Orientasi Prestasi Sang Inovator
Alinafiah03 | Pemberani Melakukan Perobahan

Sungguh ia seorang yang berorientasi prestasi. Ia pemberani melakukan perobahan yang diyakininya pasti lebih baik. Ia memang orang yang selalu ingin tampil beda (lebih). Dalam melakukan berbagai hal baru kadang-kadang ia harus menentang arus. Misalnya, ketika di Unjung Pandang.
Dia dilarang oleh atasan melakukan perubahan. “Kerjakan sistem ini, karena itu peraturan.” Perubahan itu biasanya menyimpang. Tetapi ia bersikeras, “Ijinkan enam bulan saja kami ujicoba Pak, nanti lihat hasilnya.” Jadi bukan hanya sekedar taat atau loyal tetapi juga dapat mengerjakan hal yang diyakini lebih baik jika dilakukan. Barangkali, keberanian melakukan inovasi ini pula yang mengantarnya sampai mencapi puncak di BUMN tempatnya mengabdi. “Boleh mungkin, saya tidak tahu persis, oleh karena berbeda dengan yang lain, atasan jadi percaya,” katanya.
Tetapi siap juga orang-orang yang seperti ini ditendang, karena dianggap melawan arus. Tetapi sekali lagi, niatnya. Ia melakukan itu bukan untuk diangkat menjadi kepala wilayah.” Dengan melakukan perubahan yang hasilnya lebih baik, muncul kepuasan batin. Apalagi bila berhasil dan bermanfaat bagi orang banyak, anak buah senang dan tambah bergairah (bekerja tidak melihat jam tetapi menyelesaikan pekerjaan).
Apa yang ia kerjakan mungkin berbeda dan tidak biasa dilakukan oleh ‘karyawan pemerintah’ yang lain. Berbagai inovasi yang telah ia lakukan sering kali berkaitan dengan bagaimana mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki, hemat energi, bukan berarti pelit. Contohnya, salah satu kebiasaan orang yang sering ia perhatikan, jika ruangan sempit solusinya selalu menambah ruangan. Kurang lemari, paling mudah solusinya membeli lemari. Itu sangat umum. Tetapi, katanya, pernahkah kita berpikir, di dalam lemari itu mungkin ada barang yang tidak perlu lagi disimpan di situ? Jadi solusinya adalah tidak membeli lemari. Tetapi membakar arsip dan barang yang sebetulnya secara peraturan setahun sudah harus dimusnahkan. Tetapi sering kali orang terus menimpannya. Karena apa? Karena tidak fokus dan memiliki kesungguhan untuk mengelola suatu kantor.
Kepala kantor dianggap memakai dasi, duduk melayani taskdesk. Padahal yang namanya kepala kantor, pemilik seluruh aspek, harus berpikir bagaimana mengoptimalkan semua sumber daya. Pemakaian ruang kantor, lemari dan sebagainya dioptimalkan. “Tetapi selama 2 minggu kerja kami hanya membakar berkas-berkas lama,” kenangnya. Hal itu tampaknya sederahana, namun pola pikirnya digunakan untuk perusahaan dan bangsa. BUMN menjadi efesien. Jadi, anjurnya, jangan gemar membeli. Kebiasaan gemar membeli itu harus dihilangkan. “Sebab di dalam membeli banyak perampokannya juga kan?” ujarnya seraya tertawa.
Dalam setiap melakukan inovasi atau pekerjaan rutin pun harus didukung tim yang padu dan efisien. “Ketika kita diam, itu juga bukan hanya sekedar diam. Namun bagaimana mengerjakannya dengan efesien, optimal dan hemat energi,” kata peserta Suspim Susgab BUMN tahun 1998 ini. Di manapun kita berada harus dapat menyesuaikan diri dengan hemat energi. Kita ini manusia biasa yang memiliki kapasitas energi terbatas.
Karena itu, kita tidak mungkin mengerjakan segalanya. Menjadi kepala kantor di Jakarta mempunyai tuntutan sendiri dari ketika menjabat kepala kantor di Sidikalang. Ketika di Sidikalang, mungkin masih mesti menangani dari pengantar hingga bagian arsip. Tapi pada level yang lebih tinggi, menjadi kepala kantor di Jakarta, tentu berbeda. Apalagi sesudah menjadi penanggung jawab manajemen paling puncak. Untuk itu, hal yang mendasar adalah percaya orang lain. Tetapi bukan sekedar percaya begitu saja.
Menurutnya, pada saat semakin tinggi level produktivitas kita, bukan berapa lama kita duduk di sini. “Saya masih menggunakan istilah ada kerja ada ngantor. Kalau saya di sini tadi beberapa menit, saya mengerjakan sesuatu, itu namanya pengantor. Saya melakukan pekerjaan kantoran. Tetapi jika sejak lima hari yang lalu, saya tidak ada di sini, mungkin sampai jam 12 malam saya masih bicara bisnis dengan berbagai mitra kerja di hotel atau di manapun, itu namanya kerja, itu kerjaan saya. Seperti berbicara dengan rekan-rekan wartawan saat ini, itu juga ‘kan kerjaan saya. Sebab itu bagian informasi yang memang harus didengar langsung dari tangan pertama. Itu berbeda nilainya jika kita hanya mengeluarkan rilis,” urainya.
Lalu ia menggambarkan bagaimana peliknya perusahaan ini dalam tingkatan yang memiliki 26.500 karyawan, memiliki 13.500 pensiunan dalam kondisi saat ini. “Kita mengerti porsi kita. Ada waktunya kita entry (masuk) ada juga saatnya kita serahkan pada staf. Karena kalau semua kita masuk, akhirnya hal yang penting jadi tak tertangani. Jangan juga kita memperbesar masalah. Kalau bisa kita sederhanakan dan jangan menambah permasalah semakin berkembang. Putuskan dengan cepat dan kadang-kadang pahit. Tapi itulah kadang-kadang resikonya berat, kita harus terima, jangan salahkan orang lain, semakin ke atas adalah policy systim,” jelasnya.
Ketika ia baru menduduki jabatan Direktur Utama, saat berada di luar negeri, terjadi demonstrasi karyawan. Apa yang ia lalukan? No Comment. Ia menentukan kebijakan, tidak satu orang pun mereka yang demo yang perlu dipanggil. “Saya tidak perlu tahu siapa penggerak di balik demo,” katanya. Ia pun sengaja tidak memberikan komentar kepada pers. Ia mau cooling down (tenang). Yang ia lakukan adalah mencari tahu apa yang menjadi tuntutan mereka. Ternyata, persoalannnya adalah tuntuan kenaikan gaji 300 ribu rupiah. “Saya bukan mencari siapa provokatornya, tetapi bagaimana caranya mencari 300 ribu,” katanya.
Maka, ketika itu, ia segera pulang ke Indonesia untuk mengadakan rapat sampai malam. “Cari anggaran! Mainkan mana yang bisa digunakan.” Akhirnya ditemukan solusinya. Tuntutan karyawan dipenuhi dan perusahaan masih bisa survive dan tetap mendapat keuntungan. Bahkan keuntungan bertambah Rp 98 miliar.
Ia berani mengambil risiko, kemungkinan perusahaan rugi. Sebab ia tidak mau menghabiskan energi untuk hal itu, karena eranya yang seperti itu. Ada serikat pekerja yang masih baru, ada kesempatan untuk melakukan perubahan manajemen juga belum terbiasa. Dulu bekerja dengan Korpri yang semua setiap tanggal 17 diatur. “Kita sadari itu adalah pembelajaran. Dan di sela-sela pembelajaran kita belajar, jangan juga kita protek diri. Ketika masalah selesai, kita lebih mengambil keputusan yang lebih besar yaitu dengan transformasi diri,” kata penganut falsafah hidup bekerja keras, hemat dan jangan mengeluh serta jangan menyalahkan orang ini.
Lebih baik energi digunakan untuk memikirkan 5 tahun kedepan perusahaan ini mau di bawa kemana. Itu pulalah yang menjadi obsesinya saat ini. Bagaiamana ekistensi perusahaan ini 5 tahun ke depan, siapa pun yang berperan. Bukan untuk tujuan mempertahankan jabatan.
Ia berharap, (bukan sebuah cerita yang sombong, sebagai pejabat, tokoh publik atau yang dituakan, apapun namanya) jangan gagap posisi. Sebab gagap posisi itu takut diganti. Karena kalau tujuan kita duduk jadi dirut, dengan legalitas SK pengangkatan dan pelantikan, itu kita menjadi gagap posisi dan menjadi takut. Takut dalam mengambil keputusan dan melakukan inovasi. Jangan-jangan ada sesuatu yang tidak mengenakan, lalu kita pikirkan, apakah tergeser dari kedudukan.
“Jadi soal diangkat dan diberhentikan kapan, itu bukan urusan kita. Dan kita tak perlu berjuang mencari akal untuk mempertahankan jabatan. Jangan gagap,” katanya dengan penuh keyakinan profesionalisme, bukan kesombongan. Ia yakin dengan pengabdian yang seperti itu, pimpinan dan masyarakat dapat menilai. Lebih lagi masyarakat saja yang menilai bukan legalitas, dan kita tak perlu teriak-teriak, marah-marah malah membuat diri kita menjadi sakit. Dan yang terpenting, menurutnya, selalu berupaya memberikan yang terbaik kepada siapapun pengganti kita.
Sejak masuk ke Akademi Pos, ia memang tak pernah mengejar jabatan, apalagi mengejar jabatan dirut. Ia yakin jabatan atau menjadi dirut itu akan datang dengan sendirinya, sebagai amanah. Tapi yang terpenting adalah bagaimana meningkatkan prestasi. Meskipun kata orang harus ada cantolan dan lainnya, ia mengaku tidak pernah punya cantolan dan mengantungkan diri dengan cantolan itu. “Saya adalah orang kampung yang datang dari Titikkuning dan berasal dari keluarga pegawai negeri yang tidak ada satu pun duduk tingkat golongan III. Kepada siapa saya harus mencantol?” ujarnya.
Bukan itu, tetapi coba dengan keahlian dan karya, dan siap kapan saja untuk bekerja. “Alhamdulilah, 5 tahun menjabat sebagai dirut, saya selalu sehat dan bersama dengan teman-teman juga tidak ada masalah,” katanya. crs, mlp (Diterbitkan juga di Majalah Tokoh Indonesia 03 – Juli 2003)