Pelopor Mode Indonesia

Peter Sie
 
0
746
Peter Sie
Peter Sie | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Saat perancang busana belum dipandang sebagai sebuah profesi, Peter Sie tetap teguh pada pilihannya menjadi seorang desainer sejak tahun 50-an hingga akhir hayatnya. Dari segi rancangan, desainer yang rancangannya berkiblat ke Paris ini memiliki ciri khas dari sisi ketelitian dan kehalusan pengerjaan busana.

Peter Sie dilahirkan di Bogor, 28 Desember 1929 sebagai Sie Tiam Ie. Bungsu dari tujuh bersaudara ini sudah menjadi yatim sejak kecil. Untuk menyambung hidup, ibunda Peter, Sie Tjeng Hay, membuka usaha penjualan makanan. Kesibukan mengurus bisnis membuatnya tidak sempat lagi menjahit pakaian bagi ketujuh anaknya. Ibu Peter lalu mendatangkan penjahit bernama Mak Wek ke rumah untuk mengerjakan tugas itu

Sejak belia, Peter sudah tertarik pada jahit-menjahit. Ia sering meninggalkan kebiasaannya bermain untuk mengamati Mak Wek menjahit. Peter memang berbakat, dari sekadar mengamati gerakan, ia kemudian berhasil menguasai teknik dasar menjahit. Saat masih duduk di bangku kelas lima Sekolah Rakyat, Peter bahkan mampu menjahit celana sendiri. Beranjak remaja, saat usianya 15 tahun, tekad Peter untuk menjadi penjahit kian kuat, namun karena kurang bisa membagi waktu, pendidikan formalnya pun berantakan.

Peter kemudian diajak kakak iparnya yang bernama Kho Han Gao ke Jakarta. Selain belajar menjahit, ia juga kursus bahasa Inggris. Di usia 17 tahun, ia ikut sang kakak ipar, yang belajar farmasi ke Belanda. Didorong hasrat untuk mengembangkan kemampuan menjahitnya, Peter kemudian menimba ilmu di Vakschool voor Kleermakers & Coupeurs, Den Haag. Di sekolah kejuruan ilmu tata busana ini, ia menunjukkan kemampuan yang istimewa sehingga berhasil lulus dengan nilai terbaik.

Setelah merampungkan sekolahnya, Peter Sie magang selama tiga tahun di sebuah perusahaan yang khusus membuat pakaian para bangsawan. Seiring waktu, Peter yang awalnya hanya membuat pakaian pria mulai menerima pesanan untuk merancang busana wanita.

Pada tahun 1954, Peter Sie kembali ke Indonesia dan langsung memulai debutnya sebagai penjahit. Pada saat itu langganannya nyonya-nyonya keturunan Tionghoa di seputar rumahnya yang berlokasi di bilangan Mangga Besar, Jakarta. Empat tahun berselang, Peter mulai membuat sketsa-sketsa. Baru di tahun 1959, ia menggelar fashion show untuk pertama kalinya di Hotel Des Indes yang kini dikenal sebagai pertokoan Duta Merlin, Jakarta Barat. Pagelaran busana itu juga dimaksudkan sebagai acara pengumpulan dana untuk korban kecelakaan kereta api di Trenggalek. Banyak tokoh-tokoh penting yang menghadiri acara tersebut, salah satunya Ibu Negara, Fatmawati Soekarno.

Bisnis Peter sempat mengalami krisis di 1974, ketika selama beberapa bulan tidak ada seorang pun langganan yang muncul memesan pakaian padanya. Untuk mengatasi masalah tersebut, seorang stafnya menyarankan agar Peter membuat beberapa potong pakaian jadi. Saran itu ternyata berhasil membuat Peter keluar dari krisis. Ia bangkit untuk menjadi sukses dan karyanya yang dihargai tinggi digemari pelanggannya.

Lama kelamaan, posisi Peter Sie sebagai pelopor perancang busana pun kian kukuh. Dari segi rancangan, desainer yang rancangannya berkiblat ke Paris itu memiliki ciri khas dari sisi ketelitian dan kehalusan pengerjaan busana. Karenanya, tidak heran jika pelanggannya adalah orang-orang berkantong tebal hingga kalangan pejabat yang tak segan merogoh koceknya hingga jutaan rupiah demi memiliki busana rancangan Peter. Bahkan orang nomor satu Indonesia di masa itu, Presiden Soekarno, disebut-sebut merupakan salah satu langganan Peter Sie.

Menurut para pengamat fashion, selain rapi, rancangan Peter juga punya pakemnya sendiri. Citarasanya tergolong neoklasik. Oleh karena itu, mode-mode yang trendi, gaya hippies, patchwork, atau gaya karung seperti yang pernah menggejala pada desainer Jepang, tidak pernah hinggap di kepalanya. Secara terus terang Peter memang mengakui kecenderungannya yang tak bisa menghindari pengaruh dunia Barat pada gaya rancangannya.

Meski tetap bertahan dengan hidupnya yang sederhana, Peter ingin dunia mode Indonesia terus berkembang menuju ke arah yang lebih baik hingga dikenal dunia internasional. Keinginan tersebut ditunjukkannya dengan memberikan dukungan kepada semua pelaku industri fashion Tanah Air, mulai dari perancang hingga kepada wartawan mode.

Sebagian orang bahkan menyebutnya sebagai satu-satunya perancang houte couture Indonesia. Mendapat predikat itu rupanya sama sekali tak membuat Peter merasa bangga, sebaliknya, ia mengaku tak suka mendapat julukan itu. Alasannya, untuk menjadi penjahit houte couture itu tidak sembarangan.

Advertisement

Nama Peter di dunia fashion sempat tenggelam sejak akhir tahun 1980-an. Setelah sekitar dua dekade tak terdengar kabar beritanya, pada tahun 2001, ia mengadakan pameran yang menampilkan sejumlah rancangan lama serta meluncurkan buku otobiografinya yang berjudul Mode adalah Hidupku. Dalam buku itu, ia menceritakan hampir seluruh kisah hidupnya. “Sekarang kan ada lomba perancang mode, lalu pemenangnya dikirim ke Paris. Dulu? Mereka malah mencibir, ngapain sih laki-laki bikin pakaian perempuan,” katanya. Toh, Peter setia dengan profesinya. Hingga kini, ia masih menerima pesanan busana. “Saya lemah di pemasaran. Karena itulah saya tidak pernah bisa kaya,” kata pria yang tinggal di sebuah rumah sederhana di kawasan Tebet seperti dikutip dari situs tempo interaktif.com. Dalam beberapa kesempatan, perancang busana senior Indonesia itu memang mengakui kekurangannya itu, ”Saya ini Cina yang kagak bisa bisnis.”

Meski tetap bertahan dengan hidupnya yang sederhana, Peter ingin dunia mode Indonesia terus berkembang menuju ke arah yang lebih baik hingga dikenal dunia internasional. Keinginan tersebut ditunjukkannya dengan memberikan dukungan kepada semua pelaku industri fashion Tanah Air, mulai dari perancang hingga kepada wartawan mode. Ia juga tak pelit membagikan pengetahuan teknik membuat busana yang baik untuk para juniornya. Nama-nama besar di jagad fashion seperti Musa Widyatmodjo dan Harry Darsono pernah merasakan tangan dingin seorang Peter Sie.

Kontribusi besar Peter terhadap dunia mode telah mendapat banyak penghargaan, salah satunya adalah Fashion Icon Jakarta Fashion & Food Festival 2006. Saat itu Peter mendapat penghargaan bersama-sama dengan maestro batik Iwan Tirta dan model senior Okky Asokawati.

Desainer senior dan pelopor mode Indonesia ini tutup usia di kediamannya di Tebet, pada Jumat, 1 April 2011 sekitar pukul 05.00 pagi di usia 82 tahun. Jasadnya disemayamkan di Rumah Duka RS Cikini, Jakarta, kemudian dikremasi di Rumah Kremasi Oasis Lestari,Tangerang pada 3 April 2011.

Semasa hidup hingga akhir hayatnya, semangat kerja Peter untuk dunia mode tak pernah padam. Seperti yang diungkapkan Susiana Sindhikara selaku sekretaris Peter Sie yang telah mengabdi sejak tahun 1975. Wanita paruh baya itu mengenang atasannya sebagai orang yang sangat tekun ketika sudah berada di ruang kerja yang menyatu dengan rumahnya di kawasan Tebet. “Bapak itu tidak segan lembur untuk menyelesaikan pekerjaannya hingga larut malam,” katanya Susiana seperti dikutip dari situs okezone.com.

Namun semenjak kondisinya menurun sekira tahun 2009 lalu, Peter Sie mulai mengurangi aktivitasnya dan memercayakan tanggung jawab kepada para pegawainya. Secara fisik, pengabdiannya untuk dunia mode memang terhenti namun semangatnya tetap memenuhi jiwa para insan mode berbakat Tanah Air. eti | muli, red

Data Singkat
Peter Sie, Desainer / Pelopor Mode Indonesia | Ensiklopedi | desainer, tionghoa, perancang, busana, fashion

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini