tahun, tepatnya pada tahun 1946, masuk menjadi wartawan di Kantor Berita Antara di Yogyakarta. Namun sekitar tahun 1948 kantor ‘Antara’ di daerah termasuk Yogyakarta sempat ditutup karena Belanda menduduki ibukota RI itu. Ia yang termasuk sebagai orang-orang pertama di ‘Antara’ diminta bergabung ke Kantor Berita Antara Jakarta. Namun karena saat itu ia juga aktif menulis di berbagai media daerah, maka ia memilih tetap di Yogyakarta dan akan mensuplai berita dari Yogyakarta ke Kantor Berita Antara di Jakarta.

Dalam kurun waktu tersebut, yakni pada tahun 1949, ia menjadi Pemimpin Redaksi Panjebar Semangat. Namun karena merasa tidak bisa lagi bekerja sama dengan pemimpinnya, akhirnya ia mengundurkan diri pada tahun 1957. Selanjutnya, ia berangkat ke Jakarta dan bergabung dengan ‘Antara’.

Selama bekerja di Kantor Berita Antara, banyak pengalaman berkesan didapatnya. Suatu ketika ia bersama enam orang lainnya dari berbagai media di Indonesia pernah diberangkatkan ke PBB di New York, Amerika Serikat. Perjalanan ini kemudian sangat banyak membumbui kenangan perjalanan hidupnya.

Sebulan di sana sesuai dengan jadwal perjalanan mereka ketika itu, mereka hendak pulang ke Indonesia. Tapi sebelum berangkat, mereka dihubungi oleh pihak Amerika yang mengatakan bahwa mereka diperbolehkan berkeliling ke seluruh Amerika, boleh menulis apa saja, mengkritik juga boleh tanpa dihalangi dan dipandu. Akhirnya mereka memperpanjang waktu perjalanan di Amerika. Namun mereka tinggal enam orang saja karena satu orang di antara mereka harus pulang mengingat begitu penting tugasnya sebagai pemimpin di medianya.

Dalam kesempatan itu, ibarat orang Amerika datang ke Indonesia, tidak akan merasa lengkap jika tidak ke Bali, maka ia pun sebagai orang Jawa pergi ke Amerika, tidak merasa lengkap jika tidak melihat Hollywood dan yang lainnya. Sehingga ia pun pergi ke Hollywood, terus ke Chicago, San Fransisco dan tempat lainnya. Dalam perjalananya itu jugalah ia melihat gerejanya kaum ‘Mormon’ yaitu sekte agama Kristen yang membenarkan adanya poligami. Gereja itu besar sekali, di sana ada organ yang kalau tuts-nya ditekan, bunyinya sampai ke belakang.

Mereka juga pergi ke lokasi-lokasi atau daerah orang kulit hitam, berbicara dengan hakim-hakimnya, tokoh-tokohnya maupun rakyatnya. Di sana mereka sengaja tinggal dan menginap di hotel kelompok masyarakat tersebut agar bisa bicara lebih dekat. Karena waktu itu, diskriminasi masih kental di Amerika. Hunian kulit hitam masih dipisah dengan hunian kulit putih, sekolah juga demikian, hotelnya harus tersendiri karena tidak boleh menginap satu hotel dengan kulit putih, bahkan ada restoran yang tidak bisa didatangi kulit hitam.

Selesai melakukan perjalanan itu, ia pun hendak pulang ke Indonesia. Tiket Jakarta-New York bolak balik sebelumnya sudah ada. Ia hanya berpikir apakah sebaiknya lewat Pasifik atau Atlantik. Dalam pikirannya, kalau melalui Atlantik, ia bisa melihat banyak negara-negara Eropa, sedangkan kalau lewat Pasifik, ia paling-paling bisa melihat Jepang, Hongkong, Filipina, dan Singapura. Akhirnya ia memutuskan pulang melalui Atlantik. Kenyataannya memang begitu, ia bisa ke Berlin, Wina, Paris, Roma, Jenewa dan lain-lainnya hingga sampai di Kairo. Di Kairo ia singgah ke KBRI Kairo sebagaimana selalu ia usahakan setiap menyinggahi suatu negara. Ia selalu melakukan itu karena dalam pikirannya, kalau terjadi apa-apa, nanti bisa cepat diatasi.

Di Kairo, ia bertemu dengan seorang tentara Indonesia yang ternyata mantan kakak kelasnya di Sekolah Guru Tinggi dulu. Waktu itu kakak kelasnya itu sudah berpangkat Mayor dan menjadi perwira keuangan pada Pasukan Garuda I, yaitu Tentara RI yang bergabung dengan Pasukan PBB.

Mantan kakak kelasnya tersebut mengajaknya ke markasnya dan menghadap komandannya. Karena ia merasa orang bebas, maka kemanapun diajak, ia mau saja. Akhirnya ia ikut bergabung dengan Pasukan Garuda I. Karena pada waktu itu orang asing sipil tidak dibenarkan memasuki daerah Gaza Street (sekarang Jalur Gaza), maka ia memakai pakaian tentara PBB. “Jadi saya pernah menjadi pasukan PBB gadungan, padahal saya nggak ada potongan tentara,” katanya mengenang.

Waktu itu, teman-temannya yang bergabung dalam Pasukan Garuda I itu sudah sibuk hendak menunaikan ibadah haji. Ia mengatakan, seandainya ia juga ingin menunaikan ibadah haji, melalui PBB itu juga, insya Allah dibenarkan. Karena bukan saja tempatnya relatif sudah dekat, tapi juga masih atas fasilitas PBB. Ketika itu ia mengaku bahwa hatinya belum tergerak. Tapi begitu kembali di Bumi Pertiwi (ketika itu masih tinggal di Kemayoran), hatinya baru tergerak. “Ya Allah Tuhanku, kenapa aku tidak ikut ibadah haji, padahal fasilitas sudah ada, tempat sudah dekat,” katanya menyesali. Lalu saat itu ia pun berikhtiar, “Nanti kalau saya ada kesempatan keluar lagi, musti menunaikan haji”.

Dalam perjalanan pulang itu, ia juga punya pengalaman yang belakangan diakuinya sebenarnya agak konyol. “Sewaktu akan menyeberang Laut Merah, banyak orang-orang mengacungkan tangan sambil minta tolong, ‘one piaster please’, minta satu piaster atau kira-kira satu sen di Indonesia. Saya pikir waktu itu, mungkin Presiden Nasser akan malu kalau melihat rakyatnya minta-minta pada orang asing. Eh…begitu aku sampai Jakarta, di Pasar Baru juga banyak orang-orang Indonesia yang minta-minta pada orang asing. Kalau turis asing itu berpikir sama dengan aku mungkin mereka akan mengatakan, Wah… Soekarno akan malu melihat rakyatnya minta-minta pada orang luar seperti ini,” katanya menyadari kepolosannya waktu itu.

Kembali pada cerita mengenai kepulangannya dari Amerika, dimana ketika itu ia memilih lewat Atlantik. Saat itu ia berpikir tidak lewat Pasifik karena kalau dari sana ia paling melewati Jepang dan lainnya. Jepang itu dekat, lain kali kalau ada kesempatan sudah lebih gampang, begitu dalam pikirannya. Keinginannya itupun akhirnya Tuhan kabulkan 34 tahun kemudian, persisnya pada tahun 1991.

Kepergian ke Jepang ini pun menurutnya, juga karena alasan yang agak istimewa. Waktu itu ada sarjana dari Jepang mau mengadakan riset. Sarjana Jepang ini datang pada Pak Sumanang menanyakan soal pers. Karena merasa tidak banyak lagi yang diingat, Pak Nanang tersebut meneleponnya, menanyakan apakah bersedia menangani. Ia menyetujui dan kemudian menyuruh orang Jepang itu datang ke kantornya. Setelah berkenalan, Sarjana Jepang tersebut mengutarakan keperluannya yang mau mencari data tentang pers. Karena memang di kantor tersebut tidak ada, maka ia kemudian mengajak orang Jepang tersebut ke rumahnya di Jalan Danau Tondano RP 1. Begitu sampai ke rumahnya, orang Jepang itupun melihat penyimpanan buku-bukunya sambil geleng-geleng kepala, kagum. “Sudah saya cari di mana-mana tidak ada, rupanya di RP 1 ada,” begitu kira-kira ucapan orang Jepang tersebut mengakui lengkapnya penyimpanan data pers Soebagijo.

Setelah pulang kembali ke Jepang, mereka tetap korespondensi. Di kemudian waktu, orang Jepang itu datang lagi ke Indonesia dengan istri dan anaknya. Mereka akhirnya menjadi sahabat. Dia mentraktir saya di restoran Jepang, kemudian saya mentraktir dia di restoran Jawa Timur karena saya orang Jawa Timur. Dia sekeluarga, kami juga sekeluarga,” katanya mengenang.

Ketika itulah, sahabat Jepangnya itu memperkenalkan ketua mereka yang juga dari Jepang, dan mengatakan, “Ini Kepala Japan Tosi shin, dia pimpinan saya, dia sebentar lagi pensiun. Tapi sebelum pensiun, saya minta agar mengundang Pak Bagijo ke Jepang. Bagaimana, bersediakah Bapak?” Menanggapi pertanyaan sahabatnya itu, Soebagijo merasa senang dan langsung mengatakan kesediaannya.

“Itulah, Tuhan itu memberikan banyak pada saya. Sampai sekarang sudah tua, Insya Allah tahun ini 80 tahun. Sudah siap mendapat panggilan, any time, sudah monggo. Meskipun ada beberapa keinginan saya yang entah masih diberikan Allah seperti ingin menyeberangi antara Asia Timur dengan Eropa, juga ingin naik kereta api di bawah laut, atau kereta api Trans Siberia. Tapi entah kapan,” ujarnya.

“Begitulah kuasa Tuhan dalam hidup saya. Kalau saya manut saja. Seperti ketika menginjak gedung PBB, saya berucap, “Ya Tuhanku, Engkau Maha Agung dan Maha Besar. Anak ibuku kok sampai di sini”. Ayah-ibuku hanya guru, bukan pamong praja, bukan apa-apa,” katanya lagi memuji kuasa Tuhan yang telah memberinya banyak kenangan yang sangat jarang dialami orang lain.

Mengingat semua kemudahan yang diterimanya dari Tuhan, maka ketika di Berlin, ia sampai-sampai menyempatkan menulis surat kepada orang tuanya. Dalam suratnya ia mengatakan, “Pak! Di mana-mana saya selalu mendapat pertolongan, padahal saya ini cuma ‘mengunduh’ tanaman yang Bapak dan Ibu tanam.”

Dan begitu ia kembali ke Indonesia kemudian sowan pada bapak dan ibunya, ia mengulangi lagi. “Pak! Saya ini di antara lima anakmu, saya yang di mana-mana dapat bantuan, ini saya merasa hanya sekadar ngunduh tanaman yang bapak tanam,” katanya. Sang bapak kemudian mengatakan, “Nah, maka kamu sendiri harus pandai menanam”. Itulah ucapan sang bapak yang menurutnya merupakan salah satu wasiat dari orangtuanya tersebut.

Namun di balik semua perjuangan hidupnya, satu kali ia juga pernah merasa tidak puas dengan keadaan yang dia terima. Ia merasa hidupnya hanya begitu-begitu saja sementara teman-temannya satu tim sudah ada yang menjadi menteri seperti Pak Martono dan Sunawar. Ada juga yang jadi usahawan, anggota DPR, maupun Jenderal. Namun sebagai Muslim yang soleh ia tidak merengut, tapi ia sujud atau tahajud pada Tuhan sembari berdoa seperti memprotes, “Teman-temanku sudah menjadi menteri, usahawan dan pada kaya Tuhan. Aku ini kok begini saja Tuhan.”

Karena ia melakukannya dengan khusuk, sehingga Tuhan mau memberinya firasat. Satu malam, setelah sholat malam, ia diberi impian oleh Tuhan. Dalam mimpinya ada orang berbaju putih, bawa baskom berisi beras yang putih bersih. Baskom berisi beras itu diberikan padanya. Ia terperangah, mau tidak mau ia pun menerima. Setelah bangun, ia biasa saja. Kemudian ia tanyakan pada teman yang ia anggap mengerti. Temannya mengatakan bahwa itu berarti pertanda keberuntungan. Diartikan begitu, ia malah bertanya, “Dikasih itu saja kok dibilang beruntung?” Temannya memberitahunya, bahwa kalau Tuhan beri sebanyak itu berarti itu sudah cukup. Dan beras putih itu berarti halal. Dengan pengertian begitu, dalam hati ia berpikir, “Kalau begitu sudahlah”. Dan nyatanya, diakuinya bahwa sampai usia 80-an ini ia tetap sehat, tidak kekurangan walaupun tidak kaya.

Membandingkan dengan perilaku kebanyakan pejabat sekarang ini, ia merasa sangat prihatin. “Sekarang ini malu kita melihat korupsi-korupsi itu, di mana-mana, sampai ke daerah-daerah asalnya para kiaipun tidak malu lagi untuk korupsi,” katanya.

Sedangkan kariernya di Kantor Berita Antara antara lain, pernah memegang perwakilan Kantor Berita Antara di Yugoslavia selama dua tahun, yakni pada tahun 1966-1968. Sebelumnya, ia memang direncanakan empat tahun menjabat di sana, tapi karena pemerintah kekurangan finansial, maka perwakilan ‘Antara’ yang di New Delhi, Beograd dan lainnya ditarik oleh pemerintah. Ketika itu, ia menjadi Ketua Jemaah Pengajian Indonesia di Beograd.

Saat bekerja di Beograd inilah ia bisa mewujudkan ikhtiarnya yang musti menunaikan haji. Sebelas tahun setelah ikhtiarnya itu, akhirnya Tuhan kabulkan pada kesempatan itu yaitu pada tahun 1968. Maka sebelum pulang ke Tanah Air, ia lebih dulu kirim surat kepada pimpinannya di Jakarta yang isinya memohon agar sebelumnya, diijinkan terlebih dahulu menunaikan ibadah haji. Permohonannya itupun dikabulkan atasannya.

“Jadi saya rasakan, Tuhan itu begitu memanjakan saya. Kemanapun saya jalan, Tuhan selalu memberikan kemudahan, tidak usah jumpalitan minjam, atau harus sikut sana sini,” katanya mensyukuri nikmat dari Tuhan.

Sepulang dari Beograd tahun 1968, ia menjabat Kepala Perpustakaan dan Dokumentasi LKBN Antara sampai pensiun pada tahun 1981. Jabatan sebagai Kepala Perpustakaan dan Dokumentasi LKBN Antara itulah katanya, yang mempermudah dorongan jiwanya dalam mengumpulkan berbagai data mengenai pers, kemudahan tersebut terutama karena di LKBN tersedia bahan-bahan pustaka sehingga tak perlu terlalu banyak keluar kantor.

Setelah pensiun, dia masih tetap aktif menulis di berbagai surat kabar dan majalah. Menerjemahkan sejumlah kisah roman, menyadur aneka ragam cerita, dan menulis biografi. Menurutnya, Djamaluddin Adinegoro, Ayat Jayadiningrat (redaktur harian berbahasa Jawa, Ekspres) dan Prof Nugroho Notosusanto merupakan tiga orang yang sangat berperan mendorongnya giat dalam bidang tulis-menulis.

Keluarga

Siti Soepilah kelahiran tahun 1930 yang menjadi pendamping hidupnya sejak 22 Mei 1961, itu dikenalnya berawal ketika seorang adiknya pernah mondok di tempat Soepilah, sebab kedua-duanya (Siti Soepilah dan adik perempuan Soegbagijo -red) pernah menjadi mahasiswa di Gajah Mada. Namun adiknya gagal menjadi sarjana hukum dan Soepilah juga gagal jadi dokter. Adiknya yang kemudian bekerja di Jakarta mondok di rumah Soepilah. Ketika Soebagijo berkunjung ke pondokan adiknya, di situlah ia dan Siti Soepilah awalnya berkenalan dan selanjutnya berteman.

Sebelum berencana lebih jauh, maka sebagai seorang muslim, Soebagijo minta petunjuk kepada Allah SWT. “Tuhanku! Kalau ia baik bagi aku, dan aku baik bagi dia, patrikanlah kami dalam satu ikatan perkawinan yang Engkau ridhoi. Tapi kalau ia tidak baik bagi aku, atau aku tidak baik bagi dia, jauhkanlah kami satu dengan yang lain dan berilah kami hati yang ikhlas,” begitu permohonannya saat itu.

“Jadi kalau saya punya rencana atau pemikiran yang agak mengganjal, saya langsung menghadap pada Tuhan, meminta petunjuk dan arahan-Nya. Kalau kita meminta secara khusuk dan baik, maka Tuhan akan memberikan isyarat-isyarat. Dan ini juga begitu. Pada suatu malam, dalam mimpi Soepilah, tangan saya digandeng (dibuat bersalaman-red) di hadapan kedua orang tuanya. Saya tidak tahu makna impian itu, tapi hatiku plong. Akhirnya, kami memang berjodoh dan menikah,” tambahnya.

KH. Nazaruddin Latief, Ketua Kantor Urusan Agama DKI Jaya ketika itu dan kebetulan juga sebagai guru agama Islam para siswa Kotoo Shihan Gakkoo yaitu Sekolah Guru Tinggi di Jl. Pegangsaan Timur 17 Jakarta di zaman Jepang itu menjadi saksi pernikahan mereka.

Pada tahun 2004, suami-istri ini sudah dikaruniai 10 cucu, dan 2 buyut. Sejak masih pacaran, menikah, kemudian membangun keluarga, Pak Soebagijo selalu memanggil istrinya dengan sebutan mbok ratu. Menurut pengakuannya, sebutan itu diambil dari kisah pewayangan dimana raja-raja biasa memanggil istrinya dengan sebutan mbok ratu.

Dalam usianya yang sudah 80 tahun pada 2004, fisik tokoh jurnalis ini masih masih terlihat fit. Ia masih cekatan layaknya usia 50-60-an. Ia hanya mengeluhkan pendengarannya yang tidak sesehat dulu lagi. Namun kebiasaannya berpuasa Senin-Kamis tidak lagi dilakukannya karena vertigo dan pengeroposan tulang yang diidapnya. Puasa dilakukan hanya pada bulan Ramadhan saja.

Sedangkan kiat ayah dari Budi Setiawan, Budi Sawitri, Budi Nastiti, Budi Saraswati, Budi Widiastuti, Budi Prawitasari, ini agar bisa fit demikian menurutnya adalah, bahwa orang-orang tua sebaiknya harus melakukan tiga ‘olah’ yaitu pertama olah raga. Kedua, olah jiwa yaitu pergi ke masjid jika muslim atau pergi ke gereja jika nasrani, atau yang lainnya. Ketiga, olah pikir yaitu membaca, diskusi, sarasehan, kumpul dengan orang.

Di samping itu ia juga mengatakan, harus banyak ‘sayun’ yakni sayuran dan buah-buahan. Ia mengatakan, bahwa anjurannya itu belum tahu benar atau tidak, tapi ia mengakui bahwa itulah yang ia lakukan. Namun yang jelas, ia memang sangat disiplin dalam memelihara kesehatannya, salah satu contohnya adalah tidak pernah lagi mencoba rokok sejak puluhan tahun silam.

Bisa tidak merokok seperi sekarang, hal itu menurutnya mempunyai cerita tersendiri. Pengakuannya, ketika masih sekolah guru kelas 4, ia sudah merokok. Pada suatu saat ketika ia sedang merokok, ia terlihat oleh guru, kemudian memanggilnya dan melaporkannya pada direktur. Direktur yang kemudian mengajar di kelasnya berkata, “Kalian itu sudah kelas 4, jadi sebagai calon guru, kalian itu harus jadi contoh bagi adik-adik kelasmu. Tapi di antara kamu, tadi pagi ada yang dipanggil teman guru karena merokok, itu salah satu contoh yang kurang baik. Saya tidak sebut nama, tapi siapa yang merasa,” katanya menirukan ucapan direktur. Ketika itu ia merasa, barangkali dia sendirilah yang dimaksud direktur tersebut.

Perasaannya waktu itu, bersalah sekali. Sehingga ketika lonceng berbunyi pertanda pulang, ia tidak langsung pulang (siswa Sekolah Guru di zaman Belanda & Jepang, tinggal di asrama)  tapi sengaja berdiri sendirian sejenak di kelas. Ia menyesali perbuatannya yang membuat nama satu kelasnya rusak. Maka sejak itu ia pun berjanji selama hidup tidak akan merokok lagi. “Alhamdulillah, puji Tuhan, sampai sekarang ini saya tahan tetap tidak merokok meskipun teman-teman banyak yang mengejek,” katanya.

Rumah mereka di jalan Danau Tondano RP-1 di daerah Pejompongan seluas 3x4m sudah ditempatinya sejak tahun 1961. Rumah itu tak begitu besar namun berhalaman luas dan selalu bersih. Soebagijo secara rutin menyapu halaman rumahnya. Meskipun hidup sederhana, Soebagijo tetap bersyukur.

Pria ini tidak pernah lupa bersyukur kepada Allah SWT, terutama karena ia masih bisa berguna bagi orang lain. Walau usianya sudah tua, ia masih mengusahakan agar bisa memberi sedekah kepada para kaum papa yang sangat mengharapkan uluran tangannya. “Saya bersyukur pada Tuhan, masih dipakai menjadi kran walaupun hanya menghasilkan setetes, walaupun tidak bisa seperti Mbak Tutut yang memberikan sembako satu kantong gitu,” katanya.

Berkaitan dengan makna hidup, ia sangat terkesan dengan ucapan Mohammad Roem. Karena begitu terkesannya, ia menganggapnya sebagai wasiat. Ketika itu, Mohammad Roem pulang dari Amerika dan ia sendiri pulang dari Beograd. Mereka bertemu di Kairo dan sama-sama hendak menunaikan ibadah haji. Mereka kala itu makan siang di rumah Iskandar Ranuwiharjo (abangnya Dahlan Ranuwiharjo), yang menjabat sebagai atase militer waktu itu dan kebetulan mantan kakak kelas Soebagijo di Muhammadiyah, Yogyakarta.

“Pak Bagijo! Tidak usah kita ini semua jadi pahlawan, jadi orang soleh yang berguna bagi masyarakat sekeliling saja, itu sudah bagus. Nggak usah untuk nusa dan bangsa, tapi untuk masyarakat sekeliling,” katanya, mengulang ucapan Pak Roem ketika itu.

Begitu panjang kisah perjuangan dan kenangannya dalam menekuni profesi, menghidupi keluarga, menyekolahkan anak hingga berhasil menyelesaikan pendidikan tinggi, menunaikan ibadah haji. Perjuangannya menyekolahkan anak sangat mengesankan. Ketika anak-anaknya sudah meningkat ke perguruan tinggi menurutnya, secara logis kebutuhan komersilnya tidak mungkin terbiayainya dengan mengandalkan gaji dari wartawan ‘Antara’ ketika itu. Gaji seorang wartawan ‘Antara’, menurutnya, sekarang pun masih  tidak seberapa sebab belum dikelola sebagai industri melainkan cuma berupa pengabdian dan perjuangan. Namun Tuhan memberkahinya, dengan mendapat proyek dari Gunung Agung, dengan begitu kebutuhan kuliah anak-anaknyapun bisa tertutupi.

“Begitulah, ada saja anugerah itu. Saya bilang pada isteri saya, “Kita harus menabung apa yang bisa kita dapat sekarang ini. Namun begitu jugalah Tuhan menghendaki, begitu kuliah anak-anak telah selesai semua dari UI, Unpad, Gajah Mada, ITB dan lainnya, proyekpun selesai. Jadi Tuhan itu memberikan sesuai kebutuhan saja,” katanya merenungi kehendak Sang Khaliq.

Di usia senjanya, berbagi pengetahuan, pengalaman, menularkan ilmunya, merupakan kesehariannya. Ia masih sering dijadikan narasumber (tempat bertanya) para wartawan muda, mahasiswa dari berbagai kota yang ingin menyusun skripsi, juga sejumlah sarjana dari dalam maupun luar negeri yang ingin menyusun disertasi ataupun thesis. Dan yang paling sering adalah surat-menyurat dengan sahabat-sahabatnya yang di luar negeri ataupun para teman di dalam negeri seperti temannya ketika di Sekolah Guru Laki-laki di Blitar dulu. “Dia orang sholeh yang sumeleh (sumarah pada kehendak Tuhan),” begitu kata Jakob Oetama, pemimpin harian ‘Kompas’ mengenai Soebagijo Ilham Notodidjojo ini pada suatu pertemuan di hadapan beberapa rekannya wartawan puluhan tahun lalu.

Soebagijo IN menghembuskan nafasnya yang terakhir selepas Subuh pada Selasa, 17 September 2013 dalam usia 89 tahun di kediaman Jalan Denpasar I, Blok D-3A nomor 24, Kelurahan Pisangan, Bali View, Tangerang Selatan, Banten. Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Giritama, Tangerang. Almarhum meninggalkan istri Siti Soepilah (83), 6 anak, dan 10 cucu. “Sebelum meninggal, bapak masih menulis,” kata sang istri, Siti Soepilah. Bio TokohIndonesia.com (pertama kali tayang, 10 Des 2003) | crs

Data Singkat
Soebagijo IN, Wartawan, Tokoh Pers Nasional / ‘Kamus Hidup’ Pers Indonesia | Ensiklopedi | Wartawan, penulis, aktivis, sejarawan, pemred, Pers, kamus hidup, LKBN Antara

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini