Pejuang Berjiwa Ikhlas
Budi Harsono
[ENSIKLOPEDI] Politikus Partai Golkar dan anggota DPR-RI (2004-2009) ini memiliki latar belakang militer dengan pangkat Letnan Jenderal (Letjen) TNI. Kendati demikian, bila disimak dari cara bertuturnya yang lemah-lembut, perawakannya yang mungil, serta sikapnya yang rendah hati di hadapan orang lain, tidak tampak sama sekali sosok ‘keras’ seorang jenderal penyandang bintang tiga.
Tapi, Budi Harsono akan menunjukkan kalibernya sebagai seorang pejuang bangsa dan negara yang sejati manakala mengkritisi kesadaran bernegara dan bela negara, yang dinilainya sudah semakin terkikis dari jiwa warga negara Indonesia, dewasa ini.
Pria yang memiliki falsafah hidup: “Bekerja dengan Ikhlas, Tuhan akan Menjaga Rezeki” ini mengaku amat prihatin menyaksikan potret manusia Indonesia yang terlalu menghambakan diri pada mental materialistis-individualistis.
Budi yang kini ditugaskan Fraksi Partai Golkar di Komisi VII (bidang Energi dan Sumber Daya Mineral) DPR ini mengingatkan, kesadaran bernegara dan kesediaan serta kerelaan berkorban untuk negara seharusnya bukan hanya dimiliki seorang militer tapi juga dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia.
“Kita dapat amati dewasa ini kesadaran bernegara dan bela negara warga negara Indonesia sudah mengalami erosi yang sangat tajam,” tukasnya.
Dalam hematnya, faktor penyebab dari fenomena itu adanya kekurangan pada sistem pembangunan nasional di masa lalu, yang belum menempatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagai prioritas utama.
Ironisnya pula, SDM dibangun seiring dengan derap pembangunan fisik-material. Akibatnya, timbullah ekses dari kegiatan pembangunan tersebut yaitu SDM yang cenderung bermental dan berperilaku materialistis. Yang hanya berfikir dan bertindak atas apa yang dia harus peroleh. Pola pikir seperti itu, sambung anggota Badan Kehormatan (BK) DPR-RI ini, dominan merasuki benak SDM Indonesia dewasa ini.
“Pembangunan SDM mestinya menjadi prioritas dan diprogram dari awal secara sistematis dan berjangka panjang, dan tidak secara instan. Jerih-payah kita sekarang hasilnya baru bisa dipetik bangsa ini 15-20 tahun mendatang,” tandas anggota Tim Sosialisasi Badan Pekerja MPR-RI ini.
Memimpin Fraksi TNI/Polri DPR
Sebenarnya, Budi Harsono terbilang sudah cukup lama berkecimpung di dunia parlementaria. Anggota Fraksi Partai Golkar (F-PG) DPR periode 2004-2009 ini pertama kali bertugas di Gedung DPR/MPR pada tahun 1997.
Ketika itu, pria kelahiran Yogyakarta, 13 September 1946, ini mendapatkan kepercayaan dari Mabes ABRI sebagai anggota Fraksi ABRI di DPR/MPR.
Dia mengemban tugas sebagai anggota legislatif di DPR berkaitan dengan peran Dwifungsi (fungsi Pertahanan Keamanan dan fungsi Sosial Politik) ABRI yang berlaku di masa itu.
Dia mendapat tugas baru di DPR setelah hampir satu tahun lamanya memangku tugas sebagai Asisten Sosial Politik (Assospol) Mabes ABRI. Saat itu, Budi berpangkat Mayor Jenderal TNI (bintang dua). Posisi Assospol ABRI yang ditinggalkannya selanjutnya ditempati oleh Mayor Jenderal TNI Susilo Bambang Yudhoyono, yang kini menjabat Presiden RI.
Pertama kali bertugas di Senayan, dia langsung diserahi tanggung jawab sebagai Ketua Komisi II DPR RI, yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri. Setahun kemudian, dia dipercaya menjadi Wakil Ketua Fraksi ABRI (1997-1999). Saat itu, posisi Ketua F-ABRI dijabat oleh Letjen TNI Ahmad Rustandi, yang sekarang menjadi anggota Mahkamah Kontitusi.
Di era reformasi, seiring pergantian kepemimpinan nasional (eksekutif dan legislatif) hasil dari Pemilu 1999, Budi rupanya masih mendapat kepercayaan dari Mabes TNI bertugas di DPR.
Seperti dipahami, berdasarkan konsensus rakyat Indonesia yang dilandasi semangat reformasi, pada 1 April 1999, institusi Polri (Kepolisian RI) dipisahkan dari institusi TNI dalam organisasi ABRI, sehingga sejak itu sebutan Fraksi ABRI pun berubah menjadi Fraksi TNI/Polri.
Setelah sekitar dua tahun menjabat Wakil Ketua F-TNI/Polri, pada tahun 2001, Budi Harsono ditunjuk Mabes TNI sebagai Ketua F-TNI/Polri, menggantikan posisi Letjen TNI Ahmad Rustandi yang memasuki masa pensiun.
Selaras dengan kapasitas tugas dan tanggung jawabnya selaku Ketua F-TNI/Polri, suami dari Mut Indayah ini dan ayah empat orang putra ini memperoleh kenaikan pangkat satu tingkat dari Mayor Jenderal TNI menjadi Letnan Jenderal TNI (bintang tiga).
Saat menjadi komandan gerbong F-TNI/Polri di DPR yang terdiri dari 38 orang anggota, Budi Harsono mesti benar-benar bijaksana dalam memposisikan peran F-TNI/Polri di dalam dinamika kehidupan parlementaria, yang sarat dengan tarik-menarik kepentingan antarpartai politik (Parpol).
Bijaksana dalam pengertian menempatkan posisi TNI/Polri secara netral, nonpartisan, dan semata-mata mengabdi pada kepentingan negara dan rakyat Indonesia di tengah-tengah pertarungan politik yang cenderung bersifat partisan dan sektarian di Senayan.
Alumnus Lemhannas KRA XXI (1994-1995) ini menggarisbawahi, F-TNI/Polri bertugas mewakili dan mengusung kepentingan negara dan bangsa. Dengan kata lain, politik yang dimainkan F-TNI/Polri di parlemen adalah politik negara. Bukan politik praktis yang dimainkan fraksi-fraksi lain dan kepentingan partisan kelompok masyarakat yang diwakili dan diperjuangkan Parpol-parpol.
Di bawah kepemimpinan Budi Harsono, F-TNI/Polri mampu memerankan diri sebagai penyeimbang sekaligus jembatan penghubung di antara fraksi-fraksi di DPR yang sering berseteru atau berbeda pendapat mengenai isu-isu yang berkembang di Senayan.
Peranan penyeimbang yang dimainkan F-TNI/polri di DPR, kata Budi, berkaitan erat dengan tujuan keberadaan F-TNI/Polri yakni mengabdi pada kepentingan bangsa, negara, dan rakyat secara keseluruhan.
Sebab, apabila konflik-konflik antarkepentingan fraksi di DPR dibiarkan berlarut-larut, kondisi itu akan merugikan kepentingan rakyat.
Dan, peran jembatan yang dimainkan F-TNI/Polri dapat diterima fraksi-fraksi yang berbeda kepentingan karena selalu ada solusi terbaik, yang bersifat akomodatif terhadap semua pihak. “Dulu saat Fraksi TNI/Polri ada di DPR, keputusan akhir yang diambil DPR tentang banyak isu cenderung melalui jalan musyawarah untuk mufakat,” papar mantan Assospol ABRI (1997) ini.
“Sangat jarang keputusan paripurna DPR diambil melalui pemungutan suara atau voting, seperti yang menjadi ciri DPR di era reformasi sekarang ini.”
Merupakan sebuah tantangan berat bagi Budi Harsono untuk bijak menempatkan posisi dan sikap politis F-TNI/Polri dalam konflik tersebut. Dia mesti setiap saat melakukan konsolidasi ke dalam dan berkoordinasi secara intensif –dan melaporkan setiap perkembangan situasi yang terjadi di Senayan– dengan Mabes TNI di Cilangkap, dalam hal ini Panglima TNI.
Ketika dia memimpin F-TNI/Polri, ada satu peristiwa besar berskala nasional dalam dunia ketatanegaraan Indonesia, dan menyangkut kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang dilatarbelakangi perseteruan politik tingkat tinggi antara pemerintah (baca: Presiden RI) dan DPR/MPR (mayoritas fraksi). Dalam situasi konfliktual tersebut, F-TNI/Polri ikut berperan dalam menentukan nasib bangsa dan negara.
Puncak dari perseteruan politik tersebut adalah keputusan mayoritas fraksi di MPR untuk menggelar Sidang Istimewa (SI) MPR sebagai respons terhadap kondisi negara yang diterpa berbagai persoalan, yang potensial mengarah pada instabilitas nasional, seperti kasus Bulog dan dualisme kepemimpinan di tubuh institusi Polri.
Satu tahun menjelang berakhirnya eksistensi TNI dan Polri di DPR, sebagai implementasi dari keinginan rakyat Indonesia, Budi Harsono pensiun dari dunia militer yang telah digelutinya selama hampir 35 tahun dengan penuh pengabdian, dedikasi, dan loyalitas kepada bangsa, negara, dan institusi TNI sendiri.
Menjaga Keutuhan Partai Golkar
Agaknya, pengalaman, kinerja, dan integritas seorang Budi Harsono selama beraktivitas di parlemen, khususnya ketika menjadi Ketua F-TNI/Polri, rupanya menarik perhatian Akbar Tandjung (kala itu Ketua Umum DPP Partai Golkar dan Ketua DPR-RI).
Politikus kawakan itu lantas mengajak Budi bergabung ke partai berlambang Pohon Beringin tersebut. Tak tanggung-tanggung, Akbar menawarkan posisi Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Golkar kepada Budi Harsono.
Kebetulan, posisi Sekjen Partai Golkar memang sedang lowong setelah ditinggal Mayjen TNI (purn) Tuswandi yang wafat. Tawaran Akbar disambutnya.
Salah satu pertimbangan utama lulusan Akademi Militer Nasional (AMN) angkatan 1967 ini bergabung ke Partai Golkar adalah keinginannya menyumbangkan pikiran, tenaga, dan darma baktinya kepada bangsa dan negara melalui partai politik (Parpol) terbesar di Indonesia itu.
Dalam persepsi Budi, dari demikian banyak Parpol yang ada di tanah air, utamanya Partai Golkar yang bisa menjadi perekat, penjaga, dan pengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan platform nasionalismenya.
“Spirit kebangsaan yang tertanam dalam diri saya sejak pendidikan pembentukan militer sampai bertugas di lapangan membela negara selaras dengan visi dan misi Golkar. Faktor historis dan ideologis itulah yang menjadi energi utama saya bergabung ke Partai Golkar,” Budi menjelaskan sebagian latar belakang dari keputusannya.
Kondisi Partai Golkar saat itu yang sedang dilanda konflik internal yang mengarah pada perpecahan dan sangat potensial menghancurkan Partai Golkar sendiri juga memantik motivasi Budi Harsono untuk menerima tawaran Akbar Tandjung demi menjaga keutuhan Parpol tersebut.
“Alasan yang paling subyektif, saya ingin membantu Pak Akbar Tandjung yang tengah didera persoalan hukum, di satu situasi, namun pada situasi lain dia digoyang dari dalam partainya sendiri.”
Bersama Akbar Tandjung dan pengurus pusat lainnya, Budi Harsono akhirnya berhasil menjaga keutuhan Partai Golkar, dan bahkan dengan gemilang menempatkan partai sebagai pemenang Pemilu 2004.
Pada Pemilu 2004, Budi Harsono diusung Partai Golkar untuk bertarung di Daerah Pemilihan Jawa Barat VIII (Kabupaten Subang, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Majalengka).
Berkat kepercayaan besar dari warga tiga kabupaten itu yang ditandai perolehan suara cukup signifikan, mantan Danyon 312 Kala Hitam, Subang, (1984-1985), mantan Dandim 0617, Majalengka (1986-1988), dan mantan Danrem 063, Cirebon, (1993-1994) ini pun melenggang kembali ke Senayan, dan bergabung ke Fraksi Partai Golkar DPR. e-ti/anis fuadi
02 | Fraksi TNI/Polri Jembatan Penghubung Lintaskepentingan
Dulu, Fraksi TNI/Polri memiliki peranan penting dalam menjembatani setiap konflik kepentingan politik partisan yang berkembang di DPR. Kini, tidak ada lagi yang mampu berperan demikian.
Keberadaan Fraksi TNI/Polri di DPR tidak bisa dilepaskan dari dua tugas utamanya. Tugas pertama, mengemban dan melaksanakan tugas TNI dan Polri dalam rangka menjaga keselamatan dan keutuhan negara, yang diimplementasikan melalui tiga fungsi DPR (pengawasan, penyusunan anggaran, dan pembentukan peraturan perundang-undangan).
Tugas kedua, mengemban dan mewakili kepentingan rakyat dan negara dalam arti luas. Bukan kepentingan kelompok rakyat seperti yang diemban oleh partai-partai politik dengan platform masing-masing.
Anggota TNI yang bergabung di F-TNI/Polri, kata Budi Harsono, memiliki status dan peran yang sangat unik. Di satu pihak, status mereka adalah kepanjangan tangan dari Mabes TNI. Mereka ditugaskan di DPR dalam rangka mengemban fungsi sosial dan politik (sebagai salah satu perwujudan dari Dwifungsi) TNI.
Tapi, di lain pihak, mereka juga mengemban tugas mewakili aspirasi rakyat dan kepentingan negara dalam arti kata luas. Karena itu, setiap anggota F-TNI/Polri dituntut harus cerdas, hati-hati, dan bijak dalam menjalankan dua peran penting tersebut di DPR.
Atas dasar itulah, anggota TNI dan Polri yang ditugaskan di Fraksi TNI/Polri itu adalah mereka yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi tertentu yang relatif ketat.
Singkatnya, anggota TNI dan Polri yang bisa masuk ke F-TNI/Polri itu adalah orang-orang yang memang memiliki kualitas dan integritas diri yang baik, serta dianggap mampu mengemban dua tugas utama tersebut.
Pilihan Abstain
Kiprah F-TNI/Polri sering mendapat sorotan tajam dalam konteks pengambilan keputusan politik di tingkat paripurna DPR. Muncul skeptisisme terhadap peranan konkret F-TNI/Polri di DPR, karena dipastikan setiap langkah atau keputusan politik yang diambil F-TNI/Polri sangat tergantung pada instruksi dan komando dari Panglima TNI dan/atau Kepala Kepolisian RI (Kapolri).
Sejumlah kalangan mengkritik sikap dan keputusan politik F-TNI/Polri yang kadang kala berbeda dengan arus besar (mainstream) pendapat yang berkembang di DPR.
Misalnya, sikap abstain yang sering dipilih F-TNI/Polri manakala berlangsung pemungutan suara (voting) dalam proses pengambilan keputusan akhir tentang isu atau masalah yang menuai pro-kontra di antara fraksi-fraksi di DPR.
“Apa gunanya ada Fraksi TNI dan Polri di DPR bila mereka cenderung tidak punya sikap dan memilih abstain saat voting? Bukankah mereka yang berkantor di Gedung DPR adalah wakil rakyat?” demikian lontaran kritik yang kerap tertuju pada F-TNI/Polri.
Budi Harsono mengklarifikasi satu hal, anggota F-TNI/Polri memang tidak seperti halnya kebanyakan anggota DPR dari fraksi-fraksi lain, yang setiap langkahnya cenderung dilatarbelakangi kepentingan kelompok pendukung atau Parpol yang diwakilinya.
Mantan Ketua F-TNI/Polri (2001-2002) ini mengatakan, di dalam menyikapi berbagai masalah, umumnya F-TNI/Polri cenderung pasif dan netral, dalam arti kata tidak memihak kepentingan salah satu kelompok.
Diakuinya, memang, pasivitas dan netralitas F-TNI/Polri yang disimbolisir oleh sikap abstain saat voting tersebut acapkali menuai tanggapan bernada minor dari publik, dan bahkan anggota Dewan yang tidak memahami hakikat keberadaan F-TNI/Polri.
Padahal, kata Budi, pilihan abstain bukan berarti F-TNI/Polri tidak mempunyai sikap sama sekali. Justru dengan memilih abstain, F-TNI/Polri hendak menunjukkan netralitasnya terhadap ruang konflik antarkepentingan yang mengemuka saat itu, dan sekaligus pula menegaskan ketidakberpihakannya pada mereka yang berbeda kepentingan.
Dijelaskan lebih jauh oleh Budi, sebelum menetapkan sikapnya terhadap setiap permasalahan yang menuai pro-kontra di DPR, F-TNI/Polri berpegang pada sejumlah pertimbangan pokok.
Pertama, apakah substansi masalah sudah atau belum menyentuh kepentingan nasional. Kedua, apakah substansi masalah itu terkategori sudah atau belum mengganggu keselamatan bangsa dan negara. Ketiga, apakah substansi masalah itu potensial atau tidak potensial menghambat pelaksanaan tugas-tugas TNI/Polri di lapangan. Alasannya, aparat TNI dan Polri tidak boleh berpihak dalam bertugas di lapangan.
Berangkat dari hal itulah, ucap Budi, sebelum menentukan sikap akhir, F-TNI/Polri pasti melihat setiap masalah atau isu yang berkembang di DPR dari pendekatan nasional.
“Fraksi TNI/Polri selalu menakar apakah ruang lingkup dan skala masalah tersebut mengancam keselamatan bangsa dan negara ataukah tidak. Merujuk dari hasil takaran itulah, sikap akhir ditetapkan. Bahwa selama ini sikap abstain lebih menonjol, hal itu karena Fraksi TNI/Polri menilai substansi masalahnya masih berskala kepentingan politik partisan,” papar Budi Harsono.
Meskipun memilih sikap abstain, F-TNI/Polri selalu mengapreasiasi, mengakui, dan mematuhi apapun keputusan akhir dari voting tersebut sebab itu adalah produk dari sebuah mekanisme pengambilan keputusan yang berlangsung secara demokratis.
Adalah prinsip dari demokrasi, walaupun awalnya terjadi perbedaan pendapat, sikap pro-kontra, namun setelah diambil keputusan maka semua pihak termasuk yang kalah suara mesti loyal pada pendapat dari pihak yang menang.
Peran Penyeimbang
Sebagai kepanjangan tangan dari institusi TNI dan Polri, yang semata-mata mengabdi pada kepentingan bangsa, negara, dan rakyat, maka orientasi tugas F-TNI/Polri di DPR pun bukan kepentingan kelompok yang bersifat praktis-pragmatis.
Politik F-TNI/Polri adalah politik negara bukannya politik praktis. Visi dan misi itu yang membedakan F-TNI/Polri dengan fraksi-fraksi lain di DPR.
Dalam realitasnya, F-TNI/Polri berada dalam kehidupan politik di parlemen yang senantiasa diwarnai dinamika tarik-menarik kepentingan politik antarfraksi (yang menjadi kepanjangan tangan partai-partai politik), yang kadangkala meruncing menjadi perseteruan. Dalam situasi-situasi konfliktual seperti itu, F-TNI/Polri berupaya memposisikan diri secara bijak untuk tidak berpihak pada pihak manapun.
Tapi itu tidak berarti F-TNI/Polri hanya berdiam diri. F-TNI/Polri senantiasa mencoba berperan sebagai kekuatan penyeimbang dan menjadi jembatan penghubung alias mediator bagi pihak-pihak yang berbeda kepentingan di Senayan.
Dari sudut pandang politik, dia menyadari sering terjadi kesenjangan komunikasi di antara fraksi-fraksi di dalam memperjuangkan kepentingan Parpol masing-masing. Sebaliknya, karena sama sekali tidak memiliki kepentingan politik praktis, sesaat, atau partisan, F-TNI/Polri berupaya menjadi jembatan penghubung bagi perbedaan kepentingan politik di antara fraksi-fraksi lain, agar diperoleh jalan keluar.
“Berkat peran penyeimbang dari Fraksi TNI/Polri itu keadaan dinamika politik di DPR cenderung lebih tenang. Saya katakan demikian karena Fraksi TNI/Polri menjadi jembatan penghubung antarpihak dan antarkepentingan politik di DPR. Fraksi TNI/Polri juga menjadi kekuatan penyeimbang, stabilisator, dan sekaligus katalisator dinamika politik di DPR,” kata Budi, mengungkapkan pengalaman dirinya selama memimpin F-TNI/Polri.
“Alhamdulillah, selama saya memimpin Fraksi TNI/Polri, konflik-konflik kepentingan antarfraksi di DPR tidak sampai meningkat eskalasinya dan relatif bisa diredakan berkat peranan jembatan penghubung yang dimainkan Fraksi TNI/Polri.”
Kemauan F-TNI/Polri berperan sebagai jembatan penghubung bagi perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan yang menajam di DPR, lanjut Budi, dilandasi tujuan ideal agar ada jalan keluar (way out) terbaik, sehingga konflik tidak sampai berlarut-larut alias berkepanjangan.
Bila dibiarkan berlarut-larut, konflik tersebut sangat potensial meluas dan menimbulkan ekses politik yang kurang sehat bagi kehidupan demokrasi di tanah air, dan akan merugikan kepentingan rakyat banyak.
F-TNI/Polri mencoba mengajak pihak-pihak tersebut untuk sama-sama mencari solusi yang terbaik. Dan, terciptanya kondisi politik yang relatif kondusif di DPR adalah sedikit banyak merupakan hasil dari peran F-TNI/Polri sebagai penyeimbang.
Meski begitu, tekan Budi lagi, peran penghubung yang sering ditempuh oleh F-TNI/Polri selalu bersandar pada satu orientasi yakni kepentingan bangsa dan negara.
“Bagi Fraksi TNI/Polri, kepentingan bangsa dan negara berada di atas segala-galanya. Fraksi TNI/Polri bertekad menjaga stabilitas nasional dan suhu politik agar tidak memanas, serta menjaga suasana terus kondusif bagi kehidupan bangsa ini,” katanya.
Peran penting sebagai jembatan penghubung yang dimainkan F-TNI/Polri tersebut tidak diketahui oleh publik sebab F-TNI/Polri memang tidak menggembar-gemborkannya kepada publik.
Itulah salah satu profil seputar peranan dan kontribusi F-TNI/Polri kepada bangsa dan negara sewaktu bertugas di Senayan dahulu. Kini, menyusul konsensus nasional di era reformasi yang menghapus keberadaan unsur TNI dan Polri di lembaga legislatif (pusat dan daerah), maka otomatis tak ada lagi pihak yang mau dan mampu berperan –dengan orientasi kebangsaan bukan orientasi kepentingan kekuasaan– sebagai jembatan penghubung, penengah, dan/atau kekuatan penyeimbang bagi berbagai perbedaan kepentingan di DPR.
Dewasa ini, peran sebagai jembatan seperti yang dulu F-TNI/Polri lakukan itu, kalaupun dikatakan ada, cenderung dimainkan oleh fraksi pemerintah.
Dia sangat merasakan betapa fungsi jembatan penghubung seperti pernah diperankan F-TNI/Polri dalam rangka menyelesaikan setiap masalah sekarang telah hilang di DPR.
Di satu sisi, potensi konflik kepentingan antarfraksi di DPR akan terus berlangsung, sementara di lain sisi tidak ada lagi pihak yang mampu berperan sebagai jembatan penghubung sekaligus kekuatan penyeimbang. Ekses dari kondisi tersebut, setiap masalah yang mengemuka di DPR akhirnya diselesaikan melalui mekanisme voting.
Jalan musyawarah untuk mufakat yang senantiasa dahulu ditawarkan oleh F-TNI/Polri kepada pihak-pihak yang berbeda kepentingan dikesampingkan karena perbedaan pendapat yang mengemuka, tanpa ada yang mampu menjadi penengah.
“Fraksi TNI/Polri kerap dipercayai oleh fraksi-fraksi lain yang berseteru sebagai penghubung dan tempat mengadu karena di antara mereka sudah tidak bisa dicapai titik temu. Mereka tahu kami tidak punya kepentingan praktis atau kepentingan partisan, selain kepentingan bangsa dan negara. Dan, itu saya sangat rasakan selama menjadi Ketua Fraksi TNI/Polri.”
Bahwa, pimpinan fraksi-fraksi lain kadangkala melobi dirinya selaku Ketua F-TNI/Polri untuk mendapatkan dukungan politis, sebagai langkah memperjuangkan kepentingan kelompoknya, Budi menilainya wajar-wajar saja. Yang pasti, seraya menampung lobi-lobi itu, F-TNI/Polri pasti melihat substansi masalah dari sudut pandang kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Dinamika F-TNI/Polri
Bertitik tolak selalu pada visi dan misi kebangsaan, kiprah F-TNI/Polri di Senayan tetap dinamis. Termasuk, dalam hal pilihan sikap politik yang diambilnya, misalnya. F-TNI/Polri tidak selalu identik dengan abstain.
Sekadar menunjukkan satu contoh, ketika mayoritas fraksi di DPR berkehendak membentuk panitia khusus (Pansus) penyelidikan skandal Bulog (Bulogate), F-TNI/Polri memilih sikap setuju.
Pertimbangan F-TNI/Polri, keberadaan Pansus memang diperlukan agar persoalan dapat diselesaikan, tidak mengambang, sampai ditemukan kesimpulan akhir yang jelas.
Dalam hemat F-TNI/Polri, ujar Budi, apabila dibiarkan berlarut-larut, persoalan itu akan meluas dan mengkristal menjadi ‘bola panas’, dan potensial menimbulkan ekses-ekses lebih jauh yang tidak diinginkan.
Namun, begitu dinamika Pansus mulai memasuki tahap menyentuh hal-hal substansi persoalan, F-TNI/Polri memilih sikap abstain ketika digelar voting untuk mengambil keputusan.
Mengapa abstain yang dipilih F-TNI/Polri? “Karena kita menilai persoalan itu belum menyentuh kepentingan nasional atau belum memasuki tataran psikologis mengancam keselamatan bangsa dan negara,” jelasnya.
Di samping itu, alasan kedua, F-TNI/Polri tidak menginginkan persoalan itu menghambat kinerja aparat TNI dan Polri dalam menjalankan tugasnya di lapangan, yang pada hakikatnya bersikap netral.
Dalam perhitungan F-TNI/Polri, ada dua kubu di antara fraksi-fraksi di DPR (pro dan kontra) terhadap kasus Bulog. Bila F-TNI/Polri memihak salah satu yang berseteru, sikap itu dikhawatirkan akan berimplikasi tidak bagus pada pelaksanaan tugas aparat TNI dan Polri di lapangan.
Koordinasi
Berdasarkan pengalaman pribadinya selama menjadi anggota atau Ketua F-TNI/Polri, Budi menilai soliditas F-TNI/Polri sangat kuat. Hal itu tidak lepas dari status anggota F-TNI/Polri yang merupakan anggota TNI dan anggota Polri yang masih aktif. Jadi, sistem satu komando tetap menjadi ciri khas F-TNI/Polri.
Apakah instruksi dari Mabes TNI dan Mabes Polri tidak mengapresiasi pendapat/pandangan pribadi-pribadi anggota F-TNI/Polri? Kata Budi, instruksi dari pimpinan TNI dan Polri kepada F-TNI/Polri dikeluarkan setelah menerima laporan tentang setiap perkembangan situasi yang berlangsung di DPR dari pimpinan F-TNI/Polri.
“Jarang sekali terjadi pimpinan TNI dan Polri itu mengambil keputusan atau mengeluarkan instruksi apa yang mesti dilakukan Fraksi TNI/Polri di DPR, tanpa terlebih dahulu meminta saran dan pertimbangan dari pimpinan Fraksi TNI/Polri,” jelas Budi.
Sebab, yang paling tahu perkembangan situasi di lapangan adalah anggota F-TNI/Polri sendiri sehingga Panglima TNI dan Kapolri selalu meminta saran dari F-TNI/Polri sebelum mengeluarkan instruksi.
F-TNI/Polri sering menggelar rapat internal untuk mendiskusikan setiap masalah atau isu yang berkembang di DPR. Hasil rapat fraksi itulah yang kemudian dilaporkan selengkap mungkin kepada Panglima TNI dan Kapolri.
“Di sinilah dituntut kemampuan dari seorang ketua fraksi untuk memberikan laporan yang valid, obyektif, dan selengkap mungkin agar pucuk pimpinan TNI dan Polri tidak salah mengambil keputusan.”
Komunikasi antara Panglima TNI dengan Kapolri dan pimpinan F-TNI/Polri terjalin setiap saat. Dengan mekanisme komunikasi semacam itu, Panglima TNI dan Kapolri bisa merespons berbagai aspirasi di internal F-TNI/Polri yang dikemukakan Budi selaku Ketua F-TNI/Polri. Jadi, saran yang disampaikan kepada Mabes TNI dan Mabes Polri bisa dikatakan sudah merupakan sikap dari F-TNI/Polri.
Pada umumnya instruksi Panglima TNI dan Kapolri sangat memperhatikan aspirasi yang sebelumnya berkembang di internal F-TNI/Polri. Sehingga tidak ada salah pengertian atau pernyataan yang berbeda antara Mabes TNI/Mabes Polri dan F-TNI/Polri.
Walaupun berciri satu komando, budaya demokrasi berkembang di F-TNI/Polri. Konkretnya, ada ruang gerak bagi setiap anggota F-TNI/Polri untuk menyampaikan pernyataannya, sejauh masih dalam koridor yang sudah disepakati bersama.
Seluruh anggota F-TNI/Polri tetap diberikan kebebasan menyampaikan pendapat ke luar. Jadi tidak mesti bahasanya ‘seragam’ sebab, jika begitu, hal itu berarti menghilangkan dinamika demokrasi di F-TNI/Polri sendiri.
F-TNI/Polri menganut sistem permainan sepak bola. Membawa bola tidak harus ke depan terus. Bola kadang diumpan ke belakang, digiring ke tengah, dan dikirim ke depan. Meski demikian, yang pasti orientasinya adalah gawang lawan. Tujuan akhirnya tetap sama, memasukkan bola ke gawang lawan.
Singkat kata, setiap anggota F-TNI/Polri memiliki kebebasan, misalnya, menjawab pertanyaan wartawan tentang hal-hal aktual di DPR tapi mindset makronya masing-masing anggota sudah paham.
“Kita mengembangkan budaya berbeda pendapat di internal Fraksi TNI/Polri, khususnya dalam proses pengambilan keputusan. Kalau perlu kita lakukan voting untuk mengambil satu keputusan,” ujar Budi menggambarkan dinamika di tubuh F-TNI/Polri saat itu. Setelah diambil satu keputusan melalui mekanisme yang demokratis, semua anggota F-TNI/Polri tetap loyal pada keputusan itu, sehingga sikap F-TNI/Polri pasti membawa satu suara. e-ti/af
03 | Ada Spirit yang Hilang di DPR
Jalan musyawarah dalam menyelesaikan setiap masalah yang senantiasa dikedepankan oleh Fraksi TNI/Polri seharusnya tidak hilang di dunia parlemen Indonesia.
Mengakui sebagai sebuah pandangan yang terkesan sangat subyektif, menyembul harapan dari Budi Harsono bahwa semangat berbangsa dan bernegara senantiasa terpatri di benak para anggota legislatif, khususnya yang bertugas di DPR, meskipun mereka mewakili kepentingan Parpolnya masing-masing.
Tentu ada maksud di balik ungkapan yang dia lontarkan ini. Menurut pengamatannya, sepeninggal Fraksi TNI/Polri, ternyata ada fenomena kepincangan di DPR.
Pertama, hilangnya fungsi jembatan penghubung bagi berbagai perbedaan kepentingan di antara fraksi-fraksi di DPR.
Kedua, terabaikannya jalan musyawarah dalam mencari solusi masalah. Ketiga, kurang diamatinya berbagai masalah yang dibahas DPR dari aspek Hankam.
Pada periode-periode sebelumnya, situasi DPR relatif tenang karena F-TNI/Polri banyak berperan sebagai jembatan sehingga dapat dicapai titik temu dari perbedaan kepentingan dan bisa dicarikan jalan keluar bagi banyak masalah.
Di samping itu, jarang dilakukan voting dalam menyelesaikan masalah-masalah sebab sudah dilakukan jalan musyawarah antara pihak-pihak yang berbeda pendapat, dengan F-TNI/Polri sebagai penengah.
Sekarang, setelah tidak ada lagi pihak yang bisa memerankan diri sebagai jembatan seperti yang pernah diperankan F-TNI/Polri, kepada siapa fraksi-fraksi di DPR akan meminta bantuan menengahi perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka?
Sementara itu, ketika terjadi perbedaan pendapat, masing-masing cenderung saling mendiamkan dan kurang berkomunikasi satu sama lain. Kalaupun ada komunikasi hanya bersifat lintasindividu, bukan lintasfraksi.
Ujung-ujungnya, jalan terakhir yang ditempuh untuk menyelesaikan perbedaan pendapat adalah voting. Pendapat yang memperoleh dukungan suara terbanyaklah yang akhirnya menjadi pemenang dalam voting meskipun pendapat itu tidak dijamin sebagai yang terbaik.
Pengambilan keputusan melalui mekanisme voting merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan demokrasi modern. Namun, untuk konteks kehidupan politik di Indonesia yang sedang berada pada tahap transisi menuju demokrasi, voting tidak seharusnya menjadi andalan dalam menyelesaikan masalah.
Pragmatisme
Dewasa ini, sebagian besar warga negara berpola pikir pragmatis. Setiap individu lebih mengedepankan kepentingan dirinya dan/atau kepentingan kelompoknya. Pragmatisme itulah yang membuat cara berpikir dan cara bersikap orang bisa berubah setiap saat secara situasional berdasarkan kepentingannya.
Memang, dunia politik praktis tidak bisa dilepaskan dari pragmatisme. Tapi ada fatsun (etika) politik yang semestinya diikuti. Ada alasan moral dan argumentasi logis yang menyertai setiap sikap.
Di bidang kehidupan apa pun, fatsun harus ditaati. Tidak usah terlalu tinggi bicara dalam konteks politik praktis, yang banyak bermain kepentingan praktis-partisan, di dunia sepakbola pun ada fatsunnya.
Budi menunjuk contoh kompetisi sepak bola di Liga Inggris dan Liga Italia. Di sana, permainan sangat keras. Tapi, semua pemain sangat patuh pada keputusan yang diambil wasit.
Dari permainan sepak bola bisa dinilai etika, karakter, sifat, dan disiplin yang berkembang pada sebuah bangsa. Semua tercerminkan di situ. Sekarang, coba lihat potret kompetisi sepak bola di Indonesia. Wasit yang dipukuli oleh pemain, ofisial, atau supporter sudah menjadi pemandangan umum di tanah air. Carut-marut potret pesepakbolaan di tanah air adalah cermin sederhana dari bangsa kita saat ini.
Padahal demokrasi itu intinya saling menghargai di tengah perbedaan pendapat, mampu mengakui kemenangan orang lain, serta mau mengakui kekalahan diri sendiri.
Dia mengingatkan, bangsa dan negara ini memiliki karakter khas di dalam menyelesaikan setiap masalah yakni bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Apalagi, Dasar Negara Indonesia menggariskan bahwa setiap masalah sebaiknya diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
“Sekarang, kita cenderung telah meninggalkan jalan musyawarah, sebuah ciri khas kehidupan bangsa dan negara ini, dalam menyelesaikan setiap masalah. Sangat disayangkan, kita telah mulai meninggalkan keunggulan yang dimiliki bangsa sendiri, dan mengunggulkan cara berdemokrasi modern yang belum sepenuhnya kita kuasai,” tukasnya prihatin.
Diingatkan oleh Budi, musyawarah untuk mufakat adalah sebuah kekuatan yang dimiliki bangsa ini dalam mengatasi perbedaan pendapat. Jalan musyawarah justru akan menimbulkan sebuah kekuatan.
Mengapa musyawarah ditinggalkan? Dalam persepsi Budi, hal itu akibat dari trauma masa lalu sehingga musyawarah akhirnya ditafsirkan sekadar forum basa-basi atau alat untuk melegitimasi kepentingan penguasa belaka.
Trauma tersebut pada gilirannya berubah menjadi kompensasi sikap akhir pada banyak orang untuk menafikan jalan musyawarah, dan cenderung menempuh jalan voting yang dikesankan lebih demokratis.
Menurut Budi, bangsa ini tidak mengharamkan perbedaan pendapat, justru meramunya melalui jalan musyawarah untuk mencari solusi yang terbaik. Meskipun prosesnya kadangkala menyita waktu, bahkan dinilai bertele-tele, jalan musyawarah akan menghasilkan solusi yang terbaik untuk semua.
Alasannya, musyawarah mensyaratkan kesediaan dan keikhlasan masing-masing pihak yang berbeda pendapat untuk saling mengalah demi kebaikan bersama. Hakikat dari musyawarah untuk mufakat adalah masing-masing pihak mau mengkomunikasikan secara terbuka apa yang menjadi kepentingannya, dengan mengedepankan kepentingan yang besar (bangsa dan negara) dan menomorduakan kepentingan kecil (pribadi atau kelompok).
Konsekuensinya, setiap pihak mau saling mengalah demi diperolehnya solusi yang terbaik untuk semua. Dan, pada akhirnya, semua pihak mendukung apapun hasil akhir musyawarah karena semua sudah menyepakatinya sebagai hasil terbaik untuk semua.
Kembali ke kehidupan demokrasi di DPR, sejauh pengamatan Budi, jalan voting lah yang kerap dipakai dalam menyelesaikan perbedaan pendapat. Mekanisme voting memang relatif cepat dari segi waktu dalam menghasilkan keputusan akhir. Singkatnya, pendapat/pilihan dari suara terbanyak lah yang menjadi solusi atau keputusan akhir.
Sebuah tanda tanya mengemuka: apakah ada jaminan bahwa solusi yang dihasilkan dari mekanisme voting tersebut merupakan yang terbaik?
“Voting itu belum tentu menghasilkan yang terbaik! Sebab, pendapat dari suara yang terbanyak tidak bisa secara mutlak diidentikkan sebagai solusi yang terbaik,” tandas Budi Harsono.
Apakah produk akhir yang dihasilkan dari mekanisme voting benar-benar pilihan yang terbaik atau bukan, Budi menekankan, sangat tergantung pada kualitas orang-orang yang mengikuti voting.
Tidak menjadi persoalan apabila keputusan akhir berdasarkan pilihan terbanyak dari para pemilih yang benar-benar memiliki kualitas baik. Akan tetapi, dia mengaku sulit membayangkan apabila faktor-faktor primordialisme, nepotisme, atau sektarianisme yang justru mendominasi pertimbangan anggota Dewan saat menentukan pilihannya pada proses voting.
Sesungguhnya terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi pilihan seseorang dalam proses voting, terlebih dalam konteks pengambilan keputusan nasional di parlemen.
Sebut saja, misalnya, mulai dari kualitas intelektual si pemilih, kepentingan pribadi dan kelompok si pemilih yang bersifat sesaat (praktis-pragmatis), sampai faktor money politic.
Berbeda secara diametral dengan jalan musyawarah yang disemangati sikap saling mengalah untuk ‘kemenangan bersama’, maka jalan voting justru disemangati sikap saling menang.
“Jika kualitas pemilihnya memang bagus semua yang mampu menakar, menimbang, dan menilai persoalan secara jernih dan obyektif, maka pilihan yang terbanyak itu pantas disebut yang terbaik. Akan tetapi, bila melihat secara realistis kondisi yang ada di lapangan dewasa ini, maka sulit dijamin bahwa pilihan yang terbanyak itu sebagai yang terbaik.”
Aspek Hankam Terabaikan
Kondisi lain di DPR yang membuatnya prihatin adalah cenderung diabaikannya penggunaan pendekatan dan pertimbangan aspek Hankam dalam proses penyusunan dan pembahasan substansi berbagai RUU di DPR.
Padahal, Budi mengingatkan, Aspek Hankam bersifat sangat hakiki dalam kehidupan ini. Dalam arti kata luas, tidak ada satu masalah pun yang tidak memerlukan pertimbangan dari aspek Hankam.
Sesuai dengan kapasitasnya, dalam menyumbangkan kontribusi pandangan, pemikiran, ide/gagasan pada penyusunan dan pembahasan setiap Rancangan Undang-undang (RUU) di DPR, F-TNI/Polri cenderung memakai pendekatan dan perspektif pertahanan dan keamanan (Hankam).
F-TNI/Polri sangat menyadari bahwa aspek Hankam tidak bisa diabaikan urgensinya pada setiap perumusan kebijakan nasional yang dikemas dalam bentuk undang-undang.
Dia bisa memahami bila, setelah F-TNI/Polri sebagai pihak yang selama ini secara profesional memahami masalah ini tidak ada lagi di DPR, aspek Hankam kemudian kurang mendapat perhatian yang optimal dalam setiap pembahasan RUU.
Dia juga sangat memaklumi bahwa sampai saat ini trauma terhadap hal-hal yang berbau militer masih kental. Akan tetapi, jangan sampai trauma itu akhirnya menafikan pentingnya pertimbangan dari aspek Hankam dalam perumusan kebijakan nasional.
Agar pembahasan RUU tetap menyertakan pertimbangan-pertimbangan dari aspek Hankam, Budi mengintrodusir sebuah solusi yang realistis. Apa itu?
Ketika akan membahas setiap RUU, Komisi atau Pansus yang dibentuk DPR perlu mengundang pihak TNI dan Polri untuk dimintai pendapat dan pandangannya sebagai masukan.
Jadi, logikanya, pihak TNI tidak hanya dipanggil ke DPR saat rapat dengar pendapat (RDP) selaku mitra (pengawasan) kerja dengan Komisi I yang membidangi pertahanan.
Begitupun halnya Polri. Institusi keamanan dalam negeri ini tidak lagi dipanggil ke DPR sekadar berurusan dengan Komisi III yang membawahi urusan hukum.
Dua institusi tersebut sepatutnya dilibatkan juga dalam proses pembahasan RUU. Alasannya, kata Budi, tidak ada kebijakan nasional yang tidak berhubungan dengan aspek Hankam. Dia menunjuk contoh RUU Antipornografi dan Pornoaksi (APP).
Supaya UU APP kelak benar-benar aplikatif di lapangan, dalam hal penegakan hukumnya misalnya, pandangan Polri mesti didengarkan sebagai pihak paling berwenang menangani kasus-kasus pelanggaran UU APP itu di lapangan?
“Masalah pornografi dan pornoaksi memang tidak ada hubungan langsung dengan aspek Hankam, tapi institusi Polri yang paling tahu dinamika di lapangan,” jelas Budi.
Solusi selanjutnya yang ditawarkan Budi Harsono, di Pimpinan DPR ada semacam penghubung TNI dan Polri ke parlemen. Penghubung dari TNI dan Polri itu bukan anggota Dewan.
Setiap saat mereka bisa dimintai pendapat/pandangan oleh Pimpinan DPR atau komisi-komisi yang memerlukan. Misalnya, ketika ada pembahasan RUU yang membutuhkan pertimbangan dari aspek Hankam, mereka bisa dijadikan sebagai konsultan DPR. e-ti/af
04 | Terbanyak Belum Tentu Terbaik
Tanpa bermaksud menafikan keniscayaan mekanisme voting dalam proses pengambilan keputusan di DPR, Budi Harsono mengambil sebuah ilustrasi untuk menggambarkan betapa pilihan dari suara terbanyak tidak identik dengan pilihan yang terbaik.
Secara kasat mata sebuah benda berwarna putih. Lima orang diminta pendapatnya soal warna tersebut. Kalau empat orang mengatakan benda itu merah, maka satu orang yang melihatnya benda itu putih mau tak mau akan ikut pendapat mayoritas (empat orang) karena kalah dalam voting. Meski sebenarnya pendapat yang seorang itu paling benar.
Dalam pemilihan presiden, gubernur, atau bupati/walikota, belum tentu yang menjadi pemenang (karena memperoleh suara terbanyak) adalah yang pilihan terbaik.
Karena itu, pilihan yang terbaik sangat tergantung pada kualitas diri dari para pemilih, yang dilandasi oleh antara lain obyektivitas, tingkat pengetahuannya terhadap siapa atau apa yang dipilihnya (seperti karakter dan integritas).
Memilih seseorang tidak bisa atas dasar kesan sesaat saja hanya karena orang itu terlihat simpatik, misalnya. Tapi, perlu diketahui bagaimana karakternya, integritas pribadinya, dan kemampuan intelektualnya. Kemampuan untuk mengenali sesuatu atau seseorang lebih dalam hanya dimiliki orang yang berkualitas.
Kalau yang memilih adalah orang yang tidak berkualitas, subyektif dan emosional, itu namanya sekadar ikut-ikutan akhirnya. Hanya memilih berdasarkan kesan pertama saja.
Semua orang tahu secara kasat mata sebuah benda berwarna putih. Tapi karena ada kepentingan, karena sebagian besar menyatakan benda itu merah, akhirnya ikut-ikutan menyatakan merah. e-ti/af
05 | Pimpin F-TNI/Polri di Masa Kritis
Pada akhir 2001, ketika terjadi konflik politik antara Presiden Abdurrahman Wahid di satu pihak dan mayoritas fraksi di DPR di lain pihak dengan menggelar Sidang Istimewa MPR, sehingga akhirnya tampuk pemerintah diserahkan kepada (Wakil Presiden RI, saat itu) Megawati Soekarnoputri, Fraksi TNI/Polri mampu memposisikan diri secara tepat dan efektif.
Di tengah berlangsungnya pertikaian politik tingkat tinggi tersebut, peran Budi Harsono dan rekan-rekannya di F-TNI/Polri ikut berperan dalam menentukan nasib bangsa dan negara ini ke depan.
Secara filosofis, sebuah negara terdiri atas 3 (tiga) unsur: pemerintah, rakyat, dan wilayah. Pada hakikatnya, pengabdian TNI dan Polri hanya kepada kepentingan bangsa, negara, dan rakyat sebagai sebuah kesatuan. Selaku wakil dari TNI dan Polri di parlemen, F-TNI/Polri juga mengemban spirit pengabdian yang sama.
Jadi, sepanjang pemerintah menjalankan amanat UUD 1945 dengan baik untuk kepentingan rakyat dan keutuhan wilayah NKRI, F-TNI/Polri pasti memberikan dukungan.
Namun, manakala masalah yang ada sudah mengancam keselamatan bangsa dan negara atau di saat stabilitas nasional dipertaruhkan hanya untuk kepentingan-kepentingan politik praktis, maka F-TNI/Polri harus mengambil sikap dan tindakan dengan tetap menomorsatukan kepentingan bangsa dan negara. F-TNI/Polri yang hanya beranggotakan 38 orang selalu mengamati setiap dinamika dan perkembangan situasi di parlemen, sembari menganalisis berbagai langkah apa yang mesti ditempuh.
Sepanjang skala persoalan belum membahayakan keselamatan bangsa dan negara, F-TNI/Polri tidak memihak pihak manapun yang terlibat dalam konflik.
Karena sering berada di dalam arus perbedaan kepentingan dan dinamika politik praktis, dia dan rekan-rekannya di F-TNI/Polri harus benar-benar jernih menakar setiap persoalan yang mengemuka, bijak memposisikan diri, serta tegas menyatakan sikap.
F-TNI/Polri selalu mengadakan rapat-rapat internal untuk menganalisis dan menyikapi perkembangan keadaan dan dinamika politik di Senayan, dan keputusan rapat senantiasa dilaporkan kepada Panglima TNI dan Kapolri.
Selaku Ketua F-TNI/Polri, dan kebetulan berasal dari unsur TNI, Budi harus secara intensif melaporkan langsung setiap dinamika politik yang berlangsung di DPR/MPR, dan setiap hasil keputusan rapat internal F-TNI/Polri, kepada Panglima TNI, Kapolri, dan Kasospol TNI agar Mabes TNI dan Polri tidak ketinggalan akan informasi-informasi penting yang berguna ketika akan mengambil keputusan.
Alhasil, berkat komitmen dan selalu bersandar pada netralitas dan prinsip nonpartisan, serta senantiasa menyikapi substansi konflik dari sudut kepentingan bangsa, negara, dan rakyat Indonesia secara keseluruhan, F-TNI/Polri akhirnya mampu menempatkan dirinya secara tepat di tengah tarik-menarik kepentingan politik praktis.
Kasus Bulog
Dalam sejarah panjang pengabdiannya kepada bangsa dan negara, F-TNI/Polri pernah dihadapkan pada kondisi yang kritis yakni sebuah kebuntuan politik antara mayoritas fraksi di DPR, di satu pihak, dan Presiden Abdurrahman Wahid yang didukung minoritas fraksi di DPR, di lain pihak, sekitar akhir tahun 2001.
Pertikaian yang memanas itu bermula dari dugaan penyalahgunaan kekuasaan terkait dana Bulog yang ditudingkan oleh mayoritas fraksi di DPR kepada Presiden Abdurrahman Wahid.
Tudingan tersebut menajam menjadi pertikaian politik sampai membuahkan kesepakatan mayoritas fraksi di DPR membentuk sebuah panitia khusus (Pansus) untuk menyelidiki kasus tersebut secara tuntas. Dilakukanlah pemungutan suara (voting) apakah perlu dibentuk Pansus atau tidak.
Jika pada forum-forum voting sebelumnya cenderung memilih abstain, maka ketika dilakukan voting untuk mengambil keputusan tentang perlu tidaknya dibentuk Pansus, F-TNI/Polri memilih setuju.
Persetujuan F-TNI/Polri semata-mata agar kasus tersebut bisa segera dijernihkan. F-TNI/Polri tidak ingin isu tersebut mengambang atau diambangkan menjadi ‘bola salju’ politik yang menimbulkan ekses lebih luas, dan malahan menyimpang dari substansinya.
F-TNI/Polri tidak mau bila rakyat –yang sejatinya sudah mengalami krisis kepercayaan kepada para elit politik nasional baik eksekutif maupun legislatif– menjadi semakin bingung dan diombang-ambingkan oleh ketidakpastian.
Meski begitu, fleksibilitas pilihan sikap tetap diperankan F-TNI/Polri. Terhadap rencana pembentukan Pansus Bulog, F-TNI/Polri memberikan dukungan. Namun, saat DPR menggelar voting untuk mengambil sikap atas persoalan-persoalan yang menyangkut substansi kasus, F-TNI/Polri kembali bersikap abstain.
Alasannya? Karena, F-TNI/Polri menilai persoalan masih berskala konflik kepentingan, dan mempersepsikannya belum membahayakan keselamatan bangsa dan negara.
Posisi F-TNI/Polri sebenarnya berada di tengah-tengah dalam ruang konflik yang bersumber dari kasus Bulog. Tidak ikut sana atau sini. Karenanya dalam berbagai voting menyangkut kasus Bulog F-TNI/Polri cenderung memilih abstain karena masalah itu belum menyangkut kelangsungan hidup bangsa.
Riskonya, kerap muncul komentar bernada miring tertuju kepada F-TNI/Polri, termasuk yang datang dari kalangan Dewan sendiri. “Apa gunanya ada di DPR kalau bersikap abstain terus. Masalahnya kan sudah jelas, tinggal menilai benar atau salah saja! Kok tidak mau ambil sikap? Mengapa memilih abstain?” demikian celetukan pedas dan sinis yang ditujukan kepada F-TNI/Polri.
Padahal, Budi Harsono mengklarifikasi, abstain adalah juga sebuah pilihan sikap. Pilihan itu dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa sebagai alat negara, F-TNI/Polri hanya mengabdi kepada kepentingan bangsa dan negara.
Menyangkut kasus Bulog, lanjutnya, jika diukur secara jernih dan murni dari skala kepentingan nasional, substansi kasus tersebut sesungguhnya relatif tidak begitu berdampak pada nasib dan kelangsungan hidup bangsa dan negara.
Dengan kata lain, F-TNI/Polri menilai substansi persoalan tidak layak untuk dijadikan masalah nasional apalagi sebagai alasan kuat dan mendesak untuk mengganti pemerintahan.
Kasus Bulog hanyalah titik picu utama sebuah ledakan besar dari akumulasi masalah yang sudah menumpuk di negara ini, seperti krisis kepercayaan rakyat kepada para elit politik dan ketidaksalingpercayaan di antara elit politik sendiri.
Konflik di Tubuh Polri
Suhu politik yang meningkat akibat konflik kepentingan antarelit partai politik semakin memanas manakala ada kebijakan baru dari Presiden tentang pengangkatan Kapolri baru.
Dari awal, proses pengangkatan Kapolri tersebut dinilai tidak tepat. Menurut Budi, sesuai prosedur yang berlaku di Polri, setelah melalui proses Wanjakti, Kapolri memilih beberapa orang calon penggantinya dan mengajukannya kepada Presiden. Biasanya, ada dua atau tiga orang calon Kapolri yang diajukan kepada Presiden. Presiden lantas memilih satu atau dua dari tiga calon yang diajukan Kapolri untuk selanjutnya dimintai persetujuan dari DPR RI.
Bila seandainya Presiden menilai tidak ada satu pun nama yang diajukan Kapolri layak untuk dicalonkan, maka Presiden akan mengembalikan konsep itu kepada Kapolri untuk dibahas lagi.
Dalam konteks pergantian Kapolri baru yang bermasalah tersebut, persoalannya Presiden menunjuk seorang perwira tinggi Polri sebagai Kapolri baru. Kebijakan tersebut tidak sepenuhnya melalui tahapan proses di internal Polri.
Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kekisruhan di dalam tubuh Polri. Sehingga, tak ayal, dualisme kepemimpinan melanda lembaga Polri dan itu potensial menciptakan konflik internal di tubuh Polri.
Bila dibiarkan berlarut-larut, kondisi rawan di tubuh Polri mulai dari pusat sampai ke daerah bisa membahayakan keselamatan bangsa dan negara serta mengancam stabilitas keamanan nasional. Pasalnya, institusi Polri adalah sebuah sistem dan organisasi yang bersenjata, dengan tugas utama menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
“Ciri-ciri organisasi bersenjata itu dia harus satu dan harus homogen”, demikian pernyataan Budi Harsono soal dualisme kepemimpinan Polri, menanggapi pertanyaan wartawan seusai mengikuti Sidang Paripurna MPR 2001.
Kekisruhan di tubuh Polri itu memperburuk situasi dan kondisi politik nasional pada saat itu yang tidak kondusif dan tidak stabil. Sebab, sebelumnya telah berlangsung krisis kepercayaan rakyat kepada para elit politik dan suasana saling tidak percaya antarelit politik sendiri.
Dalam situasi dan kondisi negara yang tidak stabil tersebut, soliditas Polri dan TNI justru sangat dibutuhkan untuk menjaga keamanan dan ketertiban nasional serta keselamatan bangsa dan negara.
Bagaimana Polri bisa fokus menjalankan tugas menjaga keamanan ibukota dan daerah di seluruh tanah air apabila di tubuh organisasi Polri sendiri terjadi dualisme kepemimpinan yang berimplikasi buruk pada kebijakan Polri di lapangan?
Gejala Serupa di TNI
Faktor lain yang menuntut F-TNI/Polri mengambil sikap adalah adanya gejala kejadian serupa di tubuh Polri yang mengimbas ke dalam tubuh TNI yang membuat institusi pertahanan negara yang dikenal sangat solid tersebut menjadi resah.
Berbagai manuver di tubuh TNI memang belum sampai menciptakan dualisme kepemimpinan di institusi tersebut. Namun, gaya berpolitik praktis untuk kepentingan sendiri sudah mulai menggejala. Hal itu ditandai oleh perilaku politik praktis dari oknum-oknum TNI dalam rangka mendapatkan dukungan politik demi memenuhi kepentingan dan ambisi pribadinya sendiri.
Sidang Istimewa MPR
Memanasnya situasi politik terutama ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah, ketidakpercayaan masyarakat terhadap elit politik, dan sikap saling tidak percaya di antara elit politik sendiri, mendorong pimpinan MPR mengundang seluruh anggotanya, sekitar 500 orang anggota DPR ditambah sekitar 200 anggota dari utusan daerah dan utusan golongan, untuk mengikuti sidang paripurna MPR pada Sabtu, 21 Juli 2001.
Presiden diundang datang ke MPR untuk dimintai pertanggungjawaban. Suasana kian memanas lantaran Presiden Wahid menganggap sidang paripurna yang akan digelar MPR tersebut ilegal alias tidak sah.
Lepas dari penolakan Presiden Wahid tersebut, pada Sabtu pagi itu, MPR tetap mengadakan Sidang Paripurna guna mengadakan pemungutan suara soal percepatan SI MPR. Seusai sesi penyampaian pandangan dari setiap fraksi, sesi pemungutan suara lewat voting pun diambil.
Hasil akhirnya: dari 601 anggota MPR yang hadir di sidang paripurna, 592 orang menyatakan setuju SI MPR dipercepat, dan sidang tersebut diselenggarakan pada Senin, 23 Juli 2001.
Dalam voting tersebut, F-TNI/Polri menyatakan dukungan dipercepatnya SI MPR. “Kita memang mendukung dipercepatnya Sidang Istimewa MPR,” kata Budi Harsono. Dukungan tersebut telah melalui proses pemikiran dan pertimbangan panjang dan terus-menerus dalam mengamati perkembangan keadaan yang terjadi dan telah diproses melalui mekanisme dan prosedur yang berlaku.
Sejak awal, F-TNI/Polri memang menilai secara jernih bahwa kasus Bulog memang bermasalah namun itu belum bisa dijadikan legitimasi atau ‘bahan mentah’ ideal bagi diselenggarakannya SI-MPR, sebab belum terkategori masalah yang berskala nasional. Akan tetapi, F-TNI/Polri punya dasar pertimbangan khusus. Kondisi bangsa dan negara semakin tidak menentu akibat ekses dari pertikaian politik antara Presiden yang didukung 10 persen fraksi di DPR dan mayoritas fraksi di DPR.
Pertimbangan paling utama adalah kekhawatiran pada dampak buruk dari kebijakan Presiden mengangkat Kapolri baru yang bermasalah. Konflik melanda tubuh Polri padahal dia alat pengamanan negara yang bersenjata. Kondisi ini akan membahayakan keselamatan bangsa dan negara.
Di samping faktor dualisme kepemimpinan di Polri, persetujuan F-TNI/Polri pada percepatan SI MPR tak lepas dari pertimbangan F-TNI/Polri yang mempersepsikan kondisi negara sudah semakin kritis, menyusul banyaknya aktivitas dan manuver politik saat itu.
Kondisi tersebut diperburuk oleh mengkristalnya krisis kepercayaan rakyat kepada elit-elit politik, termasuk aparat pemerintah baik di lembaga eksekutif maupun legislatif.
Dekrit Presiden
Minggu, 22 Juli 2001. Di Istana Merdeka banyak berkumpul kalangan aktivis prodemokrasi, mulai dari tokoh-tokoh LSM sampai mahasiswa. Kedatangan mereka untuk menyatakan dukungan moral kepada Presiden Abdurrahman Wahid.
Malam harinya, Gus Dur menemui para tamunya sembari mengintrodusir niatnya untuk mengeluarkan Dekrit. Isu yang beredar luas bahwa Presiden Wahid akan mengeluarkan Dekrit Presiden pada pukul 22.00 malam itu.
Keputusan Presiden Abdurrahman Wahid untuk mengeluarkan Dekrit ternyata memang tidak bisa dicegah lagi. Akhirnya, pada 23 Juli 2001, tengah malam, Presiden Wahid keluar ruangan dan berdiri di hadapan wartawan, yang telah menunggu hampir tiga jam lebih, untuk mengumumkan maklumat.
Presiden Wahid mengakui bahwa maklumat itu bukan tindakan yang menyenangkan tapi dia harus mengambil tindakan demi keselamatan bangsa dan negara.
Isi lengkap maklumat atau yang sering disebut “dekrit” oleh Presiden Wahid kemudian dibacakan Juru Bicara Kepresidenan Yahya C. Staquf pada pukul 01.17.
Maklumat itu menyebutkan, “Krisis konstitusional telah memperparah krisis ekonomi, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi. Maka dengan keyakinan dan tanggung jawab untuk menyelamatkan negara dan bangsa serta berdasarkan sebagian terbesar masyarakat Indonesia, hari ini selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, saya terpaksa mengambil langkah-langkah luar biasa untuk memaklumkan:
(1) Membekukan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI dan Dewan Perwakilan Rakyat RI;
(2) Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk penyelenggaraan pemilihan umum dalam waktu setahun;
(3) Menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.”
Presiden Abdurrahman Wahid juga memerintahkan seluruh jajaran TNI dan Polri untuk “mengamankan langkah-langkah penyelamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Tak pelak, kehebohan dan suasana hiruk-pikuk merebak di Hotel Mulia, tempat menginap Ketua MPR Amien Rais dan mayoritas anggota MPR lain.
Setelah berkonsultasi dengan kalangan pimpinan fraksi MPR yang berkumpul di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, Ketua MPR-RI, Amien Rais, menggelar jumpa pers pada pukul 02.00 dini hari. Isinya, penegasan bahwa MPR tetap melaksanakan SI MPR.
Tak lama kemudian, Akbar Tanjung, Ketua Umum DPP Partai Golkar, pun mengadakan jumpa pers. Begitupun Menkopolsuskam, Agum Gumelar, yang mengadakan pertemuan pers menjelang shalat subuh.
Sidang Istimewa MPR pun akhirnya digelar pada Senin, 23 Juli 2001, siang. Petang harinya, pukul 16.53, sidang MPR yang dihadiri sebanyak 591 anggota secara resmi menyatakan persetujuannya memberhentikan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI ke-4 sebab dinilai melanggar haluan negara.
MPR juga sepakat untuk mengangkat Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI ke-5.
Menurut hemat Budi Harsono, Maklumat atau Dekrit Presiden yang kemudian berbuah pemberhentian Presiden Wahid oleh MPR dalam Sidang Istimewa justru mendelegitimasi pemerintahan saat itu.
“Dekrit atau maklumat Presiden itulah yang akhirnya membuat Sidang Istimewa MPR sah untuk digelar,” demikian argumentasi Budi.
Dalam hemat Budi, Dekrit Presiden merupakan sebuah langkah politis yang ditempuh Presiden untuk menyelamatkan negara yang dipersepsikannya dalam situasi darurat.
Dekrit adalah pemecahan masalah politik di luar prosedur karena kondisi darurat. Presiden Soekarno pernah mengeluarkan Dekrit sebagai solusi atas masalah yang ada pada Kontituante.
Hanya saja, tak bisa dipungkiri keniscayaan satu hal, Dekrit akan efektif berjalan jika mendapatkan dukungan dari seluruh rakyat, termasuk dari kekuatan-kekuatan politik di negara ini. Namun sebaliknya Dekrit akan gagal bila tidak mendapatkan dukungan dari kekuatan-kekuatan politik yang ada. Dekrit Presiden pada tanggal 23 juli 2001 tersebut tidak mencapai sasaran karena tidak mendapatkan dukungan dari kekuatan-kekuatan politik yang ada.
Demikianlah sekelumit peran yang diemban anggota TNI dan Polri yang tergabung dalam F-TNI/Polri sewaktu bertugas di DPR dulu, terutama perannya di masa-masa kritis yang menentukan nasib bangsa dan negara. e-ti/af
06 | Mengabdi melalui Partai Golkar
Karena pertimbangan historis dan ideologis, Budi Harsono menerima ajakan Akbar Tandjung bergabung ke Partai Golkar. Dia pun menyambut kepercayaan dan tanggung jawab sebagai Sekjen Partai Golkar.
Belum genap dua bulan menjalani masa pensiun dari dinas ketentaraan, Budi diajak Akbar bergabung ke Partai Golkar. Dia juga ditawari posisi Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar oleh politikus kawakan tersebut.
Budi lantas minta waktu satu minggu untuk memikirkan secara matang tawaran Akbar, yang saat itu menjabat Ketua Umum DPP Partai Golkar, sebelum mengambil keputusan.
Akhirnya, dengan segenap pertimbangan termasuk berbagai konsekuensi yang bakal diterima, terhitung sejak Agustus 2002, Budi yang pensiun dari TNI pada awal Juni 2002 memutuskan menerima tawaran sekaligus tantangan tersebut.
Ada sejumlah faktor yang melatarbelakangi keputusan Budi Harsono bergabung ke partai politik terbesar di Indonesia itu. Dua di antaranya adalah alasan ideologis dan pertimbangan historis.
Selama meniti karir di dunia militer, mulai sejak menjalani pendidikan pembentukan militer sebagai taruna AMN di Magelang sampai menunaikan tugas dan pengabdian akhir di Fraksi TNI/Polri DPR, dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal TNI, ada sebuah spirit yang senantiasa menjadi pedoman hidupnya dalam mengaktualisasikan diri. Yakni semangat bernegara dan membela negara.
Di mata seorang Budi Harsono, semangat kebangsaan, yang nota bene selaras dengan TNI, merupakan karakter yang melekat sangat kuat pada Partai Golkar dan menjadi kelebihannya dibandingkan Parpol-parpol lainnya.
Terlebih lagi, Partai Golkar sangat tidak asing bagi anggota Fraksi Partai Golkar (2004-2009) yang kini ditugaskan di Komisi VII (bidang Energi dan Sumber Daya Mineral) DPR itu. Budi menghabiskan sebagian besar masa 35 tahun pengabdiannya di bidang teritorial.
Pengalaman bertugas di bidang teritorial membuat Budi mengenal dan memahami sekali seluk-beluk Partai Golkar. Sebab, dia banyak berinteraksi dengan kalangan fungsionaris, termasuk para petinggi, Partai Golkar.
Seperti dipahami, Golkar merupakan satu dari tiga jalur yang menjadi tulang punggung pemerintahan Orde Baru, yang terkenal dengan sebutan ABG. ABG sendiri adalah singkatan dari ABRI untuk huruf A, Birokrasi untuk huruf B, dan Golongan Karya (di era reformasi berubah nama menjadi Partai Golkar) untuk huruf G.
Di berbagai forum pertemuan ABG, dia sering terlibat di dalamnya. Dalam kesempatan-kesempatan itu, dia selalu berinteraksi dengan kalangan petinggi dan fungsionaris Golkar. Karenanya, dia relatif tidak terlalu kesulitan menyesuaikan diri dengan dinamika di Golkar.
Partai Perekat NKRI
Dari pengalaman interaktif selama puluhan tahun itu, dia sangat memahami apa dan bagaimana Golkar. Seperti halnya TNI, Partai Golkar memiliki landasan berfikir, platform, dan komitmen nasionalisme serta menjadi simbol perekat sekaligus pengawal bagi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Pancasila sebagai Dasar Negara. Partai Golkar berperan sebagai tonggak perekat bagi bangsa Indonesia yang majemuk ini.
Bagi Budi, faktor-faktor perekat bagi tegaknya NKRI ini adalah Birokrasi, TNI, dan Parpol. Sebagai sebuah Parpol, apabila Partai Golkar sampai lemah, maka kekuatannya sebagai perekat NKRI bisa hilang.
Bertolak dari pemahaman tersebut dia kemudian mau bergabung ke Partai Golkar dengan sebuah motivasi agar dapat menyumbangkan darma baktinya kepada bangsa dan negara, melalui Parpol itu.
Sokoguru kehidupan demokrasi adalah Parpol. Demokrasi akan dapat bertumbuh dan berkembang dengan sehat jika Parpolnya berkualitas. Sejauh penilaiannya, di antara begitu banyak Parpol yang ada saat ini, hanya sedikit yang berkualitas, salah satunya adalah Partai Golkar.
Dia ingin mengabdikan diri di Partai Golkar karena sangat meyakini dan menaruh harapan bahwa proses demokrasi di negeri ini akan bisa berjalan dengan baik melalui kiprah Partai Golkar.
Satu kekuatan lain yang dimiliki Partai Golkar adalah sumber daya manusia (kader)-nya yang berkualitas serta jaringan yang terstruktur dan mengakar rumput sampai ke daerah yang tersebar di seluruh penjuru tanah air.
Dari aspek kualitas SDM, misalnya, Partai Golkar punya kader yang rata-rata berkualitas sehingga persaingan di internal pun relatif ketat. SDM dari Partai Golkar adalah salah satu yang terbaik di negara ini. Menunjuk anggota Fraksi Partai Golkar di DPR, dia menegaskan, sebagian besar dari mereka adalah kader partai yang memang besar melalui proses. Tidak ada yang karbitan.
“Saya melihat Partai Golkar memiliki struktur jaringan terbaik dari pusat sampai ke daerah dan kader yang berkualitas baik di antara partai-partai politik yang ada di Indonesia. Saya ingin agar Partai Golkar yang sudah 30 tahun dibangun ini tidak hilang ditelan zaman,” papar Budi.
“Saya ingin ikut membangun Partai Golkar agar partai ini benar-benar dipercaya oleh rakyat. Alhamdulillah, sampai saat ini, Partai Golkar masih dipercayai rakyat yang diindikasikan dari perolehan suara terbanyak pada Pemilu 2004.”
Konflik Internal
Di samping alasan historis dan ideologis tersebut, ada satu faktor penting lain yang memotivasi Budi memberikan sumbangsih kepada Partai Golkar.
Apa itu? Kondisi Parpol pemenang Pemilu 2004 itu tengah diterpa konflik internal, yang potensial sekali memicu perpecahan menyusul masalah Bulog yang menimpa Akbar Tandjung.
Dia mengaku prihatin, di saat mengerahkan segenap energi guna menghadapi persoalan hukum, Akbar justru digoyang secara politis oleh internal partainya sendiri. Ada kelompok yang hendak melemahkan posisinya.
“Andai Pak Akbar tidak punya masalah seperti itu, mungkin saya belum tentu mau bergabung ke Partai Golkar. Tapi karena ada masalah, saya terpanggil untuk membantu beliau menyelesaikan masalah tersebut,” tutur Budi.
Apakah ada kedekatan emosional Budi Harsono dengan Akbar Tandjung? “Hubungan saya dengan Pak Akbar baik dan sudah berlangsung lama. Namun, motivasi utama saya bergabung ke Partai Golkar adalah keinginan saya agar partai ini tetap utuh,” ungkapnya.
Dia melihat potensi perpecahan yang ada di Partai Golkar dapat merusak semuanya. Karena saat ini Partai Golkar adalah salah satu partai yang punya tekad dan komitmen pada NKRI dan mampu menjadi perekat bangsa ini, selain TNI dan pemerintah.
“Sangat disayangkan bila partai ini sampai pecah dan hancur, apalagi dulu TNI ikut membidani kelahirannya. Jika Partai Golkar pecah, perkembangan demokrasi di negeri ini akan menjadi berantakan. Karena itu, saya terpanggil dengan segenap kemampuan untuk ikut membantu meredakan ketegangan yang tengah berlangsung di internal Partai Golkar saat itu,” cetus Budi lagi.
Begitu bergabung dan menjalankan tugas sebagai Sekjen partai, Budi Harsono tidak menemui hambatan serius dalam menyesuaikan diri. Hal itu tak lepas dari pemahamannya yang mendalam akan seluk-beluk Partai Golkar.
Selain itu, secara pribadi, dia juga sudah lama kenal baik dengan tokoh-tokoh Golkar. Apalagi, pengalamannya dulu sebagai Assospol TNI sangat mendukungnya menjalin interaksi dengan para tokoh Golkar.
Setiap Ketua Umum Golkar mengadakan rapat-rapat tiga jalur Partai Golkar, misalnya, Budi yang ditugaskan dari Mabes TNI. Karenanya, dia kenal banyak tokoh Golkar dalam rapat-rapat intensif tiga jalur tersebut.
Maka, ketika dia diajak Akbar Tandjung bergabung ke Partai Golkar dan diberi kepercayaan memangku jabatan Sekjen, dia relatif mampu memposisikan diri sebagai jembatan.
Peran sebagai jembatan komunikasi di tubuh Partai Golkar bisa Budi jalani berkat pengalaman sebelumnya di DPR saat menjadi Ketua Fraksi TNI/Polri, yang sering dimintai fraksi-fraksi yang saling berseteru sebagai penengah.
Kini, setelah tidak lagi duduk dalam struktur kepengurusan pusat partai terhitung sejak akhir Desember 2004, pasca-Pemilu 2004, Budi tetap menunjukkan loyalitasnya kepada Partai Golkar.
Secara pribadi, dia tetap menjalin hubungan baik dengan seluruh kader dan tokoh-tokoh Partai Golkar, dengan sikap saling menghargai.
Lagi pula, Budi menekankan, dia bergabung ke Partai Golkar semata-mata dimotivasi oleh keinginan untuk menjaga keutuhan partai dan pada gilirannya menjaga keutuhan negara ini.
Sebagai wujud konsistensi loyalitasnya kepada partai, bila ada hal-hal yang menurutnya penting, dia tetap menyampaikan saran dan masukan kepada partai baik secara informal yakni melalui pribadi-pribadi pengurus pusat partai, maupun secara formal memberi saran melalui berbagai media yang ada. Bagi Budi, selaku kader, dia hanya mengabdi kepada partai bukan mengabdi kepada orang perorang.
Dulu, secara formal, sewaktu memegang posisi Sekjen Partai Golkar, dia memang bisa mempraktikkan ide/gagasannya. Dan, ada kepuasan batin pada diri Budi tatkala seluruh jerih-payahnya dan segenap energinya yang dicurahkan kepada Partai Golkar selaku Sekjen, membuahkan hasil yang tidak mengecewakan.
“Sewaktu saya diajak Pak Akbar untuk membesarkan Partai Golkar, saya bantu sepenuh hati demi kebesaran dan keberlangsungan partai ini. Dan, alhamdulillah, Partai Golkar tetap utuh dan selamat dari ancaman perpecahan. Bahkan, Partai Golkar mampu tampil sebagai pemenang Pemilu 2004, yang ditandai dominasi wakilnya di DPR,” tandas Budi Harsono. e-ti/af
07 | Dari Teritorial ke Pentas Politik
Selama 35 tahun berkarier di militer, sebagian besar tugas Budi Harsono dihabiskan di bidang teritorial (1967-2002). Tugas sebagai Kasdim, Dandim, Kasrem, Danrem, Aster, hingga Assospol pernah dijalani Budi.
Dijelaskan oleh Budi, hakikat tugas teritorial adalah bergaul dengan masyarakat. Sama dengan ajaran agama, kita harus banyak bersilaturahmi. Tugas teritorial memang pada dasarnya membina masyarakat.
Atas dasar itu, orang teritorial selalu memegang prinsip dalam bertugas, yakni tidak boleh punya musuh, justru harus punya banyak teman dan sahabat.
Ada filosofi tugas di teritorial: Bersikap baik dengan semua orang, semua kalangan, dan semua lapisan masyarakat.
Sampai-sampai, karena sering bergaul dengan masyarakat luas, banyak kalangan yang tidak percaya: kok karakter Budi Harsono tidak seperti seorang militer. Tidak seperti tentara kebanyakan.
Pergaulan dengan masyarakat sangat membantu kelancaran tugas Budi saat terjun ke pentas politik praktis, yang diawalinya sebagai anggota Fraksi TNI/Polri di DPR-MPR.
“Pengalaman teritorial sangat membantu saya mengemban tugas di bidang politik di DPR/MPR dulu. Begitu pun halnya pergaulan saya dengan lingkungan partai politik merupakan bagian dari tugas-tugas teritorial. Jadi tidak sulit bagi saya bergaul dengan kalangan aktivis/fungsionaris Parpol, bergaul dalam arti kata yang akrab. Saya punya akses dengan kalangan tokoh Parpol-parpol sehingga itu membantu saya menjalankan tugas di Fraksi TNI/Polri.”
Kesenjangan komunikasi
Ada kesimpulan yang diperoleh Budi selama dia terjun ke dunia politik praktis selama 4,5 tahun bertugas di Fraksi TNI/Polri DPR-RI, baik sebagai anggota biasa, wakil ketua, maupun ketua fraksi.
Menurutnya, hampir semua masalah di negara ini timbul akibat adanya kesenjangan komunikasi antara rakyat dan pemerintah serta antara elit-elit politik. Terlebih dalam kehidupan politik, komunikasi merupakan hal yang sangat dominan pengaruhnya.
Dia mulai bertugas di DPR di kala bangsa ini tengah menghadapi masa kritis dan masa transisi dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Dia menilai, jalinan komunikasi antara aparatur pemerintah (birokrasi) dan masyarakat luas, di awal reformasi bergulir, relatif tidak berlangsung harmonis.
Ada sejumlah faktor penyebab timbulnya masalah yang menerpa bangsa ini. Salah satu faktor penting namun berakibat fatal adalah kesenjangan komunikasi antara rakyat dan pemerintah.
“Karena itu, dengan berbagai lapisan masyarakat, saya berusaha untuk bisa saling berkomunikasi dengan menciptakan ruang dialog,” jelasnya.
Ketika menjabat Ketua Komisi II DPR (bidang Pemerintahan Dalam Negeri), dia berusaha semaksimal mungkin membangun dan menciptakan ruang komunikasi dengan masyarakat luas, termasuk dengan tokoh-tokoh gerakan reformasi.
Dia menambahkan, pihaknya membuka ruang dialog agar tidak terjadi kesenjangan komunikasi dalam rangka mengatasi persoalan yang dihadapi bangsa saat itu. Baginya komunikasi dengan masyarakat harus selalu dibangun dan dijalin.
Jangan sampai terjadi kesenjangan komunikasi apalagi menyangkut persoalan-persoalan bangsa yang menuntut pemecahan bersama. Karenanya, aspirasi dari berbagai elemen masyarakat yang datang ke Senayan ditampung dan direspons.
“Dalam kapasitas Ketua Komisi II, pada 1998, saya undang Pak Amien Rais dan kawan-kawan datang ke DPR untuk berdialog dengan Komisi II. Saat itu belum terjadi pergantian kekuasaan. Mahasiswa belum masuk dan menduduki Gedung DPR/MPR. Dan, Pak Harto belum mengundurkan diri.”
Menurutnya, seadainya tidak terjadi kesenjangan komunikasi, tidak akan ada masalah. Semua masalah akhirnya mengemuka, dalam pengamatan Budi, adalah akibat terjadinya kesenjangan komunikasi.
Misalnya, komunikasi antartokoh nasional sendiri atau antara tokoh-tokoh nasional dan pemerintah. Sehingga, tidak bisa saling berkomunikasi dengan baik. Sikap saling mencurigai yang justru lebih mengemuka.
Hal itu akibat dari tersumbatnya saluran komunikasi sehingga satu sama lain tidak saling memberikan informasi, dan pada akhirnya, muncul kesimpulan sendiri-sendiri, yang tentu saja sangat apriori sifatnya.
Sejarah Terulang
Demokrasi hanya bisa dibangun melalui peran partai politik (Parpol) yang mendapatkan kepercayaan dari rakyat. Aspirasi rakyat disalurkan melalui Parpol. Dengan kata lain, kualitas demokrasi sangat ditentukan oleh kualitas Parpol-parpolnya. Demokrasi ditumbuhkan dan dikembangkan melalui Parpol.
Meskipun presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota dipilih secara langsung, namun sistem demokrasi yang dianut, diterapkan, dan ditumbuh-kembangkan di Indonesia sejatinya adalah sistem perwakilan.
Walaupun setiap warga negara memiliki hak politik (suara), demokrasi yang dikembangkan tetap bertumpu pada sistem perwakilan. Perwakilan itu sendiri dipilih melalui mekanisme Parpol. Proses pengambilan keputusan setiap kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah melalui perwakilan Parpol yang duduk di DPR atau DPRD.
Fakta lain, dalam proses pemilihan kepala daerah (Pilkada), calon gubernur, calon bupati atau calon walikota harus diajukan oleh Parpol, yang memiliki perwakilan di DPRD daerah bersangkutan yang menyelenggarakan Pilkada tersebut. Singkatnya, peran Parpol sangat menentukan kehidupan demokrasi.
Parpol diibaratkan sel inti dalam pembangunan tubuh demokrasi di negeri ini. Namun, fenomena Parpol di tanah air dewasa ini cenderung tidak menampilkan peran idealnya. Malah, kontraproduktif bagi demokrasi, kondisi riil menunjukkan semakin menipisnya kepercayaan rakyat kepada Parpol. Bahkan, sebagian rakyat terlanjur memandang apriori terhadap manfaat dari kiprah dan peran Parpol.
Itulah problema dan tantangan yang dihadapi bangsa ini saat ini, yang, ironisnya, relatif sama dengan yang terjadi di masa lalu. Sejarah mencatat, peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru merupakan akibat dari krisis kepercayaan rakyat kepada partai politik yang ada.
Lembaga Konstituante menemui jalan buntu dalam mengambil keputusan dan akhirnya membuahkan krisis kepercayaan rakyat kepada Parpol.
Bila menyimak kondisi peranan Parpol dalam kehidupan demokrasi saat ini, ada semacam simpul bahwa sejarah terulang kembali karena sebagian masyarakat berpendapat bahwa sebagian Parpol yang ada tidak sepenuhnya memikirkan kepentingan dan nasib rakyat.
Fenomena itu semakin diperparah dengan banyaknya anggota DPRD di daerah yang terlibat dalam kasus korupsi. Akibatnya, rakyat semakin berkurang kepercayaannya kepada Parpol.
Padahal Parpol dibentuk untuk mengurusi dan melayani kepentingan rakyat. Tengok saja, saat kampanye Pemilu, setiap Parpol menebar janji-janjinya nan muluk akan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat. Pokoknya pro rakyat lah.
Tapi Parpol-parpol tersebut tidak bisa membuktikan dan memenuhi janji-janjinya saat kampanye itu. Kenyataan demikian tak pelak menorehkan satu kesadaran kritis di benak rakyat, Parpol-parpol ternyata hanya hidup saat Pemilu. Begitu hiruk-pikuk Pemilu berakhir, sosok Parpol pun seakan-akan berkurang kegiatannya.
Itu mengindikasikan Parpol telah mempertontonkan sebuah perilaku demokrasi yang kurang konsisten di hadapan rakyat. Ini tantangan terbesar bagi bangsa ini, bagaimana Parpol harus bisa terus memupuk kepercayaan dari rakyat.
“Jangan hanya berlakon bagus saat akan Pemilu semata-mata untuk menarik dukungan rakyat. Justru ketika terjadi bencana alam (tsunami, banjir bandang, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus) di berbagai daerah di tanah air, misalnya, Parpol harus bisa membuktikan diri secara konkret berbuat untuk meringankan beban penderitaan rakyat,” tandasnya.
Kondisi lain yang diharapkan dilihat dari peran Parpol, dia menambahkan, adalah terkait dengan semakin menipisnya kesadaran bernegara dan kesadaran bela negara pada warga negara Indonesia.
Selain pemerintah melalui jajaran birokrasinya, hemat Budi, Parpol adalah aktor utama yang sangat diharapkan berperan dalam memberikan pendidikan politik pada kader dan simpatisannya. Pendidikan politik tersebut antara lain adalah menumbuh-kembangkan kesadaran bernegara dan kesadaran bela negara kepada seluruh warga negara Indonesia.
Berbagai hal tersebut di atas merupakan tantangan bagi Parpol-parpol untuk berbenah diri. Raih kepercayaan masyarakat karena demokrasi hanya dapat berkembang dengan baik bila Parpol-parpol berkualitas! e-ti/af