Ketua Dewan Pers Perempuan Pertama

Ninik Rahayu
 
0
33
Ninik Rahayu
Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S., Feminis Muslim (@ninikr2309)

Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S., adalah akademisi, aktivis, dan pakar hukum yang dikenal atas perjuangannya dalam hak perempuan, keadilan sosial, dan kebebasan pers. Sebagai perempuan pertama yang memimpin Dewan Pers (2022–2025), ia menghadapi tantangan besar di era disrupsi digital, maraknya hoaks, bias gender dalam pemberitaan, serta ancaman terhadap jurnalis. Dengan pengalaman panjang di berbagai lembaga penting seperti Komnas Perempuan, Ombudsman RI, dan Lemhannas, dia mendorong regulasi perlindungan bagi jurnalis perempuan, kebijakan afirmatif, dan keadilan bagi korban kekerasan seksual serta memastikan media tetap menjadi pilar demokrasi yang independen. Di balik sikapnya yang hangat dan rendah hati, ia adalah pemimpin yang berani berdiri di garis depan demi kebebasan dan keadilan bagi semua, terutama kelompok rentan.

Penulis: Mangatur L. Paniroy, TokohIndonesia.com (Tokoh.ID)

Dikenal sebagai sosok yang disiplin, pekerja keras, dan tidak ragu mengkritik kebijakan yang tidak adil, Ninik Rahayu adalah figur yang teguh dalam prinsip namun tetap rendah hati. Dia memposisikan dirinya bukan hanya sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai pendamping bagi kelompok yang suaranya sering diabaikan. Kepribadiannya yang hangat dan mudah bergaul membuatnya dekat dengan banyak kalangan, baik di dunia akademik, aktivisme, maupun pemerintahan.

Ninik Rahayu juga dikenal sebagai pribadi yang sangat terorganisir dalam menjalani kesehariannya. Dalam berbagai kesempatan resmi, ia sering tampil anggun, mengenakan kacamata dan busana formal yang rapi, memancarkan kewibawaan dan dedikasi terhadap dunia pers dan advokasi hak perempuan. Dalam wawancara eksklusif di Radio Elshinta, ia mengungkapkan bahwa ia terbiasa bangun pukul 3 atau 4 pagi, untuk beribadah, berolahraga ringan seperti jalan pagi atau berenang, lalu menyusun agenda hariannya dengan rapi. Untuk menjaga energinya, ia memiliki kebiasaan unik: minum kopi yang dicampur dengan dua putih telur dan satu kuning telur yang dikocok. Baginya, kebiasaan ini membantu menjaga stamina dalam menjalani aktivitas padat yang sering kali berlangsung dari pagi hingga larut malam. Selain mendapat dukungan penuh dari keluarga, ia juga memiliki tim kerja yang solid baik di Dewan Pers maupun di JalaStoria, organisasi yang ia dirikan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih inklusif dan bebas dari diskriminasi.

Ninik Rahayu lahir di Lamongan, Jawa Timur, pada 23 September 1963. Ia merupakan anak kelima dari pasangan Maksum Buchori dan Zaitun. Sejak kecil, ia dikenal sebagai anak yang tekun dan mandiri. Pendidikan dasar ia tempuh di SD Muhammadiyah Lamongan dan lulus pada tahun 1975. Setelah itu, ia melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah (MTS) dan Madrasah Aliyah (MA) Mujahidin di Surabaya. Ninik Rahayu sempat mondok di Pesantren Persis Bangil, tetapi tidak sampai selesai.

Ketertarikannya terhadap bidang hukum membawanya ke Universitas Jember, tempat ia menempuh pendidikan di Fakultas Hukum dan lulus pada tahun 1986 sebagai salah satu lulusan termuda. Tidak berhenti di sana, ia melanjutkan studi ke jenjang magister di Universitas Airlangga, Surabaya, dan memperoleh gelar Magister Sains (M.S.). Pada tahun 2018, ia menyelesaikan program doktoralnya di bidang Ilmu Hukum di Universitas Jember dengan predikat summa cum laude. Disertasinya yang berjudul Politik Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia menjadi salah satu kajian penting dalam kebijakan hukum mengenai kekerasan seksual di Indonesia. Buku yang berasal dari disertasinya diterbitkan pada tahun 2021 dan menjadi referensi akademis serta kebijakan publik dalam penanganan kekerasan seksual. Selain pendidikan formal, Ninik Rahayu juga mengikuti berbagai pelatihan khusus, termasuk pelatihan mediator dari Pusat Mediasi Nasional serta pendidikan di Lemhannas RI pada tahun 2014.

Sejak tahun 1987, Ninik Rahayu aktif sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Ia juga menjadi tenaga pengajar di berbagai diklat pendidikan hukum untuk kantor dan lembaga pemerintah. Selain itu, ia berperan sebagai konsultan hukum dan mediator, menangani berbagai kasus perkawinan, perburuhan, dan korporasi sejak 2013. Pada tahun 2006, Ninik Rahayu diangkat sebagai Komisioner Komnas Perempuan dan menjabat selama dua periode hingga 2014. Selama masa jabatannya, ia terlibat dalam advokasi kebijakan yang berpihak pada perempuan serta upaya penghapusan diskriminasi berbasis gender. Pada tahun 2016, Ninik Rahayu dipercaya sebagai anggota Ombudsman Republik Indonesia. Selama menjabat, ia berperan dalam pengawasan terhadap layanan publik, memastikan adanya kebijakan yang adil dan inklusif bagi masyarakat. Sejak tahun 2020, Ninik Rahayu bergabung sebagai tenaga profesional di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Dalam perannya ini, ia berkontribusi dalam bidang hukum dan kebijakan ketahanan nasional.

Pada 13 Januari 2023, Ninik Rahayu resmi dilantik sebagai Ketua Dewan Pers periode 2022-2025, menggantikan Prof. Azyumardi Azra yang wafat pada 18 September 2022. Ia menjadi perempuan pertama yang menduduki jabatan tersebut dalam sejarah Dewan Pers sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Awalnya dia merasa ragu menerima posisi sebagai Ketua Dewan Pers karena bukan berasal dari latar belakang jurnalistik, tetapi kemudian menyadari pentingnya keterwakilan perempuan dalam kepemimpinan media.

Sebelumnya, Ninik Rahayu telah menjabat sebagai anggota Dewan Pers dan memimpin Komisi Penelitian, Pendataan, dan Ratifikasi Pers. Sebagai Ketua Dewan Pers perempuan pertama, Ninik Rahayu berkomitmen memperkuat kebebasan pers, meningkatkan kualitas jurnalisme, serta membangun sinergi dengan berbagai pemangku kepentingan dalam ekosistem media.

Ketua Dewan Pers Dr. Ninik Rahayu, SH, MS, mengatakan, setiap orang dapat mendirikan Perusahaan Pers dan menjalankan tugas jurnalistik tanpa harus mendaftar ke lembaga mana pun, termasuk ke Dewan Pers. Setiap perusahaan pers, sepanjang memenuhi syarat berbadan hukum Indonesia dan menjalankan tugas jurnalistik secara teratur, dapat disebut sebagai Perusahaan Pers meski belum terdata di Dewan Pers. Hal ini diatur dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Sementara itu, dalam Pasal 15 ayat 2 (huruf g) Undang-Undang Pers, tugas Dewan Pers hanyalah mendata Perusahaan Pers. “Pendataan perusahaan oleh Dewan Pers tidak bisa disamakan dengan pendaftaran dan tentu keduanya sangatlah berbeda. Pelaksanaan tugas mendata perusahaan Pers itu, ditujukan untuk mengembangkan kemerdekaan Pers dan meningkatkan kehidupan Pers nasional,” paparnya.

Advertisement

Pendataan perusahaan Pers merupakan stelsel pasif dan mandiri. Artinya; Perusahaan Pers yang berinisiatif untuk mengajukan diri agar diverifikasi (didata) oleh Dewan Pers sesuai aturan yang ada. Ketentuan mengenai pendataan Perusahaan Pers ini telah tertuang dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan DP/I/2023 tentang Pendataan Perusahaan Pers. Dewan Pers tidak dapat memaksa perusahaan Pers untuk didata, atau ikut verifikasi media cetak, radio, televisi dan siber/online paparnya dalam jumpa Pers di Gedung Dewan Pers Lt. 7, Jumat, (3/3/2023). Sipers_27022023 Dewan Pers. Pendaftaran_Tidak_Sama_dengan_Pendataan

Ia juga turut mengadvokasi perlindungan bagi jurnalis perempuan, terutama dalam menangani kasus kekerasan seksual di dunia jurnalistik. Salah satu inisiatifnya adalah menerbitkan Peraturan Dewan Pers Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pers. Peraturan ini bertujuan untuk mendorong perusahaan media agar memiliki mekanisme pengaduan yang aman serta kebijakan anti-kekerasan bagi jurnalis perempuan yang sering menjadi korban pelecehan baik dari narasumber maupun lingkungan kerja.

Dalam dunia pers, Ninik Rahayu menghadapi tantangan besar di era digital, terutama dengan maraknya disinformasi dan hoaks. Ia menolak anggapan bahwa industri media sedang mengalami “senjakala,” namun ia mengakui bahwa media harus beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Menurutnya, pers harus tetap menjadi sumber informasi utama yang kredibel dan terpercaya. Salah satu upayanya adalah mendorong regulasi yang lebih kuat untuk melindungi ekosistem media dari eksploitasi oleh platform digital besar. Ia mendukung penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Publisher Rights yang mengatur pembagian pendapatan yang lebih adil antara media dan platform digital. Namun, ia juga menekankan bahwa regulasi saja tidak cukup; media juga harus berinovasi dalam model bisnisnya agar tetap bisa bertahan di era digital.

Sebagai Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu menekankan bahwa kebebasan pers adalah pilar penting dalam demokrasi yang sehat. Namun, ia juga mengingatkan bahwa kebebasan ini harus dibarengi dengan tanggung jawab. Dalam wawancara eksklusifnya, ia menyoroti bagaimana media sering kali masih melakukan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip etika jurnalistik, seperti mengungkap identitas korban kekerasan seksual atau menyajikan berita yang bias gender. Menurutnya, media memiliki peran strategis dalam membentuk opini publik, namun masih banyak pemberitaan yang tidak berpihak kepada korban kekerasan seksual. Sebuah penelitian Dewan Pers bersama Universitas Tidar Magelang menemukan bahwa 27% dari 768 artikel tentang kekerasan seksual masih mengungkap identitas korban. Hal ini menurutnya sangat berbahaya karena dapat menyebabkan viktimisasi ulang. Oleh karena itu, di bawah kepemimpinannya, Dewan Pers menerbitkan Peraturan Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Pers, yang bertujuan mendorong perusahaan media untuk membuat SOP dan kebijakan anti-kekerasan, serta menyiapkan mekanisme pengaduan yang aman bagi jurnalis perempuan.

Sebagai aktivis perempuan, Ninik Rahayu aktif dalam berbagai advokasi kebijakan publik yang berfokus pada kesetaraan gender dan hak perempuan. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Yayasan Universitas Muhammadiyah Jember dan menggagas Pusat Studi Wanita (PSW) yang berkembang menjadi salah satu PSW terbaik di Indonesia pada 1995. Selain itu, ia juga memfasilitasi pembentukan berbagai Perda terkait perlindungan perempuan dan anak di beberapa daerah di Jawa Timur serta mengadvokasi pengesahan Perda No. 9 Tahun 2005 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak di Jawa Timur – Perda pertama di Indonesia pasca disahkannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Ninik Rahayu tak jemu-jemu menekankan pentingnya kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia kerja. Ia pernah menyoroti kasus diskriminasi di mana seorang perempuan dilarang mengikuti rekrutmen di Kementerian Pertahanan hanya karena sedang hamil. Ia mengkritik kebijakan tersebut secara langsung kepada Menteri Pertahanan, yang akhirnya diperbaiki. Baginya, kebijakan yang diskriminatif seperti ini hanya akan semakin menghambat kemajuan perempuan. Ia juga menyoroti masih adanya stereotip terhadap perempuan dalam dunia kerja, di mana perempuan yang tegas sering kali dicap sebagai agresif, sementara laki-laki yang tegas justru dianggap sebagai pemimpin. Menurutnya, ini adalah bagian dari budaya patriarki yang telah mengakar dalam masyarakat dan harus diubah dengan pendidikan sejak dini, kebijakan yang inklusif, serta peran media dalam membangun narasi positif tentang perempuan sebagai pemimpin.

Selain itu, ia juga berperan dalam perjuangan pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Ia menekankan bahwa UU ini bukan sekadar “hadiah untuk perempuan,” melainkan lahir dari perjuangan panjang para korban yang selama ini tidak mendapatkan keadilan. Salah satu terobosan dalam UU ini adalah perubahan dalam sistem pembuktian di mana satu orang saksi korban sudah cukup dijadikan bukti, asalkan didukung alat bukti lain seperti rekaman elektronik atau keterangan ahli. Hal ini sangat penting karena selama ini banyak kasus kekerasan seksual yang sulit dibuktikan karena tidak adanya saksi mata.

Sebagai akademisi dan aktivis, Ninik Rahayu aktif menulis berbagai buku dan jurnal ilmiah. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain Politik Hukum Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia (2021), Menjadi Feminis Muslim (2022), dan Konstruksi Diskriminatif: Tantangan Politik Hukum Afirmasi-Selektif untuk Perempuan di Indonesia (2024). Buku-buku ini membahas berbagai isu hukum, gender, dan kebijakan publik yang relevan dengan kondisi sosial di Indonesia. Atas kontribusinya di berbagai bidang, ia telah menerima berbagai penghargaan, di antaranya ”Outstanding Contribution to The News” pada ajang Elshinta Award 2025, beasiswa sarjana pada tahun 1984 dan beasiswa magister pada tahun 1989, menjadi lulusan termuda Fakultas Hukum Universitas Jember pada 1986, serta meraih gelar doktor dengan predikat summa cum laude pada 2018.

Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S., tergolong aktif memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan gagasan dan advokasinya terkait kebebasan pers, hak perempuan, serta isu-isu hukum dan sosial. Melalui berbagai platform seperti Facebook (ninik.rahayu), Instagram (@ninikr2309), X (@NinikRahayu23), dan kanal YouTube (Ninik Rahayu Maksoem), ia secara konsisten membagikan pemikirannya, mengedukasi publik, serta membangun diskusi dengan berbagai kalangan. Bagi Ninik Rahayu, media sosial bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga ruang perjuangan untuk menyuarakan keadilan, memperkuat demokrasi, dan memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai hak-hak perempuan serta kebijakan publik yang inklusif. (Atur/TokohIndonesia.com)

Referensi:

  • Media Online: Wikipedia, Dewan Pers, YouTube Radio Elshinta, Youtube Lucy Willar, YouTube Dewan Pers, dan lainnya
  • Medsos Ninik Rahayu

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini