Pejuang Independensi MA
Soerjadi, SH
[ENSIKLOPEDI] Soerjadi, SH adalah pejuang independensi Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Agung RI Ketiga periode Juni 1966 sampai Agustus 1968 itu sangat teguh pada prinsip independensi MA. Dia menabukan hakim agung berasal dari TNI (ABRI) dan nonhakim serta melarang hakim berpolitik. Ketika prinsip ini didobrak kekuasaan, dia pun memilih mundur. Dia yang menggantikan Wirjono Prodjodikoro (1952-1966) kemudian digantikan Prof. R. Soebekti (1968-1974).
Soerjadi yang juga pernah menjabat Ketua Mahkamah Tentara Agung ke-III, Ketua PN Semarang dan Hakim Agung pada MA (Wakil PNI) dikenal sebagai seorang hakim yang hidup bersahaja, jujur, berani, profesional serta loyal dan berdedikasi tinggi dalam pengabdiannya kepada negara untukmenegakkan keadilan.
Kendati Soerjadi, SH menjadi Hakim Agung pada MA merupakan Wakil PNI dan Anggota Majelis Permusyaratan Rakyat Sementara (MPRS), dia tidak setuju bila hakim berkiprah dalam politik. Sebagai bukti kuat sikapnya menolak hakim berpolitik, dia mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1967 tentang Hakim yang akan duduk dalam Dewan Pemerintahan baik di Pusat maupun Daerah.
Dalam SEMA tersebut, Soerjadi, SH memberi pilihan kepada hakim-hakim untuk memilih salah satu: tetap menjadi hakim atau berkiprah dalam politik (Istilah yang digunakan dalam SEMA itu adalah menerima pengangkatan ‘menjalankan kewajiban negara’). Bila hakim tersebut memilih opsi menjalankan kewajiban negara’ (jalur politik), maka harus atas persetujuan Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Tinggi dan MA, lalu mengajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman untuk diberhentikan sementara dari pekerjaannya (hakim) selama ‘menjalankan kewajiban negara’ tersebut.
Soerjadi, SH, seorang Ketua MA yang teguh pada prinsip (independensi MA). Maka ketika prinsip itu didobrak kekuasaan, di antaranya tentang prinsip hakim agung harus hakim karir dan tidak dimasuki golongan lain (militer)
Selain itu, Soerjadi juga diperhadapkan pada fakta kedudukan para hakim atau Ketua Pengadilan yang menjadi penasihat hukum Panca Tunggal, tim penasihat Presiden Soekarno. Maka, dalam SEMA yang dikeluarkannya, dia menyatakan hakim-hakim itu tak perlu mundur dari jabatannya sebagai hakim. Mereka hanya diinstruksikan tidak surut serta memecahkan masalah dalam Panca Tunggal dan/atau memberikan nasihat hukum mengenai sesuatu masalah yang dapat diperkirakan akan menjadi perkara di muka pengadilan. [1]
Soerjadi juga mengharuskan hakim menggunakan toga dalam persidangan. Hal ini merupakan aspirasi dari para hakim yang merasa toga merupakan salah satu alat yang bisa menambah suasana khidmat dalam sidang-sidang pengadilan. Sementara, di luar sidang, hakim juga harus mengenakan pakaian seragam yang kala itu ditetapkan oleh Panitia Perencanaan Pemakaian Seragam yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman.
Soerjadi,SH seorang Ketua MA yang teguh pada prinsip (independensi MA). Maka ketika prinsip itu didobrak kekuasaan, di antaranya tentang prinsip hakim agung harus hakim karir dan tidak dimasuki golongan lain (militer)[2], dia pun tak segan memilih mengundurkan diri. Pengunduran dirinya direspon dengan Keputusan Presiden Nomor 66 Tahun 1968 tentang Memberhentikan dengan hormat Sdr. Soerjadi, SH sebagai Ketua Mahkamah Agung dan mengangkat Sdr. Soebekti; dan Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 1968 tentang Istirahat besar 9 (sembilan) bulan Sdr. Soerjadi, SH ex Ketua Mahkamah Agung. Penulis: Ch. Robin Simanullang | Bio TokohIndonesia.com
Footnote:
[1] Soerjadi http://id.wikipedia.org/wiki/Soerjadi
[2] Sebastiaan Pompe, The Indonesian Supreme Court : A Study of Institusional Collapse